"Maaf,” ucap Asma seraya menatap ibunya.“Apakah kamu masih marah dengan bapak, Nak?” tanya Ibu Suminah.Asma terdiam. Dia menatap Randi yang sedang menyusu padanya dengan tenang seolah tidak terusik dengan sekelilingnya.“Bapak tidak pernah marah padamu, Nak. Bapak hanya merasa kecewa dengan pilihanmu. Dia juga kecewa tentang sikapmu yang jarang main ke rumah semenjak menikah. Bapak selalu merasa bersalah karena pernah membentakmu hanya karena masalah laki-laki yang menjadi pilihanmu. Hal ini kan yang menyebabkan kamu takut untuk pulang ke rumah saat diusir oleh Tanto?”Asma masih belum membuka suaranya. Hanya ada helaan nafas yang terdengar dari mulutnya.“Tadi malam orang tua Tanto menemui kami. Mereka meminta maaf karena tidak bisa mencegah anaknya. Apa sejak awal mereka tidak mengetahui masalah rumah tanggamu?” lanjut ibu Suminah.Asma menatap sang ibu. Dia memang tidak pernah menceritakan kelakuan Tanto pada mertuanya. Dia menyimpan sendiri perihal perselingkuhan suaminya.“Asma
“Katakan! Apa maksudmu, Tanto?!” tanya Pak Jatmiko dengan suara agak tinggi.“Itu-.” Tanto gelagapan untuk menjawab pertanyaan papanya. Dia menengok ke arah Endang yang juga menatapnya. Dia terjebak dengan jawabannya sendiri.“Tanto, apa kamu sudah bertemu lagi dengan Asma?” tanya Bu Lastri lebih lembut pada anak satu-satunya.Tanto menengok ke arah sang mama. Dia pun menggelengkan kepalanya. Dia memang tidak pernah bertemu kembali dengan Asma sejak pertemuan terakhirnya di klinik kandungan yang ada di kota.“Bukan Tanto yang bertemu Asma, tetapi Endang,” jawab Tanto apa adanya.Endang pun menengok ke arah Tanto. Dia tidak menyangka bahwa sang suami akan mengatakan jika dirinya yang bertemu dengan Asma.Pak Jatmiko dan Bu Lastri menatap ke arah Endang. Walaupun pernah menjadi wanita yang diinginkan menjadi menantu, tetapi semenjak Endang meninggalkan Tanto, mereka sangat kecewa. Akan tetapi, mereka tidak bisa berbuat apa pun ketika ternyata anaknya berhubungan kembali dengannya hingga
“Oh, ada Mas Uki,” ucap Khansa, wanita yang berada di balik pintu rumah Asma. “Assalamualaikum, Mas.”Sapaan Khansa membuat Uki tersadar dari rasa terkejut dan kaget dengan kedatangan seseorang yang menarik hatinya.“Eh.. Iya. Silakan masuk, Mbak Khansa,” ucap Uki dan segera membuka pintu dengan lebar.Khansa pun masuk ke dalam rumah Asma. “Kemana Asma, Mas? Randi sepertinya sudah terlelap itu?” ucap Khansa yang sudah duduk di ruang tamu.Uki menengok ke arah sang keponakan yang berada di gendongan. “Loh, sudah tidur tho. Padahal, tadi masih ngoceh,” ujar Uki.“Bayi akan cepat terlelap di gendongan orang yang membuatnya nyaman. Randi berarti sudah merasa nyaman tuh sama Mas Uki,” ucap Khansa seraya tersenyum.Uki balas tersenyum. “Aku mau menidurkan Randi di kamarnya dulu ya, Mbak. Asma sedang di dapur, Mbak Khansa langsung ke dapur saja.”“Baik, Mas.” Khansa mengikuti Uki yang berdiri dari tempat duduknya.Uki menuju ke kamar Asma, sedangkan Khansa menuju ke dapur. Dia pun mengucapka
“Maaf, kalau ucapan saya terkesan lancang. Saya juga masuk ke dalam rumah orang tanpa salam dan langsung menyahut ucapan bapak dan ibu,” ujar Uki lagi saat melihat ketiga orang yang berada di ruang tamu itu terdiam dengan kedatangan dirinya yang tiba-tiba.Ummi Halwa yang tersadar terlebih dahulu dari rasa terkejutnya. Dia pun segera mempersilakan Uki untuk duduk bersama di ruang tamu.“Sekali lagi maafkan saya, Pak, Bu, kalau apa yang saya lakukan tidak sopan,” ujar Uki yang merasa malu dengan tindakan spontanitasnya saat tidak sengaja mendengar obrolan Khansa dan kedua orang tuanya.Uki memang sengaja pergi ke rumah Khansa untuk memberikan ponsel Khansa yang tertinggal di rumah Asma. Tadinya, sang adik yang akan mengembalikan, tetapi dicegah oleh Uki.“Tidak apa-apa, Mas....” Abah Muksin menggantung ucapannya karena tidak mengetahui nama Uki. Mereka memang baru saja bertemu.“Uki, Pak.”“Oh ya, Mas Uki. Kami memang terkejut dengan kedatangan Mas Uki dan juga ucapan Mas Uki yang tiba
Pagi-pagi Asma sudah berkutat di dapur. Dia menata kue-kue yang akan dibawa oleh anak-anak panti. Uki juga membantu Asma membawa kue-kue yang sudah tertata ke etalase kecil.Tidak lama kemudian, datanglah anak-anak panti untuk mengambil kue-kue yang akan dijual.“Mbak Asma, hari ini bisa ditambah nggak kuenya?” tanya Ambar ketika sudah menerima boks kue.“Kenapa minta tambah? Yang kemarin punya Ambar habis?” tanya Asma.“Kemarin 'kan habis, Mbak. Malah ada yang tidak kebagian,” jawab Ambar.Kemarin dagangan Ambar memang habis. Sehingga, dia bersemangat untuk menambah barang dagangan.Asma tersenyum pada anak panti yang duduk di bangku SMP itu. Dia memahami mengapa Ambar meminta tambahan kue.“Alhamdulillah kalau kemarin habis padahal baru awal berarti mereka suka dengan kue buatanku. Tapi, maaf ya, Ambar, mbak belum bisa menambahnya. Jangan tergesa-gesa, kita juga baru mengawali. Kita lihat dulu perkembangannya ya. Jangan terburu-buru,” ucap Asma seraya tersenyum.“Tuh benar kan, Mbak
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Kue-kue yang dijual Asma sudah habis terjual, hanya tinggal beberapa untuk konsumsi sendiri. Asma menutup rolling door tokonya sebelum mengemasi bread living case dan juga loyang-loyang kue yang berada di showcase kue miliknya.Tok! Tok! Tok!Terdengar ketukan pintu dari arah pintu ruang tamu saat Asma sedang merapikan showcase kue dan membersihkan bread living case.Dia pun segera menuju ke arah pintu rumah yang berada di sebelah tokonya.Ceklek!Pintu rumah Asma terbuka, sosok ibu paruh baya tersenyum di balik pintu.“Masya Allah, Ibu,” panggil Asma pada wanita itu. Sosok itu adalah ibu Intan, ibu kandung Arya yang sudah seperti ibu untuk Asma. Asma segera menyalami tangan Ibu Intan.“Bagaimana kabarnya, Nak Asma?” tanya Ibu Intan dengan tersenyum lembut.“Alhamdulillah baik, Bu. Silakan masuk, Bu.” Asma mempersilakan ibu Intan.Ibu Intan masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi ruang tamu yang ada di samping Asma.“Sebentar ya, Bu,” ucap Asma u
"Nak Uki, ibu memahami perasaanmu sebagai kakak. Kami ingin yang terbaik untuk adikmu. Apalagi, dia pernah gagal berumah tangga,” ucap Ibu Intan.“Berbeda dengan Arya. Dia juga sudah duda, tetapi bukan orang ketiga penyebabnya, tetapi takdir Allah yang memisahkan mereka dengan maut,” lanjutnya.Uki mendengarkan setiap kata yang keluar dari Ibu Intan.“Tapi, yakinlah Nak Uki pada Arya dan pada keluarga kami. Sebenarnya ada yang setuju atau tidak setuju dengan pernikahan Arya nantinya, itu tidak akan berlaku bagi mempelai laki-laki yang memang tidak membutuhkan persetujuan dari anggota keluarga besar. Yang penting, saya sebagai ibunya, merestui Arya untuk menikahi Asma.”“Terima kasih, Bu. Sebenarnya saya tenang jika Asma berada di tangan Arya. Saya sudah mengenal Arya sejak dulu,” ujar Uki.Ketika mereka sedang mengobrol, datanglah Arya untuk menjemput sang ibu.“Assalamualaikum,” salam Arya.“Waalaikumsalam,” jawab Ibu Intan dan Uki.Arya pun menyalami Uki dan ibunya.“Loh, Randinya t
Di meja makan milik Asma, kali ini terlihat lebih ramai dari biasanya. Karena makan siang kali ini, Asma tidak hanya berdua dengan Uki ataupun Laila. Kini, ada Arya dan ibunya yang ikut makan siang di rumahnya.“Asma, semua makanan ini kamu sendiri yang masak?” tanya Arya membuka obrolan disela-sela aktivitas mengunyah makanan yang berada di mulutnya.“Kalau bukan Asma, siapa lagi yang akan memasak ini semua. Tidak mungkin Uki ataupun ibu ‘kan. Kenapa? Pengen dimasakin tiap hari? Halalin dulu!” sahut Ibu Intan terhadap pertanyaan putranya dan juga menggodanya.Bukan saja Arya yang malu dengan ucapan ibu Intan, Asma juga merasa malu. Tetapi, senyuman tipis menghiasi wajah Arya. Dia melirik ke arah Asma yang masih terdiam dengan makanan yang belum tersentuh olehnya.“Jangan membayangkan dulu,” bisik Uki yang duduk di samping Arya.Arya menengok ke arah Uki yang sudah tersenyum memandang dirinya.“Hanya membayangkan saja kok. Semoga suatu saat menjadi kenyataan. Tetapi untuk saat ini, me
“Mas Tanto!” panggil Asma dengan lirih.Tanto, suami yang sudah mengusir dan menalaknya di saat dia sedang hamil, sudah berdiri di depannya.“Apa kabar Asma?” tanya Tanto.“Baik,” jawab Asma dengan datar.Pandangan Tanto beralih ke arah perut Asma. Tanpa memedulikan Tanto, Asma segera mengangkat barang belanjaannya. Akan tetapi, karena banyaknya barang belanjaannya itu membuat Asma kesulitan.“Perlu aku bantu?” tawar Tanto yang mendekati Asma dan tanpa sengaja tangannya menyentuh tangan Asma dan membuat Asma berjengit kaget hingga meletakkan kembali barang belanjaannya itu.“Tidak usah, Mas. Aku akan menelepon seseorang yang datang bareng aku,” tolak Asma.“Kenapa tidak mau aku bantu? Walau bagaimanapun secara hukum negara, kamu itu masih istriku,” ucap Tanto tanpa merasa malu dan bersalah.Asma menatap Tanto. Ada perasaan benci pada laki-laki di hadapannya. Apalagi jika teringat anaknya yang baru berusia satu bulan lebih.Asma tersenyum getir mendengar ucapan Tanto. “Aku tidak salah
Ciiiit!Arya mengerem mobilnya secara mendadak ketika mendengar ucapan Asma. Untung saja Arya sedang melajukan mobilnya dalam keadaan pelan.“Maaf!” ucapnya dan menengok ke arah Asma yang sedikit terdorong ke depan. “Kamu dan Randi baik-baik saja?” tanyanya dengan rasa khawatir.Kebetulan Randi sedang tiduran di atas jok mobil yang beralaskan kasur kecil dan Asma sempat menahannya agar tidak terdorong ke depan.“Alhamdulillah, kami baik-baik saja,” jawab Asma yang sudah kembali ke posisinya. Randi juga masih terlelap di atas kasurnya. “Mbak Khansa bagaimana?”“Aku tidak apa-apa kok. Untung saja Arya mengendarai mobilnya tidak kencang,” ujar Khansa.“Maaf! Aku terkejut dengan ucapan Asma. Apa maksudmu Asma? Apa yang kamu ucapkan tadi menandakan bahwa kamu bersedia menjadi istriku?”Arya bertanya secara beruntun tentang ucapan Asma dan dibalas senyuman manis yang terukir di bibir Asma. Senyuman dan anggukan Asma sudah menjawab pertanyaannya.“Baiklah, nanti aku akan bicara langsung deng
“Mengapa kamu tidak menghubungi sendiri?” tanya Khansa heran.Bukan bermaksud dia menolak permintaan tolong dari Asma, dia hanya merasa heran dengan permintaan itu. “Ehm, aku merasa tidak enak padanya, Mbak. Kemarin aku sudah menolak untuk mengantarku,” jawab Asma dengan ragu.Khansa tersenyum melihat wajah Asma yang terlihat malu.“Loh, kenapa sekarang berubah pikiran?” tanya Khansa semakin penasaran.“Tidak apa-apa, Mbak. Aku merasa tidak enak mengecewakan Arya. Padahal, dia sudah terlalu banyak membantuku,” jawab Asma.“Jadi, kamu hanya ingin membalas budi padanya?”Asma menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan, bukan seperti itu, Mbak. Maksudku, barangkali dia ingin bertemu orang tuaku dan ada yang ingin dikatakan pada mereka. Selain itu, keluarganya juga ada yang di sana.”“Apa kamu ingin Arya bertemu dengan orang tuamu untuk menunjukkan keseriusannya?” tanya Khansa dengan nada menggoda Asma.“Eh.” Asma terkejut dengan ucapan Khansa walaupun memang seperti itu adanya yang ada di b
“Hah! Bagaimana maksudnya, Mbak?” tanya Milla yang bingung dengan pertanyaan Asma.“Apa kamu menyukai Arya sehingga kamu kecewa jika dia sudah mempunyai calon istri?” tanya Asma sekali lagi.Milla terkekeh mendengar pertanyaan Asma. Walaupun Milla belum pernah merasakan jatuh cinta kepada laki-laki, tetapi dia adalah wanita yang beranjak dewasa yang tentu mengetahui bagaimana seseorang yang cemburu.“Kamu kok malah terkekeh?” tanya Asma.“Mbak Asma cemburu ya?” godanya sambil mengerlingkan mata menatap Asma.“Kenapa aku harus cemburu?” tanya Asma.“Mbak, aku memang menyukai Mas Arya. Tetapi, dia sudah kami anggap sebagai pengganti orang tua kami. Kami sudah menganggapnya sebagai kakak,” ucap Milla.Asma menghela nafas lega mendengar ucapan Milla. Dan tanpa disadari hal tersebut terdengar oleh Milla.“Merasa lega ya, Mbak? Kalau Mbak Asma dan Mas Arya sudah saling mencintai, kenapa sih Mbak Asma tidak segera menikah dengan Mas Arya saja. Setahu aku, masa iddah perempuan yang bercerai s
“Calon istri?” tanya Arya dengan mengernyitkan dahi.Sebelum berbicara dengan Asma, Arya meminta wanita yang bersamanya untuk mengambil barang yang dibutuhkannya.Milla sedang memilih barang yang sudah dicatat Asma di sebuah kertas. Sedangkan, Asma mencari pernik-pernik pelengkap hiasan kue yang juga tersedia di toko itu.Asma menjadi serba salah dengan pertanyaannya. Apalagi menanyakannya tepat di depan wanita yang dia kira calon istri Arya. Padahal, dia tidak bermaksud bertanya hal tersebut.“Tidak jadi,” sahut Asma sesegera mungkin sebelum Arya mengajukan pertanyaan lanjutan.“Maksudmu dia?” tanya Arya seraya menunjuk wanita yang bersamanya tadi. “Kenapa kamu menebaknya sebagai calon istriku? Padahal kamu tahu bahwa kamulah wanita yang aku harapkan sebagai istriku.”Tanpa disadari, pipi Asma bersemu mendengar ucapan Arya. Walaupun dia sering mendengar pernyataan Arya, tetapi selalu saja membuat jantungnya berdetak lebih cepat dan pipinya terasa memanas.“Tidak usah dipikirkan, Arya
"Perkenalkan, saya Arif, pengacara yang diminta mendampingi proses perceraian Mbak Asma,” ujar Arif mengenalkan diri dan menjabat tangan Uki.“Uki, kakak dari Asma,” balas Uki.Mereka pun duduk berhadapan di ruang tamu.“Terima kasih Pak Arif mau membantu mengurus perceraian adik saya,” ujar Uki membuka obrolan mereka.“Sama-sama. Tapi sebelumnya, panggil saja Arif, Mas. Saya masih terlalu muda untuk dipanggil pak,” ucap Arif dengan tersenyum lebar.“Mas Arif kali ya. Mungkin saya yang sudah terlihat tua ya, Mas,” seloroh Uki sambil tersenyum.“Mas Uki belum terlalu tua untuk ukuran laki-laki yang sudah mempunyai anak satu,” balas Arif.Mendengar ucapan Arif, Uki bengong sesaat.“Anak? Bagaimana saya bisa punya anak, Mas. Nikah saja belum,” ujar Uki sambil terkekeh.Kini giliran Arif yang bengong. “Loh, tadi bukan anak dan istri Mas Uki?” tanyanya memastikan.“Bukan Mas Arif. Perempuan tadi adik sepupu saya, sedangkan bayi tadi ponakan saya, anaknya Asma,” jawab Uki.“Syukurlah!” ucap
“Assalamualaikum,” salam Laila sambil membuka pintu yang sudah tidak terkunci.Laila meletakkan barang bawaannya yang berupa kardus dan juga plastik besar di meja ruang tamu.“Waalaikumsalam,” jawab Asma dan Uki yang masih berada di dapur.Uki sedang membantu menata kue-kue ke tempatnya sebelum di bawa ke toko yang berada di bagian depan rumah.Laila sudah muncul di depan Asma dan Uki sebelum mereka menghampiri Laila ke ruang tamu.“Loh, La! Kamu kok sudah balik ke sini? Katanya liburnya sampai besok pagi?” tanya Asma ketika melihat Laila yang datang.Laila menyalami kedua kakak sepupunya.“Bakda Zuhur nanti, aku harus mengisi kajian remaja putri di salah satu masjid,” jawab Laila sambil menggeser kursi yang ada di ruang makan untuk didudukinya.“Jam segini sudah sampai di kota, memangnya kamu dari desa jam berapa, La?” tanya Uki yang melihat jam dinding di dapur masih menunjukkan pukul 5.30.“Bakda Subuh langsung berangkat. Bus berangkat paling pagi kan bakda subuh,” jawab Laila samb
"Mas, apa yang harus aku lakukan?” tanya Asma pada Uki setelah mengakhiri panggilan videonya dengan ibunya.“Tenang, Asma. Apa kamu ingin memenuhi panggilan itu? Setahu aku, proses perceraian akan cepat jika yang bersangkutan tidak hadir. Apalagi Tanto belum mengetahui keberadaanmu,” ucap Uki yang melihat kesedihan di wajah Asma.Asma tidak menjawab pertanyaan Uki. Dia sendiri masih bingung dengan dirinya. Jika diantara mereka tidak ada Randi, mungkin dia akan langsung menyetujui perceraian ini.“Asma, apakah di dalam benakmu ada keinginan untuk bersatu kembali dengan Tanto?” tanya Uki dengan memperhatikan Asma yang tertunduk.Melihat gelagat Asma, Uki sudah bisa menyimpulkannya. “Astagfirullah, Asma! Kamu itu sudah diselingkuhi. Bahkan perselingkuhannya dilakukan secara terang-terangan. Jika masih ada bersitan untuk kembali dengannya, akal sehatmu mana?” tanya Uki dengan geram.“Mas, aku sudah kecewa dengannya. Hatiku mungkin sudah mati untuknya. Tetapi, nasib Randi bagaimana? Dia ju
Kabar Dari Desa“Mas, apa yang harus aku lakukan dengan harapan Ibu Intan? Dia memang tidak memaksaku untuk menerima Arya, tetapi secara tersirat dia berharap aku bisa menjadi menantunya,” ujar Asma pada Uki saat Ibu Intan dan Arya sudah pergi meninggalkan rumahnya.Setelah melaksanakan shalat Zuhur, Arya dan ibu Intan berpamitan pada Asma dan Uki. Mereka akan berkunjung ke panti asuhan terlebih dahulu.Asma dan Uki sedang duduk di atas kasur yang ada di ruang tengah sambil menjaga Randi yang sedang bermain.“Ibu Intan dan Arya adalah orang yang baik. Mereka sudah mengenalmu dengan baik juga. Kamu juga sudah dekat dengan mereka sejak dulu. Kami akan merasa tenang jika kamu bersama dengan orang yang tepat dan salah satunya Arya. Tetapi, kami tidak akan memaksamu untuk mengambil keputusan dalam waktu dekat. Kami hanya minta untukmu agar jangan sampai kegagalanmu dalam rumah tangga, membuatmu trauma untuk menikah kembali. Bagaimanapun Randi tetap butuh sosok ayah yang menemaninya sehari-