Brak!
Alfa membanting pintu mobilnya dengan kencang. Ia duduk di balik kemudi lalu menarik rambutnya sadis, hingga bisa saja rontok.
"Haaaaaa ...!" Di dalam mobil yang kedap suara itu Alfa berteriak mengekspresikan perasaannya yang sedang kacau balau.
"Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" Alfa bertanya-tanya dengan emosi yang sangat tidak stabil. Napasnya naik turun tak menentu. Matanya memanas hingga butiran cair bening pun menetes melalui ujung matanya.
"Aku selalu memcarimu, Naura, tanpa henti, tanpa lelah. Aku selalu menebak-nebak apa alasan kepergianmu, dan aku sangat berharap kita bisa melanjutkan hubungan kita atau mungkin kita bisa memulainya dari awal. Tapi ternyata kamu udah punya calon suami."
"Kenapa kamu begitu tega, Naura, kenapa? Kamu telah berubah, kamu tidak lagi seperti Naura yang aku kenal dulu."
Seorang laki-laki menangis, itu pasti sakitnya sudah sangat menancap di relung hatinya.
Ya, seorang Alfarezi Kavindra yang terkenal angkuh dan arogan kini tengah menangis dalam kesendirian. Sedang menangis karena kenyataan yang ia terima begitu menyakitkan, begitu menghancurkannya.
Naura, satu-satunya wanita yang menguasai hatinya, sejak dulu dan selamanya akan begitu, namun kini wanita itu menoreh luka yang bisa saja membunuhnya.
Bagaimana tidak? Cinta Alfa untuk Naura sangat dalam. Alfa telah jatuh cinta pada Naura sedalam-dalamnya. Alfa mencintai Naura dengan sepenuh hatinya, dan segenap jiwanya. Namun lima tahun lalu Naura menghilang tanpa jejak seakan hilang ditelan bumi. Meski begitu Alfa tidak pernah menganggap hubungan mereka telah selesai. Karena Alfa yakin pada suatu hari yang tepat mereka akan dipertemukan kembali. Lalu pertemuan mereka kali ini apakah merupakan pertemuan yang tepat?
Isak tangis memenuhi setiap sudut mobil, berdengung dan membuat rasa sakit itu semakin nyata.
Alfa memukul-mukul dadanya yang sangat sesak. Napasnya tersengal akibat tangisnya.
Lalu tiba-tiba suara dering telpon terdengar, membuat Alfa mengusap pipinya yang basah.
Alfa melihat nama Evano tertera pada layar ponselnya. Ia tak ragu untuk mengangkat telpon dari sahabatnya itu.
"Hallo." Suara parau Alfa tidak bisa disembunyikan. Namun Alfa tidak peduli meski ia tahu akan banyak pertanyaan yang diajukan oleh Vano nantinya.
"Hei, Bro, kamu terlambat. Aku udah sampai di tempat kita janjian sejak lima belas menit yang lalu. Kalau kamu ada kencan seenggaknya kamu kabarin dong, biar aku nggak nungguin terus. Sampai lumutan aku nungguin kamu." Vano langsung menggerutu panjang.
"Dasar, lebay! Udah jagan berisik, aku kesana sekarang," tukas Alfa.
"Eh tunggu, kenapa suaramu—"
"Aku kesana sekarang!"
Tut.
Alfa langsung mematikan sambungan telponnya secara sepihak, tidak membiarkan Vano banyak bertanya melalui sambungan telepon. Biar saja nanti mereka mengobrol secara langsung.
Alfa pun segera melajukan mobilnya untuk menemui sahabatnya itu.
***
Kluntang!
Alfa menjatuhkan kunci mobilnya di atas meja yang sudah di tempati oleh Vano, kemudian ia menarik kursi dengan kasar untuk ia duduki. Mereka telah membuat janji temu di kafe langganan mereka.
"Hmm ... boss yang super sibuk, kerjaannya ngaret mulu nih. Padahal mah sok sibuk doang," cibir Vano dengan dengusan kecil.
"Ck, kamu lagi nyindir diri sendiri?" Alfa berdecak sinis. Pasalnya, memang biasanya Vano lah yang selalu ngaret alias selalu saja terlambat.
"Aih ... nggak asik, sukanya membalik-balikkan perkataan!" protes Vano
"Eh tunggu, kenapa mata kamu? Kayak habis disengat lebah gitu, bengkak," lanjut Vano sambil menunjuk-nunjuk mata Alfa, hampir saja dicoloknya.
"Sialan! Mana ada disengat lebah rapi gini bentuknya." Alfa menggerutu dan Vano berhasil tertawa di buatnya.
"Ya terus itu kenapa? Habis mewek? Ngapain juga kamu mewek, yang ada kamu yang bikin mewek cewek-cewek yang ngejar kamu," celetuk Vano masih belum selesai tertawa.
"Bisa pesenin kopi dulu nggak? Haus nih, apalagi ditambah harus jawab-jawabin pertanyaanmu, makin kering nanti tenggorokan."
"Nggak usah cemas nggak perlu risau, minuman udah datang, tuh." Vano menunjuk dengan dagunya pada minuman yang tengah diantarkan oleh seorang pelayan.
"Kurang pengertian apa aku, coba?" lanjut Vano lagi berbangga diri.
"Makasih," kata Vano pada pelayan yang mengantarkan kopi pesanan mereka. Pelayan itu mengangguk kemudian kembali bekerja.
"Heh, kenapa nangis, kucing di rumah meninggal?" tanya Vano lagi untuk kesekian kalinya, sangat penasaran dengan apa yang menyebabkan mata Alfa bengkak.
"Aku nggak punya kucing!" tukas Alfa.
"Oh, oh iya lupa. Terus kenapa?"
"Aku lagi patah hati."
"Buset! Hati bisa patah? Kayak gimana bentuknya hati yang patah? Kayak gambar-gambar yang ada di internet bukan?" tanya Vano dengan kekonyolannya.
"Bisa serius nggak?" Alfa berkata tajam, setajam tatapannya yang mematikan.
Vano langsung terdiam. Dia menyadari kalau situasinya harus serius sekarang.
"Oke, serius. Jadi kamu patah hati karena apa? Nggak mungkin karena masalah kerjaan kan? Dan kalau masalah cewek, yang ada malah kamu yang matahin hati para cewek," cerocos Vano.
"Ada satu perempuan yang bisa bikin aku patah hati. Kamu tahu betul siapa dia kan, Van?"
Vano mengerutkan kening. "Hanya Naura yang bisa mematahkan hatimu," celetuk Vano dengan terselip keraguan. Vano tahu persis perjalanan Naura dan Alfa karena mereka bertiga adalah sahabat, dulu.
"Ya, dan memang dia yang udah bikin aku patah hati sekarang." Alfa berkata penuh kepedihan.
"Ha? Maksudmu, Naura—bagaimana bisa?"
"Bisa. Aku udah menemukan Naura tapi aku udah nggak bisa menemukan cintanya," ucap Alfa dramatis.
"Ma-maksudnya? Oh tunggu-tunggu, kamu nggak lagi ngigau kan? Ka-kamu ketemu dia dimana?"
"Ceritanya panjang. Tapi yang jelas aku udah nggak bisa menggapai dia lagi sekarang. Bahkan untuk meminta menjelasannya aja aku nggak memiliki kesempatan. Dia ... dia udah punya tunangan, calon suami."
"Apa? Itu nggak mungkin. Itu bohong kan, Al?" Vano terkejut.
"Kalau itu bohongan, aku nggak mungkin sampai nangis gini, Van!" kata Alfa merutuki kebodohan sahabatnya.
Vano menganga, kemudian menepuk dahinya sendiri.
"Bagaimana itu mungkin? Emangnya kamu ketemu dia dimana? Tapi, Naura baik-baik aja kan?"
"Dia kelihatan sangat baik meski tanpa aku. Itu berarti dia bahagia dengan kehidupan barunya," lirih Alfa
"Payah! Sangat payah! Dia ada di dekatku tapi aku nggak bisa menggapainya. Aku akan selalu bersama dia tapi aku nggak bisa memilikinya."
"Tunggu, ini maksudnya apa nih? Tolong ngomongnya pake bahasa yang mudah dicerna, oke? Udah tau aku lemot," gerutu Vano.
"Dia bekerja di perusahaanku. Dia jadi sekretarisku. Aku bakal ketemu dia setiap hari kan? Tapi itu justru akan sangat menyakitkan. Ya Tuhan ...." Alfa mengusap wajahnya kasar.
"Bekerja di perusahaanmu dan jadi sekretarismu. Kabar buruk! Itu mungkin bisa dikatakan musibah," balas Vano.
"Tapi, gimana kamu bisa tahu dia udah punya calon suami?"
"Aku tahu, aku melihatnya dan aku berbicara dengannya. Kami bertemu saat laki-laki itu menjemput Naura."
"Tapi dia hanya calon suami, belum jadi suaminya Naura. Semua masih bisa dirubah."
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan, Vano?"
***
"Tapi dia hanya calon suami, belum jadi suaminya Naura. Semua masih bisa dirubah." "Memangnya apa yang bisa aku lakukan, Vano?" sentak Alfa. "Naura marah sama aku, dia bahkan nuduh aku punya wanita lain, apa maksudnya coba?" lanjut Alfa. "Aku rasa ada kesalahpahaman disini. Aku harus dapatkan penjelasan dari Naura, Van." Vano memainkan dagunya seperti sedang berpikir. "Bro, kamu punya banyak waktu untuk berduaan sama Naura kan? Ya kamu usaha lah, kamu dekati dia, kamu kasih perhatian ke dia, kamu berusaha ambil hatinya, setelah itu kamu bisa coba tanyakan kenapa dia pergi, bagus kan ideku?" Vano berujar panjang. Alfa mengerutkan kening. Ia mencerna dan mempertimbangkan saran yang diusulkan oleh Vano yang jarang-jarang otaknya encer. "Hmm ... ya, bisa juga, tapi ...." "Halah pake tapi-tapi segala, tapi apaan?" "Tapi aku pengennya dapat penjelasan dari Naura hari ini juga, malam ini lah minimal," ujar Alfa berteka
"Baru calon kan? Kamu belum jadi suaminya," kata Alfa pelan namun mengejek. "Sialan!" Bugh! Eza melayangkan pukulannya dan mendarat pada rahang Alfa tepat. Seketika Eza merasa kebas karena pukulan yang luar biasa itu. Pukulan Eza yang tengah dipenuhi amarah itu seakan dirasuki setan sehingg bisa membuat Alfa terhuyung karena saking kuatnya. Dan lagi, Alfa memang tidak siap karena ia tidak menyangka Eza akan memukulnya. "Kamu boleh bersikap arogan pada siapapun, tapi kalau sampai kamu memaksakan kehendakmu pada Naura maka aku nggak akan segan-segan menghabisimu!" ancam Eza serius. "Kamu kenal Naura udah berapa tahun, hm? Kenapa aku merasa kamu nggak mengenal Naura sama sekali, ck," cibir Alfa sinis. "Apa maksudmu?" tanya Eza tajam. Alfa kembali berlajan mendekati Eza setelah tadi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Kini Alfa berdiri persis di had
"Tapi apa? Apa kamu masih mencintai Alfa?" "Eza, kamu ini bicara apa? Apa kamu menuduhku?" kata Naura tak terima, ia merasa disalahkan. "Aku nggak nuduh kamu, aku cuma memastikan hatimu. Apakah kamu benar mencintaiku, atau aku hanya bayangan bagimu?" Naura menghela napas panjang. "Aku nggak harus berulang kali mengatakanya, seharusnya kamu udah tahu. Lagipula kita udah berjalan tiga tahun, apa menurutmu aku akan terus bersamamu kalau aku nggak mencintaimu?" ujar Naura. "Kamu duduk dulu, aku ambilkan air buat bersihin luka kamu," lanjut Naura kemudian berlalu begitu saja. Masih berdiri di depan pintu, Eza terus memperhatikan punggung Naura hingga menghilang dari pandangan. "Kamu ada disisiku, kita baik-baik saja selama ini, sebelum dia datang. Tapi setelah hari ini, apa kita akan tetap baik-baik saja, Naura?" ujar Eza lirih. Eza mengusap wajahnya kasar, kemudian ia beralih duduk di bangku teras menunggu Naura datang. Tidak membu
Ceklek. Alfa membuka ruang kerjanya yang juga merupakan ruang kerja Naura. Ya, mereka memang satu ruangan kerja. "Selamat pagi," sapa Alfa terlihat tenang. "Selamat pagi," balas Naura yang juga bersikap cuek. "Naura, tolong berikan laporan yang kemarin aku minta," pinta Alfa. "Baik," Naura pun memberikan laporan itu tanpa banyak bicara. "Oh ya, Naura, nanti jam 10 kamu ikut aku meeting di luar." "Baik," balas Naura patuh saja, memang tak mau banyak bicara. Telepon di atas meja kerja Alfa berbunyi, Alfa menekan satu tombol untuk memerima panggilan. "Pak Alfa, mbak Sherly datang dan sudah langsung naik ke ruangan bapak, tidak bisa ditegur," kata seorang yang berbicara melalui saluran telepon. "Terima kasih." Klik. Alfa langsung menutup telepon itu begitu saja. "Ck, kebiasaan!" Alfa menggerutu kesal. "Naura, tolong copy kan berkas ini di lantai satu," perintah Alfa. "
Naura membasuh wajahnya sekaligus menghilangkan jejak air matanya. Setelah itu ia mengeringkannya dengan tissue. Saat ia hendak keluar dari toilet, seseorang masuk dan mencegahnya. "Jangan keluar dulu," kata orang itu yang bahkan tak Naura kenali. Naura mengerutkan kening. "Aku?" Naura menunjuk pada diri diri sendiri. "Iya, di luar masih ada Sherly," lanjut orang tadi. "Sherly, siapa?" tanya Naura bingung. Seseorang itu menghela napas melihat kepolosan Naura. "Sherly itu tamunya pak Alfa. Kamu Naura kan, sekretaris barunya pak Alfa?" tanya orag itu. Naura mengangangguk seperti orang bodoh. "Makanya, kamu disini aja dulu. Sherly lagi nyariin kamu di luar." "Terima kasih atas informasinya. Kalau boleh tahu, kamu siapa?" tanya Naura. "Namaku Safira." "Ah, ya, salam kenal, Safira," kata Naura. Safira mengangguk sembari membasuh tangannya di wastafel. Naura memperhatikan Safira
Naura membawa secangkir kopi milik Alfa di tangan kananya, sedang tangannya yang kiri mendorong pintu dan ia pun masuk. "Ini kopimu," kata Naura seraya meletakkan kopi itu di atas meja. "Terima kasih," kata Alfa tanpa menoleh. Naura mengangguk singkat lalu ia pun kembali ke mejanya. Kemudian keduanya saling diam. Suasana cenderung canggung. Tiba-tiba saja Naura mengeluarkan suara. "Alfa," panggil Naura. Alfa langsung menoleh. "Apa Eza yang membutmu terluka seperti itu?" tanya Naura. Alfa terkekeh pelan. "Bukan apa-apa. Bagi cowok ini sudah biasa," balas Alfa. Naura tak menjawab lagi, dan setelahnya terjadi keheningan. "Dia bukan siapa-siapaku, sungguh," celetuk Alfa tiba-tiba setelah terjadi keheningan. Naura berhenti menggerakkan bolpen yang sedang ia gunakan untuk menulis. Naura pun perlahan mendongak untuk menatap Alfa. "Kamu ngomong sama aku?" tanya Naura datar. "Naura, Sherly bukan siapa-sia
"Naura, bisakah kita kembali bersama lagi? Seperti lima tahun yang lalu?" tanya Alfa lirih. Naura menatap Alfa sendu. "Nggak bisa, Alfa. Sudah terlambat." "Nggak, aku merasa belum terlambat," balas Alfa menyangkal. "Lalu apa? Apa yang bisa kamu lakukan? Aku sudah punya tunangan, dan aku sudah akan menikah." "Jangan tanya apa yang bisa aku lakukan, Naura. Aku bisa melakukan apapun demi dirimu, meskipun nyawa taruhannya," kata Alfa sangat yakin. Deg! Naura langsung teringat Eza, teringat pada ucapan yang Eza tuturkan semalam. Eza juga mengatakan hal serupa seperti yang Alfa katakan. Eza akan mempertahankan Naura agar tetap disampingnya meski myawa taruhannya. Astaga ... seketika Naura merasa dirinya tengah berkhianat, sekarang. Apa ini? Berpelukan dengan laki-laki lain? Sial! Kenapa Naura bisa tidak terkendali seperti ini? "Naura,—" Ting! Pintu lift terbuka dan Naura langsung keluar dari lift, berlari meni
Naura tengah menyisir rambutnya di depan cermin ketika ponselnya berdering, ia baru saja selesai mandi. Naura meraih ponselnya lalu menjawab panggilan dari Eza. "Hallo, Za," sapa.Naura lebih dulu. "Hai, Sayang, lagi ngapain?" tanya Eza. "Aku baru selesai mandi," jawab Naura. "Kalau gitu dandan yang cantik ya," pinta Eza. "Untuk apa?" "Untukku. Nanti malam aku dan keluargaku akan datang, kamu nggak lupa kan?" tanya Eza. "Ohh, aku nggak lupa kok tapi aku nunggu kepastian dari kamu dulu. Nanti abis ini aku kasih tahu orang tuaku kalau kalian akan datang ya." "Iya," balas Eza singkat. Kemudian merrka saling diam selama beberapa saat. "Ra," panggil Eza. "Ya?" "Orang tuaku ingin kita secepatnya melangsungkan pernikahan, apa kamu nggak keberatan? Mereka ingin dalam waktu dekat ini kita sudah menikah, Ra," ujar Eza. "Aku nggak keberatan, Za. Mana mungkin aku keberatan dinikahi tunanganku sendiri?