Kalian tahu??
Apa rasanya setelah dilecehkan oleh sepupu sendiri? Sedangkan, yang seharusnya sebagai korban malah disudutkan? Kecewa, Marah, trauma, campur aduk deh, pokoknya. Apalagi gak ada satu orang pun yang percaya sama kamu dalam posisi traumamu sekarang. Parahnya, selain harus menangani segala rasa itu, aku juga harus memulihkan trauma itu sendiri, semuanya, dan pastinya, aku harus tetap bersikap baik-baik aja didepan mereka. Karena percuma, sekuat apapun aku membela diri pada mereka. Aku tetap gak akan pernah benar. Aku mengelap bibirku, kesal. Jijik! Jika tiba-tiba ingat lagi kejadian kemarin. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini? Apa aku sekuat itu? hingga Tuhan memberiku berbagai masalah yang gak kunjung habisnya. Aku menghela nafasku, menatap langit yang biru dengan awan putih yang indah siang itu. "Dor!" Nia mengagetiku, ia baru saja keluar dari kelasnya. Aku tersentak "Ampun deh na, bisa gak sih loe gak ngangetin gue begitu." Aku memang selalu menunggu nia di dekat pintu kelasnya, jika kelasku, bubar lebih dulu. "Ngelamun mulu! Ada apa sih dinda? Loe ada masalah? Cerita dong sama gue, mungkin gue bisa bantu" Tanya nia padaku. Nia, sebenarnya aku... Aku mengurungkan niatku "Gak ada kok, emang gue bengong ya?" Tanyaku mengalihkan. Sebenarnya, aku ingin menceritakan semua tingkah bejat sepupuku pada nia, tapi nia mudah tersulut emosi dan aku lebih memikirkan dampak buruk jika menyebarkan aib ini. Jadi, untuk masalah ini, aku harus merahasiakannya. "Hmm..." jawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Ayo pulang!" Ajakku mengalihkan kecurigaan nia. "Serius, ada masalah apa?" Tanya nia penasaran. "Gak ada masalah!" Jawabku bohong. "Masa sih?" Nia gak percaya. "Tar kalo gue ada masalah pasti cerita. Lagian, loe pengen banget gue punya masalah!" Tatapku jengkel. Nia terbahak "Ya bukan gitu juga maksud gue. Syukur-syukur loe gak punya masalah malahan" "Udah ah, ayo balik tar orang rumah cuap-cuap!" Nia menggaruk kepalanya yang mungkin gak gatal, dia malah seperti orang kebingungan mendengar ajakanku "Duh gimana ya, hari ini gue mau nugas dulu di rumah aini, kita gak bisa balik bareng" Aku menghela nafas cepat "Ya udah gue balik duluan deh! Bye!" "Bentar!" Cegah nia menarik tanganku. "Tunggu sini, sabar!" Katanya menahanku, sementara ia berlari menuruni anak tangga depan kelasnya. "Zendraaa!!!" Teriak nia menghentikan sebuah motor yang melaju pelan, keluar dari parkiran sekolah. Motor itu langsung berhenti. Lalu, sang pengendara motor tersebut melepas helm yang dikenakananya. Wajah putih, yang tirus itu tampil dari balik helmnya. Siapa zendra? Teman sekelas nia? Selama ini aku sering bolak-balik ke kelasnya, tapi sama sekali belum pernah melihat wajah asingnya. Apa dia anak pindahan dari sekolah lain? "Kenapa na?" Sahutnya cepat. "Loe mau langsung balik kan?" Masih dengan berteriak, nia kembali bertanya pada temannya. "Iya. Emang kenapa?" Sahutnya lagi dengan suara yang gak kalah kencang dari nia. Emangnya anak administrasi sering teriak-teriak begitu ya? Mendengar jawaban temannya, nia langsung kegirangan. Ia melirikku yang masih terpaku ditempat yang sama. Nia berlari ke arahku, secepat angin, lalu menarikku untuk mendekat ke temannya. "Sekalian anterin temen gue balik ya" pintanya setelah kami berdekatan. Alisku naik sebelah begitu mendengar, nada bicara nia yang jadi genit, gak berhenti sampai disitu, nia juga menyolek-nyolek genit temannya itu, agar mau mengantarku pulang, dan zendra hanya menatap bingung tingkah konyol nia padanya. Aku menyenggol lengan nia "na... apaan sih loe!" Aku yang merasa canggung menyela tingkah nia. Tak mempedulikanku, nia masih bersikeras merayu zendra "Mau kan zen anter teman nia? Jalan ke rumah kalian searah kok" pinta nia lagi, wajahnya tersipu-sipu. Ah! Astaga... kenapa sih dia bikin aku malu aja! Mataku memicing, "Na!" Aku mencegah nia, ingin menghentikan tingkah konyolnya. Nia belum berhenti, ia malah mencubit kecil lenganku, dengan sedikit memonyongkan bibirnya yang terdengar seperti kata syuuth! yang di mute, di mulutnya, untuk memintaku diam. Zendra, masih nampak kebingungan di atas jok motornya. "Bisa kan zen?" Tanya nia lagi, dengan tekanan nada yang memaksa. "I..iya bisa sih..." jawab zendra ragu. Nia memelototiku "Udah cepet naik" katanya, ia mendorongku untuk lebih mendekat ke motor temannya itu dengan semangat 45. "Nggak usah deh, gue bisa kok balik sendiri!" Tolakku cepat, karna yang ku perhatikan, zendra seperti risih dengan tingkah nia yang memintanya untuk mengantarku. "Ayo gak apa, zen antar nda pulang!" Katanya, kali ini suaranya terdengar mantap tanpa ragu. Nia tersenyum lebar, selebar-lebarnya, sampai sedikit berjingkrak dan memukul pelan lenganku "Udah buruan naik!" Paksa nia padaku. Ia bahkan membantuku untuk naik ke motor temannya. Iya nia... Aku tahu apa maksudmu ini, aku tahu... Supaya aku gak kesepiankan punya kenalan baru, jadi kamu menjebakku dengan temanmu yang lugu ini, agar aku baik-baik saja, Iyakan? "Tapi serius gak ngerepotin nih?" Tanyaku memastikan lagi, memastikan agar bisa menghindar sih sebenarnya. Zendra menoleh, ia tersenyum dengan bibir tipisnya "Iya dinda!" Katanya membuat senyum nia makin mengembang selebar-lebarnya. "Byeee!" Teriak nia kegirangan melihatku dibawa pergi oleh temannya, ia sampai melompat-lompat kegirangan. *** "Disini?" Tanya zendra memastikan saat hendak mengerem motornya. "Iya, sampai sini aja!" dengan perlahan aku turun dari motornya. Zendra melihat sekeliling yang hanya ada pepohonan, "yakin gak apa-apa zen turunin nda disini?" Tanyanya cemas setelah melihat gak ada satu orang pun yang melintas. "Iya gak apa, tinggal jalan sedikit kesana" Tunjukku pada jalan setapak diantara pepohonan itu. "Ya udah zen lihatin dari sini" Zendra mematikan mesin motornya. "Kenapa dilihatin?" jawabku polos. "Kan kalau ada apa-apa zen bisa langsung nolongin!" katanya lagi. "Ooh.. tapi gue udah biasa lewat sini kok! Loe pulang aja gak perlu lihatin gue" "Zen udah janji ke nia buat anter nda pulang tadi, kalau misal terjadi sesuatu sama dinda, bisa-bisa zen dihabisin sama nia besok!" Katanya sambil bergidik, mungkin zendra membayangkan nia melayangkan bogeman dengan tangan besarnya. Aku mengatup bibirku, menahan tawa. Ingin melepas tawa, takut nanti zendra tersinggung. Kok bisa-bisanya cowok takut sama teman ceweknya? "Gue gak bakal ngaduin apa-apa tentang loe ke nia. Loe gak usah takut!" kataku menenangkannya. "Bener ya?" Aku mengangguk, "Btw makasih ya buat tebengannya." "Sama-sama dinda" Ekspresi zendra terlihat sumringah. "Oh iya, hampir lupa. Gue mau nanya" "Nanya apa nda?" Tanya zendra penasaran. Ekspresinya mulai berubah, serius. "Kok loe bisa tau nama gue?" "O..emm.. itu" zendra memutar bola matanya, seperti mencari jawaban. Kenapa dia terlihat panik? "Itu kenapa?" Tanyaku jadi penasaran. "I..itu karna zendra kenal sama desha. Desha mantan dinda kan?" Zendra kenal desha? Sejak kapan? Bagaimana juga cara mereka berkenalan? Masalahnya, desha selalu cerita tentang teman-teman dan orang-orang yang dia kenal padaku, tapi ada nama zendra di sekolah aja, aku baru tahu dari nia tadi. Ini aku lagi gak dibohongi kan ya? "Oh gitu ya?" "Ya udah zen pulang dulu ya dinda, bye dinda!" Zendra melambaikan sebelah tangannya, lalu membawa motornya berlalu dari hadapanku. "Pacaran terus!" Ucap tante diah mengagetkanku. Entah sejak kapan dia berdiri di sana, dibelakangku, tepatnya dihadapanku saat aku berbalik setelah membalas lambaian zendra. "Pantesan ya pulang telat terus, gak mau ngasuh galang, ternyata begini kelakuan kamu" Tante diah memasang wajah sinisnya. "Dinda gak pacaran tante!" Bantahku cepat. "Kamu tuh kerjaannya bohongin tante terus ya! Tante aduin kamu ke nenek!" Tante diah mengancamku seperti anak tk. Setengah berlari, tante diah melintasi jalan setapak itu untuk menghindari jawabanku, hingga aku harus mengejarnya. "Tante, dinda beneran gak pacaran!" Ucapku sambil tergesa-gesa menyusulnya. Tante diah menghentikan langkahnya, ia terbungkuk menahan letih "Nek, nih cucunya pacaran terus!" Teriak tante diah setelahnya. Astaga!!! Kenapa sih aku harus hidup berdampingan dengan tante yang kekanak-kanakan seperti tante diah? Nenek yang mendengar teriakan tante diah itu langsung keluar dari dalam rumah. Beliau berdiri di depan pintu dengan melemparkan tatapan membunuhnya padaku. "Nggak nek, dinda gak pacaran kok, tadi temen nia yang antar dinda pulang" aku berusaha membela diri dengan berkata sejujurnya. Tahu gak apa reaksi nenek? Beliau cuma diam lho masih dengan tatapan yang sama, artinya nenek gak percaya dong sama aku? Padahal aku udah bicara yang sebenar-benarnya. "Kalau gak pacaran kenapa pulang telat terus?" Cerca tante diah masih bersikeras menuduhku. Aku?... Pulang telat terus?... sejak kapan?... Aku mendelik tak percaya, lagi-lagi tuduhan itu dilayangkan tante diah padaku "Dinda gak pernah pulang telat kok, dinda selalu langsung pulang" aku masih terus membela diri. Karna memang kenyataannya begitu, aku selalu pulang tepat waktu. Tapi kenapa sih? Tante diah selalu ingin membuatku jadi orang yang terlihat salah? "Ita udah pulang dari jam 12. Ini lihat kamu, jam berapa kamu pulang sekarang?" Tante diah menyentakku seolah-olah dirinya sudah benar. Alisku mengerut cepat, "ita?" "Iya, tadi tante ketemu dia di warung. waktu tante tanya, ita bilang kalau kelas udah bubar dari jam 12" Ita!!! Sialan!!! Anak itu, dia kan si ahlinya pingsan, emang sering dipulangin lebih cepat dibanding yang lain, kenapa harus bawa-bawa kelas? Toh yang dipulangin jam 12 cuma dia doang! "Jam 12 kami baru istirahat tante, si ita pulang jam segitu karna pingsan tadi di sekolah. Kalau tante gak percaya tanya aja sama nia!" "Kamu sama nia sih sama aja! Paling kalian bersekongkol!" Tante diah terus menyerangku. "Ih, ngapain juga dinda sekongkolan sama nia. Ya udah tante ke sekolah aja tanya guru dinda. Biar tante percaya!" Tante diah langsung melengos mendengar jawabanku. "Dinda! Masuk!" Bentak nenek, alih-alih membelaku. Aku tersenyum sinis. Percuma! Pokoknya percuma menjelaskan sama mereka, mau sefakta apapun aku dengan posisi benarku, bagi mereka, aku tetap harus salah. Aku mendecak kesal sebelum akhirnya masuk ke dalam kamarku dengan membanting pintu. Aku gak tahan lagi!Aku setengah berlari menuju lapang sekolah setelah melihat teman-teman yang lain sudah berbaris dengan rapih dari gerbang sekolah.Hari ini sepertinya aku terlambat. Ini semua gara-gara aku begadang semalam memikirkan kekesalanku pada tante diah, sampai-sampai aku mencari cara untuk melarikan diri dari rumah itu."Cepat...cepat!! Segera masuk ke barisan kelas kalian masing-masing ya" Pak Muh menginstruksi siswa-siswa yang terlambat untuk masuk ke barisan.Dengan tergesa-gesa aku menaruh tasku disembarang tempat. Lalu, aku berdiri disamping barisan paduan suara, menunggu aba-aba dari protokol upacara.Ya... seperti yang sudah-sudah, aku selalu dapat posisi sebagai dirigen di setiap acara upacara bendera sejak aku SMP dan hal itu membuatku jadi terbiasa tampil aktif menjadi bagian dari petugas upacara."Pengibaran bendera merah putih diiringi lagu indonesia raya, penghormatan dipimpin oleh pemimpin upacara" nina yang saat itu terpilih sebagai pembawa acara, membaca dengan lantang poin-
Di jam istirahat aku memutuskan untuk meninggalkan uks dan kembali ke kelasku. Setelah mendapat perhatian ekstra dari kak wito dan membolos pelajaran karna sakit perut, sekarang aku lebih semangat untuk melanjutkan pelajaran. Apalagi lepas istirahat nanti ada pelajaran multimedia yang di bimbing langsung dari guru kesukaanku, pak Muh. "Eh temen-temen dengerin gue ya!" Aji, ketua kelas kami berdiri didepan papan tulis bersiap memberi pengumuman. "Apaan?" Jawab tedi, teman sebangkunya. "Iya ada apa sih?" Tanya mira, sontak anak-anak di kelas menjadi gaduh. "Masih istirahat woy!" saeful meneriaki aji dari kursi belakang, ia baru bangun tidur gara-gara kelas berubah gaduh. Kebiasaan si epul emang begitu, dia rajin bolos, nah sekalinya ada dikelas begini nih, kalau telinganya ga disumpelin headset ya sudah bisa dipastikan dia bakal molor di pojok kelas. Guru-guru sampai berenti negur dia saking bosennya lihat kelakuan ajaibnya itu. Kalau ada yang nanya, kenapa sih si epul dipertahanin
Aku berdiri resah didepan pintu ruang BK. Hanya mondar-mandir gak karuan menunggui nia yang masih di konseling oleh bu eni. Tanganku juga gemetar, khawatir anak itu bakal terus ngelawan saat di konseling bu eni di dalam. Aku tahu, sangat tahu sifat nia. Ia gak akan diam jika tertindas."Sini dinda, duduk dulu" Zendra menepuk tempat duduk kosong disebelahnya. Aku bahkan hampir gak menyadari ada orang lain selain aku didepan ruang BK tersebut.Tak lama pintu ruang BK terbuka dan nia muncul setelahnya."Nia, gimana?" Tanyaku cemas, menahan tangan nia yang keluar lesu setelah konseling. Disusul ita, dibelakangnya yang ikut berhenti melangkah setelah melihatku sedang menatapnya penuh emosi.Aku menarik nafas panjang. Sekarang bukan saatnya untuk marah. Apalagi bu eni, masih ada didalam ruang BK.Nia menoleh, menatap ita dengan tatapan masih kesal. Sepertinya mereka belum berbaikan meski sudah di konseling cukup lama. "Gak apa nda, ayo pulang" nia menarik lenganku cepat, menghindari beradu
Siang itu, setelah jam istirahat, seluruh siswa diminta untuk berkumpul di lapangan upacara secara mendadak. Ada pak muh, kak wito, kak febri, dan beberapa orang kakak kelas lainnya yang juga sudah berdiri tegak di hadapan seluruh siswa untuk memberi pengumuman."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang semuanya" pak muh membuka percakapan disusul jawaban salam oleh seluruh siswa yang hadir dilapangan."Baik anak-anakku sekalian, terima kasih sudah mau berkumpul di lapangan siang hari ini" lanjutnya lagi,"Panas pak!" Teriak seorang siswa disampingku, kak hendrik, dia siswa kelas XI. Sontak siswa lain ikut riuh mengeluh menyusul teriakan kak hendrik."Iya bapak paham, makanya untuk mempersingkat waktu, di mohon tenang ya semuanya! Disini bukan bapak yang mau menyampaikan pengumuman, tapi perwakilan dari teman-teman kalian semua. Silahkan wito, atau febri yang akan menyampaikan?" Pak muh bergerak mundur dan mempersilahkan siswanya untuk maju memberi pengumuman yang mem
POV : FEBRIAku mencoret beberapa nama hasil usulan dari teman-teman rapat "yang ini... sama yang ini...diganti aja!" Kataku mengamati dengan cermat barisan nama-nama anak kelas X jurusan multimedia 1 yang akan diikutsertakan dalam kegiatan."Satu..dua..tiga.. ini masih kurang nih, kok cuma delapan orang!" Hitungku, kemudian mengalihkan perhatian pada data-data siswa di buku agenda sekolah."Anak multimedia 1 susah diajak kompak, udah kaya buyut-buyutnya nih!" Tukas ari nyinyir, melirik siska dihadapannya."Sorry aja ya! Kelas kita sih kompak-kompak, beda sama adik kelas kita" Timpalnya membela."Gue baru inget, ini si dinda kok belum masuk list? Dia anak multimedia 1 juga kan?" Tanyaku, sambil menuliskan namanya dalam daftar list dengan huruf kapital semua. DINDA!"Loe yakin mengikutsertakan dinda diacara ambalan besok, feb?" Tanya wito ragu setelah mendengar pendapatku."Iya" jawabku cepat, masih berkutat dengan tumpukan kertas-kertas dimeja yang berantakan.Hari itu, para panitia u
Keesokan harinya...Semua siswa yang hadir sudah berbaris rapih di lapangan bersama dengan bekal mereka masing-masing. Kak wito dan seluruh panitia lain juga sudah menginformasikan rangkaian kegiatan apa saja yang akan berlangsung selama ambalan. Dilanjut dengan pembagian regu bagi para peserta yang hadir. Aku terpilih sebagai ketua di regu matahari dengan berisikan 8 anggota. Setelah membubarkan barisan, kami diminta untuk mendirikan tenda masing-masing dari setiap regu."Dinda, mau dibantuin pasang tendanya gak?" Tawar kak wito yang sudah berdiri didekat tendaku."Cie...cie..." teman-teman satu reguku langsung meledekku."Enak ya kita bisa satu regu sama dinda, jadi bisa di pantau terus sama ketua osis!" Ujar penti senang.Aku melirik kak wito yang saat itu tersenyum mendengar perkataan penti. Ia nampak gak keberatan saat teman-teman meledek kami. Apa kak wito juga menyimpan rasa yang sama sepertiku?"Wito kok loe malah disini sih!" Kak febri datang merusak suasana.Kak wito menoleh
Aku dan yang lainnya mulai berjalan memasuki kawasan yang rimbun dengan pepohonan, bisa dibilang hutan mungkin ya. Karna memang sudah sangat jarang sekali rumah warga terlihat, bahkan hampir gak ada sama sekali. Beberapa orang mulai mengeluh, sama sepertiku, capek!Bukan kakiku yang capek, tapi mataku capek sedari tadi melihat kak pay terus berjalan sejajar dengan kak wito."Aduh!" Keluhku pelan, tapi sakitnya bisa sampai membuat tubuhku berbungkuk."Kenapa nda?" Nia memegangi tubuhku "sakit lagi?"Aku mengangguk, berpegangan pada nia."Woi anak cowo tolongin gue!" Kata nia dengan sedikit berteriak.Disaat yang bersamaan, dari sudut mataku, aku dapat melihat gerakan kak wito yang ingin merespon jawaban dari nia dengan segera, tapi wanita yang disebelahnya dengan cepat menahannya untuk tetap disana, bersamanya."Kenapa nia?" Respon kak febri cepat, wajarlah selain ketua PMR, dia juga aktif di organisasi mapala."Dinda sakit kak febri!""Sini biar saya bantu!" Kak febri meletakkan tanga
POV : NIA"Bawang goreng doang?" Aku menirukan gaya bicara kak febri padaku di ruang UKS "Dikira itu bawang mateng sendiri kali. Gue masak woilah bukan bawang goreng instan yang udah dikemas dan gak sepraktis itu. Habis digoreng juga gue masih harus cuci peralatan bekas masaknya. Kurang effort gimana gue coba dengan waktu yang secepat itu! Bener kata dinda, kak febri emang ngeselin!" Aku mencak-mencak sendiri di pantry sekolah sembari merapihkan peralatan masak yang baru di cuci.Bughh!!!Suara hantaman terdengar gak jauh dari pantry. Siapa lagi yang berkelahi kali ini?"Loe kenapa pukul gue, feb?" Tanyanya, itu seperti suara kak wito.Aku buru-buru berlari mendekati sumber suara, mengintip dari balik jendela pantry. Kak wito dan kak febri sedang berkelahi di depan aula sekolah."Orang bajingan kaya loe pantes dapat ini" Katanya seraya menghantamkan pukulan lagi pada wajah kak wito.Kak wito nampak terlihat bingung tanpa perlawanan. Ia menyeka darah yang mulai keluar dari bibirnya.Se