Seminggu berlalu tanpa bulan madu. Bukan tanpa alasan mengapa Aruna dan Dzaki menunda bulan madu. Dari segi keuangan, jelas Dzaki sangat siap. Namun, berbeda hal dengan jiwa Aruna. Tak masalah, biarkan istrinya menyamankan diri lebih dahulu di sampingnya.Pagi ini Dzaki dan Aruna melakukan aktivitas seperti biasa. Ke kantor dan toko kue."Aku harus meeting jam sebelas siang ini." Dzaki mengenakan kemeja di depan Aruna yang saat ini tengah menutup mata dengan kedua tangan. Jelas sekali lelaki itu sengaja. "Kamu bisa kirimkan kue tidak untuk makan siang selesai meeting?"Aruna hening. Wanita yang sedang duduk di tepi ranjang itu bahkan membalikkan badan, kemudian membuka mata dengan menurunkan kedua tangan.Dzaki melirik sekilas, menyunggingkan senyum kecil. "Sayang, kamu mendengarnya tidak?" Mendadak Aruna merinding. "Mas, kamu kebiasaan!" Wanita itu sedikit kesal, mungkin lebih tepatnya merasa kurang nyaman sekaligus malu.Dzaki tidak peduli. "Habisnya kamu dari tadi cuma diam. Aku t
Aruna kembali ke toko diantar oleh Dzaki. Kejadian tadi masih terngiang-iang di ingatan. Namun, kehidupan harus tetap berjalan semana mestinya.Berjibaku lagi dengan adonan kue menjadi salah satu healing terbaik untuk Aruna. Selain karena hobi, ini pun sudah menjadi ladang rezekinya.Waktu terus berlalu. Toko semakin siang, semakin ramai. Terlebih setelah beberapa pelanggan tahu tentang pernikahannya dengan Dzaki, banyak kaum Ibu-Ibu yang ingin menemui Aruna untuk sekadar memberikan tips dan trik agar cepat dapat keturunan.Aruna mendengarkan saja. Sesekali terkekeh geli ketika beberapa kaum paling kuat di muka bumi itu membeberkan rahasianya. Namanya manusia, memang butuh hiburan sekali-kali."Kamu harus banyak menjaga diri, Nak." Salah satu pesan yang diterima Aruna siang ini."Iya, Bu. Makasih." Aruna menerima dengan baik.Usai semua tips didapat dan datanglah pukul sebelas siang. Aruna ingat janji. Jangan sampai teledor. Bergegas membungkus pesanan Dzaki dan menutup toko. Dua hari
"Ada apa ini?" Dzaki mendadak datang dari arah koridor kanan. Rupanya meeting sudah selesai dan tanpa sengaja melihat Aruna dengan kakaknya. Tiga orang yang bersama Dzaki pun ikut penasaran. Namun, mereka memilih pamit karena ini urusan pribadi.Aruna kaget, tetapi Naufal begitu tenang. Dzaki menghampiri keduanya, menarik lembut lengan Aruna dan mengubah posisi perempuan itu menjadi di samping dirinya. "Apa ada masalah, Sayang?" tanya Dzaki.Naufal kesal. Wajahnya terlihat marah.Aruna sendiri bergeming sebentar, kemudian berkata, "Tidak ada, Mas." Menggelengkan kepala cepat.Naufal sempat kaget dengan panggilan Aruna untuk Dzaki. Mereka sudah semakin dekat dengan ikatan pernikahan ini. Kian besar pula kemarahannya terhadap sang adik. "Kakak ada perlu denganmu. Kita bisa bicara sebentar?" Naufal berusaha mengalihkan pembicaraan agar Dzaki tak lagi penasaran.Dzaki beralih menatap Naufal. "Tentang apa, Kak?" "Kita bicara di dalam saja," jawab Naufal.Dzaki setuju. Jemari kanannya lang
Naufal terdesak. Akhirnya menyerahkan Abizar sepenuhnya pada Dzaki dan Aruna. Setelah itu pergi dengan kecemburuan luar biasa."Mas, terima kasih." Mata Aruna berkaca-kaca. Bersyukur atas perjuangan suaminya.Dzaki melirik Aruna dengan tangan yang masih menggenggam. "Aku tidak menerima ucapan terima kasih saja, tapi harus dalam bentuk tindakan juga." Dzaki mengedipkan mata kanan.Aruna mengerutkan kening. "Dalam bentuk tindakan?" Wanita itu bertanya balik."Iya," kata Dzaki. Menunggu reaksi Aruna lagi.Kening Aruna semakin berkerut kencang, berpikir keras. Mencoba memahami arti dari kalimat suaminya sekaligus menebak.Dzaki mulai kesal. "Kamu tidak paham?" Padahal lelaki itu sudah memberikan kode yang baik dengan kedipan mata juga. "Tidak." Aruna langsung menjawab.Dzaki menghela napas kasar. Harus lebih bersabar, mungkin. "Baiklah, lupakan soal rasa terima kasih dalam bentuk tindakan. Aku lapar." Dzaki melepaskan genggaman tangannya. Meraih salah satu plastik dan membuka santapan
Sesuai kesepakatan di awal dan persetujuan Naufal juga Pak Arya dan Bu Nani, akhirnya Abizar berada di tangan Aruna juga. Sejak menjemput Abizar, wajah Aruna tambah bercahaya. Sedari tadi perempuan itu tidak selesai memberikan kasih sayang pada Abizar dalam bentuk hujanan kecupan juga pelukan erat."Ibu, aku mau makan," kata Abizar yang sudah sangat pintar berbicara. Posisi mereka duduk di bangku belakang, sedangkan Dzaki sendiri berada di depan. Menyetir dengan baik."Boleh. Ibu, juga lapar," jawab Aruna.Sesekali Dzaki melirik istri dan keponakannya tersebut. Senang rasanya.Abizar yang saat pertama mereka temui di rumah tadi terlihat murung, begitu masuk mobil langsung berubah ceria. Ternyata benar, seorang ibu asuh pun akan mendatangkan kenyamanan bagi anak asuhnya jika didasari oleh cinta yang tulus.Setelah disepakati, mereka akhirnya makan di sebuah kedai ayam goreng yang menjadi langganan Dzaki juga Abizar. Ketiganya duduk bersama layaknya sebuah keluarga cemara. Bahkan, beber
Dua bulan berlalu, pernikahan Aruna dan Dzaki baik-baik saja. Abizar pun begitu senang. Selama itu, Aruna tidak pernah merasakan kehadiran mertuanya ke rumah. Selain karena kedua orang tua Dzaki memang menentang dari awal, Dzaki pun tidak ingin membuat Aruna menderita karena sikap orang tuanya.Setiap pagi Aruna mempersiapkan semua kebutuhan Dzaki, kemudian pergi ke toko kue bersama Abizar. Salah satu aktivitas yang cukup menyenangkan."Sayang, nanti jam makan siang aku bawakan makanan untuk kamu sama Abizar, ya. Kita makan di toko," kata Dzaki setelah mengantarkan istri dan keponakannya ke toko."Baik, Mas." Aruna menyambut bahagia.Dzaki kembali ke kantor, sedangkan Aruna dan Abizar masuk toko. Abizar cukup bahagia selama di bawa ke toko. Sekarang ada satu karyawan perempuan, Bu Marni namanya. Ibu paruh baya yang bekerja membantu Aruna."Assalamualaikum." Aruna mendorong pintu kaca, Bu Marni sedang membersihkan etalase. Langsung menoleh ke arahnya."Wa'alaikum salam, Neng," jawab Bu
Dzaki sudah tak sabar ingin bertemu istri dan keponakannya. Ia bergegas pergi setelah menemui salah satu editor untuk membicarakan sebuah novel yang digarap oleh seorang penulis wanita ternama di kota tersebut.Sesuai kesepakatan di pagi hari. Dzaki akan membawakan makan siang untuk Aruna dan Abizar. Maka dari itu, ia pun mampir lebih dahulu ke sebuah outline ayam goreng yang cukup enak dan terkenal di berbagai negara. Memang panjang antriannya, tetapi sebanding dengan rasa yang mereka tawarkan.Ayam goreng di tangan. Dzaki senang. Segera mengemudi mobil kembali menuju toko Aruna. Lelaki itu sesekali bernyanyi riang pertanda hatinya sedang sangat baik-baik saja."Aku seharusnya membawa mereka jalan-jalan," kata Dzaki memikirkan tentang liburan keluarga. Dilihat dari arah mana pun, Dzaki dengan Aruna juga Abizar terlihat seperti keluarga cemara. Tak apa, orang lain memang hanya menilai dari luar saja.Dzaki terus melajukan kendaraan ke arah toko yang semakin dekat. Begitu masuk ke jaja
Naufal berdiri tanpa menunggu kedatangan Aruna lagi. Menatap dalam Dzaki dan berkata, "Kita ini Adik Kakak. Tidak baik kalau terus menerus dalam situasi kurang menyenangkan."Dzaki mengangkat kepala. "Lalu?" "Kakak menerima pernikahan kalian. Jangan terlalu khawatir," jawab Naufal.Aruna kembali setelah melayani pelanggan. Kali ini dirinya memilih duduk di samping Dzaki. Naufal melihat itu. "Kakak ada perlu. Abizar, jangan nakal, ya. Assalamualaikum." Naufal langsung berbalik badan dan pergi dari toko."Wa'alaikum salam." Aruna dan Dzaki menjawab bersamaan, sedangkan Abizar hanya mengangguk pelan tanpa berniat menyahuti perkataan ayahnya.Aruna masih merasa bersalah. Mengingat Dzaki pasti berpikiran sedikit negatif. "Kak Naufal datang mengantarkan makanan kesukaan Abizar, Mas." Sebelum ditanya dan menjadi salah paham semata, Aruna lebih baik menjelaskan.Dzaki duduk lagi. Menghela napas lelah dan berkata, "Aku lapar. Kita langsung makan saja, ya." Lelaki itu membuka satu kotak beris
"Cepat! Bus harus segera berangkat," jawab si sopir.Aruna segera berbalik badan dan mengambil tempat duduk, sedangkan pria itu juga ikut naik. Entah mengapa perasaan Aruna sedikit tak karuan melihat sosok lelaki yang terakhir naik, seperti sebuah gerbang sedang terbuka untuk menuju satu jalan. "Astagfirullah, aku harus fokus ke diri sendiri." Aruna meluruskan pandangan ke depan dan memantapkan hati untuk tidak terlalu mengikuti hati.***Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa Dzaki sudah ada di depan sebuah ruangan operasi menunggu sang istri melahirkan.Ya, Aruna harus melakukan operasi sesar karena ketuban lebih cepat dahulu pecah dan si bayi belum ada tanda-tanda siap keluar karena baru berusia tiga puluh tujuh minggu. Sebuah keputusan terbaik diambil untuk keselamatan keduanya.Bu Nani dan Pak Arya pun berada di sana, menenangkan Dzaki dengan terus mengingatkan anak bungsunya untuk pasrah pada Yang Maha Kuasa."Istigfar, Nak. Insya Allah, Istri dan anakmu baik-baik saja," ka
Amira pergi ke toko kue dengan diantar sopir. Ia menyuruh lelaki paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya tersebut untuk pulang lebih dahulu. Sebab, Aruna berniat seharian berada di sini.Bi Mirna senang bisa melihat Aruna lagi. "Alhamdulillah, Neng sudah membaik," katanya dengan penuh rasa bahagia. Aruna sendiri merasa disambut oleh seorang Ibu. Hangat dan penuh rasa cinta."Maaf, ya, Bi, aku sudah lama tidak datang," imbuh Aruna.Bi Mirna mengelus perut Aruna pelan. "Tidak apa-apa, Neng. Jangan khawatirkan soal toko karena Bibi akan selalu berusaha menjaganya.""Terima kasih, Bi." Aruna memperhatikan sekitar. Semuanya masih sama seperti empat bulan yang lalu. Namun, sekarang ditambah dengan dua karyawan baru yang membantu. Menurut penuturan Bi Mirna, penjualan meningkat drastis di empat bulan terakhir. Aruna yang menerima laporan itu pun cukup senang. Selama ini Bi Mirna hanya melaporkan hasil keuangan ke kantor Dzaki karena tidak berani datang ke rumah Aruna."Bi, aku rindu s
"Makanlah." Dzaki tampak lelah karena berkeliling mencari ramen di tengah malam. Namun, perasaan itu seketika hilang dengan melihat istrinya tersenyum bahagia.Aruna duduk di kursi makan yang berhadapan dengan Dzaki. Menelan ludah ketika melihat kentalnya kuah ramen yang bercampur dengan rasa pedas. "Masya Allah, pasti enak." Mengangkat kepala dan menatap Dzaki. "Terima kasih, Mas."Dzaki ikut tersenyum sambil mengulurkan tangan ke depan dan mengelus pucuk kepala istrinya. "Jangan ragu untuk katakan apa pun keinginanmu selama aku bisa. Ingat, kamu adalah istriku."Aruna mengangguk pelan. Benar-benar definisi diratukan oleh satu raja itu luar biasa bahagianya. "Tapi aku merasa bersalah karena Mas harus keliling untuk dapatkan ini."Tangan Dzaki masih berada di pucuk kepala Aruna. "Apa kamu tidak menganggapku suami?" Kedua pupil mata sontak membesar, lalu diikuti dengan gelengan kepala. "Kalau memang masih menganggap, biarkan aku membahagiakanmu dengan banyak cara. Kamu ratu di sini."H
"Sakitnya seorang Ibu itu nikmat, Sayang. Karena rasa bahagia ada adik bayi lebih besar dibandingkan rasa sakit," jawab Amira. Ia belum sanggup mengungkapkan identitas Abizar. Mungkin menunggu anak itu beranjak remaja saja.Pak Arya dan Bu Nani tidak berkat apa pun. Semua keputusan ada pada diri menantunya. Biarkan saja dahulu, Abizar pun belum tentu bisa memahami.Aruna berada di rumah sakit sekitar tiga hari. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya sendiri dengan dibantu oleh asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Aruna pun belum pergi ke toko. Mempercayakan semuanya pada Bi Marni.***Hari-hari berlalu dan akhirnya kehamilan Aruna menginjak usia enam belas Minggu. Rasa mual dan muntah berangsur membaik dan hanya dirasakan sesekali saja. Begitu pun dengan sakit kepala. Perut Aruna memang belum terlihat buncit karena usia kandungan masih kecil.Setiap harinya selalu ada saja yang diinginkan Aruna. Entah itu makanan ataupun sekadar ingin pergi ke suatu tempat. Selama itu
Aruna menjaga sekali kehamilannya. Tidak peduli rasa mual dan muntah itu semakin menyerang diri, ia terus berusaha untuk melakukan yang terbaik. Seminggu setelah vonis hamil dinyatakan, Aruna sama sekali tidak bisa bangun. Ia bahkan dilarikan ke rumah sakit karena terus menerus muntah yang mengharuskannya mendapatkan perawatan medis. Dzaki setia di samping. Bahkan saat Aruna merasakan mual di pagi hari, lelaki itu sigap untuk membawa sang istri ke kamar mandi."Aku ambilkan minum hangat, ya." Dzaki mendudukan Aruna di kasur. Mereka baru saja keluar dari kamar mandi hampir delapan kali. Wajah Aruna mulai terlihat pucat. Makanan dan minuman yang masuk akan kembali lagi. Lemas rasanya. "Iya, Mas." Aruna pasrah. Sakit ini akan berlalu dan digantikan kebahagiaan bertemu sang buah hati tercinta. Menginjak enam minggu memang masa-masa kritis, sekali pun ada ibu hamil yang memang baru merasakan mual di usia delapan minggu. Namun, ada sebagian lagi juga yang tidak merasakan morning sicknes
"Selamat, Pak. Anda akan segera menjadi ayah." Dokter lelaki menyalami Dzaki. Pemeriksaan dilakukan sekitar dua puluh menit dan hasilnya Aruna positif hamil sekitar empat minggu. "Mungkin setelah ini gejala sakit kepala, mual dan muntahnya bisa saja bertambah parah. Tapi Ibu dan Bapak tidak perlu cemas karena itu hal biasa. Selalu pastikan Ibu mencukupi gizi si janin dan terus minum vitamin yang akan saya resepkan."Dzaki masih belum bergerak sama sekali, sedangkan Aruna terharu dengan mengucap kata syukur."Pak Dzaki baik-baik saja?" Dokter lelaki itu kembali bertanya.Dzaki sadar, kemudian berkata, "Apa benar Dok, kalau istri saya hamil?" Bertanya lagi untuk memastikan."Semuanya akurat dan ini hasilnya." Dokter memberikan isyarat mata pada suster untuk menyimpan hasil tespek di meja. "Garis yang satu memang masih samar, tapi ini sudah bisa membuktikan jika istri Anda hamil. Saya minta kerjasamanya untuk menjaga kandungan Ibu sampai waktu melahirkan nanti."Dzaki masih memegang tang
"Aruna di mana, Bu?" Dzaki langsung ke dapur setelah selesai salat dan mengobrol dengan beberapa tetangga.Bu Nani seketika menoleh. "Katanya tadi perutnya sakit, jadi istrimu masuk kamar. Coba lihat dulu, Nak."Dzaki mengerti. "Baik, Bu." Dengan cepat ke luar dari dapur dan berjalan menapaki anak tangga satu per-satu menuju lantai dua. Suasana hening. Dzaki sempat tersentak ketika melihat kamar almarhum kakaknya, tetapi tidak begitu hanyut. Bergegas masuk kamar sendiri sambil berkata, "Assalamualaikum." Pandangan mata lelaki itu langsung tertuju pada sosok Aruna yang sedang terbaring. "Sayang, kamu baik-baik saja?"Aruna tidak menjawab. Secepat mungkin Dzaki semakin masuk ke kamar. Memeriksa keadaan sang istri. "Sayang, kamu kenapa?" Duduk di tepi ranjang bagian kanan. Barulah Aruna membuka mata. "Kata Ibu, kamu sakit perut. Kita ke dokter saja, ya?" Aruna tersenyum paksa. "Tidak perlu, Mas. Perutku kram, mungkin mau datang bulan."Dzaki diam. Tangan kanannya memegang perut Aruna.
Kepergian Naufal tentu menoreh luka hati untuk semua keluarga. Dzaki dan Aruna pun semakin sering mengunjungi rumah Bu Nani dan Pak Arya untuk sekadar menghibur mereka. Hubungan Aruna dengan keluarga suaminya pun semakin membaik. Bahkan Bu Nani sekarang menganggap Aruna seperti anak perempuan sendiri.Dzaki pun tetap meneruskan penuntutan pada Vanesha dan penulis yang bersangkutan, tetapi tidak melihatnya almarhum kakaknya. Bukan karena tidak bersalah, tetapi Naufal sudah tidak seharusnya dihukum ketika wujudnya saja sudah tidak ada di muka bumi.Aruna setia mendampingi Dzaki selama proses hukum. Vanesha sempat mengelak dan menyudutkan Naufal. Namun, penulis itu justru memberikan bukti rekaman suara di mana Vanesha mengaku jika semua rencana disusun tanpa sepengetahuan Naufal. Proses hukum masih berjalan. Sudah tiga kali Dzaki dipanggil ke kantor polisi dan persidangan pun berlangsung baru dua kali. Mereka akan segera mendapatkan hasil setelah satu kali sidang lagi. Dzaki tenang. Sem
Setelah mendapatkan kabar buruk tersebut, Dzaki sama sekali belum bisa menerima. Tiga hari setelahnya, Dzaki pun dipersilakan pulang oleh dokter. Hanya diwajibkan check up rutin per-dua minggu sekali.Sesuai keinginan Dzaki, setelah keluar dari rumah sakit lelaki itu langsung mengunjungi makam kakaknya dengan ditemani Aruna. Pakaian serba hitam serta kacamata hitam pun menjadi lambang kesedihan pada kedua orang tersebut.Aruna menemani dengan setia. Memayungi Dzaki sejak turun dari mobil sampai berada di depan makam Naufal. Mereka langsung berjongkok. Tak lupa Aruna melipat payung agar tidak memakan tempat.Dzaki menghela napas lelah. Bukan karena harus berjalan untuk sampai sini, melainkan sulit mengontrol diri sedari kemarin. Setelah dirasa sanggup, ia pun mulai berbicara. "Assalamualaikum, Kak. Maaf, baru bisa datang." Aruna melirik Dzaki. Kemudian, mereka membaca doa bersama. Semuanya sudah dilewati, Dzaki pun kembali terdiam. Jelas Aruna juga sama. Suasana pemakaman hening dan s