"Baru calon kan? Kamu belum jadi suaminya," kata Alfa pelan namun mengejek.
"Sialan!"
Bugh!
Eza melayangkan pukulannya dan mendarat pada rahang Alfa tepat. Seketika Eza merasa kebas karena pukulan yang luar biasa itu. Pukulan Eza yang tengah dipenuhi amarah itu seakan dirasuki setan sehingg bisa membuat Alfa terhuyung karena saking kuatnya. Dan lagi, Alfa memang tidak siap karena ia tidak menyangka Eza akan memukulnya.
"Kamu boleh bersikap arogan pada siapapun, tapi kalau sampai kamu memaksakan kehendakmu pada Naura maka aku nggak akan segan-segan menghabisimu!" ancam Eza serius.
"Kamu kenal Naura udah berapa tahun, hm? Kenapa aku merasa kamu nggak mengenal Naura sama sekali, ck," cibir Alfa sinis.
"Apa maksudmu?" tanya Eza tajam.
Alfa kembali berlajan mendekati Eza setelah tadi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Kini Alfa berdiri persis di hadapan Eza.
"Dengar, Naura adalah orang yang sangat terbuka tapi dia nggak menceritakan tentang aku padamu, itu mungkin kamu tidaklah penting bagi Naura. Karena Naura akan menceritakan segala apapun pada orang yang ia anggap penting, termasuk perihal semut mati yang sama sekali nggak penting sekalipun." Alfa kembali memancing amarah Eza. Ia tak peduli jika Eza akan memukulnya lagi.
"Bung, sebaiknya kamu kenali Naura lebih dalam lagi, dekatkan hati kalian lagi atau kamu akan kehilangan Naura," lanjut Alfa.
"Aku nggak akan kehilangan Naura, begitupun sebaliknya. Kamu dengar baik-baik, kami akan segera menikah dalam waktu dekat ini—"
"Dan dalam waktu dekat ini aku akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku," potong Alfa.
"Brengsek! Kamu nggak akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, aku nggak akan membiarkan kamu merebut Naura dariku!"
"Aku nggak berniat merebut Naura dari kamu, Eza, karena Naura bukan sesutu yang bisa diperebutkan. Naura sendiri yang akan datang padaku dan kembali padaku," ucap Alfa penuh percaya diri.
"Itu nggak akan pernah terjadi!"
Bugh!
Bugh!
Eza menghujani Alfa dengan tinjunya. Sudut bibir Alfa mengeluarkan darah segar.
Alfa menyapu darah yang ada di sudut bibirnya, sambil menatap nyalang ke arah Eza.
Alfa menatap tajam ke arah Eza dan membalas pukulan Eza.
Bugh!
Tak segan Alfa memukul Eza dengan keras pada bagian rahangnya, bahkan Eza sampai berkunang-kunang untuk beberapa saat.
"Itu untuk balasan atas pukulanmu!" seru Alfa.
Bugh!
Alfa memukul Eza lagi, kini di bagian perutnya.
"Itu sebagai peringatan bahwa aku nggak main-main. Aku dan Naura pasti akan kembali bersatu."
Alfa berbalik badan, masuk ke dalam mobilnya lalu melajukan mobilnya kencang, meninggalkan Eza yang tengah memegangi perutnya yang keram akibat pukulan yang dilancarkan oleh Alfa.
Eza memperhatikan kepergian Alfa dengan mobilnya, dendamnya semakin menjadi dan Eza bertekad untuk bisa membujuk Naura agar mau diajaknya menikah. Mungkin Eza akan menemui orang tua Naura untuk membantunya membujuk putri mereka. Eza tidak mau kalah dari Alfa. Sebelum Alfa memiliki kesempatan untuk merebut Naura, Eza akan pastikan Naura lebih dulu menjadi istrinya.
***
Naura masuk ke kamarnya setelah makan malam dengan ayah ibunya usai. Malam ini Naura jadi pendiam, tak banyak bicara. Orang tuanya mengherankan hal itu, tapi ketika ditanya kenapa Naura hanya menjawab tidak apa-apa.
Naura berjalan mendekati meja kecil yang ada di dalam kamarnya, ia memegang gagang pintu laci yang masih ragu apakah akan ia buka atau tidak. Di dalam laci itu ada tersimpan banyak kenangan yang beberapa tahun terakhir ini tidak pernah berani ia sentuh.
Naura memejamkan matanya yang memanas. Ia menghela napas dan membulatkan tekad. Dan akhirnya Naura memberanikan diri untuk membuka laci tersebut.
Hal pertama yang dapat terlihat ketika laci itu dibuka adalah foto dirinya bersama Alfa yang diambil saat mereka mendaki. Foto itu diambil oleh Vano, sahabat mereka.
Air mata langsung menetes membasahi pipi Naura. Ia tak kuasa membendungnya lagi. Kerinduan pada Alfa masih selalu ia rasakan setiap malam tanpa sepengetahuan siapapun, termasuk orang tuanya.
Hubungan orang tua Naura dengan orang tua Alfa sangat baik. Orang tua Naura tahu jika Naura pernah memiliki hubungan namun tidak tahu bagaimana hubungan mereka berakhir. Naura pun tidak menceritakan apapun pada orang tuanya karena sejak Naura memutuskan tinggal bersama orang tuanya, saat itu juga Naura memutuskan untuk memutus hubungannya dengan Alfa. Ya, setidaknya itulah anggapan Naura terhadap hubungannya dan Alfa.
Namun seiring berjalannya waktu, Naura akhirnya menceritakan kisah asmaranya kepada ibunya.
Dalam sekejap Naura seolah ditarik pada beberapa tahun silam, pada kenangan saat ia masih berbahagia menjalani hubungan asmaranya bersama Alfa. Mengingat lagu yang selalu ia nyanyikan bersama pada setiap kesempatan, lagu yang bisa dikatakan menjadi lagi favorit keduanya.
Bila di depan nanti
Banyak cobaan untuk kisah cinta kitaJangan cepat menyerahKau punya akuKu punya kamuSelamanya akan begitu...Tetaplah bersamaku
Jadi teman hidupkuBerdua kita hadapi duniaKau milikku ku milikmu
Kita satukan tujuBersama arungi derasnya waktuKau jiwa yang selalu aku puja...
Penggalan lagu itu langsung terngiang di kepala Naura ketika ia meraih sebuah syal couple yang mereka miliki.
"Apa aku menyerah? Apa aku yang tidak mempertahankan hubungan ini? Apa aku yang mengingkari janji kita, Alfa?" gumam Naura lirih.
"Tidak tidak, bukan aku yang menyerah, tapi kamu yang berkhianat, Alfa. Kamu yang lebih dulu mengundang wanita lain ke dalam hubungan kita, aku nggak bisa menjalani hubungan yang seperti itu."
Drrtt ... drrtt ....
Ponsel Naura berdering, Naura cepat-cepat menutup kembali lacinya dan ia mengusap sisa air matanya sebelum ia mengangkat telepon masuk.
"Hallo, Eza,—"
"Aku ada di teras rumahmu, bisakah kamu keluar sebentar?" kata Eza cepat.
"Tentu saja, Eza, aku keluar sekarang."
"Iya."
Tut.
Telepon langsung terputus. Naura meletakkan ponselnya ke tempat semua lalu ia keluar dari kamarnya untuk menemui Eza.
Ceklek.
Naura membuka pintu dan mendapati Eza yang berdiri membelakangi pintu.
"Eza," panggil Naura.
Eza pun berbalik badan dan Naura langsung melotot terkejut.
"Eza, ada apa denganmu? Ini-ini kenapa wajahmu terluka?" tanya Naura sangat panik.
Eza sama sekali bukan pria yang suka berkelahi, itu sama sekali bukan dirinya selama Naura kenal. Tapi sekarang ia babak belur, dengan siapa ia berkelahi? Naura pun bertanya-tanya.
Eza mendekati Naura dan meraih kedua tangan Naura untuk ia genggam.
"Naura, tolong pikirkan baik-baik. Aku ingin kita segera menikah. Aku takut kamu akan pergi ninggalin aku, Naura, aku takut. Aku nggak bisa hidup tanpamu. Aku sangat mencintai kamu. Tolong, Naura, tolong mengertilah aku." Eza meminta dan memohon pada Naura dengan sangat tulus.
Naura menelan ludahnya susah payah.
"Eza, pernikahan tidak bisa dilakukan dengan terburu-buru. Pernikahan dilakukan dengan hati yang yakin. Dan aku udah bilang aku nggak akan kemana-mana kan? Aku nggak akan ninggalin kamu, pria yang selalu ada untukku, bahkan disaat-saat aku terjatuh."
"Jadi, apa kamu nggak yakin? Naura, baru saja aku beremu dengan Alfa. Dan kamu tahu apa yang dia katakan? Dia bilang aku sama sekali nggak mengenal kamu, dialah orang yang terpenting dalam hidupmu, dan dia mengancamku akan merebutmu dariku. Bagaimana aku akan bisa tenang setelah mendengar semua itu dari mulutnya, Naura? Aku hanya nggak mau kita berpisah. Aku berpikir kalau kita menikah Alfa nggak akan mengganggumu lagi, itu saja."
"Tapi, Za—"
"Tapi apa? Apa kamu masih mencintai Alfa?"
***
"Tapi apa? Apa kamu masih mencintai Alfa?" "Eza, kamu ini bicara apa? Apa kamu menuduhku?" kata Naura tak terima, ia merasa disalahkan. "Aku nggak nuduh kamu, aku cuma memastikan hatimu. Apakah kamu benar mencintaiku, atau aku hanya bayangan bagimu?" Naura menghela napas panjang. "Aku nggak harus berulang kali mengatakanya, seharusnya kamu udah tahu. Lagipula kita udah berjalan tiga tahun, apa menurutmu aku akan terus bersamamu kalau aku nggak mencintaimu?" ujar Naura. "Kamu duduk dulu, aku ambilkan air buat bersihin luka kamu," lanjut Naura kemudian berlalu begitu saja. Masih berdiri di depan pintu, Eza terus memperhatikan punggung Naura hingga menghilang dari pandangan. "Kamu ada disisiku, kita baik-baik saja selama ini, sebelum dia datang. Tapi setelah hari ini, apa kita akan tetap baik-baik saja, Naura?" ujar Eza lirih. Eza mengusap wajahnya kasar, kemudian ia beralih duduk di bangku teras menunggu Naura datang. Tidak membu
Ceklek. Alfa membuka ruang kerjanya yang juga merupakan ruang kerja Naura. Ya, mereka memang satu ruangan kerja. "Selamat pagi," sapa Alfa terlihat tenang. "Selamat pagi," balas Naura yang juga bersikap cuek. "Naura, tolong berikan laporan yang kemarin aku minta," pinta Alfa. "Baik," Naura pun memberikan laporan itu tanpa banyak bicara. "Oh ya, Naura, nanti jam 10 kamu ikut aku meeting di luar." "Baik," balas Naura patuh saja, memang tak mau banyak bicara. Telepon di atas meja kerja Alfa berbunyi, Alfa menekan satu tombol untuk memerima panggilan. "Pak Alfa, mbak Sherly datang dan sudah langsung naik ke ruangan bapak, tidak bisa ditegur," kata seorang yang berbicara melalui saluran telepon. "Terima kasih." Klik. Alfa langsung menutup telepon itu begitu saja. "Ck, kebiasaan!" Alfa menggerutu kesal. "Naura, tolong copy kan berkas ini di lantai satu," perintah Alfa. "
Naura membasuh wajahnya sekaligus menghilangkan jejak air matanya. Setelah itu ia mengeringkannya dengan tissue. Saat ia hendak keluar dari toilet, seseorang masuk dan mencegahnya. "Jangan keluar dulu," kata orang itu yang bahkan tak Naura kenali. Naura mengerutkan kening. "Aku?" Naura menunjuk pada diri diri sendiri. "Iya, di luar masih ada Sherly," lanjut orang tadi. "Sherly, siapa?" tanya Naura bingung. Seseorang itu menghela napas melihat kepolosan Naura. "Sherly itu tamunya pak Alfa. Kamu Naura kan, sekretaris barunya pak Alfa?" tanya orag itu. Naura mengangangguk seperti orang bodoh. "Makanya, kamu disini aja dulu. Sherly lagi nyariin kamu di luar." "Terima kasih atas informasinya. Kalau boleh tahu, kamu siapa?" tanya Naura. "Namaku Safira." "Ah, ya, salam kenal, Safira," kata Naura. Safira mengangguk sembari membasuh tangannya di wastafel. Naura memperhatikan Safira
Naura membawa secangkir kopi milik Alfa di tangan kananya, sedang tangannya yang kiri mendorong pintu dan ia pun masuk. "Ini kopimu," kata Naura seraya meletakkan kopi itu di atas meja. "Terima kasih," kata Alfa tanpa menoleh. Naura mengangguk singkat lalu ia pun kembali ke mejanya. Kemudian keduanya saling diam. Suasana cenderung canggung. Tiba-tiba saja Naura mengeluarkan suara. "Alfa," panggil Naura. Alfa langsung menoleh. "Apa Eza yang membutmu terluka seperti itu?" tanya Naura. Alfa terkekeh pelan. "Bukan apa-apa. Bagi cowok ini sudah biasa," balas Alfa. Naura tak menjawab lagi, dan setelahnya terjadi keheningan. "Dia bukan siapa-siapaku, sungguh," celetuk Alfa tiba-tiba setelah terjadi keheningan. Naura berhenti menggerakkan bolpen yang sedang ia gunakan untuk menulis. Naura pun perlahan mendongak untuk menatap Alfa. "Kamu ngomong sama aku?" tanya Naura datar. "Naura, Sherly bukan siapa-sia
"Naura, bisakah kita kembali bersama lagi? Seperti lima tahun yang lalu?" tanya Alfa lirih. Naura menatap Alfa sendu. "Nggak bisa, Alfa. Sudah terlambat." "Nggak, aku merasa belum terlambat," balas Alfa menyangkal. "Lalu apa? Apa yang bisa kamu lakukan? Aku sudah punya tunangan, dan aku sudah akan menikah." "Jangan tanya apa yang bisa aku lakukan, Naura. Aku bisa melakukan apapun demi dirimu, meskipun nyawa taruhannya," kata Alfa sangat yakin. Deg! Naura langsung teringat Eza, teringat pada ucapan yang Eza tuturkan semalam. Eza juga mengatakan hal serupa seperti yang Alfa katakan. Eza akan mempertahankan Naura agar tetap disampingnya meski myawa taruhannya. Astaga ... seketika Naura merasa dirinya tengah berkhianat, sekarang. Apa ini? Berpelukan dengan laki-laki lain? Sial! Kenapa Naura bisa tidak terkendali seperti ini? "Naura,—" Ting! Pintu lift terbuka dan Naura langsung keluar dari lift, berlari meni
Naura tengah menyisir rambutnya di depan cermin ketika ponselnya berdering, ia baru saja selesai mandi. Naura meraih ponselnya lalu menjawab panggilan dari Eza. "Hallo, Za," sapa.Naura lebih dulu. "Hai, Sayang, lagi ngapain?" tanya Eza. "Aku baru selesai mandi," jawab Naura. "Kalau gitu dandan yang cantik ya," pinta Eza. "Untuk apa?" "Untukku. Nanti malam aku dan keluargaku akan datang, kamu nggak lupa kan?" tanya Eza. "Ohh, aku nggak lupa kok tapi aku nunggu kepastian dari kamu dulu. Nanti abis ini aku kasih tahu orang tuaku kalau kalian akan datang ya." "Iya," balas Eza singkat. Kemudian merrka saling diam selama beberapa saat. "Ra," panggil Eza. "Ya?" "Orang tuaku ingin kita secepatnya melangsungkan pernikahan, apa kamu nggak keberatan? Mereka ingin dalam waktu dekat ini kita sudah menikah, Ra," ujar Eza. "Aku nggak keberatan, Za. Mana mungkin aku keberatan dinikahi tunanganku sendiri?
"Kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk anak-anak kita, Bu, Pak. Dan mendukung apa yang anak-anak kita cita-citakan," ujar Dahayu kepada orang tua Eza."Benar sekali, Bu, jika ini sudah menjadi keputusan anak-anak kita maka kita hanya bisa mendukung saja," ujar Rania—ibu Eza menambahi."Jadi begini, Bu Dahayu, Pak Dharma. Anak-anak kita ini kan sudah cukup lama menjalin hubungan, kalau bahasa gaulnya itu pacaran. Nah sekarang sudah saatnya bagi mereka untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Menurut bapak dan ibu Aswangga ini, apakah tidak masalah jika kita melangsungkan pernikahan anak-anak kita dalam waktu dekat? Karena biar bagaimanapun mereka tentu sudah jauh saling mengenal, bukan?" tutur Vikram—ayah Eza."Karena anak-anak yang akan menjalaninya jadi sebaiknya kita biarkan anak-anak saja yang mengambil keputusan, Pak. Kita bantu saja mereka," ucap Dharma—ayah Naura."Sebenarnya tadi kami sudah
PRANG!Naura menjatuhkan sebuah piring yang tengah ia cuci hingga piring itu pecah."Naura!" pekik Dahayu terkejut. Dahayu langsung mematikan kompor dengan cepat dan langsung menghampiri putrinya. Begitu pula dengan Dharma dan Alfa yang juga ikut berlari menghampiri Naura."Akhh!" Naura mendesis kesakitan karena pecahan piring itu melukainya ketika ia hendak mengumpulkan serpihan itu.Alfa datang dan langsung menarik tangan Naura. "Hati-hati, Naura," kata Alfa peduli. Alfa pun tak ragu untuk memasukkan jari Naura ke dalam mulutnya untuk diisapnya.Naura tak menolak. Ia diam saja mendapatkan perlakuan dari Alfa. Justru tatapannya tak lepas memperhatikan Alfa."Masih sakit?" tanya Alfa lembut. Namun Naura tak menjawab. Ia masih melamun karena perlakuan Alfa yang sebenarnya biasa saja namun ternyata berhasil membuat Naura tidak berkutik. Debaran jantungnya terpompa begitu ken