"Naura, katakan yang sejujurnya. Katakan apa kamu masih mencintaiku atau enggak?" Alfa kembali mendesak Naura dengan pertanyaannya.
"Apa aku masih harus menjelaskannya, Alfa? Aku akan menikah dengan Eza, aku pikir sudah cukup menjelaskan, bukan?" ujar Naura.
"Kamu hanya bagian dari masa lalu, yang tertinggal di belakang," lanjut Naura dengan suara lebih lirih.
Alfa tercengang. Sungguh, apakah yang dikatakan Naura itu benar? Lalu kenapa ciuman itu masih terasa penuh cinta? Kenapa Naura tidak menolak ciuman itu? Alfa meragukan pernyataan Naura.
"Tolong katakan yang sejujurnya. Kalaupun aku harus pergi, biarkan aku pergi setelah mendengar kejujuranmu, Naura," pinta Alfa lirih.
"Alfa, aku mencintaimu ... tapi itu dulu. Sekarang aku sudah bahagia dengan kehidupanku dan kamu pergilah dan carilah kebahagiaanmu sendiri," pungkas Naura.
Naura sudah tidak bisa lagi bertahan lebih lama bersama Alfa. Naura beranjak dan iapun berlari masuk ke dalam kamar
Drtt ... drrrttt ....Ponsel Naura berdering tepat saat Naura keluar dari kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang sudah membengkak akibat menangis.Naura meraih ponselnya lalu mengangkat telepon dari Eza. Ya, tadi Eza mengatakan akan menelpon Naura setelah sampai di rumah."Hallo," sapa Naura yang kentara sekali suaranya parau."Naura, kamu kenapa? Kamu flu? Tapi bukannya tadi kamu baik-baik aja?" tanya Eza berbondong, khawatir pada kekasihnya itu."Ah, iya, nggak tahu nih, tapi nggak papa kok. Ini paling cuma kedinginan aja, besok juga pasti sembuh," kata Naura."Ohh syukurlah kalau nggak papa. Kalau kedinginan matikan aja ac-nya, Ra," ujar Eza."Iya, Za, nanti aku matiin.""Oh ya, besok mumpung hari Minggu, ayo kita pergi cari wedding organizer. Waktu kita nggak banyak kan, Ra? Sebaiknya kita menyiapkan segala sesuatunya segera," ujar Eza.Naura terdiam cukup lama. Dadanya kembali sesak.'Astaga ... apa yang ka
Naura dan Eza telah sampai di tempat yang disetujui dengan seorang WO yang sebelumnya telah dihubungi oleh Eza."Selamat pagi, benar dengan mas Eza dan mbak Naura?" sapa seorang wanita yang terlihat cerdas dengan penampilan rapi dan luwes serta tutur kata yang tegas."Selamat pagi, ya saya Eza dan ini Naura, calon istri saya," balas Eza."Perkenalkan, saya Riska, wedding organizer yang tadi sudah mas Alfa hubungi," ucap perempuan bernama Riska itu sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman dengan Alfa dan Naura."Boleh saya duduk dan bergabung dengan kalian?" tanya Riska."Oh, ya, silakan, Mbak Riska," ujar Naura. Riska pun menarik satu kursi untuk ia duduki."Baiklah, disini saya akan menjelaskan beberapa tema wedding yang banyak dipilih beberapa pasang calon pengantin. Atau kalian ada ide silakan beritahu saya dan saya akan coba bantu dengan maksimal," ujar Riska."Ya, sebenarnya calon istri saya ingin pernikahan kami bersuansa puti
Sampai di rumah, Naura langsung masuk ke dalam kamarnya dan cepat-cepat mencari carger untuk mengisi daya ponsel lamanya.Membutuhkan waktu lama untuk menunggu ponsel itu menyala karena sudah selama lima tahun terbengkelai. Entah, apakah masih bisa menyala atau tidak.Naura menanti ponsel itu menyala dengan perasaan was-was, ia gelisah tak menentu. Jantungnya terpompa cepat seperti baru saja lari marathon berpuluh-puluh kilometer.Ting!Ponsel Naura berdenting menandakan ada sebuah pesan masuk—ponsel barunya.From : Eza[Cepat istirahat. Jangan sampai kamu sakit karena terlalu sedih memikirkan nenek. Nenek pasti bangga sama kamu, Naura.]Yaa, saat perjalanan pulang tadi Naura lebih banyak diam sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Eza pikir Naura bersedih karena neneknya, namun sebenarnya tanpa Eza ketahui, Naura tengah memikirkan Alfa. Tepatnya, memikirkan apa saja yang ada di dalam ponsel lamanya.Perasaan be
"Naura ...." panggil Alfa dengan suara tertahan.Diam. Naura hanya diam, ia tidak tahu harus berkata apa karena sejujurnya tadi Naura tidak sengaja menjawab panggilan itu, karena Naura sedang sibuk membuka pesan demi pesan yang dikirimkan oleh Alfa.Keduanya sama-sama bertahan dalam keterdiaman dan canggung. Tak ada yang mengelurkan suara sedikitpun, membiarkan saja deru napas yang membuat obrolan mereka berlangsung.Hingga pada akhirnya suara isakan tangis lolos dari bibir Naura, dan terdengar oleh Alfa yang langsung mengkhawatirkan Naura."Naura, kamu baik-baik aja?" tanya Alfa masih dengan suara pelan."Enggak, Alfa, enggak, aku nggak baik-baik saja ...." Bukan hanya terisak, kini tangis Naura telah pecah."Aku minta maaf, Alfa, aku minta maaf, aku mohon maafkan kebodohanku ...." racau Naura dengan terus meminta maaf menyadari kebodohannya."Please ... bicara sesuatu, Alfa, apa kamu nggak bisa memaafkan aku?" lanjut Naira lagi masi
Seorang laki-laki dengan potongan rambut cepak, berkulit sawo matang khas penduduk Indonesia dan tubuh sedikit gemuk namun tinggi, memarkirkan mobilnya di depan sebuah bar.Turun dari mobil ia melihat mobil sahabatnya telah terparkir manis disana. Cepat-cepat-cepat pria itu berlari masuk ke dalam bar sebelum sahabatnya itu melakukan kegilaan.Laki-laki itu—Vano, mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Alfa. Kemudian ia menangkap Alfa tengah mengangkat gelasnya. Sebelum Alfa berhasil mwnuangkan isi gelas itu ke dalam mulutnya Vano harus cepat-cepat menghentikannya.Vano merebut gelas yang ada di tangan Alfa lalu membantingnya, membuat sedikit keributan disana namun mengundang banyak perhatian.Prang!Suara gelas yang dibantingnya terdengar nyaring meski ditengah alunan musik."Vano, apa yang kamu lakukan?" tanya Alfa menajamkan pandangannya.Vano menatap Alfa dengan berani. "Justru aku yang seharusnya tanya begitu, apa
"Selamat pagi, Naura," sapa Safira pada Naura yang tengah menambahkan sedikit susu pada kopi yang ia buat."Hai, Safira, selamat pagi," balas Naura tak lupa mengembangkan senyum."Kamu bikin kopi untuk pak Alfa? Ah ya, tentu saja, dasar bodoh kemu, Safira." Safira bertanya sekaligus menjawab sendiri pertanyaannya.Naura terkekeh mendengar ucapan Safira. Safira pun ikut terkekeh."Nggak pernah ada yang boleh masuk lift pribadi pak Alfa sebelumnya, tapi kemarin kamu diajak masuk kesana. Aku rasa kamu benar-benar spesial untuk pak Alfa," celetuk Safira tiba-tiba.Gerakan tangan Naura yang tengah mengaduk kopi pun terhenti.'Spesial?' batin Naura sambil tertawa getir."Naura, kamu ngelamun?" Safira mencolek lengan Naura sambil mengernyit."Ah? Oh, maaf, aku kehilangan fokus. Maaf tadi kamu bilang apa?"Safira tersenyum miring. "Sepertinya kamu udah jatuh cinta sama pak Alfa," celetuk Safira tiba-tiba."Ha? A-apa? Siap
Duak!Alfa meninju dinding di hadapannya, persis di hadapannya, persis di sebelah kaca di atas wasfafel.Ya, Alfa menuju ke toilet setelah keluar dari ruangannya."Sial! Dasar bajingan kamu, Alfa! Kamu cuma bisa menyakiti perasaannya saja." Dengan penuh emosi Alfa mengumpati pantulan dirinya pada cermin, lebih tepatnya mengumpati diri sendiri.Duak!Lagi, kini Alfa meninju kaca cermin di depannya tak peduli ia harus menggantinya nanti, tidak peduli tangannya mengeluarkan cairan merah pekat akibat luka yang dialaminya.Alfa menarik napas panjang lalu membuangnya dengan sekali hentak. "Huh!"Setelah itu Alfa membasuh tangannya sekaligus membasuh wajahnya agar lebih segar. Dan saat itulah Alfa merasakan perih pada punggung tangannya yang ia gunakan untuk meninju kaca hingga pecah. Alfa mendesis pelan namun rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit di hatinya.Setelah mengeringkan wajahnya Alfa pun kembali ke ruangan
"Naura, tunggu!" seru Alfa. Alfa langsung mengejar Naura. Persetan dengan benteng yang telah dia bangun mati-mtian agar tidak peduli pada Naura. Nyatanya Alfa tidak bisa melakukan itu.Sakit. Sangat sakit rasanya ketika ia diteriaki dengan sebutan bajingan.Alfa melangkah cepat lalu menangkap tangan Naura."Naura, dengarkan aku. Aku sama sekali nggak bermaksud untuk menyakitimu. Aku hanya nggak mau kehadiranku merusak hubungan kalian," jelas Alfa."Kenyataannya kamu telah melukai hatiku, Alfa! Seenaknya kamu mempermainkanku. Saat aku ingin mengundurkan diri kamu mencegahku dan sekarang kamu dengan nggak berperasaannya mengusirku begitu saja. Nggak cuma itu, kamu juga memberiku banyak uang. Apa menurutmu aku sangat menginginkan uangmu, ha?" Naura sudah benar-benar marah."Naura, dengarkan aku! Aku sangat ingin kembali padamu, aku sangat menginginkan kamu kembali padaku, tapi apa yang bisa aku lakukan, Naura? Kamu udah punya Eza, aku nggak bisa merus