PRANG!
Naura menjatuhkan sebuah piring yang tengah ia cuci hingga piring itu pecah.
"Naura!" pekik Dahayu terkejut. Dahayu langsung mematikan kompor dengan cepat dan langsung menghampiri putrinya. Begitu pula dengan Dharma dan Alfa yang juga ikut berlari menghampiri Naura.
"Akhh!" Naura mendesis kesakitan karena pecahan piring itu melukainya ketika ia hendak mengumpulkan serpihan itu.
Alfa datang dan langsung menarik tangan Naura. "Hati-hati, Naura," kata Alfa peduli. Alfa pun tak ragu untuk memasukkan jari Naura ke dalam mulutnya untuk diisapnya.
Naura tak menolak. Ia diam saja mendapatkan perlakuan dari Alfa. Justru tatapannya tak lepas memperhatikan Alfa.
"Masih sakit?" tanya Alfa lembut. Namun Naura tak menjawab. Ia masih melamun karena perlakuan Alfa yang sebenarnya biasa saja namun ternyata berhasil membuat Naura tidak berkutik. Debaran jantungnya terpompa begitu ken
*FLASHBACK DARI SISI ALFA*15 September 2016Pagi ini Alfa sangat bersemangat. Bangun sangat awal, mempersiapkan segala hal untuk kejutan yang akan diberikannya pada Naura.Anniversary. Satu kata itu berhasil membuat Alfa terus mengembangkan senyum pagi ini. Sampai membuat ibunya geleng-gelang."Kamu pasti mau pergi kencan sama Naura?" tanya Nalin—ibu Alfa sambil mengelap piring."Kok tahu?" balas Alfa."Ibu sudah sangat hafal. Setiap kali mau pergi sama Naura kamu pasti sangat sibuk di pagi hari, tampil sangat rapi, dan ya ... seperti ini lah contohnya."Alfa terkekeh. "Iya, Bu, kami berniat merayakan anniversary kami, kecil-kecilan aja, yang penting ada kenangannya," jelas Alfa."Iya, ibu doakan kalian langgeng ya. Ibu sangat suka pada Naura. Dia gadis yang sangat mandiri dan kepribadiannya sangat baik. Ka
"Demi Allah, Ra, dia itu adik sepupu aku. Mana mungkin aku mencari perempuan lain sedangkan perempuan yang begitu sempurna udah aku miliki. Apalagi yang aku cari?" kata Alfa setelah ia menceritakan kejadian masa lalu yang ia alami hingga membuatnya terputuk selama beberapa waktu.'Apa? Jadi itu adalah adik sepupunya? Benarkah apa yang Alfa katakan?' batin Naura."Benarkah? Aku nggak pernah tahu kamu punya sepupu dia. Dia cantik dan molek, aku pikir petempuan seperti itu lah yang kamu inginkan.""Dia tinggal di luar kota, Ra, kami jarang ketemu. Wajar kalau kamu nggak tahu," jelas Alfa."Kamu seharusnya percaya diri saat kamu memiliki kesempurnaan. Kecantkan paras bukanlah menjadi tolak ukur untuk perempuan yang akan mendapatkan cintaku, kenapa kamu bisa mengira aku memiliki wanita lain saat kamu tahu hatiku hanya milikmu, Ra?" lanjut Alfa."Aku nggak sempurna, kesempurnaan hanya milik Tuhan."Alfa terkekeh."Lagipula aku nggak merasa
"Naura, katakan yang sejujurnya. Katakan apa kamu masih mencintaiku atau enggak?" Alfa kembali mendesak Naura dengan pertanyaannya."Apa aku masih harus menjelaskannya, Alfa? Aku akan menikah dengan Eza, aku pikir sudah cukup menjelaskan, bukan?" ujar Naura."Kamu hanya bagian dari masa lalu, yang tertinggal di belakang," lanjut Naura dengan suara lebih lirih.Alfa tercengang. Sungguh, apakah yang dikatakan Naura itu benar? Lalu kenapa ciuman itu masih terasa penuh cinta? Kenapa Naura tidak menolak ciuman itu? Alfa meragukan pernyataan Naura."Tolong katakan yang sejujurnya. Kalaupun aku harus pergi, biarkan aku pergi setelah mendengar kejujuranmu, Naura," pinta Alfa lirih."Alfa, aku mencintaimu ... tapi itu dulu. Sekarang aku sudah bahagia dengan kehidupanku dan kamu pergilah dan carilah kebahagiaanmu sendiri," pungkas Naura.Naura sudah tidak bisa lagi bertahan lebih lama bersama Alfa. Naura beranjak dan iapun berlari masuk ke dalam kamar
Drtt ... drrrttt ....Ponsel Naura berdering tepat saat Naura keluar dari kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang sudah membengkak akibat menangis.Naura meraih ponselnya lalu mengangkat telepon dari Eza. Ya, tadi Eza mengatakan akan menelpon Naura setelah sampai di rumah."Hallo," sapa Naura yang kentara sekali suaranya parau."Naura, kamu kenapa? Kamu flu? Tapi bukannya tadi kamu baik-baik aja?" tanya Eza berbondong, khawatir pada kekasihnya itu."Ah, iya, nggak tahu nih, tapi nggak papa kok. Ini paling cuma kedinginan aja, besok juga pasti sembuh," kata Naura."Ohh syukurlah kalau nggak papa. Kalau kedinginan matikan aja ac-nya, Ra," ujar Eza."Iya, Za, nanti aku matiin.""Oh ya, besok mumpung hari Minggu, ayo kita pergi cari wedding organizer. Waktu kita nggak banyak kan, Ra? Sebaiknya kita menyiapkan segala sesuatunya segera," ujar Eza.Naura terdiam cukup lama. Dadanya kembali sesak.'Astaga ... apa yang ka
Naura dan Eza telah sampai di tempat yang disetujui dengan seorang WO yang sebelumnya telah dihubungi oleh Eza."Selamat pagi, benar dengan mas Eza dan mbak Naura?" sapa seorang wanita yang terlihat cerdas dengan penampilan rapi dan luwes serta tutur kata yang tegas."Selamat pagi, ya saya Eza dan ini Naura, calon istri saya," balas Eza."Perkenalkan, saya Riska, wedding organizer yang tadi sudah mas Alfa hubungi," ucap perempuan bernama Riska itu sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman dengan Alfa dan Naura."Boleh saya duduk dan bergabung dengan kalian?" tanya Riska."Oh, ya, silakan, Mbak Riska," ujar Naura. Riska pun menarik satu kursi untuk ia duduki."Baiklah, disini saya akan menjelaskan beberapa tema wedding yang banyak dipilih beberapa pasang calon pengantin. Atau kalian ada ide silakan beritahu saya dan saya akan coba bantu dengan maksimal," ujar Riska."Ya, sebenarnya calon istri saya ingin pernikahan kami bersuansa puti
Sampai di rumah, Naura langsung masuk ke dalam kamarnya dan cepat-cepat mencari carger untuk mengisi daya ponsel lamanya.Membutuhkan waktu lama untuk menunggu ponsel itu menyala karena sudah selama lima tahun terbengkelai. Entah, apakah masih bisa menyala atau tidak.Naura menanti ponsel itu menyala dengan perasaan was-was, ia gelisah tak menentu. Jantungnya terpompa cepat seperti baru saja lari marathon berpuluh-puluh kilometer.Ting!Ponsel Naura berdenting menandakan ada sebuah pesan masuk—ponsel barunya.From : Eza[Cepat istirahat. Jangan sampai kamu sakit karena terlalu sedih memikirkan nenek. Nenek pasti bangga sama kamu, Naura.]Yaa, saat perjalanan pulang tadi Naura lebih banyak diam sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Eza pikir Naura bersedih karena neneknya, namun sebenarnya tanpa Eza ketahui, Naura tengah memikirkan Alfa. Tepatnya, memikirkan apa saja yang ada di dalam ponsel lamanya.Perasaan be
"Naura ...." panggil Alfa dengan suara tertahan.Diam. Naura hanya diam, ia tidak tahu harus berkata apa karena sejujurnya tadi Naura tidak sengaja menjawab panggilan itu, karena Naura sedang sibuk membuka pesan demi pesan yang dikirimkan oleh Alfa.Keduanya sama-sama bertahan dalam keterdiaman dan canggung. Tak ada yang mengelurkan suara sedikitpun, membiarkan saja deru napas yang membuat obrolan mereka berlangsung.Hingga pada akhirnya suara isakan tangis lolos dari bibir Naura, dan terdengar oleh Alfa yang langsung mengkhawatirkan Naura."Naura, kamu baik-baik aja?" tanya Alfa masih dengan suara pelan."Enggak, Alfa, enggak, aku nggak baik-baik saja ...." Bukan hanya terisak, kini tangis Naura telah pecah."Aku minta maaf, Alfa, aku minta maaf, aku mohon maafkan kebodohanku ...." racau Naura dengan terus meminta maaf menyadari kebodohannya."Please ... bicara sesuatu, Alfa, apa kamu nggak bisa memaafkan aku?" lanjut Naira lagi masi
Seorang laki-laki dengan potongan rambut cepak, berkulit sawo matang khas penduduk Indonesia dan tubuh sedikit gemuk namun tinggi, memarkirkan mobilnya di depan sebuah bar.Turun dari mobil ia melihat mobil sahabatnya telah terparkir manis disana. Cepat-cepat-cepat pria itu berlari masuk ke dalam bar sebelum sahabatnya itu melakukan kegilaan.Laki-laki itu—Vano, mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Alfa. Kemudian ia menangkap Alfa tengah mengangkat gelasnya. Sebelum Alfa berhasil mwnuangkan isi gelas itu ke dalam mulutnya Vano harus cepat-cepat menghentikannya.Vano merebut gelas yang ada di tangan Alfa lalu membantingnya, membuat sedikit keributan disana namun mengundang banyak perhatian.Prang!Suara gelas yang dibantingnya terdengar nyaring meski ditengah alunan musik."Vano, apa yang kamu lakukan?" tanya Alfa menajamkan pandangannya.Vano menatap Alfa dengan berani. "Justru aku yang seharusnya tanya begitu, apa