Aruna melakukan aktivitas seperti biasanya. Setelah Abizar keluar rumah sakit, enam hari lalu. Ia belum bisa bertemu dengan anak itu. Kemudian, perihal persetujuannya menerima lamaran Dzaki sudah dibicarakan baik-baik berdua. Mereka akan melangsungkan pernikahan sekitar satu minggu lagi. Sekarang kondisi Aruna sedikit cemas dan bimbang. Benarkah keputusan yang diambilnya ini? Semoga saja.Pagi ini Aruna membuka toko dengan banyak pelanggan yang mengantri. Setelah berbicara dengan Dzaki, dua hari lalu. Lelaki itu tidak lagi datang ke sini. Mungkin sibuk atau bahkan sedang meyakinkan keluarganya. Yang datang justru Naufal. Lelaki itu masih saja mencegah Aruna untuk menikah dengan Dzaki. Tentunya Aruna tidak terpengaruh."Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?" Aruna menyapa seorang nenek yang memakai tongkat. Fisiknya masih terlihat sangat sehat, buktinya nenek itu bisa datang ke toko. Aruna mengembangkan senyum. "Mau kue apa, Nek?" Nenek itu menghampiri Aruna. Diam sebentar dan ber
Sosok yang disangka Dzaki itu berhenti bersamaan dengan Aruna yang sampai di belakangnya. "Kamu mau ke mana?" Aruna bertanya langsung.Sosok itu berbalik badan. Menatap Aruna lekat. "Siapa, ya?" Kening sosok itu berkerut kencang.Aruna tersentak. Ternyata salah orang."Apa Anda mengenal saya?" Sosok itu bertanya kembali. "Maaf, Mas, saya kira teman saya." Aruna menahan malu. Padahal dari belakang sangat mirip sekali dengan Dzaki."Oh, baiklah." Sosok itu kembali membalikkan badan dan berjalan lagi.Aruna diam. Memegang kepalanya yang mendadak sakit. "Aku kenapa?" Padahal Aruna sudah memastikan tidak begadang semalam yang menyebabkan salah orang. "Astagfirullah. Mungkin aku perlu banyak minum."Pada akhirnya Aruna kembali ke toko dengan hati sedikit malu. Untung saja kejadian itu tidak disaksikan banyak orang. Jika iya, sudah malu luar biasa.Aruna kembali ke dapur dengan memakai topi pastry chef lagi. Kali ini harus membuat cupcake dengan banyak karena stoknya menipis.Perempuan ber
Seperti apa yang didengar telinganya, memang benar keberadaan Aruna itu ada. Wanita tersebut menunggu di lantai bawah dan duduk di bangku yang tersedia. Ada sebuah kotak di meja, entah apa isinya."Assalamualaikum." Dzaki mendekat.Aruna tersentak, menoleh ke samping kanan dan berkata, "Wa'alaikum salam." Lelaki yang sekarang sedang berjalan mendekatinya adalah Dzaki, bukan hanya sekadar khayalan semata. Dzaki menarik kursi di depan, duduk dengan begitu elegant. "Maaf, kalau aku mengganggu waktumu." Terlihat sekali Aruna merasa bersalah.Dzaki menggelengkan kepala cepat. "Tidak masalah. Aku juga berniat datang ke tokomu nanti." Lelaki itu justru senang. Setidaknya, ia tak perlu datang ke toko nanti.Suasana hening bagi mereka, tetapi tidak untuk sekitarnya. Beberapa orang yang mengenal sosok Aruna mulai berbisik, bergosip ria tentang cerita kehidupan perempuan itu.Aruna menggeser kotak yang terbungkus plastik putih itu mendekat ke hadapan Dzaki seraya berkata, "Biasanya kamu sering d
"Ternyata kamu cukup berani juga!" Suara Bu Nani menggema tatkala berdiri di hadapan Aruna dan Dzaki sekarang.Suasana berubah menegangkan. Setidaknya untuk Aruna. "Padahal saya tidak menentang keras hubungan kalian!""Ibu." Dzaki mencoba lembut.Aruna memang terkejut dengan kehadiran mantan ibu mertuanya yang mungkin akan segera menjadi mertuanya kembali. Namun, perempuan itu tidak ingin menunjukkan wajah tersebut agar tetap terlihat tenang. "Maaf, Bu, saya ada keperluan dengan Dzaki mengenai pernikahan."Bu Nani merasa terpancing amarah. "Berani-beraninya kamu mengeluarkan kata pernikahan di hadapan saya!" Hampir saja lepas kendali, hendak memukul pipi Aruna jika Dzaki tidak segera mendekat."Ibu, ada apa datang ke sini? Apa Abizar ikut juga?" tanya Dzaki.Seketika Bu Nani meredam amarah. Aruna memperhatikan cara Dzaki memperlakukan ibunya, hal itu pun akan menjadi patokan bagaimana lelaki itu akan memperlakukan dirinya nanti.Bu Nani menatap Dzaki. Wanita paruh baya yang masih terl
Aruna berjalan didampingi Cantika masuk ruangan luas nan mewah dengan dekorasi cantik. Ditemani banyaknya pandangan mata, termasuk dari keluarga Dzaki."Jangan gugup. Ini hari bahagiamu," bisik Cantika.Aruna mengerti. Perlahan, tetapi pasti mereka terus berjalan mendekati Dzaki yang sejak tadi tidak berkedip menatap cantiknya sang istri. Aruna sampai di depan Dzaki. Terdiam, lalu menunduk. Sedikit malu pula, padahal ini bukan pernikahan pertamanya.Naufal menatap tajam Aruna sambil mengepalkan tangan kanan. Rasanya ingin membawa pergi mantan istrinya itu. Semua tamu undangan pasti tahu siapa Aruna. Ada yang bergosip ria, ada pula yang biasa saja.Dzaki perlahan melangkah ke depan dua kali, mengikis jaraknya dengan Aruna. Diam sejenak, masih belum puas memandangi wajah Aruna. Lalu, tersadar dan berkata, "Selamat datang di buku pernikahan kita. Masih banyak lembaran kosong yang harus segera diisi banyak tulisan. Kamu bisa memilih warna penamu sendiri, istriku."Jantung Aruna berdetak
Aruna langsung diboyong ke rumah baru setelah menginap di hotel semalam. Awalnya Cantika keberatan, tetapi wanita itu akhirnya bisa memahami karena status Aruna kini berbeda."Kamu jangan lupa datang ke sini, ya." Cantika mengingatkan Aruna, takutnya temannya itu lupa arah pulang lagi ketika perjalanan terhenti.Aruna sedih bercampur haru. Menangis tiada henti karena harus berpisah dengan Cantika. Namun, saat ini dirinya sudah berbeda. Perpisahan dengan Cantika pun tidak terelakan. Aruna berangkat menuju rumah baru yang akan menjadi istananya bersama Dzaki.Selama di perjalanan, Aruna banyak membahas tentang perannya sebagai pemilik toko roti. Ia meminta izin untuk bisa beraktivitas seperti biasa."Tidak masalah selama itu memang yang terbaik buat kamu," tanggap Dzaki.Aruna melirik Dzaki yang sibuk menyetir. Kejadian semalam pun masih terngiang di ingatan. Bukan perihal malam pertama, tetapi bagaimana Dzaki sanggup membuat sedikit malu dirinya. Ah … menyebalkan memang! "Mas." Sebuta
Malam datang menyapa. Sejak kejadian tadi siang, Aruna merasa lebih canggung terhadap Dzaki. Terkadang saat bertemu, Aruna memilih secepat mungkin menghindar. Bukan karena marah, tetapi bisa dikatakan cukup malu. Padahal Dzaki adalah suaminya.Malam ini hidangan makan malam sudah tersaji. Aruna membantu bi Inah di dapur sambil berbicara banyak hal. Terutama tentang Abizar, anak yang sekarang sangat dirindukannya."Saya ke atas dulu, ya, Bi." Aruna pamit. Berniat menghampiri sang suami di kamar. Berjalan menjauh dari dapur dan menaiki anak tangga untuk sampai ke tujuan.Begitu kedua kaki Aruna berada di ujung tangga lantai atas, ia terdiam. Ragu. "Dia sedang apa, ya? Aku merasa ragu." Aruna bimbang. Namun, harus memberitahu pula. Ah … membingungkan.Bukannya meneruskan perjalanan, Aruna justru masih berdiri dengan otak yang sulit diajak bekerja sama. "Kenapa aku harus ragu? Dia, kan, juga manusia." Aruna menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Mencoba untuk lebih tenang dan y
Seminggu berlalu tanpa bulan madu. Bukan tanpa alasan mengapa Aruna dan Dzaki menunda bulan madu. Dari segi keuangan, jelas Dzaki sangat siap. Namun, berbeda hal dengan jiwa Aruna. Tak masalah, biarkan istrinya menyamankan diri lebih dahulu di sampingnya.Pagi ini Dzaki dan Aruna melakukan aktivitas seperti biasa. Ke kantor dan toko kue."Aku harus meeting jam sebelas siang ini." Dzaki mengenakan kemeja di depan Aruna yang saat ini tengah menutup mata dengan kedua tangan. Jelas sekali lelaki itu sengaja. "Kamu bisa kirimkan kue tidak untuk makan siang selesai meeting?"Aruna hening. Wanita yang sedang duduk di tepi ranjang itu bahkan membalikkan badan, kemudian membuka mata dengan menurunkan kedua tangan.Dzaki melirik sekilas, menyunggingkan senyum kecil. "Sayang, kamu mendengarnya tidak?" Mendadak Aruna merinding. "Mas, kamu kebiasaan!" Wanita itu sedikit kesal, mungkin lebih tepatnya merasa kurang nyaman sekaligus malu.Dzaki tidak peduli. "Habisnya kamu dari tadi cuma diam. Aku t