"Sayang, udahlah kamu nggak usah kerja. Kita kan juga udah mau nikah, sementara kamu istirahat aja di rumah." Seorang laki-laki berperawakan atletis dan tubuh tegap, sedang membujuk kekasihnya yang baru saja diterima di perusahaan ternama setelah kontrak kerjanya usai di perusahaan yang sama dengan laki-laki itu bekerja.
Dia adalah Eza, yang sedang membujuk Naura—kekasihnya, agar tidak usah bekerja lagi.
Mereka telah menjalin hubungan selama tiga tahun lamanya. Eza cukup mapan dan sudah sangat ingin menikahi Naura, tetapi Naura terus menghindar, Naura terus menunda. Dan Eza hanya bisa bersabar sampai kekasihnya itu siap untuk menikah dengannya.
"Nggak mau, aku nggak terbiasa nggak ada kegiatan, nanti yang ada malah aku bosan. Biarin aku kerja ya, Sayang, please ...." Naura memperlihatkan puppy eyesnya memohon.
"Lagipula kita kan masih belum menikah, aku masih ingin punya penghasilan sendiri," lanjut Naura.
Eza tersenyum kecut, namun dia bisa apa? Kekasihnya itu memiliki sifat keras kepala yang kental. Sangat sulit untuk tidak menuruti kemauannya.
"Iya, ya udah, terserah kamu saja."
Naura tersenyum, sambil meraih satu tangan Eza yang bebas Naura berkata, "makasih ya, Sayang." Sedangkan tangan Eza yang satunya sibuk menyetir.
Saat ini mereka sedang dalam perjalanan, pagi ini Eza mengantarkan Naura pergi ke kantor barunya, sebelum ia sendiri pergi ke kantor juga.
"Tapi sebenarnya aku kurang setuju kamu kerja di perusahaan itu, Naura, apalagi aku dengar bossnya itu angkuh dan arogan. Suka seenaknya sama karyawan-karyawannya. Dan sialnya kamu malah jadi sekretaris dia." Eza mengutarakan ketidaksukaannya.
"Jangan gitu dong, Sayang. Aku cuma niat bekerja aja, asalkan aku patuh aku yakin bossnya nggak akan nyusahin aku kok."
"Haih ... ya ya ya, semoga saja begitu." Eza hanya bisa mengalah dan mengiyakan saja.
Dan mereka pun akhirnya telah sampai di depan gedung yang bertuliskan Dynamite, perusahaan yang akan menajdi tempat Naura bekerja mulai sekarang.
"Sudah sampai, aku turun dulu, kamu hati-hati ya," kata Naura sembari membuka sabuk keamanan.
"Iya. Pokoknya kamu harus jauh-jauh dari boss kamu ya, jangan dekat-dekat. Aku nggak mau kalau sampai dia nyusahin kamu."
"Iya, Sayang, aku paham."
"Ya udah, nanti aku jemput kamu," kata Eza dengan nada yang lebih bersahabat, tidak sedatar tadi.
"Iya. Aku masuk dulu, sampai nanti."
"Sampai nanti."
***
"Selamat pagi," sapa seorang pada Naura yang baru saja sampai di lobby.
"Selamat pagi," balas Naura sedikit canggung. Naura adalah pegawai baru dan dia di sapa seperti ini, apa semua karyawan baru akan diperlakukan seperti ini?
"Kamu Naura Aswangga kan?" tanya seorang itu yang berperawakan tinggi dan ramping. Kacamata yang menutupi matanya sama sekali tak menutupi kecantikannya.
"Iya, benar. Apakah ada tugas untuk saya?"
"Perkenalkan, namaku Yessy. Kamu cukup panggil aku Yessy saja. Aku diperintahkan oleh pak Alfa untuk menjemput kamu. Ayo ikut aku ke ruangan pak Alfa," kata Yesay sangat sopan. Yessy sudah berjalan lebih dulu, mau tidak mau Naura mengekor di belakangnya.
"Pak Alfa?" gumam Naura bertanya-tanya.
"Iya, CEO kita. Kamu yang akan jadi sekretaris pak Alfa kan?"
Naura tahu dia akan menjadi sekeretaris CEO, tapi namanya ... Alfa? Kenapa namamya harus sama dengan seseorang dari masa lalunya? Ah mungkin hanya kebetulan namanya saja yang sama, tidak mungkn orangnya yang sama kan?
"Ah, i-iya. Ta-tapi, kalau boleh tahu, siapa nama panjang pak Alfa, Yessy?"
"Namanya Alfarezi Kavindra. Jangan sampai lupa namanya, atau mungkin kamu akan mendapat masalah.
'Nggak mungkin! Itu nggak mungkin dia kan?' tiba-tiba Naura terbengong dan berhenti berjalan.
"Naura, kenapa kamu berhenti disana? Ayo cepat! Pak Alfa bisa murka kalau dia terlalu lama menunggu." Yessy berseru membuat Naura tersadar dari lamunanya. Pikirannya yang tadi sempat berkelana jauh kini telah kembali pada kenyataan.
"I-i-iya, aku segera kesana."
***
Naura berjalan keluar dari lift dengan kaki gemetar. Seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa lemas hanya karena ia mendengar nama Alfarezi Kavindra. Tidak mungkin seseorang akan memiliki nama yang sama persis, kecuali itu adalah orang itu sendiri.
"Naura, kamu baik-baik saja kan? Kenapa kamu tiba-tiba pucat? Apa kamu sakit?" tanya Yessy menyelidik.
"Ah, tidak, aku tidak apa-apa, Yessy, aku baik-baik saja."
Kebohongan besar! Bagaimana bisa dikatakan baik-baik saja, padahal sebenarnya Naura sedang diserang perasaan takut yang luar biasa.
"Kalau begitu ayo kita temui pak Alfa."
Naura mengangguk lemah. "Iya."
Tok tok tok!
"Masuk!" seru seorang pria dengan suara baritonnya.
Astaga! Mendengar suara itu membuat Naura semakin kehilangan nyali.
Yessy masuk ke dalam ruangan lebih dulu.
"Selamat pagi, Pak, saya datang mengantar sekretaris baru bapak," ujar Yessy.
"Oh, dia sudah datang? Suruh dia masuk." Alfa berkata tanpa menatap lawan bicaranya, ia sibuk membaca lembaran kertas yang kini ada di tangannya.
"Baik."
"Naura, ayo masuk!" lanjut Yessy.
Naura pun harus masuk ke dalam ruangan itu. Sambil terus menundukkan kepalanya dalam-dalam, Naura menyapa, "selamat pagi, Pak Alfa."
Alfa langsung mengangkat kepalanya. Ia memperhatikan seorang yang baru saja menyapanya tanpa berkata-kata.
"Yessy, kamu boleh pergi," kata Alfa yang merupakan sebuah perintah.
"Baik, saya permisi." Yessy membungkuk sopan lalu undur diri.
"Jangan lupa tutup pintunya!"
Tanpa menjawab dengan kata-kata, Yessy melakukan perintah Alfa.
Brakk!
Di dalam ruangan ber-AC itu entah mengapa masih terasa panas. Terjadi keheningan cukup lama diantara keduanya, bahkan tak ada yang bergerak dari tempatnya sedikitpun.
Hingga akhirnya Alfa yang lebih dulu mengambil inisiatif. Dia bangkit dari kursi kebesarannya dan perlahan melangkah mendekati Naura.
Tuk tuk tuk!
Suara alas kaki Alfa yang semakin mendekat, seakan menjadi bom waktu bagi Naura. Ia ketakutan, entah apa yang ia takutkan. Yang jelas Naura tidak siap bertemu dengan Alfa untuk saat ini. Dan Naura sama sekali tidak menyangka ia akan bertemu dengan Alfa kembali.
"Naura." Alfa menyebutkan nama Naura dengan cukup keras namun terdengar samar di telinga Naura.
Alfa merasa tidak sabar. Dengan berani Alfa meraih tangan Naura dan menggenggamnya erat, dan hal itu membuat Naura terpaksa mendongak.
Alfa menatap Naura dengan tatapan tajam namun sendu. "Kemana kamu pergi selama lima tahun ini, Naura?"
Naura mengatur napas dengan susah payah, lalu dengan suara yang dia buat senormal mungkin Naura menjawab, "aku pergi ke tempat yang seharusnya aku datangi untuk meninggalkan tempat yang seharusnya aku tinggalkan."
"Apa maksudmu, Naura? Kamu ninggalin aku tanpa alasan dan sekarang jawaban itu yang kamu kasih ke aku?"
"Memangnya jawaban apa yang seharusnya aku berikan, Alfa? Kalau kamu lebih bahagia dengan wanita lain maka pergilah dengan wanita itu. Akupun akan mundur."
Alfa terbelakak mendengar kalimat Naura yang sama sekali tak ia mengerti. "Wanita lain?"
***
"Wanita lain?" Alfa ternganga. "Apa maksudmu dengan wanita lain?" Alfa meminta penjelasan. "Cih, dasar bajingan! Kamu sama sekali nggak menyadari kesalahanmu, ha?" Entah mendapat keberanian dari mana, Naura yang tadinya menciut ketakutan kini ia berani mengumpati laki-laki di hadapannya itu, dengan jarak yang sangat dekat. Bam! Alfa meninju pintu tepat di belakang Naura dengan mengurung Naura pada lingkaran yang ia ciptakan dengan tangannya. Naura terpelonjat karena saking terkejutnya dengan pukulan yang mengenai pintu dibelakangnya. Dan ketika ia membuka mata wajahnya hampir tak berjarak dengan wajah Alfa. "Kamu sampai menyebutku bajingan? Memangnya apa kesalahanku, Naura?" Dengan nada pelan penuh penekanan, Alfa berkata dengan gigi gemertak. "Kenapa kamu kelihatan sangat membenciku?" lanjut Alfa bertanya. Naura memutar bola mata jengah. "Jangan pernah tanyakan apa kesalahanmu pada orang lain. Kamulah yang paling tahu
Eza mencengkeram kuat kemudi yang tak bersalah. Hatinya penuh gemuruh dan ia merasa kacau. Ia bingung harus bersikap bagaimana sekarang di hadapan wanita pujaannya. Eza membuant napas kasar dengan sekali hentak. Lalu perlahan ia menatap Naura yang terus menatap keluar jendela. Ada sebuah pertanyaan yang terngiang di kepala Eza, yang ragu untuk ia tanyakan tapi dia sangat penasaran akan kenyataannya. Akhirnya pertanyaan itupun terucap, keluar dari mulutnya. "Naura, apa hubungan kalian sebenarnya?" Deg! Naura langsung mematung dengan jantung yang seakan berhenti bekerja. Napasnya tercekat hanya karena satu pertanyaan yang mungkin bisa membunuhnya. Naura sama sekali belum siap untuk mengungkit masa lalunya, apalagi menceritakannya pada Eza. Bukannya Naura ingin terus menyembunyikan masa lalunya dari calon suaminya, tetapi Naura merasa itu tidaklah penting untuk dibicarakan. Namun sekarang justru Eza sendiri yang menangkap basah penggalan
Brak!Alfa membanting pintu mobilnya dengan kencang. Ia duduk di balik kemudi lalu menarik rambutnya sadis, hingga bisa saja rontok."Haaaaaa ...!" Di dalam mobil yang kedap suara itu Alfa berteriak mengekspresikan perasaannya yang sedang kacau balau."Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" Alfa bertanya-tanya dengan emosi yang sangat tidak stabil. Napasnya naik turun tak menentu. Matanya memanas hingga butiran cair bening pun menetes melalui ujung matanya."Aku selalu memcarimu, Naura, tanpa henti, tanpa lelah. Aku selalu menebak-nebak apa alasan kepergianmu, dan aku sangat berharap kita bisa melanjutkan hubungan kita atau mungkin kita bisa memulainya dari awal. Tapi ternyata kamu udah punya calon suami.""Kenapa kamu begitu tega, Naura, kenapa? Kamu telah berubah, kamu tidak lagi seperti Naura yang aku kenal dulu."Seorang laki-laki menangis, itu pasti sakitnya sudah sangat menancap di relung hatinya.Ya, seorang Alfarezi Kavindra y
"Tapi dia hanya calon suami, belum jadi suaminya Naura. Semua masih bisa dirubah." "Memangnya apa yang bisa aku lakukan, Vano?" sentak Alfa. "Naura marah sama aku, dia bahkan nuduh aku punya wanita lain, apa maksudnya coba?" lanjut Alfa. "Aku rasa ada kesalahpahaman disini. Aku harus dapatkan penjelasan dari Naura, Van." Vano memainkan dagunya seperti sedang berpikir. "Bro, kamu punya banyak waktu untuk berduaan sama Naura kan? Ya kamu usaha lah, kamu dekati dia, kamu kasih perhatian ke dia, kamu berusaha ambil hatinya, setelah itu kamu bisa coba tanyakan kenapa dia pergi, bagus kan ideku?" Vano berujar panjang. Alfa mengerutkan kening. Ia mencerna dan mempertimbangkan saran yang diusulkan oleh Vano yang jarang-jarang otaknya encer. "Hmm ... ya, bisa juga, tapi ...." "Halah pake tapi-tapi segala, tapi apaan?" "Tapi aku pengennya dapat penjelasan dari Naura hari ini juga, malam ini lah minimal," ujar Alfa berteka
"Baru calon kan? Kamu belum jadi suaminya," kata Alfa pelan namun mengejek. "Sialan!" Bugh! Eza melayangkan pukulannya dan mendarat pada rahang Alfa tepat. Seketika Eza merasa kebas karena pukulan yang luar biasa itu. Pukulan Eza yang tengah dipenuhi amarah itu seakan dirasuki setan sehingg bisa membuat Alfa terhuyung karena saking kuatnya. Dan lagi, Alfa memang tidak siap karena ia tidak menyangka Eza akan memukulnya. "Kamu boleh bersikap arogan pada siapapun, tapi kalau sampai kamu memaksakan kehendakmu pada Naura maka aku nggak akan segan-segan menghabisimu!" ancam Eza serius. "Kamu kenal Naura udah berapa tahun, hm? Kenapa aku merasa kamu nggak mengenal Naura sama sekali, ck," cibir Alfa sinis. "Apa maksudmu?" tanya Eza tajam. Alfa kembali berlajan mendekati Eza setelah tadi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Kini Alfa berdiri persis di had
"Tapi apa? Apa kamu masih mencintai Alfa?" "Eza, kamu ini bicara apa? Apa kamu menuduhku?" kata Naura tak terima, ia merasa disalahkan. "Aku nggak nuduh kamu, aku cuma memastikan hatimu. Apakah kamu benar mencintaiku, atau aku hanya bayangan bagimu?" Naura menghela napas panjang. "Aku nggak harus berulang kali mengatakanya, seharusnya kamu udah tahu. Lagipula kita udah berjalan tiga tahun, apa menurutmu aku akan terus bersamamu kalau aku nggak mencintaimu?" ujar Naura. "Kamu duduk dulu, aku ambilkan air buat bersihin luka kamu," lanjut Naura kemudian berlalu begitu saja. Masih berdiri di depan pintu, Eza terus memperhatikan punggung Naura hingga menghilang dari pandangan. "Kamu ada disisiku, kita baik-baik saja selama ini, sebelum dia datang. Tapi setelah hari ini, apa kita akan tetap baik-baik saja, Naura?" ujar Eza lirih. Eza mengusap wajahnya kasar, kemudian ia beralih duduk di bangku teras menunggu Naura datang. Tidak membu
Ceklek. Alfa membuka ruang kerjanya yang juga merupakan ruang kerja Naura. Ya, mereka memang satu ruangan kerja. "Selamat pagi," sapa Alfa terlihat tenang. "Selamat pagi," balas Naura yang juga bersikap cuek. "Naura, tolong berikan laporan yang kemarin aku minta," pinta Alfa. "Baik," Naura pun memberikan laporan itu tanpa banyak bicara. "Oh ya, Naura, nanti jam 10 kamu ikut aku meeting di luar." "Baik," balas Naura patuh saja, memang tak mau banyak bicara. Telepon di atas meja kerja Alfa berbunyi, Alfa menekan satu tombol untuk memerima panggilan. "Pak Alfa, mbak Sherly datang dan sudah langsung naik ke ruangan bapak, tidak bisa ditegur," kata seorang yang berbicara melalui saluran telepon. "Terima kasih." Klik. Alfa langsung menutup telepon itu begitu saja. "Ck, kebiasaan!" Alfa menggerutu kesal. "Naura, tolong copy kan berkas ini di lantai satu," perintah Alfa. "
Naura membasuh wajahnya sekaligus menghilangkan jejak air matanya. Setelah itu ia mengeringkannya dengan tissue. Saat ia hendak keluar dari toilet, seseorang masuk dan mencegahnya. "Jangan keluar dulu," kata orang itu yang bahkan tak Naura kenali. Naura mengerutkan kening. "Aku?" Naura menunjuk pada diri diri sendiri. "Iya, di luar masih ada Sherly," lanjut orang tadi. "Sherly, siapa?" tanya Naura bingung. Seseorang itu menghela napas melihat kepolosan Naura. "Sherly itu tamunya pak Alfa. Kamu Naura kan, sekretaris barunya pak Alfa?" tanya orag itu. Naura mengangangguk seperti orang bodoh. "Makanya, kamu disini aja dulu. Sherly lagi nyariin kamu di luar." "Terima kasih atas informasinya. Kalau boleh tahu, kamu siapa?" tanya Naura. "Namaku Safira." "Ah, ya, salam kenal, Safira," kata Naura. Safira mengangguk sembari membasuh tangannya di wastafel. Naura memperhatikan Safira