Ceklek.
Alfa membuka ruang kerjanya yang juga merupakan ruang kerja Naura. Ya, mereka memang satu ruangan kerja.
"Selamat pagi," sapa Alfa terlihat tenang.
"Selamat pagi," balas Naura yang juga bersikap cuek.
"Naura, tolong berikan laporan yang kemarin aku minta," pinta Alfa.
"Baik," Naura pun memberikan laporan itu tanpa banyak bicara.
"Oh ya, Naura, nanti jam 10 kamu ikut aku meeting di luar."
"Baik," balas Naura patuh saja, memang tak mau banyak bicara.
Telepon di atas meja kerja Alfa berbunyi, Alfa menekan satu tombol untuk memerima panggilan.
"Pak Alfa, mbak Sherly datang dan sudah langsung naik ke ruangan bapak, tidak bisa ditegur," kata seorang yang berbicara melalui saluran telepon.
"Terima kasih."
Klik.
Alfa langsung menutup telepon itu begitu saja.
"Ck, kebiasaan!" Alfa menggerutu kesal.
"Naura, tolong copy kan berkas ini di lantai satu," perintah Alfa.
"Baik." Naura mengambil berkas yang dimaksud lalu segera melaksanakan perintah.
Naura membuka pintu dan ia berpapapasan dengan seorang wanita yang terlihat seperti wanita konglomerat. Naura sedikit terkejut karena ia tidak tahu ada orang di depan pintu, untung saja Naura tidak menabraknya.
Sedangkan wanita itu mengernyit menatap Naura. Naura bersikap biasa saja dan langsung pergi begitu saja. Wanita itu masih memperhatikan Naura sebentar sebelum ia masuk ke ruangan yang ingin dituju.
"Aku nggak pernah lihat wanita itu, dia karyawan baru?" tanya wanita itu begitu masuk ke ruangan Alfa.
"Apa menurutmu kamu kenal semua karyawanku?" balas Alfa.
"Enggak, tapi aku tahu siapa saja yang keluar masuk ruanganmu. Siapa dia?" tanya Sherly lagi.
Sherly adalah salah satu perempuan yang masih tak menyerah mengejar Alfa meski sudah ditolak berkali-kali. Ia putri dari salah satu orang ternama di kota ini. Alfa menghormati ayah Sherly namun memandang rendah Sherly yang menurutnya murahan.
"Dia karyawan baru," balas Alfa.
"Dia bukan cleaning sevice kan? Siapa dia, Alfa?" desak wanita itu yang tak lain adalah Sherly.
"Dia sekretarisku."
"What? Sekretaris? Sejak kapan? Alfa, sejak kapan kamu butuh seorang sekretaris? Kalau kamu butuh sekretaris kamu bisa kasih tahu aku, aku bisa carikan sekretaris yang cocok buat kamu." Sherly merengek.
"Tolong berhenti bicara dan berhenti ikut campur. Kamu nggak ada hubungannya sama aku ataupun perusahaanku!" tukas Alfa jatam.
"Ada! Aku ada hubungannya sama kamu, Alfa!" pekik Sherly.
"Cukup! Untuk apa kamu datang kemari?"
Sherly langsung bertingkah manja, ia duduk pada tepi kursi kerja Alfa dan metangkul pundak Alfa.
"Aku merindukanmu, Alfa." Sherly bergelayut manja.
"Lepaskan! Jangan bertingkah menjijikan."
"Alfa, aku ini kangen kamu. Apa kamu nggak bisa menyambutku. Bersikap manislah sedikit saja," rengek Sherly tak mau melepaskan rangkulannya.
Alfa terpaksa harus berdiri dan menyingkirkan tangan Sherly dengan paksa.
"Aku bilang lepaskan! Kalau tidak ada kepentingan lebih baik kamu segera pergi dari sini."
Alfa mengibaskan tangan Sherly lalu hendak pergi meninggalkan ruangan. Sherly mengejarnya dan menarik jas yang Alfa kenakan. Sherly bahkah sampai kehilangan keseimbangan karena ia terlalu kuat menarik Alfa, dan akhirnya mereka jatuh ke lantai, posisi Alfa di atas Sherly.
Sherly tersenyum nakal, ia memanfaatkan kesempatan ini untuk menarik kerah baju Alfa, Sherly mengincar bibir Alfa yang sudah sangat lama ingin ia sentuh dengan bibirnya. Namun tiba-tiba pintu ruangan terbuka.
Ceklek.
Alfa spontan langsung bangkit dan berdiri tegap. Entah siapa yang datang Alfa masih belum mengetahui namun dalam hati Alfa mengutuk Sherly yang menurutnya telah berbuat lancang.
Alfa menoleh dan ternyata seorang yang datang adalah Naura.
"Maaf mengganggu kalian, kalau begitu saya akan kembali lagi nanti," ujar Naura santai.
"Iya, kamu memang mengganggu, pergilah!" sinis Sherly.
"Ck, nggak nyangka ternyata ada orang yang begitu nggak tahu malu melakukan itu di kantor," cibir Naura berbisik namun masih bisa ditangkap oleh indera pendengaran Alfa.
Alfa mengepalkan tangan kuat, lalu ia menarik tangan Naura membuat lembaran kertas di tangan Naura jatuh berserakan di lantai.
Alfa menatap tajam tepat pada manik mata Naura. "Akan aku tunjukkan gimana nggak tahu malunya aku," ujar Alfa tajam.
Nyali Naura langsung menciut. "Apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Naura sedikit ketakutan.
Alfa tak menjawab pertanyaan Naura. Ia langsung mencium bibir Naura tanpa izin, lalu menekan tengkuk Naura agar tidak melepaskan ciumannya.
Naura memukul-mukul dada Alfa memberontak namun Alfa tak peduli, Alfa tetap meneruskan aksinya, Naura kalah kuat.
Tanpa sengaja Naura menatap mata Alfa yang juga tengah menatapnya dalam, dan entah mengapa tatapannya seakan terkunci, ia terlena dalam tatapan itu.
Deg deg deg deg!
Naura merasakan jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang. Naura mendorong paksa dada Alfa hingga pugatan mereka terlepas, namun tidak dengan tatapan mata mereka. Keduanya sama-sama tak ingin memalingkan pandangan.
Tatapan Alfa semakin teduh, sedangkan Naura semakin merasakam cintanya, cinta Alfa, cinta mereka yang sempat ia kubur dalam-dalam.
Dengan naluri yang sama, mereka sama-sama mendekatkan diri dan memulai lagi ciuman mereka. Bahkan kali ini Naura memejamkan mata, merasakan cinta yang menjalar. Entahlah, Naura menikmati ciuman itu, ia juga membandingkan ciuman kali ini dengan ciumannya semalam dengan Eza.
Saat ia melakukannya dengan Eza, Naura tidak mendapatkan perasaan seperti ini. Rasanya hambar.
'Oh tidak, ini salah!' batin Naura berteriak.
Naura mendorong kuat dada Alfa hingga ia benar-benar terlepas dari kurungan laki-laki itu. Kemudian Naura lari dari sana, ia berlari kencang seakan ingin pergi tanpa kembali. Dengan menutup mulutnya rapat-rapat Naura pergi ke tempat yang bisa ia gunakan untuk menenangkan diri.
Sedangkan Alfa hanya diam di tempat, tidak berniat mengejar Naura. Ia masih cukup waras untuk melakukan hal-hal gila, ini masih di lingkungan perusahaan. Cukup Sherly saja yang menjadi saksi, jangan ada yang lain yang bisa saja membuat gosip yang tidak-tidak.
Alfa mengusap wajahnya kasar. Ia merasa ia telah melakukan kesalahan namun ia tidak merasa bersalah. Ia justru merasa ia telah memiliki kesempatan.
"Apa-apaan ini, Alfa? Siapa perempuan itu?" pekik Sherly yang sudah cukup terbakar melihat orang yang dicintainya berciuman dengan wanita lain dihadapannya, di depan matanya.
"Aku nggak harus kasih tahu kamu siapa dia."
"Oh gitu? Oke. Kalau gitu aku akan kasih dia pelajaran," kata Sherly penuh dendam.
Set!
Alfa menarik dan mencengkeram lengan Sherly. Tatapannya nyalang memancarkan ancaman.
"Jangan pernah sentuh dia!"
***
Naura menyalakan kran wastafel lalu ia membasuh wajahnya. Ia berdiri di depan cermin dan menangis.
"Bodoh bodoh bodoh! Apa yang sudah kamu lakukan, Naura? Kamu telah mengingkari janjimu. Kamu telah mengkhianati Eza. Kamu bodoh, Naura, kamu bodoh!" Naura memaki diri sendiri tanpa ampun.
Naura memukul-mukul dadanya yang sesak.
"Jangan, kumohon jangan muncul lagi. Tetaplah terkubur disana. Perasaan untuknya telah mati. Jangan lemah, Naura, kamu nggak boleh lemah!"
***
Naura membasuh wajahnya sekaligus menghilangkan jejak air matanya. Setelah itu ia mengeringkannya dengan tissue. Saat ia hendak keluar dari toilet, seseorang masuk dan mencegahnya. "Jangan keluar dulu," kata orang itu yang bahkan tak Naura kenali. Naura mengerutkan kening. "Aku?" Naura menunjuk pada diri diri sendiri. "Iya, di luar masih ada Sherly," lanjut orang tadi. "Sherly, siapa?" tanya Naura bingung. Seseorang itu menghela napas melihat kepolosan Naura. "Sherly itu tamunya pak Alfa. Kamu Naura kan, sekretaris barunya pak Alfa?" tanya orag itu. Naura mengangangguk seperti orang bodoh. "Makanya, kamu disini aja dulu. Sherly lagi nyariin kamu di luar." "Terima kasih atas informasinya. Kalau boleh tahu, kamu siapa?" tanya Naura. "Namaku Safira." "Ah, ya, salam kenal, Safira," kata Naura. Safira mengangguk sembari membasuh tangannya di wastafel. Naura memperhatikan Safira
Naura membawa secangkir kopi milik Alfa di tangan kananya, sedang tangannya yang kiri mendorong pintu dan ia pun masuk. "Ini kopimu," kata Naura seraya meletakkan kopi itu di atas meja. "Terima kasih," kata Alfa tanpa menoleh. Naura mengangguk singkat lalu ia pun kembali ke mejanya. Kemudian keduanya saling diam. Suasana cenderung canggung. Tiba-tiba saja Naura mengeluarkan suara. "Alfa," panggil Naura. Alfa langsung menoleh. "Apa Eza yang membutmu terluka seperti itu?" tanya Naura. Alfa terkekeh pelan. "Bukan apa-apa. Bagi cowok ini sudah biasa," balas Alfa. Naura tak menjawab lagi, dan setelahnya terjadi keheningan. "Dia bukan siapa-siapaku, sungguh," celetuk Alfa tiba-tiba setelah terjadi keheningan. Naura berhenti menggerakkan bolpen yang sedang ia gunakan untuk menulis. Naura pun perlahan mendongak untuk menatap Alfa. "Kamu ngomong sama aku?" tanya Naura datar. "Naura, Sherly bukan siapa-sia
"Naura, bisakah kita kembali bersama lagi? Seperti lima tahun yang lalu?" tanya Alfa lirih. Naura menatap Alfa sendu. "Nggak bisa, Alfa. Sudah terlambat." "Nggak, aku merasa belum terlambat," balas Alfa menyangkal. "Lalu apa? Apa yang bisa kamu lakukan? Aku sudah punya tunangan, dan aku sudah akan menikah." "Jangan tanya apa yang bisa aku lakukan, Naura. Aku bisa melakukan apapun demi dirimu, meskipun nyawa taruhannya," kata Alfa sangat yakin. Deg! Naura langsung teringat Eza, teringat pada ucapan yang Eza tuturkan semalam. Eza juga mengatakan hal serupa seperti yang Alfa katakan. Eza akan mempertahankan Naura agar tetap disampingnya meski myawa taruhannya. Astaga ... seketika Naura merasa dirinya tengah berkhianat, sekarang. Apa ini? Berpelukan dengan laki-laki lain? Sial! Kenapa Naura bisa tidak terkendali seperti ini? "Naura,—" Ting! Pintu lift terbuka dan Naura langsung keluar dari lift, berlari meni
Naura tengah menyisir rambutnya di depan cermin ketika ponselnya berdering, ia baru saja selesai mandi. Naura meraih ponselnya lalu menjawab panggilan dari Eza. "Hallo, Za," sapa.Naura lebih dulu. "Hai, Sayang, lagi ngapain?" tanya Eza. "Aku baru selesai mandi," jawab Naura. "Kalau gitu dandan yang cantik ya," pinta Eza. "Untuk apa?" "Untukku. Nanti malam aku dan keluargaku akan datang, kamu nggak lupa kan?" tanya Eza. "Ohh, aku nggak lupa kok tapi aku nunggu kepastian dari kamu dulu. Nanti abis ini aku kasih tahu orang tuaku kalau kalian akan datang ya." "Iya," balas Eza singkat. Kemudian merrka saling diam selama beberapa saat. "Ra," panggil Eza. "Ya?" "Orang tuaku ingin kita secepatnya melangsungkan pernikahan, apa kamu nggak keberatan? Mereka ingin dalam waktu dekat ini kita sudah menikah, Ra," ujar Eza. "Aku nggak keberatan, Za. Mana mungkin aku keberatan dinikahi tunanganku sendiri?
"Kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk anak-anak kita, Bu, Pak. Dan mendukung apa yang anak-anak kita cita-citakan," ujar Dahayu kepada orang tua Eza."Benar sekali, Bu, jika ini sudah menjadi keputusan anak-anak kita maka kita hanya bisa mendukung saja," ujar Rania—ibu Eza menambahi."Jadi begini, Bu Dahayu, Pak Dharma. Anak-anak kita ini kan sudah cukup lama menjalin hubungan, kalau bahasa gaulnya itu pacaran. Nah sekarang sudah saatnya bagi mereka untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Menurut bapak dan ibu Aswangga ini, apakah tidak masalah jika kita melangsungkan pernikahan anak-anak kita dalam waktu dekat? Karena biar bagaimanapun mereka tentu sudah jauh saling mengenal, bukan?" tutur Vikram—ayah Eza."Karena anak-anak yang akan menjalaninya jadi sebaiknya kita biarkan anak-anak saja yang mengambil keputusan, Pak. Kita bantu saja mereka," ucap Dharma—ayah Naura."Sebenarnya tadi kami sudah
PRANG!Naura menjatuhkan sebuah piring yang tengah ia cuci hingga piring itu pecah."Naura!" pekik Dahayu terkejut. Dahayu langsung mematikan kompor dengan cepat dan langsung menghampiri putrinya. Begitu pula dengan Dharma dan Alfa yang juga ikut berlari menghampiri Naura."Akhh!" Naura mendesis kesakitan karena pecahan piring itu melukainya ketika ia hendak mengumpulkan serpihan itu.Alfa datang dan langsung menarik tangan Naura. "Hati-hati, Naura," kata Alfa peduli. Alfa pun tak ragu untuk memasukkan jari Naura ke dalam mulutnya untuk diisapnya.Naura tak menolak. Ia diam saja mendapatkan perlakuan dari Alfa. Justru tatapannya tak lepas memperhatikan Alfa."Masih sakit?" tanya Alfa lembut. Namun Naura tak menjawab. Ia masih melamun karena perlakuan Alfa yang sebenarnya biasa saja namun ternyata berhasil membuat Naura tidak berkutik. Debaran jantungnya terpompa begitu ken
*FLASHBACK DARI SISI ALFA*15 September 2016Pagi ini Alfa sangat bersemangat. Bangun sangat awal, mempersiapkan segala hal untuk kejutan yang akan diberikannya pada Naura.Anniversary. Satu kata itu berhasil membuat Alfa terus mengembangkan senyum pagi ini. Sampai membuat ibunya geleng-gelang."Kamu pasti mau pergi kencan sama Naura?" tanya Nalin—ibu Alfa sambil mengelap piring."Kok tahu?" balas Alfa."Ibu sudah sangat hafal. Setiap kali mau pergi sama Naura kamu pasti sangat sibuk di pagi hari, tampil sangat rapi, dan ya ... seperti ini lah contohnya."Alfa terkekeh. "Iya, Bu, kami berniat merayakan anniversary kami, kecil-kecilan aja, yang penting ada kenangannya," jelas Alfa."Iya, ibu doakan kalian langgeng ya. Ibu sangat suka pada Naura. Dia gadis yang sangat mandiri dan kepribadiannya sangat baik. Ka
"Demi Allah, Ra, dia itu adik sepupu aku. Mana mungkin aku mencari perempuan lain sedangkan perempuan yang begitu sempurna udah aku miliki. Apalagi yang aku cari?" kata Alfa setelah ia menceritakan kejadian masa lalu yang ia alami hingga membuatnya terputuk selama beberapa waktu.'Apa? Jadi itu adalah adik sepupunya? Benarkah apa yang Alfa katakan?' batin Naura."Benarkah? Aku nggak pernah tahu kamu punya sepupu dia. Dia cantik dan molek, aku pikir petempuan seperti itu lah yang kamu inginkan.""Dia tinggal di luar kota, Ra, kami jarang ketemu. Wajar kalau kamu nggak tahu," jelas Alfa."Kamu seharusnya percaya diri saat kamu memiliki kesempurnaan. Kecantkan paras bukanlah menjadi tolak ukur untuk perempuan yang akan mendapatkan cintaku, kenapa kamu bisa mengira aku memiliki wanita lain saat kamu tahu hatiku hanya milikmu, Ra?" lanjut Alfa."Aku nggak sempurna, kesempurnaan hanya milik Tuhan."Alfa terkekeh."Lagipula aku nggak merasa
"Pak Alfa, ini keputusan yang sangat sulit yang harus kalian putuskan. Karena kalian harus memilih salah satu di antara mereka. Kalian memilih menyelamatkan ibunya atau anak yang dikandungnya?"Alfa langsung merasa kebas. Ia hampir ambruk karena seluruh tulangnya serasa diloloskan dari tubuhnya."Nggak mungkin! Nggak mungkin saya pilih salah satu diantara mereka. Selamatkan istri dan anak saya, Dokter. Dokter harus menyelamatkan mereka!" Alfa berteriak kapal. Nalin memegangi Alfa sambil meneteskan air mata. Pada akhirnya keputusan sulit ini harus diambil."Alfa, tenanglah, Nak," lirih Nalin."Bagaimana aku bisa tenang, Bu, anak dan istriku sedang berjuang tapi aku harus memilih salah satu dari mereka. Aku nggak mungkin bisa memilih, Bu," balas Alfa masih juga berteriak.Tak hanya Alfa yang terkejut dan kesulitan mengambil keputusan. Semua orang disana merasakan hal yang sama.Dahayu sudah menangis, Dharma memeluk istrinya. Begitu pula dengan
"Dokter, bagaimana keadaan istri saya?""Pasien sangat lemah. Pendarahan yang terjadi cukup menguras banyak darah. Saat ini pasien masih harus istirahat," jelas dokter."Tapi dia baik-baik aja kan, Dok? Dia pasti sembuh kan, Dok?" tanya Alfa lagi.Dokter itu menghela napas berat, seberat ia menjelaskan keadaan pasiennya yang sebenarnya.Sebagai seorang dokter Lily bertekad untuk selalu mengatakan hal-hal baik karena ucapan adalah doa. Dan juga dokter Lily selalu berusaha menjaga perasaan keluarga pasien agar tidak down."Berdoalah yang terbaik untuk pasien. Hanya Allah yang bisa menolongnya," ujar dokter Lily dengan senyum optimis, mencoba memancarkan sinyal positif meskipun sebenarnya ia sendiri merasa tidak seoptimis itu."Bolehkah saya menemui istri saya, Dok?"Dokter Lily mengangguk. "Silakan berikan kekuatan pada istri anda. Tapi tolong jangan mengganggu istirahatnya. Dia sangat lemah, sebaiknya jangan membangunkannya selama pasi
Vano uring-uringan sendiri di depan ruang IGD. Alfa benar-benar membuatnya tak habis pikir. Disaat istrinya berjuang untuk bertahan hidup dia malah melakukan hal yang tidak bisa dibenarkan. Ya Tuhan ....Vano sangat ingin menyusul Alfa tapi dia juga tidak bisa meninggalkan Safira sendiri apalagi di rumah sakit. Vano merasa serba tak mampu sekarang."Sayang, tenanglah ... kita beritahu pada tante Nalin saja nanti kalau dia sudah datang. Tante Nalin pasti bisa mengurus Alfa. Tenang yaa ... aku udah menelpon mereka, sebentar lagi pasti mereka datang," kata Safira membujuk suaminya.Untuk menghargai usaha istrinya, Vano melempar senyum sambil mengangguk meski sebenarnya ia tetap tidak tenamg. "Iya, kita tunggu mereka saja."Dan ya, orang tua Naura dan orang tua Alfa akhirnya datang tak lama kemudian."Vano, Safira, apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Naura?" tanya Dahayu sangatlah panik. Keringat dingi bercucuran dimana-mana."Tante, kami nggak
Semakin hari usia kandungan Naura semakin bertambah. Perutnya pun semakin membesar. Saat ini kandungannya sudah berumur tujuh bulan.Karena perutnya semakin membesar Naura berpikir untuk mulai mempersiapkan kebutuhan bayi mereka. Mulai dari kamar bayi dan segala perlengkapannya, dan juga lain-lain lagi.Hari ini Naura mengajak Alfa pergi berbelanja baju bayi. Mereka mengunjungi baby shop terbesar agar mereka leluasa untuk memilih segala kebutuhan bayi mereka.Oh ya, Alfa dan Naura sengaja tidak ingin mengetahui terlebih dahulu apakah bayinya perempuan atau laki-laki meski dokter bisa saja memberitahu mereka. Mereka sengaja ingin menjadikan itu sebagai sebuah kejutan bagi mereka.Karena mereka belum tahu apakah anak mereka perempuan atau laki-laki, maka mereka berbelanja barang-barang yang netral saja, yang sekiranya cocok dipakai bayi perempuan maupun laki-laki, seperti warnanya yang netral untuk perempuan atau laki-laki, seperti warna biru, putih, atau k
Hari ini Naura pergi ke kantor suaminya. Ia merasa bosan harus berada di rumah sebesar itu sendirian.Para karyawan mengangguk sopan menyapa Naura—Bu boss.Naura membuka pintu ruangan Alfa dan ia melihat Alfa dan Vano terngah saling berdekatan, sangat dekat. Bahkan wajah mereka hampir saling menempel."Kalian lagi ngapain?" tanya Naura memasuki ruangan. Alfa dan Vano langsung menoleh bersamaan dan Vano pun bergerak menjauh."Kok kalian deket-deketan gitu? Kalian nggak belok kan?" tanya Naura lagi."Sialan! Aku masih sangat normal, tahu!" semprot Vano kesal karena dituduh hal yang tidak masuk akal."Ssttt ... nggak boleh ngomong kasar sama ibu hamil," kata Naura berlagak jadi wanita lembut.Vano mendengus kesal lalu duduk di kursinya. "Nggak lagi hamil, lagi hamil, tetep aja nyebelinnya nggak hilang-hilang," cibir Vano."Semoga aja nanti abis lahiran nyebelinnya tambah ya, Van," ucap Naura asal."Bodo amat dah, suka
"Ambil nasi goreng itu dan kasih gue uang satu juta," kata gadis itu dengan tersenyum miring.Alfa mendelik tajam. "Kamu memeras saya?""Nggak. Itu sih terserah lo aja. Kalau nggak mau ya udah sini balikin masi goreng gue. Lo lebih sayang uang satu juta lo atau istri lo?" kata gadis itu enteng dan terdengar meremehkan.Alfa ingin sekali meneriaki gadis itu, tapi dia teringat nasehat ibunya. 'Jaga sikapmu di luar sana. Ingatlah istrimu tengah mengandung.' Mengingat itu Alfa langsung mengurungkan niatnya.Alfa berpikir, apa sebaiknya dia membayar uang satu juta untuk nasi goreng itu?"Cepat putuskan. Gue nggak suka makan masi goreng yang udah dingin!" seru gadis itu mengagetkan Alfa dan membuyarkan lamunannya."Baiklah, saya beli nasi gorengmu seharga satu juta. Ini," kata Alfa pada akhirnya.Sambil terkekeh penuh kemenangan gadis itu menerima uang satu juta dari tangan Alfa."Senang bertransaksi sama lo," ucap gadis itu dan kemu
Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Usia kehamilan Naura sudah empat bulan. Keluarganya baru saja mengadakan upacara empat bulanan kehamilan Naura.Oh ya, Vano dan Safira juga sudah menikah. Mereka tinggal di rumah Vano bersama orang tua Vano—Danti dan Yoga.Perut Naura sudah mulai nampak menonjol. Karena usia kandungannya yang sudah ssmakin bertambah, kekonyolan Naura juga semakin berkurang. Maksudnya, kini Naura sudah jarang meminta hal-hal yang aneh-aneh. Yaaa ... tidak bisa hilang sepenuhnya, hanya kadang-kadang saja tapi Alfa sudah cukup bernapas lega karena dia bisa lebih fokus mengurus pekerjaannya sekarang."Sayang, pada usia empat bulan kandungan, Allah menurunkan nyawa pada janin di dalam perut. Sekarang anak ini telah bernyawa," ujar Nalin sambil mengusap lembut perut Naura."Kalian ajaklah dia berkomunikasi. Dia ada di dalam perut tapi dia bisa mendengar apa yang orang tuanya bicarakan. Lakukan hal-hal baik dan ajaklah dia mendenga
Meskipun merasa lega karena bapak botak itu nerbaik hati mengizinkan Alfa menyentuh kepalanya dan juga tidak mengecewakan Naura, tetapi tetap saja Alfa menanggung malu.Bahkan Alfa cepat-cepat pergi ke kasir sebelum menyelesaikan belanjanya.Bayangkan, seorang CEO Dynamite yang terkenal arogan kini melakukan hal memalukan seperti itu. Alfa beberapa kali menghela napas kasar dan juga merapalkan mantra semoga Naura tidak akan lagi memintanya melakukan hal aneh-aneh lagi.Alfa mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia ingin segera sampai di rumah dan dia ingin menghukum istrinya.Sampai di rumah Alfa menggendong Naura masuk ke dalam rumahnya tanpa mempedulikan belanjaan yang baru saja mereka beli."Alfa, apa yang kamu lakukan? Turunkan aku dan ambil belanjaannya. Aku mau masak, Alfa," kata Naura merajuk."Diamlah. Aku sedang marah sekarang," kata Alfa dengan ekspresi datar."Ma-marah?" lirih Naura terbata."Ya, aku marah. K
Hari ini adalah peata pernikahan Eza dan Sherly. Alfa, Naura, Safira dan Vano datang.Disana Naura banyak bertemu teman lama karena teman-teman Eza adalah teman-teman Naura juga di tempat kerjanya yang lama.Termasuk Adam yant waktu itu pernah dibahas oleh Eza dan Naura saat mereka masih bersama."Heyyooo ... sombing sekali sekarang kamu, Ra, nggak pernah mau main-main ke kantor," celetuk Adam."Adam, mana mungkin aku main-main ke kantor. Aku udah bukan apa-apa lagi disana. Kecuali kalau itu perusahaan nenek moyangku," balas Naura."Nenek moyang kita kan sama, Ra. Sama juga sama nenek moyangnya pak boss. Sama-sama seorang pelaut. Kan ada tuh lagunya, nenek moyangku seorang pelaut ...." ujar Adam diakhiri dengan nyanyian pendek.Alfa terkekeh pelan. Adam pun menoleh."Hei, Naura, suamimu tertawa," celetuk Adam. Naura jadi ikut tertawa."Hei, Bro, salam kenal, aku temannya Naura," sapa Adam menyapa Alfa."Ya, salam kenal.