Share

Bab 2 Pengkhianatan

Bab 2: Pengkhianatan

"Aaaahhh... eemmm... aahhhh... faster, Baby... yeeesss."

Di sebuah kamar hotel sore itu, terdengar suara desahan dari sepasang anak manusia tanpa ikatan yang sah. Sepasang manusia yang berbagi peluh dan kenikmatan karena bujukan nafsu.

Ardian Pratama, yang kepulangannya sedang ditunggu oleh keluarga kecilnya, melupakan keluarganya karena sedang menikmati dosa bersama seorang perempuan.

Dia adalah karyawan baru di tempat kerjanya, seorang janda beranak satu, Dian Novitasari, yang selama dua bulan ini menjadi penghangat ranjangnya di kala ia bosan dengan rutinitas hidupnya.

"Aahhh... aahhh... shitt... aaahh..."

Helaan napas panjang terdengar dari mulut Ardi disertai hentakan pinggulnya yang keras di lubang kekasihnya. Cairan cinta menyembur deras menyiram rahim wanita itu.

Kenikmatan demi kenikmatan mereka lewati tanpa memikirkan apa yang akan terjadi. Bujukan syahwat yang menjerat mereka dalam kubangan dosa tidak mereka hiraukan.

Ardi tidak pernah memikirkan apakah perbuatannya ini akan menyakiti istri dan anaknya, serta menghancurkan pernikahan yang telah ia bangun selama lima tahun.

“Mas, kamu nggak akan bohongin aku, kan? Kamu akan menikahi aku?” tanya Dian setelah sesi percintaan itu selesai.

Di bawah selimut yang sama, mereka saling memeluk dengan tubuh polos tanpa sehelai benang, dengan peluh yang masih membasahi tubuh mereka.

“Tentu saja, Sayang, kamu harus percaya sama aku,” jawab Ardi.

Namun, dalam hati Ardi menggerutu,

'Uuuhhhh... Gimana mau nikahin, anak sama istri gue mau dikemanain? Bodo amat ah, nikmatin aja yang sekarang, yang akan datang dipikir nanti.'

Dian tersenyum bahagia mendengar kata-kata Ardi. “Terus kapan kamu ceraikan istrimu, Mas? Biar kita bisa cepat nikah.”

Pertanyaan Dian mengagetkan Ardi, karena Ardi tidak pernah berpikir akan menceraikan istrinya. Bagaimanapun, Ardi sangat mencintai Ajeng dan menyayangi Kai.

“Siapa yang mau bercerai?” Kata-kata Ardi membuat suasana menjadi sedikit tegang.

“Maksudmu apa, Mas? Gimana kita bisa nikah kalau kamu nggak cerai dulu?” Dian sedikit emosi.

“Ya nggak harus cerai, lah, Di. Kita bisa nikah diam-diam tanpa sepengetahuan Ajeng,” jawab Ardi dengan nada keras.

“Kamu mau jadikan aku istri kedua, gitu? Terus kita nikah siri? Nggak! Aku nggak mau! Aku maunya nikah resmi!”

Dian mulai naik pitam. Dia tidak terima dijadikan istri kedua dan hanya dinikahi secara siri oleh Ardi.

“Iya, lah. Kamu pikir mau jadi istri keberapa? Aku udah nikah, ya, Di. Aku nggak mungkin ceraiin Ajeng. Gimana dengan Kai, anakku?”

Ardi mulai terpancing emosinya karena dia tidak pernah berpikir untuk bercerai.

“Kamu jahat banget, sih, Mas. Kita udah dua bulan berhubungan, kita juga sudah sering bercinta. Kamu pikir aku ini apa, Mas? Tempat kamu menyalurkan nafsu?”

Dian hampir menangis, matanya berkaca-kaca.

“Astaga, Di... Kita ngelakuin ini sama-sama suka. Aku nggak pernah maksa. Dengerin aku, ya, Di. Aku nggak bisa main ceraikan Ajeng tanpa alasan yang jelas. Udah, deh, Dian. Kita jalanin aja dulu hubungan ini, nanti juga ada jalan buat kita bisa bersama... ya? Jangan nangis, dong. Ntar cantiknya luntur, lho,” rayu Ardi sambil melihat kekasihnya yang sudah menangis.

Ardi memeluk dan mencium kepala kekasihnya yang sedang menangis di dalam pelukannya. Dian, yang berada dalam pelukan Ardi, mulai memikirkan cara agar "jalan" itu cepat ada.

Dia tersenyum miring karena otaknya sudah menemukan cara. Dian mengangguk dalam pelukan Ardi. Ardi melepaskan pelukannya, mengambil dompet, lalu mengeluarkan sepuluh lembar uang seratus ribuan dan memberikannya pada Dian.

“Ini buat bayar uang kos kamu, ya, Sayang. Jadi, kamu bisa ngirim uang ke anakmu sedikit lebih banyak.”

“Gaji kamu kan 3,5 juta, Mas. Kok aku cuma dikasih sejuta, sih? Terus yang lain buat apa, Mas?”

Dian mulai bertanya tentang keuangan Ardi, seolah-olah dia sudah merasa seperti istri sah.

“Yang 2,5 buat Ajeng. Gajiku bulan ini 4 juta karena ada lemburan. Nah, yang 500 ribu buat pegangan aku, Di.”

“Nggak mau. Aku mau 2 juta, Ajeng biar 1,5 juta aja. Dia kan juga kerja, Sayang. Aku yang dinaikin, dia yang dikasih duit, enak banget!” Dian mulai ngelunjak.

“Kamu itu kenapa, sih, Di? Kamu mau aku bertengkar sama Ajeng? Bulan kemarin aku kasih 2 juta, dia udah marah-marah dan curiga. Apalagi sekarang kalau aku kasih 1,5 juta, padahal dia tahu aku ada lemburan. Ini nanti aku mau kasih alasan apa ke dia? Aku masih bingung, Di.”

Ardi benar-benar bingung sekarang.

“Ya udah, sini yang 500 ribu kalau gitu. Terserah kamu mau gimana, atau kamu minta aja ke Ajeng buat pegangan.”

Dengan terpaksa, Ardi menyerahkan uang lima ratus ribu itu kepada Dian daripada kekasihnya merajuk.

Nanti, dia akan mencoba membujuk Ajeng untuk meminta uang pegangan selama sebulan.

Jam setengah sembilan malam, Ardi mengantarkan Dian kembali ke kos. Setelah menurunkan Dian, Ardi melajukan motornya untuk segera pulang.

Di dalam rumah kecil, rumah KPR yang dibeli secara kredit, rumah sederhana yang dihuni oleh Ajeng dan keluarga kecilnya, Ajeng tidak bisa tidur.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit. Setelah menenangkan anaknya yang menangis karena tidak jadi jalan-jalan, disebabkan sang ayah tak kunjung pulang.

Jam tujuh malam tadi, karena Ardi tak kunjung pulang, Ajeng memutuskan menggoreng telur untuk makan bersama anak dan ibu mertuanya.

"Hmmm... Ardi belum pulang, Jeng? Kalian nggak jadi keluar, dong?" kata sang ibu sambil menyiapkan sesendok nasi.

"Iya, Bu. Mas Ardi pulang malam kayaknya," jawab Ajeng.

"Kamu nggak telepon Ardi, Jeng? Biar cepat pulang, gitu?"

"Udah, Bu. Tapi nomor Mas Ardi nggak bisa dihubungi. Mungkin baterainya lowbat. Ya sudah, Bu, yang penting Kai sudah nggak rewel lagi."

"Kamu yang sabar ya, Jeng."

Tak ada lagi percakapan di meja makan itu. Mereka makan dalam diam. Terdengar bunyi pesan masuk di HP-nya. Ajeng buru-buru membukanya. Ternyata itu pesan di grup gengnya.

#Rempong Squad

@Yuli_Cuantix: (Jadi ngerumpi nggak, nih? Gue udah di depan masjid, nih!)

@Sus_sijepang: (Eeehh... Kutu kupret, ngapain lo ke masjid? Mau ikutan sholat isya berjamaah, lo? Kita kan janjian di taman, bukan di masjidnya. Gimana sih nih anak!!)

@D_fortuner: (OTW... Geeesss)

@Yuli_Cuantix: (Iyaaa... Lupa gueee... Oke, meluncur ke sana.)

Ajeng hanya tersenyum membaca kehebohan di grup chat tanpa berniat untuk membalas. Dia masih gelisah karena suaminya belum pulang.

Akhirnya, dia mengirim pesan kepada Yuli.

(Yul, sorry gue nggak jadi ikut nongkrong, karena laki gue belum pulang. Sampein ke yang lain ya?)

Pesan itu langsung dibaca dan dibalas oleh Yuli,

(Iya say, nggak apa-apa kok. Kita juga cuma mau ngambil duit terus makan. Nggak jadi ngerumpi, nggak asyik soalnya nggak ada elu.)

Ajeng hanya membaca pesan dari Yuli tanpa membalasnya. Dia meletakkan kembali HP-nya di atas meja dan melanjutkan makannya.

Karena sudah kenyang dan lelah setelah menangis tadi, Kaisar terlihat mulai mengantuk. Ajeng segera mengajak anaknya tidur.

Sambil menemani sang anak, Ajeng memikirkan sebenarnya ada apa dengan suaminya. Ia mengingat ucapan teman-temannya siang tadi dan menggabungkan semua keganjilan yang dirasakannya, hingga membuat kepalanya pusing.

Dia percaya pada suaminya, percaya pada cinta mereka, dan bagaimana suaminya berjuang untuk menikahinya.

Hal inilah yang membuat Ajeng tidak pernah meragukan suaminya.

Jam sembilan lebih, terdengar suara motor Ardi. Ajeng, yang belum tidur, bergegas bangun dan membuka gerbang agar Ardi bisa memasukkan motornya ke dalam.

"Malem banget pulangnya, Mas. Ditelpon dari sore kok nggak bisa? HP-nya lowbat?" tanya Ajeng sambil berjalan di belakang suaminya.

"Kan udah dibilang kalau banyak mesin yang trouble, jadi lembur sampai malam. Iya, HP-ku lowbat," jawab Ardi.

"Mas Ardi mau mandi atau makan dulu? Aku gorengin telur?" tanya Ajeng sambil meletakkan tas kerja Ardi di meja nakas.

"Mandi aja, udah gerah banget. Udah makan tadi di kantin, jadi nggak lapar," jawabnya sambil melepaskan kemeja yang dipakainya.

Ajeng menatap suaminya yang sedang melepaskan pakaian, berniat untuk meminta pakaian kotor itu untuk ditaruh di mesin cuci.

Tanpa sengaja, dia melihat tanda bekas percintaan di sekitar dada suaminya.

Ajeng tersentak kaget, tapi dia diam saja, membiarkan Ardi berlalu masuk ke kamar mandi membawa handuk dan pakaian bersih yang telah disiapkan.

Setelah lima belas menit, akhirnya Ardi keluar dengan masih bertelanjang dada. Dia belum menyadari ada tanda yang dibuat Mila di dadanya.

"Mas, kok di dadamu ada bercak merah? Kamu alergi makan atau kena apa itu?" tanya Ajeng sambil memicingkan matanya.

"Digigit nyamuk tadi pas lagi istirahat," jawab Ardi dengan sedikit terbata-bata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status