"Tapi dia hanya calon suami, belum jadi suaminya Naura. Semua masih bisa dirubah."
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan, Vano?" sentak Alfa.
"Naura marah sama aku, dia bahkan nuduh aku punya wanita lain, apa maksudnya coba?" lanjut Alfa.
"Aku rasa ada kesalahpahaman disini. Aku harus dapatkan penjelasan dari Naura, Van."
Vano memainkan dagunya seperti sedang berpikir.
"Bro, kamu punya banyak waktu untuk berduaan sama Naura kan? Ya kamu usaha lah, kamu dekati dia, kamu kasih perhatian ke dia, kamu berusaha ambil hatinya, setelah itu kamu bisa coba tanyakan kenapa dia pergi, bagus kan ideku?" Vano berujar panjang.
Alfa mengerutkan kening. Ia mencerna dan mempertimbangkan saran yang diusulkan oleh Vano yang jarang-jarang otaknya encer.
"Hmm ... ya, bisa juga, tapi ...."
"Halah pake tapi-tapi segala, tapi apaan?"
"Tapi aku pengennya dapat penjelasan dari Naura hari ini juga, malam ini lah minimal," ujar Alfa bertekad.
"Yaelah, susah banget ini bocah dibilangin. Eh, dengar ya, Alfarezi Kavindra, cewek itu pengennya diperlakukan dengan lemah lembut, jangan terburu-buru. Percuma kalau kamu ajak dia bicara sekarang, kalau dia masih emosi dan ngusir kamu, apa yang bisa kamu dapatkan? Dan parahnya lagi, gimana kalau sampai dia ilfeel sama kamu dan nggak mau ngomong sama kamu sekalipun? Pikirkan baik-baik, Alfa, pikirkan baik-baik."
Alfa membanting punggungnya pada sandaran kursi. Sambil memijat pelipisnya ia bergumam pelan. "Pintar banget kalau nasehatin orang, cih!" cibir Alfa sinis.
"Ck, ya udah kalau nggak mau dengerin. Terserah, tapi kalau pas lagi galau dan sedih-sedih jangan recokin aku," balas Vano yang bersikap masa bodoh.
Alfa meraih gelas kopinya dan menyeruput kopi yang mulai dingin.
"Pusing aku, Van. Kalau kayak gini gimana aku bisa fokus kerja? Sedangkan proyek-proyek penting baru aja masuk," kata Alfa mengeluh.
"Kamu Alfa atau bukan? Alfa kok ngeluh? Mana ada Alfa lembek begini. Semangat lah, jangan jadikan beban, tapi jadikan acuan. Maksudnya kamu jadikan Naura itu sebagai tujuan kamu, sebagai pencapaian yang harus goal. Kamu coba pikirin gimana caranya komunikasi kalian itu lancar. Nggak papa berdalih komunikasi antara boss dan anak buahnya, kalau komunikasi terjalin lancar secara dua arah, baru perlahan-lahan kamu cari cara untuk ngobrol dari hati ke hati."
Alfa mengernyit menatap Vano heran. "Kamu keracunan?" tanya Alfa ngawur.
"Iya, keracunan baygon!" sahut Vano ikut ngawur.
"Enggak, aku nanya serius, Vano, kamu keracunan?" Alfa mengulang pertanyaannya.
"Kenapa nanya gitu? Aku sehat wal afiat gini gimana ceritanya aku keracunan?" sinis Vano.
"Yaaa ... habisnya kamu tumben-tumbenan waras, otaknya juga encer, takutnya salah obat," ejek Alfa sarkas.
"Hmm ... punya teman kenapa dzalim begini? Aku ini selalu bisa di andalkan. Saat kamu butuh nasehat aku akan bisa menasehati kamu. Saat kamu butuh hiburan aku juga bisa menghibur kamu, meskipun dengan cara pura-pura bego sekalipun."
Alfa mengedikkan bahu acuh.
"Dasar, nggak tahu terima kasih!" tukas Vano.
"Terima kasih, Evano," kata Alfa di imut-imutkan.
"Jijik!" Vano bergidik ngeri.
Alfa terkekeh. Ia cukup mendapat pencerahan setelah mengobrol dengan Vano yang jarang-jarang otaknya bekerja dengan normal. Ia juga cukup terhibur karena biar bagaimanapun Vano melakukan kekonyolan-kekonyolan sebenarnya untuk menghibur dirinya.
Alfa menyeruput kopinya lagi hingga habis.
"Jadi, gimana enaknya? Aku harus mulai dari awal lagi gitu? Deketin Naura, kasih perhatian ke Naura, berusaha mendapatkan hati Naura lagi baru setelah itu aku minta penjelasan dari Naura, gitu?"
"Ya, itu kalau kamu mau pakai saran dari aku," balas Vano masa bodoh.
"Tapi, Van, apa nggak kelamaan? Gimana kalau mereka keburu nikah? Jadi duda dong aku?" celetuk Alfa.
"Jadi duda?" tanya Vano cengo.
"Ah, maksudnya, aku bakal kehilangan dia selama-lamanya kan?"
Vano memutar bola matanya jengah. "Terserah kamu deh, terserah. Bodo amat!" Vano akhirnya menyerah. Vano bangkit dan hendak pergi meninggalkan Alfa disana.
"Eh, Van, mau kemana? Tunggu dulu dong, jangan ngambek kayak cewek lagi PMS."
"Alfa, dengar, aku udah cukup bosan dengar keluhan kamu yang nggak kunjung menemukan Naura. Tapi sekarang kamu udah menemukan Naura dan dia berada dekat dengan kamu, berada pada jangkauanmu, jadi terserah kamu mau bagaimana. Yang penting jangan sampai kamu menyesal untuk ke dua kalinya. Permisi." Vano langsung berlalu pergi tanpa mempedulikan Alfa lagi. Sedangkan Alfa sendiri termenung, memikirkan langkah apa yang sebaiknya kita ambil.
Sebenarnya Alfa ingin buru-buru mengetahui penyebab Naura pergi, tapi ucapan Vano ada benarnya juga. Akan lebih baik jika Alfa dan Naura membicarakan tentang masa lalunya saat sedang berkepala dingin. Percuma jika membicarakan itu sekarang, yang ada akan kembali terjadi pertengkaran.
"Ya sudahlah ... aku terima saranmu, Vano."
***
Alfa mengendarai mobilnya dengan kecepatan rendah. Mobil sportnya sengaja ia setting terbuka supaya ia dapat menghirup udara segar. Meski dingin menusuk tulangnya Alfa tak memperdulikannya.
Tiba-tiba pikirannya melayang pada beberapa tahun silam saat ia masih bersama dengan Naura.
Dulu dirinya belum sesukses ini. Dia belum memiliki mobil, ketika mengajak Naura jalan-jalan Alfa akan mengendarai Vespanya. Sama sekali tak ada kemewaham namun keindahannya nyata.
Kemudian suatu hari Naura pergi tiba-tiba. Alfa kepusingan mencari Naura kemana-mana. Dia tidak tahu harus pada siapa ia menyakan kepergian Naura. Hari itu, tepat di hari nenek Ainun meninggal dunia, Naura menghilang seakan ditelan bumi.
Ya, dulu Naura tinggal di kota Kabut bersama neneknya, kota kelahiran sekaligus kota tempat tinggal Alfa. Naura tinggal bersama neneknya setelah kakeknya meninggal dunia. Ayah dan ibunya ada di kota lain yang sebelumnya tak pernah Alfa ketahui dimana kota itu.
Alfa terus menyibukkan diri dengan bekerja keras meniti karir. Dan syukurlah sekarang Alfa telah sukses. Bisa dikatakan kesuksesannya diraih dalam waktu singkat. Itu ia lakukan demi untuk menyibukkan diri, dan hasilnya memuaskan.
Tin tin tiiin!
Suara klakson mobil di belakangnya membuat lamunan Alfa buyar. Melalui kaca spion ia menilik mobil siapa itu. Alfa tak mengenalnya namun ia seperti pernah melihatnya.
Alfa tetap mengendari mobilnya dengan pelan, mobil itupun maju mensejajari mobil Alfa. Alfa masih tetap tenang.
"Menepi!" seru seorang itu. Alfa menoleh untuk mengetahui siapa pemilik suara yang berani memerintahnya.
"Kamu?" Alfa mengerutkan kening melihat tunangan Naura berada di dalam mobil itu. Ya, dia adalah Eza.
"Aku bilang menepi!" ulang Eza lagi.
Alfa tak menyahutinya namun ia melakukan apa yang Eza minta.
Brak!
Brak!
Alfa dan Eza turun dari mobil dan sama-sama berjalan mendekat. Dari sorot mata mereka memancarkan kebencian.
"Ada apa?" tanya Alfa dengan santainya.
"Aku peringatkan padamu untuk menjauhi Naura, jangan mentang-mentang kamu adalah bossnya kamu bisa berbuat seenaknya. Kamu sengaja menjebaknya kan?" kata Eza penuh emosi.
"Ck, kenapa aku harus menjauhi kekasihku sendiri?" Alfa sama sekali tidak takut dengan ancaman Eza, ia malah bersikap menantang.
"Dasar tidak tahu malu! Naura tidak menganggapmu kekasihnya. Dan aku adalah calon suaminya. Kami akan segera menikah dalam waktu dekat. Jadi, sebagai calon suaminya aku berhak melarangmu mendekati calon istriku!"
"Baru calon kan? Kamu belum jadi suaminya," kata Alfa pelan namun mengejek.
"Sialan!"
Bugh!
***
"Baru calon kan? Kamu belum jadi suaminya," kata Alfa pelan namun mengejek. "Sialan!" Bugh! Eza melayangkan pukulannya dan mendarat pada rahang Alfa tepat. Seketika Eza merasa kebas karena pukulan yang luar biasa itu. Pukulan Eza yang tengah dipenuhi amarah itu seakan dirasuki setan sehingg bisa membuat Alfa terhuyung karena saking kuatnya. Dan lagi, Alfa memang tidak siap karena ia tidak menyangka Eza akan memukulnya. "Kamu boleh bersikap arogan pada siapapun, tapi kalau sampai kamu memaksakan kehendakmu pada Naura maka aku nggak akan segan-segan menghabisimu!" ancam Eza serius. "Kamu kenal Naura udah berapa tahun, hm? Kenapa aku merasa kamu nggak mengenal Naura sama sekali, ck," cibir Alfa sinis. "Apa maksudmu?" tanya Eza tajam. Alfa kembali berlajan mendekati Eza setelah tadi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Kini Alfa berdiri persis di had
"Tapi apa? Apa kamu masih mencintai Alfa?" "Eza, kamu ini bicara apa? Apa kamu menuduhku?" kata Naura tak terima, ia merasa disalahkan. "Aku nggak nuduh kamu, aku cuma memastikan hatimu. Apakah kamu benar mencintaiku, atau aku hanya bayangan bagimu?" Naura menghela napas panjang. "Aku nggak harus berulang kali mengatakanya, seharusnya kamu udah tahu. Lagipula kita udah berjalan tiga tahun, apa menurutmu aku akan terus bersamamu kalau aku nggak mencintaimu?" ujar Naura. "Kamu duduk dulu, aku ambilkan air buat bersihin luka kamu," lanjut Naura kemudian berlalu begitu saja. Masih berdiri di depan pintu, Eza terus memperhatikan punggung Naura hingga menghilang dari pandangan. "Kamu ada disisiku, kita baik-baik saja selama ini, sebelum dia datang. Tapi setelah hari ini, apa kita akan tetap baik-baik saja, Naura?" ujar Eza lirih. Eza mengusap wajahnya kasar, kemudian ia beralih duduk di bangku teras menunggu Naura datang. Tidak membu
Ceklek. Alfa membuka ruang kerjanya yang juga merupakan ruang kerja Naura. Ya, mereka memang satu ruangan kerja. "Selamat pagi," sapa Alfa terlihat tenang. "Selamat pagi," balas Naura yang juga bersikap cuek. "Naura, tolong berikan laporan yang kemarin aku minta," pinta Alfa. "Baik," Naura pun memberikan laporan itu tanpa banyak bicara. "Oh ya, Naura, nanti jam 10 kamu ikut aku meeting di luar." "Baik," balas Naura patuh saja, memang tak mau banyak bicara. Telepon di atas meja kerja Alfa berbunyi, Alfa menekan satu tombol untuk memerima panggilan. "Pak Alfa, mbak Sherly datang dan sudah langsung naik ke ruangan bapak, tidak bisa ditegur," kata seorang yang berbicara melalui saluran telepon. "Terima kasih." Klik. Alfa langsung menutup telepon itu begitu saja. "Ck, kebiasaan!" Alfa menggerutu kesal. "Naura, tolong copy kan berkas ini di lantai satu," perintah Alfa. "
Naura membasuh wajahnya sekaligus menghilangkan jejak air matanya. Setelah itu ia mengeringkannya dengan tissue. Saat ia hendak keluar dari toilet, seseorang masuk dan mencegahnya. "Jangan keluar dulu," kata orang itu yang bahkan tak Naura kenali. Naura mengerutkan kening. "Aku?" Naura menunjuk pada diri diri sendiri. "Iya, di luar masih ada Sherly," lanjut orang tadi. "Sherly, siapa?" tanya Naura bingung. Seseorang itu menghela napas melihat kepolosan Naura. "Sherly itu tamunya pak Alfa. Kamu Naura kan, sekretaris barunya pak Alfa?" tanya orag itu. Naura mengangangguk seperti orang bodoh. "Makanya, kamu disini aja dulu. Sherly lagi nyariin kamu di luar." "Terima kasih atas informasinya. Kalau boleh tahu, kamu siapa?" tanya Naura. "Namaku Safira." "Ah, ya, salam kenal, Safira," kata Naura. Safira mengangguk sembari membasuh tangannya di wastafel. Naura memperhatikan Safira
Naura membawa secangkir kopi milik Alfa di tangan kananya, sedang tangannya yang kiri mendorong pintu dan ia pun masuk. "Ini kopimu," kata Naura seraya meletakkan kopi itu di atas meja. "Terima kasih," kata Alfa tanpa menoleh. Naura mengangguk singkat lalu ia pun kembali ke mejanya. Kemudian keduanya saling diam. Suasana cenderung canggung. Tiba-tiba saja Naura mengeluarkan suara. "Alfa," panggil Naura. Alfa langsung menoleh. "Apa Eza yang membutmu terluka seperti itu?" tanya Naura. Alfa terkekeh pelan. "Bukan apa-apa. Bagi cowok ini sudah biasa," balas Alfa. Naura tak menjawab lagi, dan setelahnya terjadi keheningan. "Dia bukan siapa-siapaku, sungguh," celetuk Alfa tiba-tiba setelah terjadi keheningan. Naura berhenti menggerakkan bolpen yang sedang ia gunakan untuk menulis. Naura pun perlahan mendongak untuk menatap Alfa. "Kamu ngomong sama aku?" tanya Naura datar. "Naura, Sherly bukan siapa-sia
"Naura, bisakah kita kembali bersama lagi? Seperti lima tahun yang lalu?" tanya Alfa lirih. Naura menatap Alfa sendu. "Nggak bisa, Alfa. Sudah terlambat." "Nggak, aku merasa belum terlambat," balas Alfa menyangkal. "Lalu apa? Apa yang bisa kamu lakukan? Aku sudah punya tunangan, dan aku sudah akan menikah." "Jangan tanya apa yang bisa aku lakukan, Naura. Aku bisa melakukan apapun demi dirimu, meskipun nyawa taruhannya," kata Alfa sangat yakin. Deg! Naura langsung teringat Eza, teringat pada ucapan yang Eza tuturkan semalam. Eza juga mengatakan hal serupa seperti yang Alfa katakan. Eza akan mempertahankan Naura agar tetap disampingnya meski myawa taruhannya. Astaga ... seketika Naura merasa dirinya tengah berkhianat, sekarang. Apa ini? Berpelukan dengan laki-laki lain? Sial! Kenapa Naura bisa tidak terkendali seperti ini? "Naura,—" Ting! Pintu lift terbuka dan Naura langsung keluar dari lift, berlari meni
Naura tengah menyisir rambutnya di depan cermin ketika ponselnya berdering, ia baru saja selesai mandi. Naura meraih ponselnya lalu menjawab panggilan dari Eza. "Hallo, Za," sapa.Naura lebih dulu. "Hai, Sayang, lagi ngapain?" tanya Eza. "Aku baru selesai mandi," jawab Naura. "Kalau gitu dandan yang cantik ya," pinta Eza. "Untuk apa?" "Untukku. Nanti malam aku dan keluargaku akan datang, kamu nggak lupa kan?" tanya Eza. "Ohh, aku nggak lupa kok tapi aku nunggu kepastian dari kamu dulu. Nanti abis ini aku kasih tahu orang tuaku kalau kalian akan datang ya." "Iya," balas Eza singkat. Kemudian merrka saling diam selama beberapa saat. "Ra," panggil Eza. "Ya?" "Orang tuaku ingin kita secepatnya melangsungkan pernikahan, apa kamu nggak keberatan? Mereka ingin dalam waktu dekat ini kita sudah menikah, Ra," ujar Eza. "Aku nggak keberatan, Za. Mana mungkin aku keberatan dinikahi tunanganku sendiri?
"Kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk anak-anak kita, Bu, Pak. Dan mendukung apa yang anak-anak kita cita-citakan," ujar Dahayu kepada orang tua Eza."Benar sekali, Bu, jika ini sudah menjadi keputusan anak-anak kita maka kita hanya bisa mendukung saja," ujar Rania—ibu Eza menambahi."Jadi begini, Bu Dahayu, Pak Dharma. Anak-anak kita ini kan sudah cukup lama menjalin hubungan, kalau bahasa gaulnya itu pacaran. Nah sekarang sudah saatnya bagi mereka untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Menurut bapak dan ibu Aswangga ini, apakah tidak masalah jika kita melangsungkan pernikahan anak-anak kita dalam waktu dekat? Karena biar bagaimanapun mereka tentu sudah jauh saling mengenal, bukan?" tutur Vikram—ayah Eza."Karena anak-anak yang akan menjalaninya jadi sebaiknya kita biarkan anak-anak saja yang mengambil keputusan, Pak. Kita bantu saja mereka," ucap Dharma—ayah Naura."Sebenarnya tadi kami sudah