Share

Bab. 3 Pertengkaran

Sepasang suami istri itu saling membelakangi di atas tempat tidur. Tidak ada yang bisa memejamkan mata; mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Ajeng merasa suaminya mulai menyembunyikan sesuatu.

Dia memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan oleh suaminya. Sementara itu, Ardi merasa bersalah kepada Ajeng karena telah mengkhianati cinta mereka.

Hari Minggu pagi, saat semua orang sibuk dengan aktivitas masing-masing, Ardi justru masih terlihat nyenyak di bawah selimut.

Ajeng, yang sudah selesai membersihkan rumah, membangunkan Kaisar.

"Bangun, Sayang, mandi dulu yuk. Udah bau asem ini," katanya sambil menciumi pipi gembul anaknya. Kaisar pun terbangun karena ulah sang ibu.

Ajeng membawa Kaisar untuk mandi. Setelah mandi, Ajeng menyuapi anaknya makan. Kemudian, Kaisar bermain di ruang depan, dan Ajeng membangunkan suaminya.

"Mas, bangun... Udah siang ini. Bangun dong."

Ajeng menggoyangkan lengan Ardi. Tak lama, Ardi pun bangun dan berjalan menuju kamar mandi. Ajeng lalu merapikan kamarnya.

Tak berapa lama, Ardi selesai mandi. "Mas, ke rumah Mama yuk? Ajeng kangen banget sama Mama dan Ayah."

Ardi, yang sedang menyisir rambut, lantas melihat istrinya dari pantulan cermin di depannya.

"Nggak, ah. Aku capek. Hari libur gini mending buat istirahat, bukan buat pergi."

"Tapi udah lama kita nggak main ke rumah Mama, Mas. Mama udah sering telepon, katanya kangen sama anak dan cucunya,"

Ajeng masih mencoba membujuk suaminya.

"Ya, kalau kangen sama anak cucu, kenapa nggak datang ke sini saja? Kenapa mesti kita yang ke sana? Kamu aja sendiri. Aku males," jawab Ardi dengan kasar.

Ajeng tersentak mendengar jawaban Ardi. Memang, selama ini Ardi agak susah diajak ke rumah orang tuanya.

"Kamu kenapa sih, Mas? Kita ke sana sekalian ngambil gaji kamu. Aku udah nggak punya uang lagi buat masak, sedangkan gaji aku baru bisa diambil besok. Gimana mau masak kalau nggak ada bahan sama sekali?"

Ardi terlihat membuka dompet dan mengambil dua puluh lima lembar uang seratus ribuan, lalu menyerahkannya pada Ajeng. Ajeng menerima dan menghitungnya.

"Kemarin malam, sebelum pulang, aku mampir dulu ke ATM buat ngambil," kata Ardi setelah Ajeng menerima uang itu.

"Emang gaji Mas berapa? Bukannya sering lembur ya? Kok cuma segini? Gaji Mas saja tanpa lembur udah 3,5 juta. Ditambah lembur, seharusnya bisa 4 juta. Jadi, masih ada sisa 1,5 juta, dong?" tanya Ajeng.

Dia merasa suaminya sering lembur dan seharusnya mendapat lebih dari gaji biasanya.

"Aku juga punya kebutuhan, Jeng. Itu saja aku mau minta 500 ribu buat pegangan selama sebulan, buat uang bensin dan rokok!"

Ardi mulai gugup karena Ajeng terus mencecarnya dengan pertanyaan.

"Minta 500 ribu? Nggak salah kamu, Mas? Berapa gaji kamu dan ke mana sisa gajinya? Semuanya nggak jelas, dan kamu masih mau minta lagi? Sekarang aku tanya, kamu punya kebutuhan apa, Mas? Makan dan bensinmu nggak mungkin habis lebih dari sejuta sebulan. Belum lagi nanti dapat uang bonus, itu pun nggak kamu kasihkan ke aku! Uang segini untuk bayar angsuran rumah 1 juta, belum beli susu, diapers, belanja dapur, kamar mandi, listrik, air, dan masih banyak lagi. Kamu kira cukup?"

Ajeng mulai naik pitam, merasa jengkel pada suaminya.

"Lha, kamu kan juga kerja, Jeng. Gaji kamu itu buat tambahan kalau kurang," jawab Ardi dengan santai.

"Emang selama ini kamu pikir gaji kamu cukup buat makan kita sebulan, Mas? Selama ini gajiku juga buat nyambung hidup, bukan aku pakai buat foya-foya. Kita berhemat supaya tetap bisa makan dan kerja sebulan. Ngomongnya, Mas... Kayak aku kerja cuma buat diri sendiri!" teriak Ajeng, emosinya terpancing.

"Makanya, kamu jadi perempuan jangan boros. Dicukup-cukupin lah uangnya. Nggak mau tahu, pokoknya aku minta 500 ribu buat pegangan beli bensin," sindir Ardi dengan sarkasme.

"Kalau menurutmu aku boros, nih ambil lagi uangmu! Urus semua kebutuhan hidup kita dengan uang itu. Aku mau lihat gimana pusingnya kepala kamu membelanjakan uang segitu, biar kamu tahu seboros apa aku!"

Ditariknya tangan Ardi dan diserahkan lagi uang itu. Ajeng lantas keluar dari kamar setelah mengambil jaket untuk dirinya dan Kaisar.

Ajeng memakaikan jaket pada Kai, menggendongnya, lalu mengambil kunci motor.

Ajeng keluar mengendarai motor sambil menggendong Kaisar menuju rumah orang tuanya. Di sepanjang jalan, Ajeng memikirkan banyak hal.

"Apa mungkin Mas Adit selingkuh di belakangku? Apa dia memberikan sisa gajinya pada kekasihnya? Aku harus ngomong sama siapa? Aku nggak bisa berpikir jernih sekarang... Astaga... Otakku blank..."

Ajeng merutuk dalam hati, memaki kebodohannya.

Sesampainya di rumah orang tuanya, Ajeng memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Sang Mama yang melihat anak dan cucunya datang langsung berdiri dan mendekati Ajeng.

Dia memeluk dan mencium putrinya, lalu merebut Kaisar untuk menggendongnya.

"Sendirian aja, Jeng? Ardi mana?" tanya Bu Maya, ibu Ajeng.

"Mas Ardi nggak ikut, Mah. Capek... Kemarin lembur sampai malam."

Ibu Maya menatap anaknya dengan menyelidik. Sepertinya, sang putri sedang banyak pikiran.

"Ya sudah, nggak apa-apa." Bu Maya sambil menciumi pipi gembul cucunya karena sangat rindu.

"Ayah ke mana, Ma? Kok nggak kelihatan?" Ajeng melihat sekeliling dan tidak menemukan ayahnya.

"Ke rumah Pakdemu. Katanya ada urusan. Mama juga nggak tahu urusan apa."

Ajeng dan mamanya bermain serta bercanda bersama Kaisar. Sebenarnya, Bu Maya ingin menanyakan kepada Ajeng apakah ada masalah, tapi melihat Ajeng tampaknya enggan bercerita, maka ia mengurungkan niatnya.

Setelah makan siang, Ajeng membawa Kaisar masuk ke kamarnya yang dulu. Di dalam kamar, Ajeng merenungkan masalah rumah tangganya, kemudian dia berniat menelepon Yuli.

Yuli: "Halo... Ada apa, Jeng? Tumben hari Minggu telepon gue, nggak nyantai sama laki lu emang?"

Ajeng: "Yul... Gue pengen cerita nih, end minta pendapat lu. Enaknya gue harus gimana ya, Yul? Gue bingung... Sumpah, otak gue ngeblank, nggak bisa buat mikir."

Yuli: "Cerita aja, Jeng. Kalau gue bisa bantu, pasti bakalan gue bantu... Tentang laki lu, ya?"

Ajeng: "Iya, Yul. Tadi pagi gue ribut sama Mas Ardi. Masa dia ngasih jatah bulanan ke gue cuma 2,5 juta, padahal kan lemburannya banyak. Empat juta dapatlah itu gaji dia. Terus, masih mau diminta lagi 500. Lha, yang 1,5 juta ke mana coba?"

Yuli: "Apa mungkin gosip yang menyebar itu bener ya, Jeng? Kalau laki lu ada main sama janda gatel itu? Tapi kalau nggak, kok Ardi sekarang berubah, ya? Kita yang cuma temen aja ngerasain, loh, perubahannya. Apalagi elu yang bininya."

Ajeng: "Gue harus gimana dong, Yul? Gue bingung."

Yuli: "Kalau lu ngerasa Adit curang, lu harus dapetin bukti buat membuka kebenaran ini. Pertama, kita harus cari info soal tuh janda, terus kita selidiki. Tenang, gue bakal bantu elu. Ntar gue kirim nomornya Bang Tio. Lu bisa korek info soal laki lu ke dia, gimana?"

Ajeng: "Iya, gitu juga boleh. Kalau sampai kecurigaan kita benar, aku nggak bakal maafin Mas Ardi. Sakit hati gue, Yul. Nggak inget apa gimana perjuangan kita dulu buat bisa nikah. Apalagi kalau sampai mereka sudah berzina, jijik gue, Yul... Hiks... hiks..."

Yuli: "Sabar dulu, dong, sayang. Jangan negatif thinking gitu. Apa pun keputusan lu, kita semua bakal dukung lu. Kita harus punya rencana dulu. Oke?"

Ajeng: "Iya, Yul. Makasih, ya, udah dukung gue. Udah dulu ya... Ini Kaisar bangun kayaknya. Muah!"

Yuli: "It's okay, say. Ntar gue kirim nomornya Bang Tio. Sabar, ya... Muah!"

Ajeng dan Yuli mengatur rencana untuk membongkar kebenaran yang disembunyikan Ardi.

Sore harinya, Ajeng berpamitan pada Ibu Maya untuk pulang ke rumahnya dan segera menjalankan rencana yang sudah disusun bersama Yuli.

_____________________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status