"Wanita lain?" Alfa ternganga.
"Apa maksudmu dengan wanita lain?" Alfa meminta penjelasan.
"Cih, dasar bajingan! Kamu sama sekali nggak menyadari kesalahanmu, ha?" Entah mendapat keberanian dari mana, Naura yang tadinya menciut ketakutan kini ia berani mengumpati laki-laki di hadapannya itu, dengan jarak yang sangat dekat.
Bam!
Alfa meninju pintu tepat di belakang Naura dengan mengurung Naura pada lingkaran yang ia ciptakan dengan tangannya.
Naura terpelonjat karena saking terkejutnya dengan pukulan yang mengenai pintu dibelakangnya. Dan ketika ia membuka mata wajahnya hampir tak berjarak dengan wajah Alfa.
"Kamu sampai menyebutku bajingan? Memangnya apa kesalahanku, Naura?" Dengan nada pelan penuh penekanan, Alfa berkata dengan gigi gemertak.
"Kenapa kamu kelihatan sangat membenciku?" lanjut Alfa bertanya.
Naura memutar bola mata jengah. "Jangan pernah tanyakan apa kesalahanmu pada orang lain. Kamulah yang paling tahu karena kamu yang melakukannya." Meski dengan nada rendah namun kata-kata Naura tajam menusuk tepat pada ulu hati Alfa.
"Maaf, aku datang kemari untuk bekerja jadi tolong menjauhlah!" Dengan sangat berani Naura mendorong Alfa mundur.
"Oh, kalau bisa aku ingin mengundurkan diri dari perusahaanmu sebelum aku mulai bekerja," lanjut Naura lagi.
Alfa tersenyum sinis. "Kamu yakin kamu ingin mengundurkan diri? Kalau begitu kamu siap membayar uang kompensasinya kan?"
"Berapa uang kompensasi yang harus aku bayarkan? Tunanganku pasti sanggup membayarnya." Naura menjawab dengan sombongnya.
'Tunangan?' Satu kata itu berhasil membuat Alfa mematung. Namun detik berikutnya ia bersikap tenang dan tak mau kalah.
"Oh ya? Kalau begitu suruh dia membayar sebanyak satu milyar!"
"Apa? Kamu gila!"
"Aku gila? Itu tertera pada surat kontrak yang sudah kamu tandatangani, kamu mau membaca ulang kontrak kerja itu?"
Srak!
Alfa melempar konrak kerja Naura ke atas meja.
Naura tak percaya pada apa yang Alfa ucapkan, namun sialnya itu memang tertera pada perjanjian kontrak kerja. Naura mengepalkan tangannya kuat-kuat menahan emosinya.
"Kamu sengaja menjebakku?" Naura bertanya lantang.
"Tidak ada kata menjebak. Semuanya sudah tertera disitu kan?" Alfa berkata dengan santainya.
"Kamu pasti mengganti isi kontraknya kan?" tuding Naura.
"Oh, aku mungkin bisa mengganti isi kontraknya tapi aku nggak mungkin bisa mengganti tanda tanganmu."
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu melerai perdebatan mereka .
"Masuk!" seru Alfa.
"Maaf, Pak, rapat akan segera dilaksanakan. Bapak sudah ditunggu," lapor seorang yang tadi mengetuk pintu.
"Oke, saya segera kesana."
"Naura, ikut aku!"
***
"Naura, aku tunggu laporan hasil rapat tadi."
"Akan segera aku kerjakan," balas Naura patuh tetapi terdengar datar.
"Naura, dimana kamu tinggal sekarang?" tanya Alfa, sangat menantikan jawaban yang tepat dari mulut Naura.
"Kamu bisa lihat di cv yang aku kirim kan?" balas Naura acuh. Alfa tentu saja kecewa. Alfa bertanya-tanya kenapa Naura sangat mengacuhkannya sekarang.
Lima tahut tidak bertemu dan tidak ada kabar sama sekali. Alfa membayangkan ketika mereka dipertemukan kembali mereka akan saling melepas kerinduan yang terpendam selama bertahun-tahun, tetapi nyatanya? Naura mengacuhkannya bahkan memakinya. Alfa benar-benar sangat kecewa dan rasa sakit itu tentu saja ada. Alfa ingin sekali menanyakan apa yang menyebabkan sikap Naura berubah drastis.
"Naura aku ingin bicara denganmu. Bisa aku mengantarmu pulang?" tanya Alfa penuh harap.
"Terima kasih atas niat baikmu, tapi tidak usah repot-repot. Tunanganku sudah menjemputku." Sambil bersiap-siap membereskan barang-barangnya, Naura menjawab dengan sengaja ingin membuat Alfa cemburu.
Tunggu dulu, kenapa pula Naura ingin melihat Alfa cemburu?
Naura menggelengkan kepalanya untuk membuang pikiran-pikiran yang tidak seharusnya terlintas di kepalanya.
"Jam kerjaku sudah habis. Aku akan pulang sekarang, selamat sore." Naura menyampirkan tasnya di pundak lalu pergi begitu saja.
Alfa memejamkan matanya kuat-kuat sambil menjambak rambutnya frustrasi.
"Kenapa, Naura, kenapa sikapmu seperti ini? Apa kamu nggak mendambakan pertemuan kita?" lirih Alfa pedih.
"Nggak bisa kayak gini. Aku harus meminta penjelasan Naura. Aku harus mengejarnya."
Alfa pun bergegas meninggalkan ruangannya dan pergi menyusul Naura sebelum ia pergi terlalu jauh.
***
Naura telah keluar dari gedung perusahaan. Alfa mengejarnya dengan cepat, dengan langkah lebar.
Set!
Alfa menarik tangan Naura dan menahan agar Naura tidak pergi.
"Naura, tolong, kita harus bicara," cegah Alfa.
"Mau bicara apa lagi, Alfa? Kamu aja nggak tau apa kesalahanmu kan?"
"Itulah yang mau akau tanyakan."
"Nggak! Sebelum kamu tahu kesalahanmu dan minta maaf, aku nggak akan mau bicara sama kamu!" sentak Naura kasar.
"Lepasin aku!" Naura menghentakkan tangannya lalu berusaha untuk pergi. Namun baru dua langkah berjalan, tangan Naura kembali ditangkap oleh Alfa.
"Naura, tolong, jangan bersikap seperti ini padaku," kata Alfa memohon.
"Lalu aku harus bersikap seperti apa, Alfa? Apa aku harus selalu bersikap baik padamu sedangkan kamu sudah sangat menyakiti perasaanku? Coba katakan, sikap yang seperti apa yang harus aku tunjukkan padamu, Alfa? Ayo katakan!" Naura berteriak tertahan.
"Naura, sepertinya ada kesalahpahaman diantara kita. Aku ingin kita bicara, Naura, tolong." Alfa tak henti-hentinya membujuk Naura.
"Hei, Bung, kamu tidak seharusnya memaksa seseorang untuk menuruti kemauanmu. Kalau dia sudah menolak maka tidak seharusnya kamu memaksanya," kata seorang pria yang datang memisahkan Naura dan Alfa.
"Eza?" Naura cukup terkejut dengan kedatangan Eza di tengah-tengah mereka.
"Tolong jangan ikut campur!" tukas Alfa tajam.
"Oh, ternyata kamu memang arogan seperti yang dikatakan orang-orang di luar sana. Kamu adalah pemimpin, dan seorang pemimpin tidak akan baik jika bersikap seperti ini," kata Eza memperingatkan.
"Sudah aku bilang jangan ikut campur! Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan urusan kepemimpinan. Aku hanya sedang menyelesaikan masalah kami, aku dan kekasihku!" Alfa semakin menajamkan kalimatnya untuk menyadarkan orang asing itu.
"Ke-kekasih?" Eza tercengang.
Eza kemudian mengalihkan pandangannya pada Naura dan ternyata Naura sedang gugup. "Naura, apa maksudnya ini?" tanya Eza pelan dan tenang.
"Ah, em ... Eza, sebaiknya kita pulang sekarang, ayo," kata Naura dengan sedikit tergagap.
"Tidak, tunggu, Naura, kita belum selesai bicara." Alfa tetap ngotot menahan Naura agar tidak pergi.
"Tolong lepaskan tanganmu, Bung!" ancam Eza.
"Diam! Kamu terlalu ikut campur!" Alfa tak segan menyentak Eza.
"Tentu saja aku akan ikut campur, dia calon istriku!" Eza tidak kalah keras membentak Alfa.
"Kamu—"
"Cukup! Sudah hentikan!" Naura tidak tahan lagi dan berteriak frustrasi.
"Kamu, tolong jaga bicaramu! Jangan pernah sebut aku kekasihmu lagi. Diantara kita nggak ada hubungan apapun!" Dengan telunjuk mengacung pada Alfa, Naura berseru rendah penuh penekanan.
"Eza, ayo kita pulang sekarang." Dengan begitu Naura pergi menjauh dari dua laki-laki itu dan masuk ke dalam mobil Eza.
Eza dan Alfa saling bertatap tajam, menyalakan percikap api permusuhan yang tak terhindarkan. Namun saat ini Eza masih harus mengantar Naura pulang, maka Eza menyusul Naura segera.
Brak!
Eza menutup pintu mobil namun tak langsung menyalakan mobilnya.
"Naura, apa hubungan kalian sebenarnya?"
***
Eza mencengkeram kuat kemudi yang tak bersalah. Hatinya penuh gemuruh dan ia merasa kacau. Ia bingung harus bersikap bagaimana sekarang di hadapan wanita pujaannya. Eza membuant napas kasar dengan sekali hentak. Lalu perlahan ia menatap Naura yang terus menatap keluar jendela. Ada sebuah pertanyaan yang terngiang di kepala Eza, yang ragu untuk ia tanyakan tapi dia sangat penasaran akan kenyataannya. Akhirnya pertanyaan itupun terucap, keluar dari mulutnya. "Naura, apa hubungan kalian sebenarnya?" Deg! Naura langsung mematung dengan jantung yang seakan berhenti bekerja. Napasnya tercekat hanya karena satu pertanyaan yang mungkin bisa membunuhnya. Naura sama sekali belum siap untuk mengungkit masa lalunya, apalagi menceritakannya pada Eza. Bukannya Naura ingin terus menyembunyikan masa lalunya dari calon suaminya, tetapi Naura merasa itu tidaklah penting untuk dibicarakan. Namun sekarang justru Eza sendiri yang menangkap basah penggalan
Brak!Alfa membanting pintu mobilnya dengan kencang. Ia duduk di balik kemudi lalu menarik rambutnya sadis, hingga bisa saja rontok."Haaaaaa ...!" Di dalam mobil yang kedap suara itu Alfa berteriak mengekspresikan perasaannya yang sedang kacau balau."Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" Alfa bertanya-tanya dengan emosi yang sangat tidak stabil. Napasnya naik turun tak menentu. Matanya memanas hingga butiran cair bening pun menetes melalui ujung matanya."Aku selalu memcarimu, Naura, tanpa henti, tanpa lelah. Aku selalu menebak-nebak apa alasan kepergianmu, dan aku sangat berharap kita bisa melanjutkan hubungan kita atau mungkin kita bisa memulainya dari awal. Tapi ternyata kamu udah punya calon suami.""Kenapa kamu begitu tega, Naura, kenapa? Kamu telah berubah, kamu tidak lagi seperti Naura yang aku kenal dulu."Seorang laki-laki menangis, itu pasti sakitnya sudah sangat menancap di relung hatinya.Ya, seorang Alfarezi Kavindra y
"Tapi dia hanya calon suami, belum jadi suaminya Naura. Semua masih bisa dirubah." "Memangnya apa yang bisa aku lakukan, Vano?" sentak Alfa. "Naura marah sama aku, dia bahkan nuduh aku punya wanita lain, apa maksudnya coba?" lanjut Alfa. "Aku rasa ada kesalahpahaman disini. Aku harus dapatkan penjelasan dari Naura, Van." Vano memainkan dagunya seperti sedang berpikir. "Bro, kamu punya banyak waktu untuk berduaan sama Naura kan? Ya kamu usaha lah, kamu dekati dia, kamu kasih perhatian ke dia, kamu berusaha ambil hatinya, setelah itu kamu bisa coba tanyakan kenapa dia pergi, bagus kan ideku?" Vano berujar panjang. Alfa mengerutkan kening. Ia mencerna dan mempertimbangkan saran yang diusulkan oleh Vano yang jarang-jarang otaknya encer. "Hmm ... ya, bisa juga, tapi ...." "Halah pake tapi-tapi segala, tapi apaan?" "Tapi aku pengennya dapat penjelasan dari Naura hari ini juga, malam ini lah minimal," ujar Alfa berteka
"Baru calon kan? Kamu belum jadi suaminya," kata Alfa pelan namun mengejek. "Sialan!" Bugh! Eza melayangkan pukulannya dan mendarat pada rahang Alfa tepat. Seketika Eza merasa kebas karena pukulan yang luar biasa itu. Pukulan Eza yang tengah dipenuhi amarah itu seakan dirasuki setan sehingg bisa membuat Alfa terhuyung karena saking kuatnya. Dan lagi, Alfa memang tidak siap karena ia tidak menyangka Eza akan memukulnya. "Kamu boleh bersikap arogan pada siapapun, tapi kalau sampai kamu memaksakan kehendakmu pada Naura maka aku nggak akan segan-segan menghabisimu!" ancam Eza serius. "Kamu kenal Naura udah berapa tahun, hm? Kenapa aku merasa kamu nggak mengenal Naura sama sekali, ck," cibir Alfa sinis. "Apa maksudmu?" tanya Eza tajam. Alfa kembali berlajan mendekati Eza setelah tadi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Kini Alfa berdiri persis di had
"Tapi apa? Apa kamu masih mencintai Alfa?" "Eza, kamu ini bicara apa? Apa kamu menuduhku?" kata Naura tak terima, ia merasa disalahkan. "Aku nggak nuduh kamu, aku cuma memastikan hatimu. Apakah kamu benar mencintaiku, atau aku hanya bayangan bagimu?" Naura menghela napas panjang. "Aku nggak harus berulang kali mengatakanya, seharusnya kamu udah tahu. Lagipula kita udah berjalan tiga tahun, apa menurutmu aku akan terus bersamamu kalau aku nggak mencintaimu?" ujar Naura. "Kamu duduk dulu, aku ambilkan air buat bersihin luka kamu," lanjut Naura kemudian berlalu begitu saja. Masih berdiri di depan pintu, Eza terus memperhatikan punggung Naura hingga menghilang dari pandangan. "Kamu ada disisiku, kita baik-baik saja selama ini, sebelum dia datang. Tapi setelah hari ini, apa kita akan tetap baik-baik saja, Naura?" ujar Eza lirih. Eza mengusap wajahnya kasar, kemudian ia beralih duduk di bangku teras menunggu Naura datang. Tidak membu
Ceklek. Alfa membuka ruang kerjanya yang juga merupakan ruang kerja Naura. Ya, mereka memang satu ruangan kerja. "Selamat pagi," sapa Alfa terlihat tenang. "Selamat pagi," balas Naura yang juga bersikap cuek. "Naura, tolong berikan laporan yang kemarin aku minta," pinta Alfa. "Baik," Naura pun memberikan laporan itu tanpa banyak bicara. "Oh ya, Naura, nanti jam 10 kamu ikut aku meeting di luar." "Baik," balas Naura patuh saja, memang tak mau banyak bicara. Telepon di atas meja kerja Alfa berbunyi, Alfa menekan satu tombol untuk memerima panggilan. "Pak Alfa, mbak Sherly datang dan sudah langsung naik ke ruangan bapak, tidak bisa ditegur," kata seorang yang berbicara melalui saluran telepon. "Terima kasih." Klik. Alfa langsung menutup telepon itu begitu saja. "Ck, kebiasaan!" Alfa menggerutu kesal. "Naura, tolong copy kan berkas ini di lantai satu," perintah Alfa. "
Naura membasuh wajahnya sekaligus menghilangkan jejak air matanya. Setelah itu ia mengeringkannya dengan tissue. Saat ia hendak keluar dari toilet, seseorang masuk dan mencegahnya. "Jangan keluar dulu," kata orang itu yang bahkan tak Naura kenali. Naura mengerutkan kening. "Aku?" Naura menunjuk pada diri diri sendiri. "Iya, di luar masih ada Sherly," lanjut orang tadi. "Sherly, siapa?" tanya Naura bingung. Seseorang itu menghela napas melihat kepolosan Naura. "Sherly itu tamunya pak Alfa. Kamu Naura kan, sekretaris barunya pak Alfa?" tanya orag itu. Naura mengangangguk seperti orang bodoh. "Makanya, kamu disini aja dulu. Sherly lagi nyariin kamu di luar." "Terima kasih atas informasinya. Kalau boleh tahu, kamu siapa?" tanya Naura. "Namaku Safira." "Ah, ya, salam kenal, Safira," kata Naura. Safira mengangguk sembari membasuh tangannya di wastafel. Naura memperhatikan Safira
Naura membawa secangkir kopi milik Alfa di tangan kananya, sedang tangannya yang kiri mendorong pintu dan ia pun masuk. "Ini kopimu," kata Naura seraya meletakkan kopi itu di atas meja. "Terima kasih," kata Alfa tanpa menoleh. Naura mengangguk singkat lalu ia pun kembali ke mejanya. Kemudian keduanya saling diam. Suasana cenderung canggung. Tiba-tiba saja Naura mengeluarkan suara. "Alfa," panggil Naura. Alfa langsung menoleh. "Apa Eza yang membutmu terluka seperti itu?" tanya Naura. Alfa terkekeh pelan. "Bukan apa-apa. Bagi cowok ini sudah biasa," balas Alfa. Naura tak menjawab lagi, dan setelahnya terjadi keheningan. "Dia bukan siapa-siapaku, sungguh," celetuk Alfa tiba-tiba setelah terjadi keheningan. Naura berhenti menggerakkan bolpen yang sedang ia gunakan untuk menulis. Naura pun perlahan mendongak untuk menatap Alfa. "Kamu ngomong sama aku?" tanya Naura datar. "Naura, Sherly bukan siapa-sia