"Ada apa ini?" Dzaki mendadak datang dari arah koridor kanan. Rupanya meeting sudah selesai dan tanpa sengaja melihat Aruna dengan kakaknya. Tiga orang yang bersama Dzaki pun ikut penasaran. Namun, mereka memilih pamit karena ini urusan pribadi.Aruna kaget, tetapi Naufal begitu tenang. Dzaki menghampiri keduanya, menarik lembut lengan Aruna dan mengubah posisi perempuan itu menjadi di samping dirinya. "Apa ada masalah, Sayang?" tanya Dzaki.Naufal kesal. Wajahnya terlihat marah.Aruna sendiri bergeming sebentar, kemudian berkata, "Tidak ada, Mas." Menggelengkan kepala cepat.Naufal sempat kaget dengan panggilan Aruna untuk Dzaki. Mereka sudah semakin dekat dengan ikatan pernikahan ini. Kian besar pula kemarahannya terhadap sang adik. "Kakak ada perlu denganmu. Kita bisa bicara sebentar?" Naufal berusaha mengalihkan pembicaraan agar Dzaki tak lagi penasaran.Dzaki beralih menatap Naufal. "Tentang apa, Kak?" "Kita bicara di dalam saja," jawab Naufal.Dzaki setuju. Jemari kanannya lang
Naufal terdesak. Akhirnya menyerahkan Abizar sepenuhnya pada Dzaki dan Aruna. Setelah itu pergi dengan kecemburuan luar biasa."Mas, terima kasih." Mata Aruna berkaca-kaca. Bersyukur atas perjuangan suaminya.Dzaki melirik Aruna dengan tangan yang masih menggenggam. "Aku tidak menerima ucapan terima kasih saja, tapi harus dalam bentuk tindakan juga." Dzaki mengedipkan mata kanan.Aruna mengerutkan kening. "Dalam bentuk tindakan?" Wanita itu bertanya balik."Iya," kata Dzaki. Menunggu reaksi Aruna lagi.Kening Aruna semakin berkerut kencang, berpikir keras. Mencoba memahami arti dari kalimat suaminya sekaligus menebak.Dzaki mulai kesal. "Kamu tidak paham?" Padahal lelaki itu sudah memberikan kode yang baik dengan kedipan mata juga. "Tidak." Aruna langsung menjawab.Dzaki menghela napas kasar. Harus lebih bersabar, mungkin. "Baiklah, lupakan soal rasa terima kasih dalam bentuk tindakan. Aku lapar." Dzaki melepaskan genggaman tangannya. Meraih salah satu plastik dan membuka santapan
Sesuai kesepakatan di awal dan persetujuan Naufal juga Pak Arya dan Bu Nani, akhirnya Abizar berada di tangan Aruna juga. Sejak menjemput Abizar, wajah Aruna tambah bercahaya. Sedari tadi perempuan itu tidak selesai memberikan kasih sayang pada Abizar dalam bentuk hujanan kecupan juga pelukan erat."Ibu, aku mau makan," kata Abizar yang sudah sangat pintar berbicara. Posisi mereka duduk di bangku belakang, sedangkan Dzaki sendiri berada di depan. Menyetir dengan baik."Boleh. Ibu, juga lapar," jawab Aruna.Sesekali Dzaki melirik istri dan keponakannya tersebut. Senang rasanya.Abizar yang saat pertama mereka temui di rumah tadi terlihat murung, begitu masuk mobil langsung berubah ceria. Ternyata benar, seorang ibu asuh pun akan mendatangkan kenyamanan bagi anak asuhnya jika didasari oleh cinta yang tulus.Setelah disepakati, mereka akhirnya makan di sebuah kedai ayam goreng yang menjadi langganan Dzaki juga Abizar. Ketiganya duduk bersama layaknya sebuah keluarga cemara. Bahkan, beber
Dua bulan berlalu, pernikahan Aruna dan Dzaki baik-baik saja. Abizar pun begitu senang. Selama itu, Aruna tidak pernah merasakan kehadiran mertuanya ke rumah. Selain karena kedua orang tua Dzaki memang menentang dari awal, Dzaki pun tidak ingin membuat Aruna menderita karena sikap orang tuanya.Setiap pagi Aruna mempersiapkan semua kebutuhan Dzaki, kemudian pergi ke toko kue bersama Abizar. Salah satu aktivitas yang cukup menyenangkan."Sayang, nanti jam makan siang aku bawakan makanan untuk kamu sama Abizar, ya. Kita makan di toko," kata Dzaki setelah mengantarkan istri dan keponakannya ke toko."Baik, Mas." Aruna menyambut bahagia.Dzaki kembali ke kantor, sedangkan Aruna dan Abizar masuk toko. Abizar cukup bahagia selama di bawa ke toko. Sekarang ada satu karyawan perempuan, Bu Marni namanya. Ibu paruh baya yang bekerja membantu Aruna."Assalamualaikum." Aruna mendorong pintu kaca, Bu Marni sedang membersihkan etalase. Langsung menoleh ke arahnya."Wa'alaikum salam, Neng," jawab Bu
Dzaki sudah tak sabar ingin bertemu istri dan keponakannya. Ia bergegas pergi setelah menemui salah satu editor untuk membicarakan sebuah novel yang digarap oleh seorang penulis wanita ternama di kota tersebut.Sesuai kesepakatan di pagi hari. Dzaki akan membawakan makan siang untuk Aruna dan Abizar. Maka dari itu, ia pun mampir lebih dahulu ke sebuah outline ayam goreng yang cukup enak dan terkenal di berbagai negara. Memang panjang antriannya, tetapi sebanding dengan rasa yang mereka tawarkan.Ayam goreng di tangan. Dzaki senang. Segera mengemudi mobil kembali menuju toko Aruna. Lelaki itu sesekali bernyanyi riang pertanda hatinya sedang sangat baik-baik saja."Aku seharusnya membawa mereka jalan-jalan," kata Dzaki memikirkan tentang liburan keluarga. Dilihat dari arah mana pun, Dzaki dengan Aruna juga Abizar terlihat seperti keluarga cemara. Tak apa, orang lain memang hanya menilai dari luar saja.Dzaki terus melajukan kendaraan ke arah toko yang semakin dekat. Begitu masuk ke jaja
Naufal berdiri tanpa menunggu kedatangan Aruna lagi. Menatap dalam Dzaki dan berkata, "Kita ini Adik Kakak. Tidak baik kalau terus menerus dalam situasi kurang menyenangkan."Dzaki mengangkat kepala. "Lalu?" "Kakak menerima pernikahan kalian. Jangan terlalu khawatir," jawab Naufal.Aruna kembali setelah melayani pelanggan. Kali ini dirinya memilih duduk di samping Dzaki. Naufal melihat itu. "Kakak ada perlu. Abizar, jangan nakal, ya. Assalamualaikum." Naufal langsung berbalik badan dan pergi dari toko."Wa'alaikum salam." Aruna dan Dzaki menjawab bersamaan, sedangkan Abizar hanya mengangguk pelan tanpa berniat menyahuti perkataan ayahnya.Aruna masih merasa bersalah. Mengingat Dzaki pasti berpikiran sedikit negatif. "Kak Naufal datang mengantarkan makanan kesukaan Abizar, Mas." Sebelum ditanya dan menjadi salah paham semata, Aruna lebih baik menjelaskan.Dzaki duduk lagi. Menghela napas lelah dan berkata, "Aku lapar. Kita langsung makan saja, ya." Lelaki itu membuka satu kotak beris
Dzaki sampai di kantor dengan Abizar. Satpam kantor sudah memberitahu tentang kedatangan ibunya. Lelaki itu tenang. Dengan menuntun Abizar, Dzaki naik lift menuju lantai atas. "Nenek ada di ruangan Om. Kamu main saja, ya sama Tante Riri." Dzaki memiliki firasat kurang baik. Maka dari itu, ada baiknya menitipkan Abizar pada sekretaris.Abizar mengangguk cepat. "Iya, Om." Entah karena takut atau memang begitu penurut, Abizar seolah tidak ingin bertemu neneknya sendiri. Sesampainya mereka di lantai atas, Abizar langsung diserahkan pada Riri. "Tolong ajak anak saya bermain dulu sebentar."Riri tak masalah. Abizar anak baik. "Baik, Pak." Dengan lembut Riri menggenggam jari jemari Abizar. Membawa anak itu ke lantai bawah. Mengelilingi ruangan kantor sambil mencari makanan ringan, itu mungkin salah satu hal yang bisa dilakukan.Dzaki membenarkan jas hitam sambil berdiri di depan pintu ruangan. Menyiapkan diri bertemu sang ibu yang sepertinya datang dengan maksud tertentu. Lelaki itu mendor
"Aruna gagal mempertahankan pernikahannya dengan kakakmu. Lalu, apa kamu pikir dia bisa berhasil melakukannya denganmu, Nak?" Bu Nani menjawab sekaligus memberikan pertanyaan kembali.Dzaki diam kembali. Mencerna perlahan setiap kata-kata yang keluar dari mulut ibunya untuk menentukan sikap selanjutnya.Bu Nani menggebu-gebu untuk hal ini. "Ini permintaan Ibu yang paling berharga.""Tapi permintaan Ibu yang berharga ini justru menyakiti hati anak Ibu sendiri. Apa itu adil, Bu?" tanya Dzaki sambil tersenyum kecil.Bu Nani membelakkan kedua mata. "Kamu tersakiti dengan ini?" Wanita paruh baya itu menangani Dzaki dengan ketenangan, walaupun aslinya begitu marah dan kesal. "Semua Ibu itu tau yang terbaik untuk anaknya. Tidak ada satu pun Ibu di dunia yang mau menjerumuskan anaknya ke jalan paling buruk." Bu Nani tetap pada pendirian. Tidak peduli seberapa sulit jalannya, ia akan tetap berusaha lebih keras lagi.Dzaki mencoba terus tenang. Mencari jawaban terbaik agar tidak terlalu menyaki