Setelah mengetahui kebenaran itu. Aruna sama sekali tidak bisa tidur. Bahkan, ia tidak ingin makan malam. Cantika yang diberitahu pun merasa kasihan. Pagi ini, tepatnya setelah salat Subuh. Aruna sudah bersiap diri. Cantika tak bertanya apa pun, mungkin saja Aruna memang ada keperluan yang membutuhkan pergi lebih pagi.Cantika menggantikan Aruna bertugas di dapur karena dirinya masuk sift siang. Membuat sarapan yang hanya nasi goreng biasa saja. Sekitar pukul setengah tujuh pagi, Aruna ke dapur. Namun, perempuan itu sudah siap dengan tas jinjingnya. "Aku tidak bisa sarapan. Maaf, ya," katanya sambil mencari sesuatu di kulkas.Cantika menoleh ke belakang, menatap Aruna. "Kamu mau ke mana sepagi ini?" Penasaran.Aruna ternyata mengambil sekotak susu kecil. Berdiri sambil menutup pintu kulkas. Menatap balik Cantika. "Aku tidak bisa diam saja, Can."Kening Cantika mengerut. Lengan kanan yang memegang cutik pun diam. "Maksudmu?" Semakin penasaran. "Aku mau menemui Abizar. Meminta mereka
Aruna langsung berbalik badan. Begitu pun dengan Cantika. "Assalamualaikum. Selamat pagi, Bu," kata Aruna dengan senyum kecil.Cantika melirik Aruna. Tersenyum kecil pula. Terlihat sekali temannya itu bersusah payah menahan agar tidak marah."Wa'alaikum salam." Bu Nani menjawab dengan ketus. Menatap mantan menantunya yang paling tidak disetujui dari pertama menikah. "Ada apa datang ke sini?" Aruna terus meyakinkan diri jika semua akan baik-baik saja. "Sebelumnya, aku minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan." Aruna menjeda sebentar. Melihat reaksi Bu Nani lebih dulu, kemudian berujar lagi, "Tapi, kedatanganku dengan tujuan baik.""Apa itu?" Bu Nani masih menjawab dengan ketus. Berjalan dua langkah ke depan, semakin memperkecil jarak di antara mereka. Posisinya berada di depan kedua perempuan muda tersebut. "Saya tidak punya banyak waktu untuk menemui tamu yang tak diundang."Di sini terlihat Aruna mulai kesulitan menahan lonjakan emosi. Selain mengingat tentang keadaan Abizar da
Naufal menuruni anak tangga ke arah lantai bawah. Kemudian, berjalan mendekati Aruna, Cantika, dan ibunya. Berdiri di depan Aruna yang saat ini mengangkat kepala. "Abizar mungkin secara keturunan bukan anakku, tapi dia dibesarkan di keluarga ini. Itu artinya, ia tetap bagian dari keluargaku. Kalau kamu mau dekat dengannya, penuhi syaratnya dulu."Bu Nani terdiam. Masih shock dengan kebenaran tentang Dzaki yang sering menemui Aruna. Benar-benar di luar dugaan.Aruna menahan emosi dengan memegang pegangan sopa samping. Perempuan itu menyorotkan tatapan tajam. "Syarat seperti apa yang harus aku penuhi, Kak?" Penasaran juga.Cantika sengaja memegang tangan kanan Aruna. Menenangkan perempuan itu yang tampaknya sedikit kesulitan dalam mengelola emosi saat ini, sedangkan Bu Nani sendiri masih diam."Menikahlah denganku lagi," jawab Naufal.Mendengar itu Bu Nani tersadar. Langsung berdiri dan berkata, "Naufal, apa yang kamu katakan, Nak?"Sama halnya dengan Bu Nani. Aruna pun lebih terkejut, b
"Menjamin kalau Kakak bisa mengembalikan hatiku yang dulu," jawab Aruna.Naufal tersentak. Jawaban mantan istrinya itu sungguh tidak terduga. Bahkan, sangat tak terpikirkan sama sekali.Aruna berdiri seraya memegang tangan kanan Cantika yang otomatis ikut berdiri juga. Perempuan itu menatap Naufal dengan tatapan lekat dan tajam. "Secintanya aku ke Abizar, aku tidak mungkin mengambil cara segila itu." Naufal tersendiri. Ikut berdiri juga. "Apa maksudmu?" Bu Nani diam. Memperhatikan saja, takut salah berbicara.Sebelum menjawab, Aruna lebih dahulu tersenyum simpul. "Menikah denganmu lagi itu adalah cara paling gila. Kenapa? Karena aku sama saja memenjarakan diriku lagi ke tempat yang sama. Aku tidak mau!" Aruna begitu tegas menolak. Mengenai Abizar, ia akan mencari cara lain agar bisa lebih dekat dan mengambil hak asuh dari Naufal.Naufal mengencangkan rahang. Aruna sudah berubah lebih kuat dari dulu. Ini menyebalkan, tetapi sekaligus menjadi tantangan tersendiri. "Seharusnya kamu ber
Aruna akhirnya pergi ke toko dengan hati penuh kemarahan terhadap Naufal. Cantika sendiri pulang ke rumah. Keduanya berpisah di depan halte dekat dari perumahan orang tua Naufal.Sebagai seorang pemilik toko kue. Tentunya harus bisa menyajikan beragam kue dengan baik agar pembeli tidak bosan pula. Oleh sebab itu, ia pun harus pintar-pintar menciptakan resep baru dengan belajar dari kursus.Pagi ini toko kue Aruna buka pukul sembilan pagi, walaupun wanita itu sudah berada di toko dari pukul delapan pagi. Aruna memilih menyibukkan lebih dahulu diri di dapur dengan berjibaku bersama adonan kue. Dengan seperti itu, hatinya bisa sedikit tenang dan berdamai bersama keadaan lagi.Begitu toko kue, para pembeli langsung menyerbu cupcake. Pagi ini Aruna hanya membuat sekitar tiga puluh cupcake saja. Itu pun karena lumayan fokus pada satu jenis kue saja."Cupcake buatan Mbak memang paling enak." Seorang pelanggan wanita muda melontarkan kalimat pujian.Aruna tersenyum kecil. "Masya Allah, terima
Dzaki menunggu di bangku yang tersedia sambil menikmati sepotong kue brownies. Aruna sendiri merasa penasaran sekaligus berdebar-debar. Tatapan Dzaki berbeda dari biasanya. Bahkan, sepotong kue itu hanya dinikmati satu sendok saja. Ada apakah sebenarnya ini?"Terima kasih sudah berbelanja di toko saya. Selamat menikmati." Kalimat yang selalu dilontarkan Aruna pada setiap pelanggan yang selesai berbelanja.Suasana hening. Tidak ada pelanggan lain. Aruna berdiam diri di dekat meja kasir. Menatap Dzaki yang tampak diam membisu. Melihat aura lelaki itu hari ini saja penuh dengan tanda tanya. "Apa dia salah minum obat tadi pagi?" Aruna bertanya sendiri, lalu menghela napas kasar. Memberanikan diri menghampiri Dzaki agar urusan mereka segera selesai.Aruna menarik kursi di depan Dzaki. Lalu, duduk dan berkata, "Apa yang mau bicarakan?"Dzaki diam sejenak. Menatap Aruna yang kini justru menghindari pertemuan pandangan dengannya. Lelaki itu paham. Semakin yakin dengan tujuannya ke sini. "Apa
Suasana semakin tegang bagi Dzaki. Terlebih Aruna sama sekali belum bereaksi apa pun perihal pertanyaannya."Kamu bisa memikirkannya lebih matang. Tidak perlu menjawab langsung," kata Dzaki demi menghindari rasa terpaksa dari Aruna.Aruna diam bukan berarti tidak punya jawaban, tetapi merasa bingung. Satu sisi, ada kelebihan istimewa yang akan dirinya dapatkan ketika menjadi istri Dzaki. Tentunya bukan soal materi, melainkan kedekatan kembali bersama Abizar. Namun, ada sisi negatifnya yaitu ketakutan Aruna bagaimana bisa merawat Dzaki ketika dirinya saja masih kesulitan merawat luka sendiri? Ini akan berdampak besar ke kehidupan pernikahan mereka.Dzaki berdiri. Sudah lama berada di sini. Lelaki itu membenarkan lagi jas hitam yang melekat di badan. "Aku tidak ingin memaksamu untuk bersamaku, tapi aku akan pastikan kebahagiaanmu kalau berani melangkah denganku."Aruna seketika mengangkat kepala, menatap Dzaki. "Apa ini sebuah tawaran atau niat?" Sorot mata perempuan itu begitu serius.
Aruna panik. Ia meminta maaf pada pelanggan karena hendak menutup toko. Tentunya wanita itu harus pergi ke rumah sakit. Naufal menunggu. Lelaki itu menawarkan tumpangan, walaupun Aruna sendiri sudah menolak.Aruna menutup toko dan mengunci juga. Tak lupa wanita itu membawa tas selempang. Menuruni tiga anak tangga, lalu berkata, "Cepatlah pergi duluan. Aku naik bus." Aruna melewati Naufal yang berdiri di depan mobilnya."Ikutlah denganku. Bus jam segini pasti lama," kata Naufal.Aruna terus berjalan menjauh dari Naufal. "Tidak perlu, Kak. Aku lebih baik sendiri."Naufal menyusul Aruna. Menarik lengan kanan gamis perempuan itu dan berkata lagi, "Ini darurat! Kamu tidak mau Abizar menunggu bukan?" Sontak Aruna berhenti. "Naiklah."Aruna menghempaskan tangan Naufal. "Maaf, Kak." Wanita itu tetap pada pendiriannya. Terus berjalan ke arah sisi jalan raya dan bergerak ke kanan. Di mana halte bus berada. Perempuan itu memegang ponsel, mencoba memesan kendaraan online. Namun, entah mengapa sia