"Tapi apa? Apa kamu masih mencintai Alfa?"
"Eza, kamu ini bicara apa? Apa kamu menuduhku?" kata Naura tak terima, ia merasa disalahkan.
"Aku nggak nuduh kamu, aku cuma memastikan hatimu. Apakah kamu benar mencintaiku, atau aku hanya bayangan bagimu?"
Naura menghela napas panjang. "Aku nggak harus berulang kali mengatakanya, seharusnya kamu udah tahu. Lagipula kita udah berjalan tiga tahun, apa menurutmu aku akan terus bersamamu kalau aku nggak mencintaimu?" ujar Naura.
"Kamu duduk dulu, aku ambilkan air buat bersihin luka kamu," lanjut Naura kemudian berlalu begitu saja.
Masih berdiri di depan pintu, Eza terus memperhatikan punggung Naura hingga menghilang dari pandangan. "Kamu ada disisiku, kita baik-baik saja selama ini, sebelum dia datang. Tapi setelah hari ini, apa kita akan tetap baik-baik saja, Naura?" ujar Eza lirih.
Eza mengusap wajahnya kasar, kemudian ia beralih duduk di bangku teras menunggu Naura datang.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk Naura mengambil air dan kotak obat di dalam. Naura pun telah kembali ke teras.
Naura duduk berhadap-hadapan dengan Eza untuk mengobati luka Eza. Memeras handuk kecil yang sebelumnya ia celupkan pada baskom berisi air, kini Naura menepuk-nepuk pelan luka pada wajah Eza.
"Ssshhh ... ah, pelan-pelan, Naura, sakit," adu Eza.
"Ini juga udah pelan, Eza. Lagian kamu ngapain sih pake berantem segala? Ujung-ujungnya nyakitin diri sendiri gini," ujar Naura masih sibuk membersihkan sisa darah yang telah mengering di ujung bibir Eza.
"Aku kesal, Naura, aku cemburu."
"Cemburu itu untuk orang yang nggak percaya diri," balas Naura cepat.
"Ya, mungkin aku memang nggak percaya diri. Tadi nggak sengaja aku lihat dia di jalan jadi aku hampiri dia. Awalnya aku hanya ingin mengancamnya untuk nggak deketin kamu lagi, tapi ternyata mulutnya nggak bisa di toletansi dan aku nggak bisa menahan untuk nggak hajar dia."
"Tapi kamu kena pukul juga," cibir Naura.
"Nggak papa, Naura, ini bukan apa-apa. Demi mempertahankan kamu aku rela mengorbankan nyawaku."
"Jangan bicara seperti itu, Eza. Jangan bawa-bawa nyawa, aku nggak suka," kata Naura cemberut.
Naura mengambil kapas dan menuang cairan obat untuk mengobati luka Eza. Namun sebelum Naura berhasil mengobati luka Eza, lebih dulu Eza menangkap pergelangan tangan Naura.
"Eza, biar aku obati luka kamu dulu," kata Naura. Namun Eza tak bergeming. Ia tetap pada posisinya, menahan tangan Naura dan menatap pada manik mata Naura intens.
"Naura, apa yang bisa aku lakukan supaya kamu bisa keluar dari perusahaan itu? Aku nggak rela kamu terus berduaan sama dia. Aku takut dia akan menggantikan posisiku di hatimu, Ra. Aku serba takut. Tolong kasih tahu aku, apa yang bisa aku lakukan sekarang?" Eza lemah, ia takut dan gelisah. Ia tidak bisa memikirkan hal-hal positif. Yang ada di kepalanya hanya Naura akan pergi meninggalkannya.
Naura menjatuhkan kapas yang masih ia pegang sejak tadi, kemudia ia beralih mengusap pipi Eza dengan lembut.
"Eza, percaya dirilah. Percaya pada ketulusan cinta kita. Selama kita sama-sama berjuang untuk terus bersama-sama maka semuanya akan berjalan sesuai yang kita inginkan. Asalkan kita memiliki satu tujuan yang sama maka kita akan sampai pada tujuan itu bersama-sama."
Eza mengulas senyum. Meski di dalam hatinya ia masih merasa gundah namun ia menghargai ketulusan Naura.
Eza menyelam pada manik mata Naura yang jernih, dan ia tidak menemukan adanya kebohongan, hanya ada ketulusan di mata Naura.
Eza mendekatkan wajahnya, memangkas jarak. Eza menarik Naura untuk mendekat dan mereka pun berciuman.
Naura ingin menolak ciuman itu—seperti biasanya, namun kali ini ia tidak tega melakukannya. Eza mungkin akan kembali marah jika Naura menolak, jadi Naura menerimanya saja.
Sejujurnya, meskipun sudah berjalan tiga tahun mereka menjalin hubungan, masih dalam hitungan jari mereka berciuman. Naura lah yang selalu mengelak dan menolak.
Naura memejamkan mata dalam ciuman itu, ia merasa tidak memiliki keinginan untuk melakukan itu, sehingga ia hanya menerima ciuman itu tanpa berniat membalasnya, yang terpenting ia tak menolaknya.
Setelah cukup lama dan mereka hampir kehabisan napas, Eza lebih dulu mundur memisahkan bibir mereka. Naura menunduk pada jarak mereka yang masih teramat dekat. Embusan napas Eza menerpa wajah Naura, hangat.
"Aku berharap penuh pada keputusanmu, Ra, aku menunggu jawabanmu secepatnya," kata Eza.
"Iya."
"Udah malam, sebaiknya aku pulang. Kamu juga istirahat, jangan begadang."
"Aku nggak pernah begadang, aku selalu menjaga waktu istirahatku."
Eza terkekeh sambil mengacak puncak kepala Naura.
"Iya iya, aku tahu kok. Ya udah aku pulang dulu ya, Sayang, besok aku jemput kamu."
"Iya, kamu hati-hati di jalan."
Eza mengecup kening Naura singkat sebekum ia pergi. "Selamat malam, Ra, aku mencintaimu."
"Aku mencintaimu, Eza."
***
Seorang pria mencengkeram kemudi mobilnya kuat. Ia mengamati Naura dan Eza sejak tadi. Dan sialnya ia harus menyaksikan keduanya berciuman, sial!
Ya, siapa lagi dia jika bukan Alfa.
Alfa menggertakkan giginya, ia seakan tak terima kekasihnya di sentuh oleh laki-laki lain. Kekasih? Ya, Alfa masih selalu menganggap Naura kekasihnya apapun yang terjadi, tak pernag berubah.
Ingin rasanya Alfa melompat keluar dari mobilnya, menghampiri Naura dan menghapus jejak bibir pria lain itu dari bibir Naura, tapi Alfa merasa tak berdaya. Ya, sebaiknya Alfa mengikuti saran Vano saja.
Saat ini Naura pasti sedang tertekan, walau bagaimanapun hubungannya dan Eza tiba-tiba bermasalah, itu pasti berpengaruh pada emosional Naura. Dan Alfa tidak ingin menambah beban untuk Naura.
"Naura, kamu satu-satunya wanita yang ingin aku tuju. Dan aku yakin akupun menjadi satu-satunya orang yang kamu inginkan. Aku sangat yakin, aku percaya pada cinta kita."
***
Keesokan harinya ....
"Selamat pagi, Naura," sapa Yessy yang baru saja masuk ke lift yang sama dengan Naura.
"Oh, hai, Yessy, selamat pagi," balas Naura.
"Apa kamu selalu cantik seperti ini, Naura?" tanya Yessy.
"Ha, maksudmu?" tanya Naura tak mengerti.
"Iya, kamu sangat cantik. Aku saja sebagi seorang perempuan iri pada kecantikanmu, aku yakin pak Alfa pasti bakal kepincut sama kamu. Ngomong-ngomong, pak Alfa masih single loh, Naura," ujar Yessy tiba-tiba membicarakan mengenai bossnya.
Naura terkekeh. "Lalu apa hubungannya denganku, Yessy? Itu kan urusan dia."
"Yaaa kali aja kamu mau deketin pak boss gitu. Kabarnya sih dia udah punya pacar, tapi sampai sekarang nggak ada yang tahu siapa dan dimana pacarnya itu. Yang aku tahu pak boss selalu menolek cewek-cewek yang deketin dia dengan alasan 'aku udah punya kekasih' gitu."
Naura terdiam, tak tahu harus berkomentar apa.
"Hayoo kenapa diam aja? Lagi merencanakan strategi buat deketin pak Alfa ya?" goda Yessy tak berdasar.
"Mana ada? Kenapa nggak kamu aja yang coba dekati dia?" Naura membalikkan pertanyaan.
"Ah, aku mah nggak termasuk wanita idamannya. Aku sadar diri," balas Yessy sambil terkikik.
"Aku duluan, Naura, bye. Semoga harimu menyenangkan."
"Jadi benar Alfa masih menganggapku kekasihnya?"
***
Ceklek. Alfa membuka ruang kerjanya yang juga merupakan ruang kerja Naura. Ya, mereka memang satu ruangan kerja. "Selamat pagi," sapa Alfa terlihat tenang. "Selamat pagi," balas Naura yang juga bersikap cuek. "Naura, tolong berikan laporan yang kemarin aku minta," pinta Alfa. "Baik," Naura pun memberikan laporan itu tanpa banyak bicara. "Oh ya, Naura, nanti jam 10 kamu ikut aku meeting di luar." "Baik," balas Naura patuh saja, memang tak mau banyak bicara. Telepon di atas meja kerja Alfa berbunyi, Alfa menekan satu tombol untuk memerima panggilan. "Pak Alfa, mbak Sherly datang dan sudah langsung naik ke ruangan bapak, tidak bisa ditegur," kata seorang yang berbicara melalui saluran telepon. "Terima kasih." Klik. Alfa langsung menutup telepon itu begitu saja. "Ck, kebiasaan!" Alfa menggerutu kesal. "Naura, tolong copy kan berkas ini di lantai satu," perintah Alfa. "
Naura membasuh wajahnya sekaligus menghilangkan jejak air matanya. Setelah itu ia mengeringkannya dengan tissue. Saat ia hendak keluar dari toilet, seseorang masuk dan mencegahnya. "Jangan keluar dulu," kata orang itu yang bahkan tak Naura kenali. Naura mengerutkan kening. "Aku?" Naura menunjuk pada diri diri sendiri. "Iya, di luar masih ada Sherly," lanjut orang tadi. "Sherly, siapa?" tanya Naura bingung. Seseorang itu menghela napas melihat kepolosan Naura. "Sherly itu tamunya pak Alfa. Kamu Naura kan, sekretaris barunya pak Alfa?" tanya orag itu. Naura mengangangguk seperti orang bodoh. "Makanya, kamu disini aja dulu. Sherly lagi nyariin kamu di luar." "Terima kasih atas informasinya. Kalau boleh tahu, kamu siapa?" tanya Naura. "Namaku Safira." "Ah, ya, salam kenal, Safira," kata Naura. Safira mengangguk sembari membasuh tangannya di wastafel. Naura memperhatikan Safira
Naura membawa secangkir kopi milik Alfa di tangan kananya, sedang tangannya yang kiri mendorong pintu dan ia pun masuk. "Ini kopimu," kata Naura seraya meletakkan kopi itu di atas meja. "Terima kasih," kata Alfa tanpa menoleh. Naura mengangguk singkat lalu ia pun kembali ke mejanya. Kemudian keduanya saling diam. Suasana cenderung canggung. Tiba-tiba saja Naura mengeluarkan suara. "Alfa," panggil Naura. Alfa langsung menoleh. "Apa Eza yang membutmu terluka seperti itu?" tanya Naura. Alfa terkekeh pelan. "Bukan apa-apa. Bagi cowok ini sudah biasa," balas Alfa. Naura tak menjawab lagi, dan setelahnya terjadi keheningan. "Dia bukan siapa-siapaku, sungguh," celetuk Alfa tiba-tiba setelah terjadi keheningan. Naura berhenti menggerakkan bolpen yang sedang ia gunakan untuk menulis. Naura pun perlahan mendongak untuk menatap Alfa. "Kamu ngomong sama aku?" tanya Naura datar. "Naura, Sherly bukan siapa-sia
"Naura, bisakah kita kembali bersama lagi? Seperti lima tahun yang lalu?" tanya Alfa lirih. Naura menatap Alfa sendu. "Nggak bisa, Alfa. Sudah terlambat." "Nggak, aku merasa belum terlambat," balas Alfa menyangkal. "Lalu apa? Apa yang bisa kamu lakukan? Aku sudah punya tunangan, dan aku sudah akan menikah." "Jangan tanya apa yang bisa aku lakukan, Naura. Aku bisa melakukan apapun demi dirimu, meskipun nyawa taruhannya," kata Alfa sangat yakin. Deg! Naura langsung teringat Eza, teringat pada ucapan yang Eza tuturkan semalam. Eza juga mengatakan hal serupa seperti yang Alfa katakan. Eza akan mempertahankan Naura agar tetap disampingnya meski myawa taruhannya. Astaga ... seketika Naura merasa dirinya tengah berkhianat, sekarang. Apa ini? Berpelukan dengan laki-laki lain? Sial! Kenapa Naura bisa tidak terkendali seperti ini? "Naura,—" Ting! Pintu lift terbuka dan Naura langsung keluar dari lift, berlari meni
Naura tengah menyisir rambutnya di depan cermin ketika ponselnya berdering, ia baru saja selesai mandi. Naura meraih ponselnya lalu menjawab panggilan dari Eza. "Hallo, Za," sapa.Naura lebih dulu. "Hai, Sayang, lagi ngapain?" tanya Eza. "Aku baru selesai mandi," jawab Naura. "Kalau gitu dandan yang cantik ya," pinta Eza. "Untuk apa?" "Untukku. Nanti malam aku dan keluargaku akan datang, kamu nggak lupa kan?" tanya Eza. "Ohh, aku nggak lupa kok tapi aku nunggu kepastian dari kamu dulu. Nanti abis ini aku kasih tahu orang tuaku kalau kalian akan datang ya." "Iya," balas Eza singkat. Kemudian merrka saling diam selama beberapa saat. "Ra," panggil Eza. "Ya?" "Orang tuaku ingin kita secepatnya melangsungkan pernikahan, apa kamu nggak keberatan? Mereka ingin dalam waktu dekat ini kita sudah menikah, Ra," ujar Eza. "Aku nggak keberatan, Za. Mana mungkin aku keberatan dinikahi tunanganku sendiri?
"Kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk anak-anak kita, Bu, Pak. Dan mendukung apa yang anak-anak kita cita-citakan," ujar Dahayu kepada orang tua Eza."Benar sekali, Bu, jika ini sudah menjadi keputusan anak-anak kita maka kita hanya bisa mendukung saja," ujar Rania—ibu Eza menambahi."Jadi begini, Bu Dahayu, Pak Dharma. Anak-anak kita ini kan sudah cukup lama menjalin hubungan, kalau bahasa gaulnya itu pacaran. Nah sekarang sudah saatnya bagi mereka untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Menurut bapak dan ibu Aswangga ini, apakah tidak masalah jika kita melangsungkan pernikahan anak-anak kita dalam waktu dekat? Karena biar bagaimanapun mereka tentu sudah jauh saling mengenal, bukan?" tutur Vikram—ayah Eza."Karena anak-anak yang akan menjalaninya jadi sebaiknya kita biarkan anak-anak saja yang mengambil keputusan, Pak. Kita bantu saja mereka," ucap Dharma—ayah Naura."Sebenarnya tadi kami sudah
PRANG!Naura menjatuhkan sebuah piring yang tengah ia cuci hingga piring itu pecah."Naura!" pekik Dahayu terkejut. Dahayu langsung mematikan kompor dengan cepat dan langsung menghampiri putrinya. Begitu pula dengan Dharma dan Alfa yang juga ikut berlari menghampiri Naura."Akhh!" Naura mendesis kesakitan karena pecahan piring itu melukainya ketika ia hendak mengumpulkan serpihan itu.Alfa datang dan langsung menarik tangan Naura. "Hati-hati, Naura," kata Alfa peduli. Alfa pun tak ragu untuk memasukkan jari Naura ke dalam mulutnya untuk diisapnya.Naura tak menolak. Ia diam saja mendapatkan perlakuan dari Alfa. Justru tatapannya tak lepas memperhatikan Alfa."Masih sakit?" tanya Alfa lembut. Namun Naura tak menjawab. Ia masih melamun karena perlakuan Alfa yang sebenarnya biasa saja namun ternyata berhasil membuat Naura tidak berkutik. Debaran jantungnya terpompa begitu ken
*FLASHBACK DARI SISI ALFA*15 September 2016Pagi ini Alfa sangat bersemangat. Bangun sangat awal, mempersiapkan segala hal untuk kejutan yang akan diberikannya pada Naura.Anniversary. Satu kata itu berhasil membuat Alfa terus mengembangkan senyum pagi ini. Sampai membuat ibunya geleng-gelang."Kamu pasti mau pergi kencan sama Naura?" tanya Nalin—ibu Alfa sambil mengelap piring."Kok tahu?" balas Alfa."Ibu sudah sangat hafal. Setiap kali mau pergi sama Naura kamu pasti sangat sibuk di pagi hari, tampil sangat rapi, dan ya ... seperti ini lah contohnya."Alfa terkekeh. "Iya, Bu, kami berniat merayakan anniversary kami, kecil-kecilan aja, yang penting ada kenangannya," jelas Alfa."Iya, ibu doakan kalian langgeng ya. Ibu sangat suka pada Naura. Dia gadis yang sangat mandiri dan kepribadiannya sangat baik. Ka