Sampai di rumah, Naura langsung masuk ke dalam kamarnya dan cepat-cepat mencari carger untuk mengisi daya ponsel lamanya.
Membutuhkan waktu lama untuk menunggu ponsel itu menyala karena sudah selama lima tahun terbengkelai. Entah, apakah masih bisa menyala atau tidak.
Naura menanti ponsel itu menyala dengan perasaan was-was, ia gelisah tak menentu. Jantungnya terpompa cepat seperti baru saja lari marathon berpuluh-puluh kilometer.
Ting!
Ponsel Naura berdenting menandakan ada sebuah pesan masuk—ponsel barunya.
From : Eza
[Cepat istirahat. Jangan sampai kamu sakit karena terlalu sedih memikirkan nenek. Nenek pasti bangga sama kamu, Naura.]
Yaa, saat perjalanan pulang tadi Naura lebih banyak diam sambil mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Eza pikir Naura bersedih karena neneknya, namun sebenarnya tanpa Eza ketahui, Naura tengah memikirkan Alfa. Tepatnya, memikirkan apa saja yang ada di dalam ponsel lamanya.
Perasaan be
"Naura ...." panggil Alfa dengan suara tertahan.Diam. Naura hanya diam, ia tidak tahu harus berkata apa karena sejujurnya tadi Naura tidak sengaja menjawab panggilan itu, karena Naura sedang sibuk membuka pesan demi pesan yang dikirimkan oleh Alfa.Keduanya sama-sama bertahan dalam keterdiaman dan canggung. Tak ada yang mengelurkan suara sedikitpun, membiarkan saja deru napas yang membuat obrolan mereka berlangsung.Hingga pada akhirnya suara isakan tangis lolos dari bibir Naura, dan terdengar oleh Alfa yang langsung mengkhawatirkan Naura."Naura, kamu baik-baik aja?" tanya Alfa masih dengan suara pelan."Enggak, Alfa, enggak, aku nggak baik-baik saja ...." Bukan hanya terisak, kini tangis Naura telah pecah."Aku minta maaf, Alfa, aku minta maaf, aku mohon maafkan kebodohanku ...." racau Naura dengan terus meminta maaf menyadari kebodohannya."Please ... bicara sesuatu, Alfa, apa kamu nggak bisa memaafkan aku?" lanjut Naira lagi masi
Seorang laki-laki dengan potongan rambut cepak, berkulit sawo matang khas penduduk Indonesia dan tubuh sedikit gemuk namun tinggi, memarkirkan mobilnya di depan sebuah bar.Turun dari mobil ia melihat mobil sahabatnya telah terparkir manis disana. Cepat-cepat-cepat pria itu berlari masuk ke dalam bar sebelum sahabatnya itu melakukan kegilaan.Laki-laki itu—Vano, mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Alfa. Kemudian ia menangkap Alfa tengah mengangkat gelasnya. Sebelum Alfa berhasil mwnuangkan isi gelas itu ke dalam mulutnya Vano harus cepat-cepat menghentikannya.Vano merebut gelas yang ada di tangan Alfa lalu membantingnya, membuat sedikit keributan disana namun mengundang banyak perhatian.Prang!Suara gelas yang dibantingnya terdengar nyaring meski ditengah alunan musik."Vano, apa yang kamu lakukan?" tanya Alfa menajamkan pandangannya.Vano menatap Alfa dengan berani. "Justru aku yang seharusnya tanya begitu, apa
"Selamat pagi, Naura," sapa Safira pada Naura yang tengah menambahkan sedikit susu pada kopi yang ia buat."Hai, Safira, selamat pagi," balas Naura tak lupa mengembangkan senyum."Kamu bikin kopi untuk pak Alfa? Ah ya, tentu saja, dasar bodoh kemu, Safira." Safira bertanya sekaligus menjawab sendiri pertanyaannya.Naura terkekeh mendengar ucapan Safira. Safira pun ikut terkekeh."Nggak pernah ada yang boleh masuk lift pribadi pak Alfa sebelumnya, tapi kemarin kamu diajak masuk kesana. Aku rasa kamu benar-benar spesial untuk pak Alfa," celetuk Safira tiba-tiba.Gerakan tangan Naura yang tengah mengaduk kopi pun terhenti.'Spesial?' batin Naura sambil tertawa getir."Naura, kamu ngelamun?" Safira mencolek lengan Naura sambil mengernyit."Ah? Oh, maaf, aku kehilangan fokus. Maaf tadi kamu bilang apa?"Safira tersenyum miring. "Sepertinya kamu udah jatuh cinta sama pak Alfa," celetuk Safira tiba-tiba."Ha? A-apa? Siap
Duak!Alfa meninju dinding di hadapannya, persis di hadapannya, persis di sebelah kaca di atas wasfafel.Ya, Alfa menuju ke toilet setelah keluar dari ruangannya."Sial! Dasar bajingan kamu, Alfa! Kamu cuma bisa menyakiti perasaannya saja." Dengan penuh emosi Alfa mengumpati pantulan dirinya pada cermin, lebih tepatnya mengumpati diri sendiri.Duak!Lagi, kini Alfa meninju kaca cermin di depannya tak peduli ia harus menggantinya nanti, tidak peduli tangannya mengeluarkan cairan merah pekat akibat luka yang dialaminya.Alfa menarik napas panjang lalu membuangnya dengan sekali hentak. "Huh!"Setelah itu Alfa membasuh tangannya sekaligus membasuh wajahnya agar lebih segar. Dan saat itulah Alfa merasakan perih pada punggung tangannya yang ia gunakan untuk meninju kaca hingga pecah. Alfa mendesis pelan namun rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit di hatinya.Setelah mengeringkan wajahnya Alfa pun kembali ke ruangan
"Naura, tunggu!" seru Alfa. Alfa langsung mengejar Naura. Persetan dengan benteng yang telah dia bangun mati-mtian agar tidak peduli pada Naura. Nyatanya Alfa tidak bisa melakukan itu.Sakit. Sangat sakit rasanya ketika ia diteriaki dengan sebutan bajingan.Alfa melangkah cepat lalu menangkap tangan Naura."Naura, dengarkan aku. Aku sama sekali nggak bermaksud untuk menyakitimu. Aku hanya nggak mau kehadiranku merusak hubungan kalian," jelas Alfa."Kenyataannya kamu telah melukai hatiku, Alfa! Seenaknya kamu mempermainkanku. Saat aku ingin mengundurkan diri kamu mencegahku dan sekarang kamu dengan nggak berperasaannya mengusirku begitu saja. Nggak cuma itu, kamu juga memberiku banyak uang. Apa menurutmu aku sangat menginginkan uangmu, ha?" Naura sudah benar-benar marah."Naura, dengarkan aku! Aku sangat ingin kembali padamu, aku sangat menginginkan kamu kembali padaku, tapi apa yang bisa aku lakukan, Naura? Kamu udah punya Eza, aku nggak bisa merus
"Apa masih belum cukup kamu mengganggu hidupku, Ba—!""Aku akan terus mengganggumu. Turunlah! Aku ada di depan pintu." Alfa berkata datar namun nadanya terdengar mengintimidasi."Berdirilah sampai membatu disana. Aku nggak akan membukakan pintu," balas Naura sinis."Oh begitu? Oke, kalau tunanganmu datang dan melihatku disini maka kamu akan terkena masalah, bukan?""Apa maksudmu?" tanya Naura tajam.Alfa terkekeh sinis. "Turun sekarang atau—"Klik.Naura langsung memutus sambungan teleponnya dan berlari keluar kamarnya. Kemana lagi kalau bukan untuk membukakan pintu untuk Alfa sebelum Alfa melakukan hal-hal aneh. Karena Naura tahu Alfa bisa saja berbuat nekad.Ceklek."Untuk apa kamu datang kesini, Baji—""Akan aku tunjukkan bagaimana bajingannya aku!" ujar Alfa tajam.Alfa mencekal lengan Naura dan memojokkannya pada dinding. Tepat di sebelah pintu Alfa memaksa mencium Naura.Naura
"Naura, jawab dengan satu kata. Aku atau Alfa?""Aku nggak bisa jawab, Eza, itu bukan pertanyaan yang harus aku jawab." Naura terus mengelak."Jadi benar apa yang Alfa katakan, ternyata kamu masih mencintai Alfa?""Eza, aku nggak, bu-bukan begitu maksud aku.""Naura, jujurlah pada hatimu dan temukan jawabannya. Nggak perlu mengelak jika itu memang benar. Kamu nggak perlu menjelaskan kebohongan karena kebenaran yang akan menang," ujar Eza dengan diselimuti perasaan kalah."Eza, aku—" Naura tidak melanjutkan kalimatnya. Ia kehilangan kosa kata."Apa menurutmu pernikahan adalah permainan, Naura?" tanya Eza."Eza, kenapa kamu nanya kayak gitu?""Naura, aku serius, aku tulus cinta sama kamu. Selama ini aku bersedia nunggu kamu dan selalu sabar saat kamu menolak untuk kuajak menikah. Aku pikir ada apa sebenarnya? Apa yang salah dari diriku sehingga kamu selalu menolak niat baikku. Sampai Alfa datang di kehidupan kita dan semuan
"Aku tahu kamu masih mencintaiku. Aku tahu kamu ingin kembali padaku. Tapi aku juga ingin kamu terlepas dari Eza lebih dulu supaya kita bisa tenang menjalani hidup kita.""Apa maksudmu?" tanya Naura sarkas."Naura, aku sudah berbicara dengan ibumu. Kamu boleh tanyakan pada ibumu apa yang sudah kami bicarakan," ujar Alfa."Bicara? Kapan kalian bicara dan apa yang kalian bicarakan?""Tanyakan pada ibumu yang sangat menyayangiku, Naura," kata Alfa diiringi kekehan renyah."Berhenti beromong kosong!""Haih ... kamu memang nggak pernah percaya padaku. Percuma saja aku menjelaskannya.""Ck!" Naura hanya berdecak pelan."Naura, besok datanglah bekerja. Aku nggak akan bisa tanpamu setelah kamu datang," pinta Alfa."Sepercaya diri itu kamu menganggap aku akan datang? Apa kamu hanya bisa bersikap seenaknya terhadap orang lain? Oh, ternyata kabar itu benar. Kamu boss yang arogan, Alfa!""Aku bukan seperti apa yang dikatakan