Share

Bab. 5 Rencana Dijalankan

Senin adalah hari yang paling sibuk. Setelah kemarin libur, hari ini orang-orang sudah mulai beraktivitas untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah.

Ajeng sedang menggoreng telur setelah selesai membuat nasi goreng untuk sarapan pagi ini.

Kemarin, sebelum pulang, dia sempat membeli seperempat kilogram telur untuk sarapan karena belum sempat berbelanja.

Ajeng mendapat giliran masuk malam selama seminggu ini. Harusnya dia bisa sedikit santai, tapi tidak bagi Ajeng. Banyak hal yang harus ia lakukan hari ini.

"Dek, Mas berangkat dulu, ya?" Setelah menyelesaikan sarapan, Ardi segera bersiap berangkat kerja.

Ajeng mencium tangan suaminya, kemudian Ardi mendekati Kai, mencium pipi gembul anaknya. "Hati-hati, Mas," ujar Ajeng melepas kepergian suaminya.

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Ajeng bersiap untuk menemui petugas tempat ia menggadaikan ATM-nya.

Dia akan mengambil sisa gajinya sekaligus mengambil kembali kartu ATM karena hari ini adalah setoran terakhir dari jangka waktu yang diambilnya.

Setahun yang lalu, mereka menggadaikan ATM Ajeng sebesar tiga juta rupiah untuk membeli mesin cuci dan kulkas.

Ajeng tidak membawa Kaisar karena khawatir anaknya yang lucu itu akan bosan.

"Bu, Ajeng jalan dulu, ya. Mau ngambil gaji sekalian belanja. Titip Kai sebentar ya, Bu?" Ajeng berpamitan pada ibu mertuanya.

"Iya, hati-hati. Kai biar Ibu yang jaga," jawab ibu mertuanya.

Ajeng keluar dari rumah. Hal pertama yang ia lakukan adalah mendatangi tempat pegadaian.

Ia menerima gaji sebesar 2,3 juta rupiah yang dipotong angsuran terakhir sebesar 330 ribu, jadi masih tersisa 1.970.000 rupiah.

Lumayan, pikirnya.

Setelah mendapatkan uang, kartu ATM, dan surat-surat lainnya, Ajeng bergegas pergi ke toko emas untuk menjual perhiasannya.

Gelang dan kalungnya laku terjual seharga 8,5 juta rupiah.

Ajeng membawa total uang sebesar 12.470.000 rupiah dan menuju salah satu bank swasta untuk menabung uangnya menggunakan rekening sang mama.

Setahun yang lalu, sebelum menggadaikan ATM-nya, Ajeng memindahkan tabungannya ke dalam rekening mamanya.

Tabungan itu ia kumpulkan dari sisa gajinya untuk biaya pendidikan Kaisar kelak. Selama tiga tahun, Ajeng rutin menyisihkan uangnya.

Setelah semua uang masuk ke tabungan, Ajeng hanya menyisakan 1.200.000 rupiah untuk membeli kebutuhan dan uang bensin.

Ia sengaja hanya belanja sedikit dan tidak membayar angsuran rumah. Saat pulang, hari sudah sangat siang.

"Kok belanjanya sedikit banget, Jeng?" Bu Narsih merasa tidak biasanya menantunya belanja kebutuhan sesedikit ini.

"Kata Mas Ardi harus hemat, Bu, jadi Ajeng sengaja belanja sedikit," jawab Ajeng.

Setelah membereskan belanjaan, Ajeng berlalu ke kamar.

Di dalam kamar, Ajeng menghubungi Tio.

Tio: "Halo, siapa ini?"

Ajeng: "Halo, Mas Tio, ini Ajeng. Bisa bicara sebentar, nggak, Mas?"

Tio: "Oh, Ajeng. Ada apa, Jeng? Nyari Ardi, ya? Ardi-nya nggak ada. Dia tadi dicari Pak Handoko. Kalau ada pesan, nanti aku sampaikan."

Ajeng: "Ajeng ada perlu sama Mas Tio, tapi jangan bilang Mas Ardi kalau Ajeng hubungi Mas Tio, ya. Penting banget soalnya."

Tio: "Ada apa sih, Jeng? Bikin penasaran aja."

Ajeng: "Mas, bener nggak sih kalau Mas Ardi lagi dekat sama karyawan baru shift pagi ini, yang janda itu... siapa namanya, Mas?"

Tio: "Hmm..." (terdengar helaan napas dalam dari Tio). "Iya, Jeng. Bukannya aku mau ikut campur rumah tanggamu, ya, tapi aku cuma mau peringatkan kamu. Kamu awasin suamimu sebelum semuanya terlambat. Namanya Dian Novitasari, panggilannya Dian. Dia kos di sini, aslinya dari mana aku nggak tahu."

Ajeng: "Sudah berapa lama mereka dekat, Mas?"

Tio: "Dua bulan kayaknya, tapi aku nggak tahu pastinya."

Ajeng: "Sabtu kemarin lembur sampai jam berapa, Mas?"

Tio: "Jam 15.00 deh. Emang kenapa?"

Ajeng: "Nggak apa-apa, Mas, cuma nanya. Makasih ya, Mas. Jangan bilang Mas Ardi kalau Ajeng nanya-nanya, ya?"

Tio: "Iya, Jeng. Tenang aja. Kalau ada info, nanti aku kabari. Aku save nomor kamu, ya?"

Ajeng: "Iya, Mas, save aja. Makasih, Mas. Ajeng tutup dulu, ya."

Ajeng kembali mengingat Sabtu kemarin, saat Ardi pulang jam 21.00. Berarti, Ardi menghabiskan waktu dengan wanita itu.

Tanda merah di dada Ardi menjelaskan apa yang mereka lakukan.

****

Ardi di dalam pabrik gelisah karena tidak menemukan Dian. Sepertinya, wanita itu tidak bekerja dan masih sakit.

Ia berencana untuk menghubungi Dian saat istirahat. Ardi sibuk dengan pekerjaannya hari ini. Hari Senin benar-benar melelahkan.

Tepat saat jam istirahat, Ardi buru-buru menelepon Dian.

Dian: "Halo, Sayang."

Ardi: "Hai, Yang. Kenapa kamu nggak masuk? Masih pusing, ya?"

Dian: "Iya, Sayang, aku masih pusing. Tadi habis periksa dan minum obat. Sekarang mau istirahat. Kamu juga lagi istirahat, ya?"

Ardi: "Iya, Di. Ya sudah, kamu istirahat saja. Aku juga mau makan dulu. Nanti pulang kerja aku sempatkan ke tempatmu."

Dian: "Oke, Sayang. Selamat makan, ya. Aku tidur dulu. Muaaah."

Panggilan telepon berakhir. Ardi tiba di kantin dan memesan makanan. Ia duduk di dekat Tio, yang hanya memperhatikannya.

Dian tersenyum bahagia memikirkan langkah-langkah yang akan dia ambil untuk membuat Ardi menjadi miliknya.

Kecurigaannya terhadap gejala yang dialami ternyata benar.

Hal ini harus dia manfaatkan untuk segera menjerat Ardi agar mau menikahinya dan menceraikan istrinya.

Jika Ardi masih saja beralasan, terpaksa dia harus bertindak sendiri.

Siang nanti, ketika Ardi datang, dia berniat memberitahukan keadaannya pada kekasihnya itu.

Mimpinya untuk menikah dengan Ardi, lelaki tampan dan mapan, akan segera terwujud. Dian adalah seorang janda beranak satu. Anaknya tinggal di kampung bersama orang tuanya.

Mantan suaminya yang hanya bekerja sebagai buruh tani membuat hidup mereka serba kekurangan, dan Dian memutuskan untuk bercerai.

Dia pergi ke kota bersama temannya yang lebih dulu tinggal di sana, ikut mencari pekerjaan di kota yang sama.

"Aku harus segera menjalankan rencanaku untuk mendapatkan Mas Ardi, biar aku tidak kos terus dan bisa segera membawa Risa kemari," batin Dian.

Sore harinya, Ardi benar-benar mampir ke kosan Dian untuk memastikan wanita itu baik-baik saja.

Dian, yang mendengar suara motor Ardi, langsung membuka pintu kosnya dengan berbinar.

"Sayang, aku kangen banget!"

Dian menyambut kedatangan kekasihnya dengan nada manja dan bergelayut mesra di lengan Ardi. Mereka masuk ke kamar kos tersebut.

"Gimana keadaanmu, Sayang? Udah mendingan belum? Tadi apa kata dokter?"

"Aku baik, Yang. Sakitku ini cuma kalau pagi aja. Kalau sudah agak siang, sudah sembuh."

Ardi menyipitkan matanya, heran. "Aneh banget sih, sakit apaan itu? Emang ada sakit kalau cuma pagi hari?"

"Syukur deh. Ini aku beliin bakso, dimakan dulu mumpung masih hangat." Ardi memberikan bungkusan bakso pada Dian.

"Makasih, Sayangku. Perhatian banget sih kamu. Jadi makin cinta deh," jawab Dian dengan nada centil yang menggoda.

Dian makan bakso yang dibelikan Ardi dengan lahap. Setelah itu, dia memberitahu apa yang sebenarnya terjadi padanya akhir-akhir ini.

Dia menyerahkan hasil pemeriksaan dokter tadi siang, di mana tertulis bahwa ia sedang hamil empat minggu.

Kenyataan ini akan mengubah seluruh kehidupan Ardi, membuatnya harus memilih—pilihan yang sangat sulit dan menentukan bagaimana kehidupannya ke depan.

___________________________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status