Dzaki menunggu di bangku yang tersedia sambil menikmati sepotong kue brownies. Aruna sendiri merasa penasaran sekaligus berdebar-debar. Tatapan Dzaki berbeda dari biasanya. Bahkan, sepotong kue itu hanya dinikmati satu sendok saja. Ada apakah sebenarnya ini?"Terima kasih sudah berbelanja di toko saya. Selamat menikmati." Kalimat yang selalu dilontarkan Aruna pada setiap pelanggan yang selesai berbelanja.Suasana hening. Tidak ada pelanggan lain. Aruna berdiam diri di dekat meja kasir. Menatap Dzaki yang tampak diam membisu. Melihat aura lelaki itu hari ini saja penuh dengan tanda tanya. "Apa dia salah minum obat tadi pagi?" Aruna bertanya sendiri, lalu menghela napas kasar. Memberanikan diri menghampiri Dzaki agar urusan mereka segera selesai.Aruna menarik kursi di depan Dzaki. Lalu, duduk dan berkata, "Apa yang mau bicarakan?"Dzaki diam sejenak. Menatap Aruna yang kini justru menghindari pertemuan pandangan dengannya. Lelaki itu paham. Semakin yakin dengan tujuannya ke sini. "Apa
Suasana semakin tegang bagi Dzaki. Terlebih Aruna sama sekali belum bereaksi apa pun perihal pertanyaannya."Kamu bisa memikirkannya lebih matang. Tidak perlu menjawab langsung," kata Dzaki demi menghindari rasa terpaksa dari Aruna.Aruna diam bukan berarti tidak punya jawaban, tetapi merasa bingung. Satu sisi, ada kelebihan istimewa yang akan dirinya dapatkan ketika menjadi istri Dzaki. Tentunya bukan soal materi, melainkan kedekatan kembali bersama Abizar. Namun, ada sisi negatifnya yaitu ketakutan Aruna bagaimana bisa merawat Dzaki ketika dirinya saja masih kesulitan merawat luka sendiri? Ini akan berdampak besar ke kehidupan pernikahan mereka.Dzaki berdiri. Sudah lama berada di sini. Lelaki itu membenarkan lagi jas hitam yang melekat di badan. "Aku tidak ingin memaksamu untuk bersamaku, tapi aku akan pastikan kebahagiaanmu kalau berani melangkah denganku."Aruna seketika mengangkat kepala, menatap Dzaki. "Apa ini sebuah tawaran atau niat?" Sorot mata perempuan itu begitu serius.
Aruna panik. Ia meminta maaf pada pelanggan karena hendak menutup toko. Tentunya wanita itu harus pergi ke rumah sakit. Naufal menunggu. Lelaki itu menawarkan tumpangan, walaupun Aruna sendiri sudah menolak.Aruna menutup toko dan mengunci juga. Tak lupa wanita itu membawa tas selempang. Menuruni tiga anak tangga, lalu berkata, "Cepatlah pergi duluan. Aku naik bus." Aruna melewati Naufal yang berdiri di depan mobilnya."Ikutlah denganku. Bus jam segini pasti lama," kata Naufal.Aruna terus berjalan menjauh dari Naufal. "Tidak perlu, Kak. Aku lebih baik sendiri."Naufal menyusul Aruna. Menarik lengan kanan gamis perempuan itu dan berkata lagi, "Ini darurat! Kamu tidak mau Abizar menunggu bukan?" Sontak Aruna berhenti. "Naiklah."Aruna menghempaskan tangan Naufal. "Maaf, Kak." Wanita itu tetap pada pendiriannya. Terus berjalan ke arah sisi jalan raya dan bergerak ke kanan. Di mana halte bus berada. Perempuan itu memegang ponsel, mencoba memesan kendaraan online. Namun, entah mengapa sia
Abizar terbangun ketika merasakan sentuhan tangan Aruna di keningnya. Anak itu langsung memeluk erat Aruna. Sudah hampir dua minggu tidak bertemu. Melihat itu, Dzaki merasa semakin yakin dengan keputusannya meminang Aruna."Ibu, temani Abizar di sini, ya? Abizar takut." Dengan raut wajah ketakutan, Abizar seolah meminta pertolongan. Terlihat sekali anak itu seperti terguncang jiwanya. Mungkin karena belum terbiasa menerima perubahan sikap dari keluarga terdekat.Orang tua Naufal dan Dzaki sendiri rupanya tidak hadir di rumah sakit. Mereka justru pulang ke rumah dengan alasan ingin istirahat. Untung saja Dzaki sigap menemani Abizar dari pertama berangkat sampai saat ini.Arloji di tangan Aruna sudah menunjukkan pukul satu siang. Itu artinya, waktu salat Dzuhur sudah masuk. Bahkan, sejak tadi. "Insya Allah, ya, Nak." Aruna memeluk Abizar. Mulut berkata lain, tetapi hati justru menjerit. Ingin rasanya menggendong Abizar keluar dan membawanya serta ke rumah. Namun, secara hukum Aruna tida
"Aku sholat dulu." Aruna lebih baik meninggalkan Naufal dan Dzaki. Tidak peduli berapa kali pun Naufal memanggil namanya, Aruna tetap saja berjalan ke depan."Stop, Kak!" Dzaki menghadang Naufal yang hendak menyusul Aruna dengan membentangkan tangan kanannya ke samping kanan. "Seperti yang Kakak dengar. Aruna menerima lamaranku." Dzaki menatap Naufal lekat, begitu pun dengan Naufal. "Aruna akan segera datang ke rumah Ibu sebagai menantu dari anak bungsu Ibu."Kedua bola mata Naufal menyorot tajam. Dadanya sesak, terlebih perkataan Dzaki tersebut mengandung emosi.***Seminggu berlalu, kabar tentang penerimaan lamaran Dzaki oleh Aruna pun rupanya sudah sampai ke telinga Bu Nani dan Pak Arya. Jelas saja mereka menolak dengan alasan Aruna itu tidak pantas masuk kembali ke keluarga mereka."Aku yang lebih tau wanita seperti apa yang akan menjadi pendamping hidupku, Bu, Ayah," tutur Dzaki ketika mereka melakukan rapat keluarga. Tentunya Naufal pun hadir. Bu Nani yang duduk di sopa panjang
Aruna melakukan aktivitas seperti biasanya. Setelah Abizar keluar rumah sakit, enam hari lalu. Ia belum bisa bertemu dengan anak itu. Kemudian, perihal persetujuannya menerima lamaran Dzaki sudah dibicarakan baik-baik berdua. Mereka akan melangsungkan pernikahan sekitar satu minggu lagi. Sekarang kondisi Aruna sedikit cemas dan bimbang. Benarkah keputusan yang diambilnya ini? Semoga saja.Pagi ini Aruna membuka toko dengan banyak pelanggan yang mengantri. Setelah berbicara dengan Dzaki, dua hari lalu. Lelaki itu tidak lagi datang ke sini. Mungkin sibuk atau bahkan sedang meyakinkan keluarganya. Yang datang justru Naufal. Lelaki itu masih saja mencegah Aruna untuk menikah dengan Dzaki. Tentunya Aruna tidak terpengaruh."Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?" Aruna menyapa seorang nenek yang memakai tongkat. Fisiknya masih terlihat sangat sehat, buktinya nenek itu bisa datang ke toko. Aruna mengembangkan senyum. "Mau kue apa, Nek?" Nenek itu menghampiri Aruna. Diam sebentar dan ber
Sosok yang disangka Dzaki itu berhenti bersamaan dengan Aruna yang sampai di belakangnya. "Kamu mau ke mana?" Aruna bertanya langsung.Sosok itu berbalik badan. Menatap Aruna lekat. "Siapa, ya?" Kening sosok itu berkerut kencang.Aruna tersentak. Ternyata salah orang."Apa Anda mengenal saya?" Sosok itu bertanya kembali. "Maaf, Mas, saya kira teman saya." Aruna menahan malu. Padahal dari belakang sangat mirip sekali dengan Dzaki."Oh, baiklah." Sosok itu kembali membalikkan badan dan berjalan lagi.Aruna diam. Memegang kepalanya yang mendadak sakit. "Aku kenapa?" Padahal Aruna sudah memastikan tidak begadang semalam yang menyebabkan salah orang. "Astagfirullah. Mungkin aku perlu banyak minum."Pada akhirnya Aruna kembali ke toko dengan hati sedikit malu. Untung saja kejadian itu tidak disaksikan banyak orang. Jika iya, sudah malu luar biasa.Aruna kembali ke dapur dengan memakai topi pastry chef lagi. Kali ini harus membuat cupcake dengan banyak karena stoknya menipis.Perempuan ber
Seperti apa yang didengar telinganya, memang benar keberadaan Aruna itu ada. Wanita tersebut menunggu di lantai bawah dan duduk di bangku yang tersedia. Ada sebuah kotak di meja, entah apa isinya."Assalamualaikum." Dzaki mendekat.Aruna tersentak, menoleh ke samping kanan dan berkata, "Wa'alaikum salam." Lelaki yang sekarang sedang berjalan mendekatinya adalah Dzaki, bukan hanya sekadar khayalan semata. Dzaki menarik kursi di depan, duduk dengan begitu elegant. "Maaf, kalau aku mengganggu waktumu." Terlihat sekali Aruna merasa bersalah.Dzaki menggelengkan kepala cepat. "Tidak masalah. Aku juga berniat datang ke tokomu nanti." Lelaki itu justru senang. Setidaknya, ia tak perlu datang ke toko nanti.Suasana hening bagi mereka, tetapi tidak untuk sekitarnya. Beberapa orang yang mengenal sosok Aruna mulai berbisik, bergosip ria tentang cerita kehidupan perempuan itu.Aruna menggeser kotak yang terbungkus plastik putih itu mendekat ke hadapan Dzaki seraya berkata, "Biasanya kamu sering d
"Cepat! Bus harus segera berangkat," jawab si sopir.Aruna segera berbalik badan dan mengambil tempat duduk, sedangkan pria itu juga ikut naik. Entah mengapa perasaan Aruna sedikit tak karuan melihat sosok lelaki yang terakhir naik, seperti sebuah gerbang sedang terbuka untuk menuju satu jalan. "Astagfirullah, aku harus fokus ke diri sendiri." Aruna meluruskan pandangan ke depan dan memantapkan hati untuk tidak terlalu mengikuti hati.***Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa Dzaki sudah ada di depan sebuah ruangan operasi menunggu sang istri melahirkan.Ya, Aruna harus melakukan operasi sesar karena ketuban lebih cepat dahulu pecah dan si bayi belum ada tanda-tanda siap keluar karena baru berusia tiga puluh tujuh minggu. Sebuah keputusan terbaik diambil untuk keselamatan keduanya.Bu Nani dan Pak Arya pun berada di sana, menenangkan Dzaki dengan terus mengingatkan anak bungsunya untuk pasrah pada Yang Maha Kuasa."Istigfar, Nak. Insya Allah, Istri dan anakmu baik-baik saja," ka
Amira pergi ke toko kue dengan diantar sopir. Ia menyuruh lelaki paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya tersebut untuk pulang lebih dahulu. Sebab, Aruna berniat seharian berada di sini.Bi Mirna senang bisa melihat Aruna lagi. "Alhamdulillah, Neng sudah membaik," katanya dengan penuh rasa bahagia. Aruna sendiri merasa disambut oleh seorang Ibu. Hangat dan penuh rasa cinta."Maaf, ya, Bi, aku sudah lama tidak datang," imbuh Aruna.Bi Mirna mengelus perut Aruna pelan. "Tidak apa-apa, Neng. Jangan khawatirkan soal toko karena Bibi akan selalu berusaha menjaganya.""Terima kasih, Bi." Aruna memperhatikan sekitar. Semuanya masih sama seperti empat bulan yang lalu. Namun, sekarang ditambah dengan dua karyawan baru yang membantu. Menurut penuturan Bi Mirna, penjualan meningkat drastis di empat bulan terakhir. Aruna yang menerima laporan itu pun cukup senang. Selama ini Bi Mirna hanya melaporkan hasil keuangan ke kantor Dzaki karena tidak berani datang ke rumah Aruna."Bi, aku rindu s
"Makanlah." Dzaki tampak lelah karena berkeliling mencari ramen di tengah malam. Namun, perasaan itu seketika hilang dengan melihat istrinya tersenyum bahagia.Aruna duduk di kursi makan yang berhadapan dengan Dzaki. Menelan ludah ketika melihat kentalnya kuah ramen yang bercampur dengan rasa pedas. "Masya Allah, pasti enak." Mengangkat kepala dan menatap Dzaki. "Terima kasih, Mas."Dzaki ikut tersenyum sambil mengulurkan tangan ke depan dan mengelus pucuk kepala istrinya. "Jangan ragu untuk katakan apa pun keinginanmu selama aku bisa. Ingat, kamu adalah istriku."Aruna mengangguk pelan. Benar-benar definisi diratukan oleh satu raja itu luar biasa bahagianya. "Tapi aku merasa bersalah karena Mas harus keliling untuk dapatkan ini."Tangan Dzaki masih berada di pucuk kepala Aruna. "Apa kamu tidak menganggapku suami?" Kedua pupil mata sontak membesar, lalu diikuti dengan gelengan kepala. "Kalau memang masih menganggap, biarkan aku membahagiakanmu dengan banyak cara. Kamu ratu di sini."H
"Sakitnya seorang Ibu itu nikmat, Sayang. Karena rasa bahagia ada adik bayi lebih besar dibandingkan rasa sakit," jawab Amira. Ia belum sanggup mengungkapkan identitas Abizar. Mungkin menunggu anak itu beranjak remaja saja.Pak Arya dan Bu Nani tidak berkat apa pun. Semua keputusan ada pada diri menantunya. Biarkan saja dahulu, Abizar pun belum tentu bisa memahami.Aruna berada di rumah sakit sekitar tiga hari. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya sendiri dengan dibantu oleh asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Aruna pun belum pergi ke toko. Mempercayakan semuanya pada Bi Marni.***Hari-hari berlalu dan akhirnya kehamilan Aruna menginjak usia enam belas Minggu. Rasa mual dan muntah berangsur membaik dan hanya dirasakan sesekali saja. Begitu pun dengan sakit kepala. Perut Aruna memang belum terlihat buncit karena usia kandungan masih kecil.Setiap harinya selalu ada saja yang diinginkan Aruna. Entah itu makanan ataupun sekadar ingin pergi ke suatu tempat. Selama itu
Aruna menjaga sekali kehamilannya. Tidak peduli rasa mual dan muntah itu semakin menyerang diri, ia terus berusaha untuk melakukan yang terbaik. Seminggu setelah vonis hamil dinyatakan, Aruna sama sekali tidak bisa bangun. Ia bahkan dilarikan ke rumah sakit karena terus menerus muntah yang mengharuskannya mendapatkan perawatan medis. Dzaki setia di samping. Bahkan saat Aruna merasakan mual di pagi hari, lelaki itu sigap untuk membawa sang istri ke kamar mandi."Aku ambilkan minum hangat, ya." Dzaki mendudukan Aruna di kasur. Mereka baru saja keluar dari kamar mandi hampir delapan kali. Wajah Aruna mulai terlihat pucat. Makanan dan minuman yang masuk akan kembali lagi. Lemas rasanya. "Iya, Mas." Aruna pasrah. Sakit ini akan berlalu dan digantikan kebahagiaan bertemu sang buah hati tercinta. Menginjak enam minggu memang masa-masa kritis, sekali pun ada ibu hamil yang memang baru merasakan mual di usia delapan minggu. Namun, ada sebagian lagi juga yang tidak merasakan morning sicknes
"Selamat, Pak. Anda akan segera menjadi ayah." Dokter lelaki menyalami Dzaki. Pemeriksaan dilakukan sekitar dua puluh menit dan hasilnya Aruna positif hamil sekitar empat minggu. "Mungkin setelah ini gejala sakit kepala, mual dan muntahnya bisa saja bertambah parah. Tapi Ibu dan Bapak tidak perlu cemas karena itu hal biasa. Selalu pastikan Ibu mencukupi gizi si janin dan terus minum vitamin yang akan saya resepkan."Dzaki masih belum bergerak sama sekali, sedangkan Aruna terharu dengan mengucap kata syukur."Pak Dzaki baik-baik saja?" Dokter lelaki itu kembali bertanya.Dzaki sadar, kemudian berkata, "Apa benar Dok, kalau istri saya hamil?" Bertanya lagi untuk memastikan."Semuanya akurat dan ini hasilnya." Dokter memberikan isyarat mata pada suster untuk menyimpan hasil tespek di meja. "Garis yang satu memang masih samar, tapi ini sudah bisa membuktikan jika istri Anda hamil. Saya minta kerjasamanya untuk menjaga kandungan Ibu sampai waktu melahirkan nanti."Dzaki masih memegang tang
"Aruna di mana, Bu?" Dzaki langsung ke dapur setelah selesai salat dan mengobrol dengan beberapa tetangga.Bu Nani seketika menoleh. "Katanya tadi perutnya sakit, jadi istrimu masuk kamar. Coba lihat dulu, Nak."Dzaki mengerti. "Baik, Bu." Dengan cepat ke luar dari dapur dan berjalan menapaki anak tangga satu per-satu menuju lantai dua. Suasana hening. Dzaki sempat tersentak ketika melihat kamar almarhum kakaknya, tetapi tidak begitu hanyut. Bergegas masuk kamar sendiri sambil berkata, "Assalamualaikum." Pandangan mata lelaki itu langsung tertuju pada sosok Aruna yang sedang terbaring. "Sayang, kamu baik-baik saja?"Aruna tidak menjawab. Secepat mungkin Dzaki semakin masuk ke kamar. Memeriksa keadaan sang istri. "Sayang, kamu kenapa?" Duduk di tepi ranjang bagian kanan. Barulah Aruna membuka mata. "Kata Ibu, kamu sakit perut. Kita ke dokter saja, ya?" Aruna tersenyum paksa. "Tidak perlu, Mas. Perutku kram, mungkin mau datang bulan."Dzaki diam. Tangan kanannya memegang perut Aruna.
Kepergian Naufal tentu menoreh luka hati untuk semua keluarga. Dzaki dan Aruna pun semakin sering mengunjungi rumah Bu Nani dan Pak Arya untuk sekadar menghibur mereka. Hubungan Aruna dengan keluarga suaminya pun semakin membaik. Bahkan Bu Nani sekarang menganggap Aruna seperti anak perempuan sendiri.Dzaki pun tetap meneruskan penuntutan pada Vanesha dan penulis yang bersangkutan, tetapi tidak melihatnya almarhum kakaknya. Bukan karena tidak bersalah, tetapi Naufal sudah tidak seharusnya dihukum ketika wujudnya saja sudah tidak ada di muka bumi.Aruna setia mendampingi Dzaki selama proses hukum. Vanesha sempat mengelak dan menyudutkan Naufal. Namun, penulis itu justru memberikan bukti rekaman suara di mana Vanesha mengaku jika semua rencana disusun tanpa sepengetahuan Naufal. Proses hukum masih berjalan. Sudah tiga kali Dzaki dipanggil ke kantor polisi dan persidangan pun berlangsung baru dua kali. Mereka akan segera mendapatkan hasil setelah satu kali sidang lagi. Dzaki tenang. Sem
Setelah mendapatkan kabar buruk tersebut, Dzaki sama sekali belum bisa menerima. Tiga hari setelahnya, Dzaki pun dipersilakan pulang oleh dokter. Hanya diwajibkan check up rutin per-dua minggu sekali.Sesuai keinginan Dzaki, setelah keluar dari rumah sakit lelaki itu langsung mengunjungi makam kakaknya dengan ditemani Aruna. Pakaian serba hitam serta kacamata hitam pun menjadi lambang kesedihan pada kedua orang tersebut.Aruna menemani dengan setia. Memayungi Dzaki sejak turun dari mobil sampai berada di depan makam Naufal. Mereka langsung berjongkok. Tak lupa Aruna melipat payung agar tidak memakan tempat.Dzaki menghela napas lelah. Bukan karena harus berjalan untuk sampai sini, melainkan sulit mengontrol diri sedari kemarin. Setelah dirasa sanggup, ia pun mulai berbicara. "Assalamualaikum, Kak. Maaf, baru bisa datang." Aruna melirik Dzaki. Kemudian, mereka membaca doa bersama. Semuanya sudah dilewati, Dzaki pun kembali terdiam. Jelas Aruna juga sama. Suasana pemakaman hening dan s