Dzaki sampai di kantor dengan Abizar. Satpam kantor sudah memberitahu tentang kedatangan ibunya. Lelaki itu tenang. Dengan menuntun Abizar, Dzaki naik lift menuju lantai atas. "Nenek ada di ruangan Om. Kamu main saja, ya sama Tante Riri." Dzaki memiliki firasat kurang baik. Maka dari itu, ada baiknya menitipkan Abizar pada sekretaris.Abizar mengangguk cepat. "Iya, Om." Entah karena takut atau memang begitu penurut, Abizar seolah tidak ingin bertemu neneknya sendiri. Sesampainya mereka di lantai atas, Abizar langsung diserahkan pada Riri. "Tolong ajak anak saya bermain dulu sebentar."Riri tak masalah. Abizar anak baik. "Baik, Pak." Dengan lembut Riri menggenggam jari jemari Abizar. Membawa anak itu ke lantai bawah. Mengelilingi ruangan kantor sambil mencari makanan ringan, itu mungkin salah satu hal yang bisa dilakukan.Dzaki membenarkan jas hitam sambil berdiri di depan pintu ruangan. Menyiapkan diri bertemu sang ibu yang sepertinya datang dengan maksud tertentu. Lelaki itu mendor
"Aruna gagal mempertahankan pernikahannya dengan kakakmu. Lalu, apa kamu pikir dia bisa berhasil melakukannya denganmu, Nak?" Bu Nani menjawab sekaligus memberikan pertanyaan kembali.Dzaki diam kembali. Mencerna perlahan setiap kata-kata yang keluar dari mulut ibunya untuk menentukan sikap selanjutnya.Bu Nani menggebu-gebu untuk hal ini. "Ini permintaan Ibu yang paling berharga.""Tapi permintaan Ibu yang berharga ini justru menyakiti hati anak Ibu sendiri. Apa itu adil, Bu?" tanya Dzaki sambil tersenyum kecil.Bu Nani membelakkan kedua mata. "Kamu tersakiti dengan ini?" Wanita paruh baya itu menangani Dzaki dengan ketenangan, walaupun aslinya begitu marah dan kesal. "Semua Ibu itu tau yang terbaik untuk anaknya. Tidak ada satu pun Ibu di dunia yang mau menjerumuskan anaknya ke jalan paling buruk." Bu Nani tetap pada pendirian. Tidak peduli seberapa sulit jalannya, ia akan tetap berusaha lebih keras lagi.Dzaki mencoba terus tenang. Mencari jawaban terbaik agar tidak terlalu menyaki
Malam datang menyapa. Aruna masih berada di toko, menunggu Dzaki menjemputnya. Tentu dengan Abizar juga. "Bibi, sebaiknya cepat pulang. Anak Bibi pasti menunggu," kata Aruna melihat Bi Marni masih bekerja pukul delapan malam.Bi Marni tak enak hati. "Jam kerjanya belum selesai, Neng. Insya Allah, anak Bibi pasti paham."Aruna bukan bos kejam yang memilih menahan seorang Ibu tunggal yang sangat dibutuhkan oleh anak-anaknya. "Toko sebentar lagi tutup, Bi. Aku urus sisanya, jadi Bibi bisa langsung pulang saja.""Bibi, malu, Neng. Perjanjiannya bekerja sampai pukul sembilan malam, tapi setiap hari Bibi pulang jam delapan. Gaji yang Neng kasih justru lebih dari perjanjian." Bi Marni menunduk sambil memegang lap.Aruna mendekat, merangkul Bi Mirna. "Aku ini juga seorang Ibu, Bi. Bagaimana mungkin Ibu tega meninggalkan anak kecil terlalu malam, walau itu di sodara. Jangan sungkan."Bi Mirna tersentuh. "Terima kasih, Neng. Semoga kebaikan Neng ini Allah ganti dengan kebahagian sepanjang hidu
Dzaki diam sejenak. Merasakan aura sedikit berbeda dari bahasa tubuh istrinya."Apa Mas bertemu seseorang selain yang Mas katakan tadi?" Sekali lagi Aruna bertanya. Kali ini dengan nada yang cukup berani dan serius."Ah, itu, ya." Dzaki tersenyum tipis. "Aku menemui seorang penulis wanita di salah satu mall."Aruna bergeming.Tangan kiri Dzaki mulai membelai pipi kanan istrinya. "Aku tidak tau alasanmu bertanya seperti itu, tapi yang perlu kamu tau kalau aku tidak mungkin berbuat hal gila seperti kakakku." Dzaki mendekatkan wajah ke telinga Aruna, kemudian berbisik, "Kamu paham, Sayang?" Aruna menelan ludah. Terkadang Dzaki seperti seorang lelaki yang begitu menakutkan, tetapi tak jarang pula suaminya itu pun berubah sangat manis dan lembut.Dzaki kembali berdiri tegak. Melepaskan kedua tangannya yang ada di Aruna. "Sebaiknya kita cepat pulang. Abizar kasian di mobil." "Baik, Mas." Aruna merasa lega sekaligus malu. Terlebih jantungnya berdentam tak karuan. Ah … menyebalkan sekali. K
Kehidupan rumah tangga Aruna dan Dzaki cukup menarik. Terkadang Aruna merasa tersipu malu tatkala Dzaki bersikap lembut padanya. Seperti halnya pagi ini, Dzaki mengatakan jika harus pergi ke luar kota mendadak karena urusan pekerjaan. Sebagai seorang istri, tentu Aruna menerima saja. Mendoakan yang terbaik."Kamu bisa menginap di rumah temanmu kalau merasa kesepian," kata Dzaki ketika sedang sarapan.Terdengar seperti anak kecil rasanya jika Aruna harus kabur ketika suami tidak ada di rumah. "Kesepian? Aku rasa tidak, Mas." Aruna menyiapkan tiga piring nasi goreng di meja. Abizar sudah bangun dari pukul lima pagi tadi. Wanita itu pun duduk di samping Abizar yang memang sudah dibiasakan makan sendiri, kecuali meminta disuapi. "Sarapan dulu, ya, Sayang." Memberikan sendok pada Abizar yang langsung anak kecil itu ambil.Dzaki tergiur melihat santapan pagi ini. Pastinya lezat. Dengan cepat mengambil juga sendok. "Takutnya kamu rindu tidur di rumah temanmu itu."Aruna menatap Dzaki. Cukup
Setelah mengantarkan suaminya ke bandara, Aruna bergegas menuju toko bersama Abizar. Selama di perjalanan, Abizar tampak duduk tenang menggunakan sabuk pengaman. "Bu, aku mau kue coklat," pinta Abizar.Aruna melirik sekilas. "Boleh, Sayang. Nanti sampai toko langsung Ibu buatkan."Abizar senang. Anak itu bertepuk tangan. Reaksi wajar seorang anak ketika mendapatkan kebahagiaan.Jalanan tidak lagi macet sehingga mobil Aruna bisa sampai ke depan toko sekitar delapan menit. Wanita itu langsung masuk dengan menuntun Abizar. Melihat Bi Mirna yang sudah berada di dapur. Kunci toko ini memang tidak hanya dipegang oleh Aruna saja. Bi Mirna pun memegang. Itu semua agar memudahkan keduanya bisa bekerja sama tentang siapa yang lebih dahulu sampai."Assalamualaikum, Bi." Aruna menyapa Bi Mirna."Wa'alaikum salam, Neng," jawab Bi Mirna.Aruna cukup bersyukur karena mendapatkan pegawai yang begitu telaten dan rajin. Setidaknya sekarang Aruna tidak terlalu lelah. "Hari ini kita ada pesanan snack
Ketiganya sampai di rumah sakit. Aruna langsung keluar mobil sambil membopong Abizar, sedangkan Naufal harus memastikan mobil aman lebih dahulu.Aruna berlarian ke arah unit gawat darurat. Kemudian, salah seorang perawat wanita menghampirinya. "Anaknya kenapa, Bu?" tanyanya. Melihat wajah Aruna yang bimbang saja sudah bisa tertebak jika itu gambaran wajah seorang ibu yang cemas akan keadaan sang anak."Tolong anak saya, Suster. Dia baru saja tertabrak," jawab Aruna."Cepat bawa ke sini, Bu." Perawat perempuan itu mengajak Aruna ke arah ranjang kosong. Lalu, ia pun memanggil dokter agar bisa secepat mungkin menangani Abizar.Naufal masuk ruangan. Menghampiri Aruna yang disuruh untuk berdiri di belakang para dokter dan suster. "Bagaimana Abizar?" tanya Naufal. Sebenci apa pun Naufal pada ibu Abizar, ia masih memiliki potongan hati kecil untuk menerima anaknya. Sedikit saja, tidak banyak memang. Aruna diam. Tetesan air mata kemalangan terus saja mengalir. Ini menyakitkan. Naufal meliri
Dzaki sendiri baru sampai di kota tujuan sekitar pukul sembilan pagi. Ia kemudian bergegas check in ke hotel dan beristirahat sejenak. Mengecek ponsel sembari berbaring adalah hal yang dilakukan Dzaki saat ini. Belum ada pesan apa pun dari Aruna. Mungkin wanita itu memang sangat sibuk."Padahal aku baru saja sampai, tapi rasanya sudah rindu. Wanita ini memang punya daya tarik yang bagus," gumam Dzaki seraya mulai memejamkan mata.Ada pertemuan dengan seorang penulis sekitar pukul sebelas siang. Sebaiknya Dzaki beristirahat sambil menunggu pesan cinta dari Aruna. Berdebar? Tentu saja. Sebagai pasangan suami istri pastinya sangat menanti momentum ini. Untuk pertama kalinya dipisahkan oleh jarak dan waktu, cukup sulit untuk Dzaki beradaptasi.Waktu terus berlalu sampai akhirnya Dzaki terbangun di pukul setengah sebelas siang. Lelaki itu bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap. Menurut penuturan timnya yang berada di kota ini, penulis tersebut meyakinkan diri untuk menerbitkan buku di pe