Share

Bab. 4 Rencana

Setelah kepergian Ajeng ke rumah orang tuanya, Ardi mendapat omelan dari ibunya. Ia berada di dalam kamar, merenungkan setiap kata-kata Ratih, ibunya.

"Sebenarnya kamu menyembunyikan apa sih, Ar? Jangan melakukan kebodohan yang bisa menghancurkan rumah tanggamu, atau kamu akan kehilangan apa yang kamu miliki saat ini. Sudahi main-mainmu di luar sana, Ar. Ibu nggak mau kalau sampai rumah tanggamu berantakan. Kasihan Kaisar, dia masih terlalu kecil dan sangat membutuhkan orang tuanya."

Ardi memikirkan semua yang dikatakan ibunya. Dia tidak mencintai Dian seperti mencintai Ajeng. Dia hanya main-main saja.

"Apa aku harus memutuskan hubunganku dengan Dian, ya? Sebelum semuanya terlambat. Ya, aku harus menemui Dian sekarang."

Ardi meyakinkan dirinya untuk segera mengakhiri hubungannya dengan Dian.

Dia bangkit dari tidurnya, memakai jaket, mengambil kunci motor, dan keluar dari kamar. Bu Narsih, yang sedang menonton TV, melihatnya dan bertanya,

"Mau ke mana, Ar?"

"Keluar bentar, Bu. Mau ketemu teman."

"Diajak Ajeng ke rumah mertuamu, kamu nggak mau, malah keluar. Sehat kamu, Ar?" Bu Narsih kesal karena Ardi membiarkan Ajeng ke rumah orang tuanya sendirian.

"Ardi ada urusan, Bu. Urgent." Bergegas, Ardi keluar tanpa menghiraukan ibunya.

Dian masih merasakan kepalanya sangat pusing. Sejak pagi tadi ketika dia terbangun karena merasa mual dan memuntahkan semua isi perutnya, keadaannya masih belum membaik.

Dia sedang membuat teh hangat ketika mendengar suara motor Ardi di depan tempat kosnya.

Ardi memarkirkan motornya di depan tempat tinggal wanita yang hampir dua bulan ini menjadi kekasihnya.

Dia langsung masuk ke kamar Dian. Ardi melihat Dian sedikit pucat dan mendekatinya.

"Kamu kenapa, Sayang? Kok pucat gitu?"

"Dari tadi pagi pusing, Sayang." Tubuhnya terasa sangat lemas. Ardi langsung menuntunnya duduk di atas tempat tidur.

Ardi bangkit, berniat membuat minuman hangat, tapi dia melihat secangkir teh yang masih panas. Ardi mengambilnya dan menyerahkan teh itu kepada Dian.

"Minum teh hangat dulu, Di, biar perutnya enak. Kamu sakit apa, Di? Sudah periksa belum?" Ardi mencecar dengan banyak pertanyaan.

"Masuk angin, deh, kayaknya, Sayang. Soalnya semalam habis kamu antar aku mandi pakai air dingin. Habisnya, males banget mau masak air."

Dian memberengut manja. Setelah minum teh hangat, dia menaruhnya di meja nakas dan mengambil minyak gosok, lalu menyerahkannya kepada Ardi.

Dian menggeser duduknya membelakangi Ardi. "Mas, tolong balur punggungku pakai minyak ini, dong."

Ardi menerima minyak itu, berniat untuk membalurkannya, tapi ketika melihat tengkuk Dian, Ardi mengurungkan niatnya.

Dia memindai penampilan perempuan di depannya yang mengenakan daster di atas lutut, dengan tali kecil di pundaknya.

Rambutnya dicepol asal, memperlihatkan tengkuk, pundak, dan sedikit punggungnya. Iman setipis tisu Ardi langsung bangkit.

Ardi mulai menciumi tengkuk dan pundak yang terekspos. Dian, yang merasakan napas hangat Ardi, memejamkan matanya.

"Kamu seksi banget sih, yang, jadi pengen..." gumam Ardi di sela-sela kegiatannya.

Dian hanya diam dan menikmati setiap perbuatan Ardi. Mereka sama-sama terbakar gairah.

Ardi, yang awalnya berniat memutuskan hubungan, malah kehilangan akal sehatnya. Dia melupakan tujuan awal dan terjebak dalam nafsu.

Dian bangkit dan duduk di pangkuan Ardi. Keduanya sudah saling membelit lidah, entah dari mana Dian mendapat kekuatan, padahal sejak tadi ia merasa sangat lemas.

Tangan Ardi tidak tinggal diam, ia mengangkat daster Dian dan melemparkannya ke sembarang arah.

Ditidurkannya Dian di atas kasur, dan Ardi langsung mengungkungnya. Ardi mulai mencium bibir Dian, turun ke leher, menyesapnya di beberapa tempat hingga meninggalkan bekas kemerahan.

Lalu berpindah turun sampai ke dua gunung kembar yang masih tertutup. Tangan Ardi menyusup ke belakang punggung untuk melepas pengaitnya, dan dalam sekejap, terpampanglah dua gundukan besar milik Dian.

Ardi menyesap, menjilat ujung yang berwarna kecokelatan itu seperti bayi.

"Uugghh," terdengar lenguhan Dian yang menambah panas suasana di dalam kamar kos yang sempit itu.

Setelah puas menikmati dua bongkahan milik Dian, Ardi menurunkan ciumannya hingga ke lipatan paha yang masih tertutup secuil kain.

Dengan tergesa-gesa, Ardi menurunkan kain itu, dan terlihatlah lembah yang ditumbuhi tanaman hitam yang sudah dipangkas rapi oleh pemiliknya.

Ardi, yang sudah terbakar api gairah, tidak sabar menenggelamkan wajahnya di pusat inti yang sudah basah itu.

Dian melengkungkan pinggulnya, menahan rasa yang hampir meledak karena merasakan lidah hangat yang mengoyak bagian intinya.

"Uuuggghhh."

Desahan panjang menandakan pelepasan kenikmatan yang Dian rasakan. Dia masih mengatur napasnya ketika Ardi mulai melepas semua pakaian yang menempel di tubuhnya.

Ardi kemudian mengarahkan senjatanya ke inti Dian dalam sekali hentakan. "Aahhh," jerit keduanya ketika tubuh mereka menyatu.

"Awwwhh... damn it... gghhhh..." Geraman panjang Ardi ketika pelepasan itu dia dapatkan.

Mereka melakukannya hingga dua ronde, sungguh pasangan yang gila.

"Sayang, tumben banget kamu hari Minggu begini ke sini, biasanya kan kamu menghabiskan waktu dengan Ajeng dan anakmu?" tanya Dian di dalam dekapan Ardi, di bawah selimut yang sama, dengan tubuh yang masih sama-sama polos.

"Ajeng pulang ke rumah orang tuanya. Kita tadi ribut karena jatah bulanan kurang. Dia juga menanyakan soal gaji aku. Pusing aku, jadi aku main ke sini," jawab Ardi.

"Di, duit yang 500 itu balikin dong. Aku beneran nggak punya uang buat pegangan. Kalau aku motong duit jatah Ajeng, dia nanti curiga kalau aku punya wanita lain," jelas Ardi.

"Enak saja. Nggak, ah. Biarin saja dia tahu sekalian, biar kamu bisa cepat ceraikan Ajeng, dan kita bisa menikah secepatnya. Memang kamu nggak mau nikahin aku? Kamu cuma mau enak-enak aja gitu?" balas Dian.

"Bukan gitu, Sayang. Kalau aku ceraikan Ajeng tanpa alasan yang jelas atau kita ketahuan selingkuh dan dia nggak terima, kita bisa dituntut. Atau kalau nggak, ya bayar denda. Memangnya kita punya duit buat bayar denda? Sekarang kan perselingkuhan ada pasalnya jika pasangan nggak terima. Kamu mau kita dipenjara?"

'Bener juga kata Mas Ardi. Bisa gawat kalau Ajeng sampai nuntut dipenjara atau nuntut duit. Bukannya untung, malah buntung. Tapi kalau aku beneran hamil gimana? Nggak... Nggak... Mas Ardi harus tetap nikahin aku bagaimanapun caranya. Mending aku ngalah dulu, nanti kalau kecurigaan aku bener, baru aku desak Ardi buat nikahin aku,' pikir Dian.

Akhirnya, Dian mengalah. Ia mengambil dompet dan mengeluarkan uang 300 ribu.

"Segini mau nggak? Aku cuma bisa balikin segini," ucapnya.

"Hhhmmm..." Ardi menghembuskan napas pasrah.

"Ya udah deh, nanti dihemat-hemat sampai keluar duit bonus. Semoga aja dapet bonus lumayan."

Ardi bergegas bangun, memakai pakaiannya kembali, dan berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Dian hanya menatapnya saja.

"Makasih ya, Sayang. Aku pulang dulu. Kamu istirahat saja, jangan ke mana-mana, biar cepat sembuh dan besok bisa kerja. Kita ketemu besok, ya. Kamu besok masuk pagi kan?" Ardi berpamitan setelah keluar dari kamar mandi.

"Iya... Mau ke mana, sih? Capek banget badanku. Udah tahu pacarnya sakit, eh malah tetap diserang. Minta duit lagi..." keluh Dian sambil mengerucutkan bibirnya.

Karena gemas, Ardi mencium bibir itu dan terkekeh. Kemudian, Ardi keluar dan pulang.

Sore hari, terdengar suara motor Ajeng memasuki halaman rumahnya. Dengan semua rencana yang sudah ia susun bersama Yuli di kepalanya, Ajeng berniat untuk segera menjalankannya.

Ardi yang tiba lebih dulu tertidur di kamarnya. Sayup-sayup dia mendengar suara Kaisar yang sedang berceloteh riang.

Ajeng masuk ke kamar saat Ardi sudah berdiri hendak keluar. Ia menyerahkan kembali uang bulanan yang dikembalikan Ajeng tadi pagi.

"Ini diterima dulu, Jeng. Mas janji bulan depan jatah uang belanjanya seperti bulan-bulan yang lalu."

Ajeng menerima kembali uang itu tanpa bicara apapun. Ia menghitung uang itu, ternyata Ardi tidak jadi memangkas 500 ribu.

Ajeng menyimpannya di dalam dompet, sambil memikirkan banyak rencana.

Karena sudah mandi dari rumah ibunya, Ajeng keluar dari kamar menuju dapur untuk membuat makan malam, membiarkan Kaisar dan Ardi bermain di ruang depan.

_________________________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status