Brak!
Alfa membanting pintu mobilnya dengan kencang. Ia duduk di balik kemudi lalu menarik rambutnya sadis, hingga bisa saja rontok.
"Haaaaaa ...!" Di dalam mobil yang kedap suara itu Alfa berteriak mengekspresikan perasaannya yang sedang kacau balau.
"Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" Alfa bertanya-tanya dengan emosi yang sangat tidak stabil. Napasnya naik turun tak menentu. Matanya memanas hingga butiran cair bening pun menetes melalui ujung matanya.
"Aku selalu memcarimu, Naura, tanpa henti, tanpa lelah. Aku selalu menebak-nebak apa alasan kepergianmu, dan aku sangat berharap kita bisa melanjutkan hubungan kita atau mungkin kita bisa memulainya dari awal. Tapi ternyata kamu udah punya calon suami."
"Kenapa kamu begitu tega, Naura, kenapa? Kamu telah berubah, kamu tidak lagi seperti Naura yang aku kenal dulu."
Seorang laki-laki menangis, itu pasti sakitnya sudah sangat menancap di relung hatinya.
Ya, seorang Alfarezi Kavindra yang terkenal angkuh dan arogan kini tengah menangis dalam kesendirian. Sedang menangis karena kenyataan yang ia terima begitu menyakitkan, begitu menghancurkannya.
Naura, satu-satunya wanita yang menguasai hatinya, sejak dulu dan selamanya akan begitu, namun kini wanita itu menoreh luka yang bisa saja membunuhnya.
Bagaimana tidak? Cinta Alfa untuk Naura sangat dalam. Alfa telah jatuh cinta pada Naura sedalam-dalamnya. Alfa mencintai Naura dengan sepenuh hatinya, dan segenap jiwanya. Namun lima tahun lalu Naura menghilang tanpa jejak seakan hilang ditelan bumi. Meski begitu Alfa tidak pernah menganggap hubungan mereka telah selesai. Karena Alfa yakin pada suatu hari yang tepat mereka akan dipertemukan kembali. Lalu pertemuan mereka kali ini apakah merupakan pertemuan yang tepat?
Isak tangis memenuhi setiap sudut mobil, berdengung dan membuat rasa sakit itu semakin nyata.
Alfa memukul-mukul dadanya yang sangat sesak. Napasnya tersengal akibat tangisnya.
Lalu tiba-tiba suara dering telpon terdengar, membuat Alfa mengusap pipinya yang basah.
Alfa melihat nama Evano tertera pada layar ponselnya. Ia tak ragu untuk mengangkat telpon dari sahabatnya itu.
"Hallo." Suara parau Alfa tidak bisa disembunyikan. Namun Alfa tidak peduli meski ia tahu akan banyak pertanyaan yang diajukan oleh Vano nantinya.
"Hei, Bro, kamu terlambat. Aku udah sampai di tempat kita janjian sejak lima belas menit yang lalu. Kalau kamu ada kencan seenggaknya kamu kabarin dong, biar aku nggak nungguin terus. Sampai lumutan aku nungguin kamu." Vano langsung menggerutu panjang.
"Dasar, lebay! Udah jagan berisik, aku kesana sekarang," tukas Alfa.
"Eh tunggu, kenapa suaramu—"
"Aku kesana sekarang!"
Tut.
Alfa langsung mematikan sambungan telponnya secara sepihak, tidak membiarkan Vano banyak bertanya melalui sambungan telepon. Biar saja nanti mereka mengobrol secara langsung.
Alfa pun segera melajukan mobilnya untuk menemui sahabatnya itu.
***
Kluntang!
Alfa menjatuhkan kunci mobilnya di atas meja yang sudah di tempati oleh Vano, kemudian ia menarik kursi dengan kasar untuk ia duduki. Mereka telah membuat janji temu di kafe langganan mereka.
"Hmm ... boss yang super sibuk, kerjaannya ngaret mulu nih. Padahal mah sok sibuk doang," cibir Vano dengan dengusan kecil.
"Ck, kamu lagi nyindir diri sendiri?" Alfa berdecak sinis. Pasalnya, memang biasanya Vano lah yang selalu ngaret alias selalu saja terlambat.
"Aih ... nggak asik, sukanya membalik-balikkan perkataan!" protes Vano
"Eh tunggu, kenapa mata kamu? Kayak habis disengat lebah gitu, bengkak," lanjut Vano sambil menunjuk-nunjuk mata Alfa, hampir saja dicoloknya.
"Sialan! Mana ada disengat lebah rapi gini bentuknya." Alfa menggerutu dan Vano berhasil tertawa di buatnya.
"Ya terus itu kenapa? Habis mewek? Ngapain juga kamu mewek, yang ada kamu yang bikin mewek cewek-cewek yang ngejar kamu," celetuk Vano masih belum selesai tertawa.
"Bisa pesenin kopi dulu nggak? Haus nih, apalagi ditambah harus jawab-jawabin pertanyaanmu, makin kering nanti tenggorokan."
"Nggak usah cemas nggak perlu risau, minuman udah datang, tuh." Vano menunjuk dengan dagunya pada minuman yang tengah diantarkan oleh seorang pelayan.
"Kurang pengertian apa aku, coba?" lanjut Vano lagi berbangga diri.
"Makasih," kata Vano pada pelayan yang mengantarkan kopi pesanan mereka. Pelayan itu mengangguk kemudian kembali bekerja.
"Heh, kenapa nangis, kucing di rumah meninggal?" tanya Vano lagi untuk kesekian kalinya, sangat penasaran dengan apa yang menyebabkan mata Alfa bengkak.
"Aku nggak punya kucing!" tukas Alfa.
"Oh, oh iya lupa. Terus kenapa?"
"Aku lagi patah hati."
"Buset! Hati bisa patah? Kayak gimana bentuknya hati yang patah? Kayak gambar-gambar yang ada di internet bukan?" tanya Vano dengan kekonyolannya.
"Bisa serius nggak?" Alfa berkata tajam, setajam tatapannya yang mematikan.
Vano langsung terdiam. Dia menyadari kalau situasinya harus serius sekarang.
"Oke, serius. Jadi kamu patah hati karena apa? Nggak mungkin karena masalah kerjaan kan? Dan kalau masalah cewek, yang ada malah kamu yang matahin hati para cewek," cerocos Vano.
"Ada satu perempuan yang bisa bikin aku patah hati. Kamu tahu betul siapa dia kan, Van?"
Vano mengerutkan kening. "Hanya Naura yang bisa mematahkan hatimu," celetuk Vano dengan terselip keraguan. Vano tahu persis perjalanan Naura dan Alfa karena mereka bertiga adalah sahabat, dulu.
"Ya, dan memang dia yang udah bikin aku patah hati sekarang." Alfa berkata penuh kepedihan.
"Ha? Maksudmu, Naura—bagaimana bisa?"
"Bisa. Aku udah menemukan Naura tapi aku udah nggak bisa menemukan cintanya," ucap Alfa dramatis.
"Ma-maksudnya? Oh tunggu-tunggu, kamu nggak lagi ngigau kan? Ka-kamu ketemu dia dimana?"
"Ceritanya panjang. Tapi yang jelas aku udah nggak bisa menggapai dia lagi sekarang. Bahkan untuk meminta menjelasannya aja aku nggak memiliki kesempatan. Dia ... dia udah punya tunangan, calon suami."
"Apa? Itu nggak mungkin. Itu bohong kan, Al?" Vano terkejut.
"Kalau itu bohongan, aku nggak mungkin sampai nangis gini, Van!" kata Alfa merutuki kebodohan sahabatnya.
Vano menganga, kemudian menepuk dahinya sendiri.
"Bagaimana itu mungkin? Emangnya kamu ketemu dia dimana? Tapi, Naura baik-baik aja kan?"
"Dia kelihatan sangat baik meski tanpa aku. Itu berarti dia bahagia dengan kehidupan barunya," lirih Alfa
"Payah! Sangat payah! Dia ada di dekatku tapi aku nggak bisa menggapainya. Aku akan selalu bersama dia tapi aku nggak bisa memilikinya."
"Tunggu, ini maksudnya apa nih? Tolong ngomongnya pake bahasa yang mudah dicerna, oke? Udah tau aku lemot," gerutu Vano.
"Dia bekerja di perusahaanku. Dia jadi sekretarisku. Aku bakal ketemu dia setiap hari kan? Tapi itu justru akan sangat menyakitkan. Ya Tuhan ...." Alfa mengusap wajahnya kasar.
"Bekerja di perusahaanmu dan jadi sekretarismu. Kabar buruk! Itu mungkin bisa dikatakan musibah," balas Vano.
"Tapi, gimana kamu bisa tahu dia udah punya calon suami?"
"Aku tahu, aku melihatnya dan aku berbicara dengannya. Kami bertemu saat laki-laki itu menjemput Naura."
"Tapi dia hanya calon suami, belum jadi suaminya Naura. Semua masih bisa dirubah."
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan, Vano?"
***
"Tapi dia hanya calon suami, belum jadi suaminya Naura. Semua masih bisa dirubah." "Memangnya apa yang bisa aku lakukan, Vano?" sentak Alfa. "Naura marah sama aku, dia bahkan nuduh aku punya wanita lain, apa maksudnya coba?" lanjut Alfa. "Aku rasa ada kesalahpahaman disini. Aku harus dapatkan penjelasan dari Naura, Van." Vano memainkan dagunya seperti sedang berpikir. "Bro, kamu punya banyak waktu untuk berduaan sama Naura kan? Ya kamu usaha lah, kamu dekati dia, kamu kasih perhatian ke dia, kamu berusaha ambil hatinya, setelah itu kamu bisa coba tanyakan kenapa dia pergi, bagus kan ideku?" Vano berujar panjang. Alfa mengerutkan kening. Ia mencerna dan mempertimbangkan saran yang diusulkan oleh Vano yang jarang-jarang otaknya encer. "Hmm ... ya, bisa juga, tapi ...." "Halah pake tapi-tapi segala, tapi apaan?" "Tapi aku pengennya dapat penjelasan dari Naura hari ini juga, malam ini lah minimal," ujar Alfa berteka
"Baru calon kan? Kamu belum jadi suaminya," kata Alfa pelan namun mengejek. "Sialan!" Bugh! Eza melayangkan pukulannya dan mendarat pada rahang Alfa tepat. Seketika Eza merasa kebas karena pukulan yang luar biasa itu. Pukulan Eza yang tengah dipenuhi amarah itu seakan dirasuki setan sehingg bisa membuat Alfa terhuyung karena saking kuatnya. Dan lagi, Alfa memang tidak siap karena ia tidak menyangka Eza akan memukulnya. "Kamu boleh bersikap arogan pada siapapun, tapi kalau sampai kamu memaksakan kehendakmu pada Naura maka aku nggak akan segan-segan menghabisimu!" ancam Eza serius. "Kamu kenal Naura udah berapa tahun, hm? Kenapa aku merasa kamu nggak mengenal Naura sama sekali, ck," cibir Alfa sinis. "Apa maksudmu?" tanya Eza tajam. Alfa kembali berlajan mendekati Eza setelah tadi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Kini Alfa berdiri persis di had
"Tapi apa? Apa kamu masih mencintai Alfa?" "Eza, kamu ini bicara apa? Apa kamu menuduhku?" kata Naura tak terima, ia merasa disalahkan. "Aku nggak nuduh kamu, aku cuma memastikan hatimu. Apakah kamu benar mencintaiku, atau aku hanya bayangan bagimu?" Naura menghela napas panjang. "Aku nggak harus berulang kali mengatakanya, seharusnya kamu udah tahu. Lagipula kita udah berjalan tiga tahun, apa menurutmu aku akan terus bersamamu kalau aku nggak mencintaimu?" ujar Naura. "Kamu duduk dulu, aku ambilkan air buat bersihin luka kamu," lanjut Naura kemudian berlalu begitu saja. Masih berdiri di depan pintu, Eza terus memperhatikan punggung Naura hingga menghilang dari pandangan. "Kamu ada disisiku, kita baik-baik saja selama ini, sebelum dia datang. Tapi setelah hari ini, apa kita akan tetap baik-baik saja, Naura?" ujar Eza lirih. Eza mengusap wajahnya kasar, kemudian ia beralih duduk di bangku teras menunggu Naura datang. Tidak membu
Ceklek. Alfa membuka ruang kerjanya yang juga merupakan ruang kerja Naura. Ya, mereka memang satu ruangan kerja. "Selamat pagi," sapa Alfa terlihat tenang. "Selamat pagi," balas Naura yang juga bersikap cuek. "Naura, tolong berikan laporan yang kemarin aku minta," pinta Alfa. "Baik," Naura pun memberikan laporan itu tanpa banyak bicara. "Oh ya, Naura, nanti jam 10 kamu ikut aku meeting di luar." "Baik," balas Naura patuh saja, memang tak mau banyak bicara. Telepon di atas meja kerja Alfa berbunyi, Alfa menekan satu tombol untuk memerima panggilan. "Pak Alfa, mbak Sherly datang dan sudah langsung naik ke ruangan bapak, tidak bisa ditegur," kata seorang yang berbicara melalui saluran telepon. "Terima kasih." Klik. Alfa langsung menutup telepon itu begitu saja. "Ck, kebiasaan!" Alfa menggerutu kesal. "Naura, tolong copy kan berkas ini di lantai satu," perintah Alfa. "
Naura membasuh wajahnya sekaligus menghilangkan jejak air matanya. Setelah itu ia mengeringkannya dengan tissue. Saat ia hendak keluar dari toilet, seseorang masuk dan mencegahnya. "Jangan keluar dulu," kata orang itu yang bahkan tak Naura kenali. Naura mengerutkan kening. "Aku?" Naura menunjuk pada diri diri sendiri. "Iya, di luar masih ada Sherly," lanjut orang tadi. "Sherly, siapa?" tanya Naura bingung. Seseorang itu menghela napas melihat kepolosan Naura. "Sherly itu tamunya pak Alfa. Kamu Naura kan, sekretaris barunya pak Alfa?" tanya orag itu. Naura mengangangguk seperti orang bodoh. "Makanya, kamu disini aja dulu. Sherly lagi nyariin kamu di luar." "Terima kasih atas informasinya. Kalau boleh tahu, kamu siapa?" tanya Naura. "Namaku Safira." "Ah, ya, salam kenal, Safira," kata Naura. Safira mengangguk sembari membasuh tangannya di wastafel. Naura memperhatikan Safira
Naura membawa secangkir kopi milik Alfa di tangan kananya, sedang tangannya yang kiri mendorong pintu dan ia pun masuk. "Ini kopimu," kata Naura seraya meletakkan kopi itu di atas meja. "Terima kasih," kata Alfa tanpa menoleh. Naura mengangguk singkat lalu ia pun kembali ke mejanya. Kemudian keduanya saling diam. Suasana cenderung canggung. Tiba-tiba saja Naura mengeluarkan suara. "Alfa," panggil Naura. Alfa langsung menoleh. "Apa Eza yang membutmu terluka seperti itu?" tanya Naura. Alfa terkekeh pelan. "Bukan apa-apa. Bagi cowok ini sudah biasa," balas Alfa. Naura tak menjawab lagi, dan setelahnya terjadi keheningan. "Dia bukan siapa-siapaku, sungguh," celetuk Alfa tiba-tiba setelah terjadi keheningan. Naura berhenti menggerakkan bolpen yang sedang ia gunakan untuk menulis. Naura pun perlahan mendongak untuk menatap Alfa. "Kamu ngomong sama aku?" tanya Naura datar. "Naura, Sherly bukan siapa-sia
"Naura, bisakah kita kembali bersama lagi? Seperti lima tahun yang lalu?" tanya Alfa lirih. Naura menatap Alfa sendu. "Nggak bisa, Alfa. Sudah terlambat." "Nggak, aku merasa belum terlambat," balas Alfa menyangkal. "Lalu apa? Apa yang bisa kamu lakukan? Aku sudah punya tunangan, dan aku sudah akan menikah." "Jangan tanya apa yang bisa aku lakukan, Naura. Aku bisa melakukan apapun demi dirimu, meskipun nyawa taruhannya," kata Alfa sangat yakin. Deg! Naura langsung teringat Eza, teringat pada ucapan yang Eza tuturkan semalam. Eza juga mengatakan hal serupa seperti yang Alfa katakan. Eza akan mempertahankan Naura agar tetap disampingnya meski myawa taruhannya. Astaga ... seketika Naura merasa dirinya tengah berkhianat, sekarang. Apa ini? Berpelukan dengan laki-laki lain? Sial! Kenapa Naura bisa tidak terkendali seperti ini? "Naura,—" Ting! Pintu lift terbuka dan Naura langsung keluar dari lift, berlari meni
Naura tengah menyisir rambutnya di depan cermin ketika ponselnya berdering, ia baru saja selesai mandi. Naura meraih ponselnya lalu menjawab panggilan dari Eza. "Hallo, Za," sapa.Naura lebih dulu. "Hai, Sayang, lagi ngapain?" tanya Eza. "Aku baru selesai mandi," jawab Naura. "Kalau gitu dandan yang cantik ya," pinta Eza. "Untuk apa?" "Untukku. Nanti malam aku dan keluargaku akan datang, kamu nggak lupa kan?" tanya Eza. "Ohh, aku nggak lupa kok tapi aku nunggu kepastian dari kamu dulu. Nanti abis ini aku kasih tahu orang tuaku kalau kalian akan datang ya." "Iya," balas Eza singkat. Kemudian merrka saling diam selama beberapa saat. "Ra," panggil Eza. "Ya?" "Orang tuaku ingin kita secepatnya melangsungkan pernikahan, apa kamu nggak keberatan? Mereka ingin dalam waktu dekat ini kita sudah menikah, Ra," ujar Eza. "Aku nggak keberatan, Za. Mana mungkin aku keberatan dinikahi tunanganku sendiri?
"Pak Alfa, ini keputusan yang sangat sulit yang harus kalian putuskan. Karena kalian harus memilih salah satu di antara mereka. Kalian memilih menyelamatkan ibunya atau anak yang dikandungnya?"Alfa langsung merasa kebas. Ia hampir ambruk karena seluruh tulangnya serasa diloloskan dari tubuhnya."Nggak mungkin! Nggak mungkin saya pilih salah satu diantara mereka. Selamatkan istri dan anak saya, Dokter. Dokter harus menyelamatkan mereka!" Alfa berteriak kapal. Nalin memegangi Alfa sambil meneteskan air mata. Pada akhirnya keputusan sulit ini harus diambil."Alfa, tenanglah, Nak," lirih Nalin."Bagaimana aku bisa tenang, Bu, anak dan istriku sedang berjuang tapi aku harus memilih salah satu dari mereka. Aku nggak mungkin bisa memilih, Bu," balas Alfa masih juga berteriak.Tak hanya Alfa yang terkejut dan kesulitan mengambil keputusan. Semua orang disana merasakan hal yang sama.Dahayu sudah menangis, Dharma memeluk istrinya. Begitu pula dengan
"Dokter, bagaimana keadaan istri saya?""Pasien sangat lemah. Pendarahan yang terjadi cukup menguras banyak darah. Saat ini pasien masih harus istirahat," jelas dokter."Tapi dia baik-baik aja kan, Dok? Dia pasti sembuh kan, Dok?" tanya Alfa lagi.Dokter itu menghela napas berat, seberat ia menjelaskan keadaan pasiennya yang sebenarnya.Sebagai seorang dokter Lily bertekad untuk selalu mengatakan hal-hal baik karena ucapan adalah doa. Dan juga dokter Lily selalu berusaha menjaga perasaan keluarga pasien agar tidak down."Berdoalah yang terbaik untuk pasien. Hanya Allah yang bisa menolongnya," ujar dokter Lily dengan senyum optimis, mencoba memancarkan sinyal positif meskipun sebenarnya ia sendiri merasa tidak seoptimis itu."Bolehkah saya menemui istri saya, Dok?"Dokter Lily mengangguk. "Silakan berikan kekuatan pada istri anda. Tapi tolong jangan mengganggu istirahatnya. Dia sangat lemah, sebaiknya jangan membangunkannya selama pasi
Vano uring-uringan sendiri di depan ruang IGD. Alfa benar-benar membuatnya tak habis pikir. Disaat istrinya berjuang untuk bertahan hidup dia malah melakukan hal yang tidak bisa dibenarkan. Ya Tuhan ....Vano sangat ingin menyusul Alfa tapi dia juga tidak bisa meninggalkan Safira sendiri apalagi di rumah sakit. Vano merasa serba tak mampu sekarang."Sayang, tenanglah ... kita beritahu pada tante Nalin saja nanti kalau dia sudah datang. Tante Nalin pasti bisa mengurus Alfa. Tenang yaa ... aku udah menelpon mereka, sebentar lagi pasti mereka datang," kata Safira membujuk suaminya.Untuk menghargai usaha istrinya, Vano melempar senyum sambil mengangguk meski sebenarnya ia tetap tidak tenamg. "Iya, kita tunggu mereka saja."Dan ya, orang tua Naura dan orang tua Alfa akhirnya datang tak lama kemudian."Vano, Safira, apa yang terjadi? Bagaimana keadaan Naura?" tanya Dahayu sangatlah panik. Keringat dingi bercucuran dimana-mana."Tante, kami nggak
Semakin hari usia kandungan Naura semakin bertambah. Perutnya pun semakin membesar. Saat ini kandungannya sudah berumur tujuh bulan.Karena perutnya semakin membesar Naura berpikir untuk mulai mempersiapkan kebutuhan bayi mereka. Mulai dari kamar bayi dan segala perlengkapannya, dan juga lain-lain lagi.Hari ini Naura mengajak Alfa pergi berbelanja baju bayi. Mereka mengunjungi baby shop terbesar agar mereka leluasa untuk memilih segala kebutuhan bayi mereka.Oh ya, Alfa dan Naura sengaja tidak ingin mengetahui terlebih dahulu apakah bayinya perempuan atau laki-laki meski dokter bisa saja memberitahu mereka. Mereka sengaja ingin menjadikan itu sebagai sebuah kejutan bagi mereka.Karena mereka belum tahu apakah anak mereka perempuan atau laki-laki, maka mereka berbelanja barang-barang yang netral saja, yang sekiranya cocok dipakai bayi perempuan maupun laki-laki, seperti warnanya yang netral untuk perempuan atau laki-laki, seperti warna biru, putih, atau k
Hari ini Naura pergi ke kantor suaminya. Ia merasa bosan harus berada di rumah sebesar itu sendirian.Para karyawan mengangguk sopan menyapa Naura—Bu boss.Naura membuka pintu ruangan Alfa dan ia melihat Alfa dan Vano terngah saling berdekatan, sangat dekat. Bahkan wajah mereka hampir saling menempel."Kalian lagi ngapain?" tanya Naura memasuki ruangan. Alfa dan Vano langsung menoleh bersamaan dan Vano pun bergerak menjauh."Kok kalian deket-deketan gitu? Kalian nggak belok kan?" tanya Naura lagi."Sialan! Aku masih sangat normal, tahu!" semprot Vano kesal karena dituduh hal yang tidak masuk akal."Ssttt ... nggak boleh ngomong kasar sama ibu hamil," kata Naura berlagak jadi wanita lembut.Vano mendengus kesal lalu duduk di kursinya. "Nggak lagi hamil, lagi hamil, tetep aja nyebelinnya nggak hilang-hilang," cibir Vano."Semoga aja nanti abis lahiran nyebelinnya tambah ya, Van," ucap Naura asal."Bodo amat dah, suka
"Ambil nasi goreng itu dan kasih gue uang satu juta," kata gadis itu dengan tersenyum miring.Alfa mendelik tajam. "Kamu memeras saya?""Nggak. Itu sih terserah lo aja. Kalau nggak mau ya udah sini balikin masi goreng gue. Lo lebih sayang uang satu juta lo atau istri lo?" kata gadis itu enteng dan terdengar meremehkan.Alfa ingin sekali meneriaki gadis itu, tapi dia teringat nasehat ibunya. 'Jaga sikapmu di luar sana. Ingatlah istrimu tengah mengandung.' Mengingat itu Alfa langsung mengurungkan niatnya.Alfa berpikir, apa sebaiknya dia membayar uang satu juta untuk nasi goreng itu?"Cepat putuskan. Gue nggak suka makan masi goreng yang udah dingin!" seru gadis itu mengagetkan Alfa dan membuyarkan lamunannya."Baiklah, saya beli nasi gorengmu seharga satu juta. Ini," kata Alfa pada akhirnya.Sambil terkekeh penuh kemenangan gadis itu menerima uang satu juta dari tangan Alfa."Senang bertransaksi sama lo," ucap gadis itu dan kemu
Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Usia kehamilan Naura sudah empat bulan. Keluarganya baru saja mengadakan upacara empat bulanan kehamilan Naura.Oh ya, Vano dan Safira juga sudah menikah. Mereka tinggal di rumah Vano bersama orang tua Vano—Danti dan Yoga.Perut Naura sudah mulai nampak menonjol. Karena usia kandungannya yang sudah ssmakin bertambah, kekonyolan Naura juga semakin berkurang. Maksudnya, kini Naura sudah jarang meminta hal-hal yang aneh-aneh. Yaaa ... tidak bisa hilang sepenuhnya, hanya kadang-kadang saja tapi Alfa sudah cukup bernapas lega karena dia bisa lebih fokus mengurus pekerjaannya sekarang."Sayang, pada usia empat bulan kandungan, Allah menurunkan nyawa pada janin di dalam perut. Sekarang anak ini telah bernyawa," ujar Nalin sambil mengusap lembut perut Naura."Kalian ajaklah dia berkomunikasi. Dia ada di dalam perut tapi dia bisa mendengar apa yang orang tuanya bicarakan. Lakukan hal-hal baik dan ajaklah dia mendenga
Meskipun merasa lega karena bapak botak itu nerbaik hati mengizinkan Alfa menyentuh kepalanya dan juga tidak mengecewakan Naura, tetapi tetap saja Alfa menanggung malu.Bahkan Alfa cepat-cepat pergi ke kasir sebelum menyelesaikan belanjanya.Bayangkan, seorang CEO Dynamite yang terkenal arogan kini melakukan hal memalukan seperti itu. Alfa beberapa kali menghela napas kasar dan juga merapalkan mantra semoga Naura tidak akan lagi memintanya melakukan hal aneh-aneh lagi.Alfa mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia ingin segera sampai di rumah dan dia ingin menghukum istrinya.Sampai di rumah Alfa menggendong Naura masuk ke dalam rumahnya tanpa mempedulikan belanjaan yang baru saja mereka beli."Alfa, apa yang kamu lakukan? Turunkan aku dan ambil belanjaannya. Aku mau masak, Alfa," kata Naura merajuk."Diamlah. Aku sedang marah sekarang," kata Alfa dengan ekspresi datar."Ma-marah?" lirih Naura terbata."Ya, aku marah. K
Hari ini adalah peata pernikahan Eza dan Sherly. Alfa, Naura, Safira dan Vano datang.Disana Naura banyak bertemu teman lama karena teman-teman Eza adalah teman-teman Naura juga di tempat kerjanya yang lama.Termasuk Adam yant waktu itu pernah dibahas oleh Eza dan Naura saat mereka masih bersama."Heyyooo ... sombing sekali sekarang kamu, Ra, nggak pernah mau main-main ke kantor," celetuk Adam."Adam, mana mungkin aku main-main ke kantor. Aku udah bukan apa-apa lagi disana. Kecuali kalau itu perusahaan nenek moyangku," balas Naura."Nenek moyang kita kan sama, Ra. Sama juga sama nenek moyangnya pak boss. Sama-sama seorang pelaut. Kan ada tuh lagunya, nenek moyangku seorang pelaut ...." ujar Adam diakhiri dengan nyanyian pendek.Alfa terkekeh pelan. Adam pun menoleh."Hei, Naura, suamimu tertawa," celetuk Adam. Naura jadi ikut tertawa."Hei, Bro, salam kenal, aku temannya Naura," sapa Adam menyapa Alfa."Ya, salam kenal.