"Tolong, jangan mengalihkan topik pembicaraan, Bu." Dzaki mengelus rambut Abizar. Menaikkannya ke pangkuan. "Aku harap, Ibu tidak terlalu kejam ke Abizar. Bagaimanapun anak ini sudah memberikan kebahagiaan untuk keluarga kita. Nyatanya anak Ibu yang paling gagah itu ternyata adalah luka bagi wanita yang pernah dinikahinya."Niat Dzaki untuk mengambil air hilang. Gelas itu juga dibiarkan kosong dan pergi membawa Abizar ke lantai atas. Bukan Dzaki tidak berani membawa Abizar keluar dari rumah ini, hanya saja ia masih menghormati sosok kakaknya yang terlihat lebih waras dari orang tuanya. Masih mau membawakan makanan kesukaan anak itu, walaupun tidak sudi melihat wajah Abizar.Dzaki masuk kamar Abizar. Mendudukkan anak itu di tepi ranjang dan berkata, "Tunggu Om sembuh, kita pergi ke toko Ibu, ya. Kamu mau makan kue, kan?" Abizar mengangguk pelan. "Nenek jahat, Om." Suara tangis Abizar masih terdengar, sekali pun tidak sekuat tadi. Pandangan anak itu tidak seceria biasa, kasihan memang.
Aruna selesai membungkus pesanan seorang pembeli ketika ponselnya berbunyi. Perempuan itu sesegera mungkin melihat benda pipih nan canggih tersebut yang ada di meja kasir. Rupanya dari Dzaki. Cukup melegakan karena pria itu membalas.Aruna terdiam. Naufal tidak berbohong, mantan adik iparnya itu memang sakit. Cantika menghampiri, memperhatikan Aruna dan berkata, "Kamu masih kepikiran soal Naufal tadi?" Aruna terkejut, menoleh ke samping. Kembali menyimpan ponsel di tempat semula. Menarik laci kecil, tempat di mana uang berada. Sudah waktunya menghitung laba sampai menjelang magrib. "Tidak. Aku cuma sedikit lelah saja."Cantika tidak percaya. Wanita yang berdiri di samping kanan Aruna itu mencondongkan badan ke arah Aruna dan berbisik, "Apa kamu kepikiran soal Dzaki yang sakit?"Kedua pupil mata Aruna membesar. Pertanyaan macam apa ini? Terlalu merembet ke hal privasi. "Aku tidak memikirkannya. Itu, kan, wajar. Manusia memang bukan terbuat dari robot, jadi pasti ada masa sakitnya."Ca
Suasana jalanan mendadak hening, tidak banyak kendaraan melewati. Seolah memberikan waktu untuk dua orang itu agar bisa saling diam satu sama lain."Maaf, kamu baik-baik saja?" Aruna merasakan kejanggalan di diri Dzaki. Takutnya terjadi sesuatu. Dzaki terdiam, kemudian sadar. "Astagfirullah, maaf." Rasanya malu, tetapi pria itu memang datang dengan keadaan diri tidak baik-baik saja. Tempat pertama yang muncul di otak beberapa menit yang lalu adalah toko Aruna, seharusnya tidak seperti ini. Jelas saja salah. "Aku mau membeli cupcake kesukaan Abizar. Apa masih ada?" Dzaki mencoba mengalihkan topik pembicaraan karena merasa malu. Aruna hanyalah mantan kakak ipar yang seharusnya tidak diseret ke masalah pribadi.Aruna masih merasa janggal. Diam beberapa menit, lalu berkata, "Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku tidak tau apa yang sudah terjadi, tapi kamu mungkin bisa mulai terbuka dengan seseorang."Keadaan kembali ramai di jalanan. Tentu saja akan terdengar sampai ke dalam toko. Jam dind
Setelah mendapatkan kepastian jika dirinya mandul, Naufal sering bersikap acuh pada Abizar. Tak sering juga, lelaki itu membiarkan Abizar sampai menangis karena merengek meminta digendong.Sudah hampir setahun, setelah kenyataan itu diterima dan Naufal benar-benar kacau. Lelaki itu terkadang tidak pulang ke rumah dan hanya bermukim di kantor. Merasa sepi dan menyadari satu hal bahwa dari ketiga istri yang sudah pernah dinikahi, hanya Aruna yang paling memahami tentang dirinya. Bahkan Aruna begitu perhatian dengan terus memasakkan makanan kesukaan Naufal. Penyesalan selalu datang di akhir, tetapi bagi pelakunya tidak jarang hal ini tak dianggap sebagai teguran. Berlaku untuk Naufal juga, merasa bahwa semua yang terjadi memang sudah seharusnya.Tahun pertama sejak divonis mandul, Naufal jarang menemui Abizar. Bahkan orang tuanya mengusulkan agar anak itu dipindahkan ke panti asuhan saja. Namun, hal ini ditentang Dzaki. Lelaki yang lebih muda dari Naufal tersebut akan menjamin semua keb
"Kenapa kamu tidak masuk saja?" Naufal menghampiri Aruna dan langsung bertanya. Sontak Aruna kaget, menoleh ke samping kanan. "Bukankah setiap orderan itu harus bisa dipastikan sampai ke tangan konsumen dengan baik? Jadi, sangat disarankan kamu untuk memberikannya langsung." Naufal berdiri dengan tegak. Menatap Aruna penuh bahagia. Sorot matanya berbinar, kerinduan itu terwujud tanpa harus lelah menyetir lebih dahulu.Satpam itu diam. Ia tahu siapa Aruna. Bahkan, semua orang juga tahu tentang hubungan mereka. Lima tahun bersama bukanlah waktu yang sebentar. Jelas saja Aruna sering datang ke sini. Tanpa diminta pun, satpam lelaki itu meninggalkan mereka. Tidak ingin terlibat juga.Aruna memalingkan wajah ke sembarang arah, tak ingin menatap Naufal. "Itu memang benar, tapi keadaanya sekarang berbeda." Membela diri.Jantung Naufal berdebar. Cintakah ini? Mantan istrinya semakin hari, semakin berubah manis dan cantik. Ah ... ini terlalu indah untuk dipandang oleh mata orang lain, selain d
"Jangan bertanya terlalu banyak tentang orang lain. Kita tidak punya hubungan lebih dari mantan suami istri!" Aruna segera melangkahkan kaki meninggalkan Naufal. Kali ini dengan keyakinan yang penuh. Setelah mengantarkan kue pada pembeli, Aruna sendiri memiliki janji dengan Cantika. Perempuan itu ingin dibuatkan kue ulang tahun yang akan dibagikan pada teman kerjanya. Tentu Aruna sangat antusias karena sejatinya Cantika adalah orang yang paling berperan dalam hidup.***Dzaki pergi ke kantor penerbitan seperti biasa. Pagi ini, lelaki itu berangkat dengan diiringi tangisan Abizar serta perkataan orang tuanya yang berencana membawa Abizar ke panti asuhan. Entah seperti apa nasib anak itu ketika dirinya tidak ada di rumah. Semoga saja Allah melindungi.Sudah sekitar tiga hari Dzaki belum datang ke toko Aruna. Selain sangat sibuk, ia juga selalu langsung pulang karena khawatir dengan Abizar. Malam ini berencana datang ke sana untuk membeli cupcake. Rindu juga dengan salah satu jenis kue
"Semua orang berhak datang ke sini," jawab Aruna dengan yakin.Dzaki bergeming."Kamu adalah pelanggan dan aku penjual. Jadi, ada atau tidak adanya Abizar, itu bukan masalah besar." Aruna melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda.Kalimat itu terdengar manis bagi Dzaki. Selain karena mengisyaratkan kedatangannya lain waktu tanpa Abizar pun bukan masalah, ia juga merasa tidak akan bersalah. "Syukurlah. Aku lega mendengarnya.""Silakan pilih kue yang kamu mau. Aku bungkuskan." Aruna berkata demikian sambil bergerak mendekati etalase. Begitu pun dengan Dzaki yang berjalan menghampiri Aruna. "Cupcakenya tinggal dua. Seharusnya kamu datang sebelum ashar."Dzaki memahami. "Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan juga memikirkan keadaan Abizar." Tanpa sadar Dzaki mengatakan isi hatinya.Kening Aruna mengerut kencang. "Keadaan Abizar?" Perempuan itu bertanya balik. "Kenapa dengan anak manis itu? Apa dia sakit?"Dzaki tersadar. "Ah, tidak. Aku cuma memikirkannya saja." Ekor mata Dzaki sengaja
Pertanyaan Dzaki mengejutkan. Aruna sampai sulit mencerna. Apa tida salah mendengar telinganya? Aruna rasa, tidak! "Sebentar. Maksud kamu itu apa?" tanya Aruna balik.Sudah Dzaki duga. Sudah dipastikan Aruna terkejut dan pastinya tidak percaya. "Abizar bukan anak kandung Kak Naufal." Pada akhirnya Dzaki mengatakan kebenaran."Mana mungkin?" Aruna tersentak. Kedua bola matanya membesar. "Jangan bercanda. Kita sedang berbicara serius."Dzaki diam sebentar. Mengamati reaksi Aruna yang sudah dibayangkan sebelumnya. "Aku serius. Satu lagi, kamu sebenarnya tidak mandul. Dokter dan suster yang memeriksamu waktu itu ternyata salah menganalisa. Jadi, lebih tepatnya yang mandul itu Kak Naufal."Kali ini Aruna sampai menggelengkan kepala dua kali. Bercandaan seperti apakah ini? Tidak lucu. "Kamu mau bukti?" Dzaki paham perasaan Aruna. "Aku akan membawamu ke rumah sakit yang dulu.""Tunggu!" Aruna memijat pelipis kanan. Sakit sekali. Terlebih semua yang dikatakan Dzaki seperti mengambang dan se