Di jam istirahat aku memutuskan untuk meninggalkan uks dan kembali ke kelasku. Setelah mendapat perhatian ekstra dari kak wito dan membolos pelajaran karna sakit perut, sekarang aku lebih semangat untuk melanjutkan pelajaran. Apalagi lepas istirahat nanti ada pelajaran multimedia yang di bimbing langsung dari guru kesukaanku, pak Muh.
"Eh temen-temen dengerin gue ya!" Aji, ketua kelas kami berdiri didepan papan tulis bersiap memberi pengumuman. "Apaan?" Jawab tedi, teman sebangkunya. "Iya ada apa sih?" Tanya mira, sontak anak-anak di kelas menjadi gaduh. "Masih istirahat woy!" saeful meneriaki aji dari kursi belakang, ia baru bangun tidur gara-gara kelas berubah gaduh. Kebiasaan si epul emang begitu, dia rajin bolos, nah sekalinya ada dikelas begini nih, kalau telinganya ga disumpelin headset ya sudah bisa dipastikan dia bakal molor di pojok kelas. Guru-guru sampai berenti negur dia saking bosennya lihat kelakuan ajaibnya itu. Kalau ada yang nanya, kenapa sih si epul dipertahanin dan gak di keluarin aja dari sekolah? Jawabannya simple, karna dia manusia ajaib, meskipun dia gak pernah merhatiin guru-gurunya dikelas, dia termasuk salah satu saingan terberatku mengejar prestasi. Dia bisa masuk 5 besar dan aktif mengikuti setiap lomba, baik itu cerdas cermat bahkan di bidang kesenian. Hebatkan dia! "Gue dapet mandat nih dari pak muh!" Kata aji lagi, aku hanya memperhatikan dia dari kursiku. "Kenapa? Kenapa?" Tanya dimas penasaran. "Pelajaran kosong nih pasti suruh ngrangkum doang!" Timpal eri sok tahu. "Mau dengerin gue gak nih, buset dah! Gue pegel ini berdiri mulu udah kaya orang-orangan sawah!" Aji mulai ngambek, teman-temannya gak mau tertib. BRAKK!!! Tedi menggebrak mejanya, sontak membuat teman-teman kaget hingga diam gak bersuara. "Bisa gak sih kalian diem, hargai ketua kelas kalian!" Katanya dengan suara lantang membela aji. Selain teman sebangku, tedi juga wakil ketua kelas. Mereka memang gak terpisahkan. Tentu, tedi akan membela aji yang mulai disepelekan teman-temannya. BRUG!! Sekarang giliran epul memukul mejanya, "gue juga bisa ted!" Ucap epul mengalihkan perhatian teman-teman sekelas. "Lebay loe, dikit-dikit pukul meja. Gimana anak-anak mau hargai kalian kalau cara mengatasi kelas dikit-dikit pukul meja, yang ada mereka tambah kesel liat gaya loe yang sok jagoan!" Setelah mengakhiri pidatonya, epul langsung keluar kelas dengan tatapan kagum dari beberapa teman-temannya. Tedi tertunduk malu, kemudian aji mengambil alih perhatian teman-temannya lagi, " sekarang tolong dengerin gue ya! Tadi pak muh minta gue buat bilang ke kalian kalau habis istirahat ini kita langsung aja datang ke lab komputer sambil bawa buku dan alat tulis. Pak muh nunggu disana" "Jadi pak muh nggak ke kelas dulu nih?" Tanya amanda yang saat ini duduk disampingku. Aku cuma bisa menyikut amanda atas pertanyaannya. Suasana kelas masih gak enak soalnya, takutnya malah mancing emosi. Aji melirik amanda sebentar. Lalu duduk dibangkunya yang berada di paling depan, tanpa menjawab pertanyaan amanda. "Apa sih, aku kan cuma nanya doang. Kenapa pada ngeliatin aku begitu" Ucap amanda dengan polosnya. "Bisa diem gak loe!" Aku berujar pelan padanya. "Ayolah kita ke lab sekarang aja, dinda!" Amanda mengajakku bersamanya. *** Aku dan amanda berjalan menuju lab yang letaknya berada disamping tempat parkir sekolah. Untuk tiba disana, kami harus berjalan melalui lapang tempat kami biasa melaksanakan upacara, terlebih dahulu. "Dinda tunggu!" Kak wito dari depan kelasnya berlari ke arahku. Dag, dig, dug, serrr. Mendengar suaranya meneriakkan namaku, apalagi di lapang sekolah begini. Senengnya...senengnya... "Iya kak, ada apa?" Tanyaku sambil berusaha menenangkan detak jantungku yang gak karuan ini. Jangan sampai kak wito tahu! Amanda yang ada disampingku saat itu, hanya diam terpaku menatapku keheranan. "Gimana kondisinya? Masih terasa ada yang sakit nggak?" Tanyanya pada. 1... 2... 3... Wusssshhh!!! Aku terbang ke angkasa. Rasanya seperti mimpi ditanyai kak wito begini. Dari awal masuk sekolah, lihat dia sebagai ketua panitia ospek dengan gagahnya, aku sudah langsung ng-Crush-in dia. Tapi karna namanya bersih gak pernah terlibat hati sama perempuan, aku jadi gak pernah berani buat dekatin dia, eh ternyata sekarang malah dia yang nyamperin aku. "Dinda?" Kak wito menggerakkan tangannya di depan wajahku, menghamburkan lamunanku. "Eh iya kak, udah baikan kok!" Jawabku gugup. "Nanti kalau ada apa-apa kamu bisa temui saya aja langsung ya, di kelas" Katanya sambil menunjukkan kelasnya yang ada didekat lapang. Kelas paling ujung disamping kantin sekolah. Aku sudah tahu betul kak, tanpa kamu kasih tahu, karna diam-diam aku suka cari tahu tentang kamu. "Iya kak. Terima kasih ya atas bantuannya tadi" jawabku lagi. "Ehm.." kak wito berdehem, "ya udah kalau gitu, sampai nanti ya!" Kak wito tersenyum, lalu balik ke kelasnya lagi. Sampai nanti katanya, yuhuuu!!! "Manda..." aku menggapai tangan amanda yang masih berdiri kaku disampingku. "Kita lagi mimpi gak sih?" Tanyaku padanya. "Mimpi kayanya din" jawab manda. "Coba cubit pipi gue!" Manda menurut dan mencubit pipiku. "Aduh!!" Pekikku kesakitan. "Lah tadi disuruh nyubit!" "Bener manda, ini bukan mimpi. Ayo!" Ajakku lari kegirangan menghindari kak wito yang mungkin melihatku dari depan kelasnya. "Kamu suka kak wito ya?" Tanya manda sambil berlari menyusulku. *** Aku mengatur nafasku didepan ruang lab, begitu juga manda. Anak itu, wajahnya memerah karna berlari di bawah terik matahari. Habis, mau gimana lagi daripada kak wito lihat tingkah konyolku, kan malu. Aku harus terlihat normal didepan dia, nggak...nggak cuma itu, aku juga harus tampil sebagai cewe sungguhan supaya dia terpikat sama aku. Mulai besok aku harus merapihkan dandananku, butuh tahap untuk menyesuaikan diri dengan sikap kak wito yang dewasa. "Haha...iya pasti dong" Aku dengar suara itu, ia tertawa senang dengan temannya, melewatiku tanpa rasa bersalah, gak tau datang dari mana karna tadi dikelas dia gak ada. "Eh monyet!" Panggilku kasar padanya. Beberapa orang didepan ruang lab menoleh ke arahku. "Gue?" Tanyanya, karna tatapanku jelas tertuju hanya padanya. "Loe ngadu apa kemaren sama tante gue?" Tanyaku tanpa basa-basi. "Gu..gue gak ngomong apa-apa!" Jawabnya gugup, menyadari kesalahannya. "Loe kalo punya mulut di jaga dong, nyet! Loe tau sendiri tante gue kaya gimana orangnya. Kok loe bisa-bisanya ngadu yang gak bener ke tante gue!" Makiku kesal. Ita juga tinggal dekat dengan rumah nenekku, bahkan jaraknya lebih dekat daripada rumah nia. Jadi ita pasti tahu kelakuan tanteku tanpa aku harus memberi tahunya. Ita mendekatiku, "i..iya maaf dinda!" Ucapnya, tapi hatiku sudah terlanjur emosi. "Ada apaan sih?" Nia tiba-tiba datang dengan setumpuk kertas ditangannya, dia pasti habis disuruh fotocopy. Nia menatapku "dinda, ada apa?" Tanya nia penasaran. "Loe tau gak apa efeknya dengan loe asal ngomong begitu? Habis-habisan gue dituduh tante gue jadinya, dikira gue selalu pulang telat gara-gara pacaran. Mikir gak loe?" Aku menunjuk-nunjuk wajah ita, mengabaikan nia. Plakk!!! Suara tamparan itu terdengar keras membuat suasana semakin ricuh. "Dasar perek sialan!" Cerca nia belum puas menampar ita. Aku terhentak melihat aksi spontan nia yang cukup ekstrim itu. Begitu juga anak-anak lain yang menyaksikan pertengkaran yang melibatkan aku, nia, dan ita didalamnya, mereka begitu antusias seperti menonton sinetron gratisan. "gue gak niat buat ngaduin loe kok, din!" Belanya dengan nada bergetar, mata ita memerah, ia menahan tangis, entah karna sakit bekas tamparan itu atau karna dipermalukan didepan umum oleh aku dan nia. "Ada apa ini ribut-ribut?" Tanya bu Eni memisahkan kami. "Ini bu, si ita bikin gara-gara!" Jawab nia cepat. "Bubar-bubar kalian semua. Masuk ke kelas masing-masing, memangnya kalian gak denger bunyi bel apa?" Bu Eni menginstruksi anak-anak didiknya. "Dan kalian, temuin ibu sepulang sekolah. Terutama kamu, nia" Kata bu Eni menatap aku, ita, dan nia bergantian. Habis sudah! Habis sudah kami di lahap bu eni nanti, apalagi beliau wali kelas nia. Bisa-bisa kena skor berat nanti. "Gak bu, biar saya sama ita aja. Dinda baru sembuh sakit, biarin dia pulang cepat!" Bela nia untukku. "Gak apa, nia. kita sama-sama aja!" Kataku. "Eh! Sudah! Sudah! Kok malah ribut lagi. Yang bikin masalah kan kalian bertiga, jadi ketiganya harus temuin ibu nanti!" Suara bu eni meninggi. "Biar saya yang nerima sanksi dinda!" Jawab nia masih bersikeras. Aku menatap nia "jangan na!" Bu eni menarik nafas panjang, membuat keputusan "Baik!" Katanya. "Nia, ita temui saya sepulang sekolah!" Lanjutnya lagi, lantas pergi. "Tapi bu," aku hampir mengejar bu eni, namun tangan nia lebih dulu menghalangi. Nia menangani masalahku dengan sigap. Sahabatku, entah bagaimana aku tanpa kamu. Kamu bahkan siap menerima masalah hanya untuk ada di pihakku. Bagaimana cara aku membalas kebaikanmu itu?Aku berdiri resah didepan pintu ruang BK. Hanya mondar-mandir gak karuan menunggui nia yang masih di konseling oleh bu eni. Tanganku juga gemetar, khawatir anak itu bakal terus ngelawan saat di konseling bu eni di dalam. Aku tahu, sangat tahu sifat nia. Ia gak akan diam jika tertindas."Sini dinda, duduk dulu" Zendra menepuk tempat duduk kosong disebelahnya. Aku bahkan hampir gak menyadari ada orang lain selain aku didepan ruang BK tersebut.Tak lama pintu ruang BK terbuka dan nia muncul setelahnya."Nia, gimana?" Tanyaku cemas, menahan tangan nia yang keluar lesu setelah konseling. Disusul ita, dibelakangnya yang ikut berhenti melangkah setelah melihatku sedang menatapnya penuh emosi.Aku menarik nafas panjang. Sekarang bukan saatnya untuk marah. Apalagi bu eni, masih ada didalam ruang BK.Nia menoleh, menatap ita dengan tatapan masih kesal. Sepertinya mereka belum berbaikan meski sudah di konseling cukup lama. "Gak apa nda, ayo pulang" nia menarik lenganku cepat, menghindari beradu
Siang itu, setelah jam istirahat, seluruh siswa diminta untuk berkumpul di lapangan upacara secara mendadak. Ada pak muh, kak wito, kak febri, dan beberapa orang kakak kelas lainnya yang juga sudah berdiri tegak di hadapan seluruh siswa untuk memberi pengumuman."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat siang semuanya" pak muh membuka percakapan disusul jawaban salam oleh seluruh siswa yang hadir dilapangan."Baik anak-anakku sekalian, terima kasih sudah mau berkumpul di lapangan siang hari ini" lanjutnya lagi,"Panas pak!" Teriak seorang siswa disampingku, kak hendrik, dia siswa kelas XI. Sontak siswa lain ikut riuh mengeluh menyusul teriakan kak hendrik."Iya bapak paham, makanya untuk mempersingkat waktu, di mohon tenang ya semuanya! Disini bukan bapak yang mau menyampaikan pengumuman, tapi perwakilan dari teman-teman kalian semua. Silahkan wito, atau febri yang akan menyampaikan?" Pak muh bergerak mundur dan mempersilahkan siswanya untuk maju memberi pengumuman yang mem
POV : FEBRIAku mencoret beberapa nama hasil usulan dari teman-teman rapat "yang ini... sama yang ini...diganti aja!" Kataku mengamati dengan cermat barisan nama-nama anak kelas X jurusan multimedia 1 yang akan diikutsertakan dalam kegiatan."Satu..dua..tiga.. ini masih kurang nih, kok cuma delapan orang!" Hitungku, kemudian mengalihkan perhatian pada data-data siswa di buku agenda sekolah."Anak multimedia 1 susah diajak kompak, udah kaya buyut-buyutnya nih!" Tukas ari nyinyir, melirik siska dihadapannya."Sorry aja ya! Kelas kita sih kompak-kompak, beda sama adik kelas kita" Timpalnya membela."Gue baru inget, ini si dinda kok belum masuk list? Dia anak multimedia 1 juga kan?" Tanyaku, sambil menuliskan namanya dalam daftar list dengan huruf kapital semua. DINDA!"Loe yakin mengikutsertakan dinda diacara ambalan besok, feb?" Tanya wito ragu setelah mendengar pendapatku."Iya" jawabku cepat, masih berkutat dengan tumpukan kertas-kertas dimeja yang berantakan.Hari itu, para panitia u
Keesokan harinya...Semua siswa yang hadir sudah berbaris rapih di lapangan bersama dengan bekal mereka masing-masing. Kak wito dan seluruh panitia lain juga sudah menginformasikan rangkaian kegiatan apa saja yang akan berlangsung selama ambalan. Dilanjut dengan pembagian regu bagi para peserta yang hadir. Aku terpilih sebagai ketua di regu matahari dengan berisikan 8 anggota. Setelah membubarkan barisan, kami diminta untuk mendirikan tenda masing-masing dari setiap regu."Dinda, mau dibantuin pasang tendanya gak?" Tawar kak wito yang sudah berdiri didekat tendaku."Cie...cie..." teman-teman satu reguku langsung meledekku."Enak ya kita bisa satu regu sama dinda, jadi bisa di pantau terus sama ketua osis!" Ujar penti senang.Aku melirik kak wito yang saat itu tersenyum mendengar perkataan penti. Ia nampak gak keberatan saat teman-teman meledek kami. Apa kak wito juga menyimpan rasa yang sama sepertiku?"Wito kok loe malah disini sih!" Kak febri datang merusak suasana.Kak wito menoleh
Aku dan yang lainnya mulai berjalan memasuki kawasan yang rimbun dengan pepohonan, bisa dibilang hutan mungkin ya. Karna memang sudah sangat jarang sekali rumah warga terlihat, bahkan hampir gak ada sama sekali. Beberapa orang mulai mengeluh, sama sepertiku, capek!Bukan kakiku yang capek, tapi mataku capek sedari tadi melihat kak pay terus berjalan sejajar dengan kak wito."Aduh!" Keluhku pelan, tapi sakitnya bisa sampai membuat tubuhku berbungkuk."Kenapa nda?" Nia memegangi tubuhku "sakit lagi?"Aku mengangguk, berpegangan pada nia."Woi anak cowo tolongin gue!" Kata nia dengan sedikit berteriak.Disaat yang bersamaan, dari sudut mataku, aku dapat melihat gerakan kak wito yang ingin merespon jawaban dari nia dengan segera, tapi wanita yang disebelahnya dengan cepat menahannya untuk tetap disana, bersamanya."Kenapa nia?" Respon kak febri cepat, wajarlah selain ketua PMR, dia juga aktif di organisasi mapala."Dinda sakit kak febri!""Sini biar saya bantu!" Kak febri meletakkan tanga
POV : NIA"Bawang goreng doang?" Aku menirukan gaya bicara kak febri padaku di ruang UKS "Dikira itu bawang mateng sendiri kali. Gue masak woilah bukan bawang goreng instan yang udah dikemas dan gak sepraktis itu. Habis digoreng juga gue masih harus cuci peralatan bekas masaknya. Kurang effort gimana gue coba dengan waktu yang secepat itu! Bener kata dinda, kak febri emang ngeselin!" Aku mencak-mencak sendiri di pantry sekolah sembari merapihkan peralatan masak yang baru di cuci.Bughh!!!Suara hantaman terdengar gak jauh dari pantry. Siapa lagi yang berkelahi kali ini?"Loe kenapa pukul gue, feb?" Tanyanya, itu seperti suara kak wito.Aku buru-buru berlari mendekati sumber suara, mengintip dari balik jendela pantry. Kak wito dan kak febri sedang berkelahi di depan aula sekolah."Orang bajingan kaya loe pantes dapat ini" Katanya seraya menghantamkan pukulan lagi pada wajah kak wito.Kak wito nampak terlihat bingung tanpa perlawanan. Ia menyeka darah yang mulai keluar dari bibirnya.Se
"Dinda!" Kak wito sudah berdiri di depan tendaku, begitu aku keluar tenda untuk mengikuti acara api unggun.Ini malam terakhir kegiatan ambalan. Sebenarnya sedari tadi aku ragu untuk keluar dari tendaku. Membayangkan kak wito dan kak pay bermesraan di acara api unggun saja sudah sakit rasanya, apalagi jika nanti aku harus melihatnya langsung. Namun kenapa dia tiba-tiba ada disini? Sengaja menungguku? Untuk apa?Aku gak menjawab panggilannya, hendak pergi, tetapi tangannya dengan cepat menahanku."Dengarkan saya dulu, dinda. Saya mohon!" Katanya dengan wajah yang nampak sedih.Aku tertahan, tanpa jawaban sepatah katapun. Hatiku berkeras, masih kecewa dengan sedikit kebencian yang mulai tumbuh. Meski ini bukan kesalahannya, karna mungkin aku yang terlalu berharap banyak padanya, padahal mungkin dia saja gak tau bagaimana perasaanku padanya.Tapi melihat wajah sedihnya, ia seperti sudah mengetahui sesuatu, tentang perasaanku? Apa dia menyesalinya sekarang? Di waktu yang sudah terlambat?
"Aku suka sama kamu, dinda!" Ucapannya membuatku sangat terkejut "Zen beneran sayang sama, dinda!" Katanya mantap.Kenapa dia menyatakan cinta secepat ini? Apa dia gak tahu apa yang baru saja terjadi? Tentang patah hatiku, memangnya nia gak bilang apa-apa sama dia? Atau dia gak mau peduli tentang itu?"Tapi zen...""Dinda gak harus jawab sekarang kalau belum siap. Dinda harus fikirin baik-baik gak usah buru-buru. Zen akan tunggu sampai dinda siap sama jawaban dinda!"Aku menatapnya, ia nampak tulus dengan mata coklatnya yang berkilat terkena sinar matahari. Apa aku jadikan dia pelarian saja? Tiba-tiba pikiran jahatku berkelebat.Aku bisa membalaskan sakit hatiku pada kak wito kalau aku menerima zendra untuk jadi kekasihku. Aku yakin kak wito pasti kecewa dan akan melupakan aku dengan cepat, supaya ia juga bisa mengurungkan niatnya untuk meninggalkan kak pay.Namun, aku benar-benar gak ada perasaan padanya, apa aku bisa membohongi perasaanku sendiri? Mengubur mimpiku untuk memiliki kek