Ketiganya sampai di rumah sakit. Aruna langsung keluar mobil sambil membopong Abizar, sedangkan Naufal harus memastikan mobil aman lebih dahulu.Aruna berlarian ke arah unit gawat darurat. Kemudian, salah seorang perawat wanita menghampirinya. "Anaknya kenapa, Bu?" tanyanya. Melihat wajah Aruna yang bimbang saja sudah bisa tertebak jika itu gambaran wajah seorang ibu yang cemas akan keadaan sang anak."Tolong anak saya, Suster. Dia baru saja tertabrak," jawab Aruna."Cepat bawa ke sini, Bu." Perawat perempuan itu mengajak Aruna ke arah ranjang kosong. Lalu, ia pun memanggil dokter agar bisa secepat mungkin menangani Abizar.Naufal masuk ruangan. Menghampiri Aruna yang disuruh untuk berdiri di belakang para dokter dan suster. "Bagaimana Abizar?" tanya Naufal. Sebenci apa pun Naufal pada ibu Abizar, ia masih memiliki potongan hati kecil untuk menerima anaknya. Sedikit saja, tidak banyak memang. Aruna diam. Tetesan air mata kemalangan terus saja mengalir. Ini menyakitkan. Naufal meliri
Dzaki sendiri baru sampai di kota tujuan sekitar pukul sembilan pagi. Ia kemudian bergegas check in ke hotel dan beristirahat sejenak. Mengecek ponsel sembari berbaring adalah hal yang dilakukan Dzaki saat ini. Belum ada pesan apa pun dari Aruna. Mungkin wanita itu memang sangat sibuk."Padahal aku baru saja sampai, tapi rasanya sudah rindu. Wanita ini memang punya daya tarik yang bagus," gumam Dzaki seraya mulai memejamkan mata.Ada pertemuan dengan seorang penulis sekitar pukul sebelas siang. Sebaiknya Dzaki beristirahat sambil menunggu pesan cinta dari Aruna. Berdebar? Tentu saja. Sebagai pasangan suami istri pastinya sangat menanti momentum ini. Untuk pertama kalinya dipisahkan oleh jarak dan waktu, cukup sulit untuk Dzaki beradaptasi.Waktu terus berlalu sampai akhirnya Dzaki terbangun di pukul setengah sebelas siang. Lelaki itu bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap. Menurut penuturan timnya yang berada di kota ini, penulis tersebut meyakinkan diri untuk menerbitkan buku di pe
Abizar sadar, walaupun mengeluh kepalanya lumayan sakit. Dokter langsung melakukan penangan lebih cepat dan memutuskan untuk Abizar harus dirawat lebih lama. Aruna tak masalah. Bahkan wanita itu menghubungi Bi Mirna untuk menutup toko dan libur beberapa hari. Siang ini setelah salat Dzuhur dan Naufal sendiri masih ada di bersamanya. Padahal Aruna sudah meminta mantan suaminya itu untuk pergi. Bukan tidak butuh teman, tetapi status mereka sudah berubah."Aku di sini untuk Abizar," kata Naufal ketika Aruna meminta pergi.Aruna mengalah. Biarkan saja. Yang terpenting saat ini adalah menemani Abizar. Tak terpikirkan sedikit pun untuk memberitahu Dzaki karena pastinya lelaki itu akan sangat khawatir, sedangkan kedatangan Dzaki ke luar kota untuk tujuan bisnis.Untung saja Cantika datang setelah shift pagi berakhir. Wanita itu menemani Aruna dan tak lupa membawakan makanan kesukaan Abizar."Kenapa ini bisa terjadi, Na?" tanya Cantika setelah memastikan Naufal keluar dari ruangan rawat inap
Suasana lantai bawah ramai pengunjung. Semua mata tertuju pada Aruna. Kasihan sekali.Aruna memegang pipi kanan. Sakit sekali. "Maaf, Bu, aku rasa semua orang tua tidak ingin mengharapkan anaknya celaka." Tak ada siapa pun yang bisa dijadikan tameng. Tentu Aruna harus kuat sendiri. "Tentang cucu, aku rasa Ibu tidak berhak berkata begitu."Mata Bu Nani semakin membesar. Berani sekali menantunya ini. "Karena semua yang ada di rumah tangga aku dan Mas Dzaki adalah sesuatu yang hanya bisa kami putuskan berdua. Baik itu tentang memiliki anak atau tidak!" Aruna menegaskan."Pantas saja kamu diceraikan Naufal. Kelakuanmu memang sering membantah," tutur Bu Nani dengan segala kebenciannya."Aku justru bersyukur diceraikan." Aruna tidak ingin kalah. Tangan kanannya mengepal di bawah, menahan ledakan emosi yang bisa saja keluar tanpa diminta. "Anak sulung Ibu itu terlalu egois untuk dijadikan suami. Bagaimana bisa seorang suami menyakiti istrinya dengan menikahi mantan pacar hanya karena alasan
Aruna tak berkedip tatkala diperlihatkan hasil jepretan Naufal, dengan posisi Aruna dan Naufal memeluk Aruna dari belakang. "Astagfirullah, Mas. Ini tidak benar." Jelas saja Aruna membantah. Padahal kondisinya tidak seperti itu.Dzaki diam.Aruna menatap Dzaki dalam. "Mas, keadaanya bukan seperti itu." Aruna perlahan menceritakan kronologi kejadian yang sesungguhnya. Tentu tujuannya agar tidak ada kesalahpahaman satu sama lain.Dzaki menyimpan ponsel lagi di saku celana. Menarik tubuh Aruna dan memeluknya. "Maafkan aku, Sayang." Lelaki itu menghirup aroma manis dari tubuh sang istri. "Aku terlalu takut kehilanganmu. Maaf."Aruna memeluk balik. Sakit atas tamparan beberapa menit lalu tidak ada bandingannya dengan rasa cinta Dzaki padanya. Luar biasa sekali lelaki itu. "Maafkan aku juga, Mas."Mereka saling merangkul satu sama lain tanpa tahu ada dua mata yang memandang dari belakang. ***Naufal berada di ruangan rawat inap bersama kedua orang tuanya. Abizar masih belum bangun, tentu a
"Ibu kecewa denganmu!" Bu Nani langsung membalikkan badan dan pergi.Dzaki diam, sedangkan Aruna sendiri belum bisa berkata apa pun.Pak Arya sekilas melirik Dzaki dan berkata, "Jaga keponakanmu itu." Tanpa ingin menatap Dzaki lebih dalam dan pergi.Naufal ikut pergi juga, sementara Cantika cukup terkejut. Rupanya Dzaki memiliki keluarga yang terlalu egois.Aruna mengangkat kepala, menatap Dzaki dari samping dan meraih tangan kanan suaminya sambil berkata, "Mas, baik-baik saja?"Dzaki bergeming sebentar, kemudian membalas tatapan Aruna. "Aku selalu baik saat di sampingmu, Aruna."Cantika ikut hanyut dalam suasana mengharu biru. Bagaimana tidak, sebagai seorang suami, Dzaki begitu berdiri kuat untuk mempertahankan pernikahannya dengan Aruna. Berusaha memperlihatkan pada keluarga bahwa keputusannya itu tidak salah."Maafkan aku, Mas." Tak ada yang bisa Aruna lakukan. Sorot mata Dzaki seolah mengisyaratkan luka itu naik ke permukaan. Sekarang terlihat jelas."Kamu tidak perlu minta maaf."
"Mobil saya menabrak belakang mobil Anda." Dzaki menjelaskan tanpa takut. Wanita itu terkejut. "Maaf, tadi saya tidak sengaja melakukan. Itu karena mobil Anda menyalip, lalu berhenti mendadak."Wanita muda itu diam. Benar juga. Ia akhirnya turun, melihat langsung seberapa parah. Berdiri memperhatikan lecet di mobilnya, lalu berkata, "Ini sepertinya lumayan lecet."Dzaki menghampiri. Memang benar. Namun, bukan sepenuhnya kesalahannya. Hanya saja, bagaimanapun Dzaki perlu bertanggung jawab. Lelaki itu melirik arloji di tangan kanan, waktu sudah sangat dekat menuju jam masuk kantor. Oleh sebab itu, Dzaki mengeluarkan kartu nama dari saku jas. Kemudian, memberikannya pada perempuan itu. "Anda bisa datang ke alamat ini untuk ganti rugi. Maaf, saya terburu-buru."Awalnya si wanita diam, memperhatikan Dzaki yang sejak tadi menghindari pertemuan mata dengannya. Aneh sekali. Namun, pada akhirnya wanita itu pun mengambil juga. "Baiklah. Saya akan datang siang nanti."Dzaki tak masalah. "Baik. Ka
Dzaki mengangkat kepala. Kali ini melirik wanita muda yang masih berpakaian sama seperti tadi pagi. Sepertinya wanita itu bekerja di bidang yang mengharuskan berpenampilan menarik. "Ada hal yang tidak seharusnya ditanyakan pada seseorang yang baru saja dikenal. Saya yakin Anda sangat paham itu."Suasana terasa menegangkan bagi si wanita, tetapi berusaha untuk tenang. Sementara Dzaki begitu santai.Dzaki kembali menunduk. "Jadi, berapa yang harus saya bayar untuk menggantikan kerugian mobil Anda?" Sekali lagi bertanya agar urusan ini cepat selesai.Wanita muda itu diam. Melirik Dzaki, benar-benar tidak berubah. Dengan elegantnya mengangkat kaki kanan ke kaki kiri, memperlihatkan paha mulus yang pastinya sangat menggoda iman para lelaki."Saya rasa, kita harus memulai percakapan ini dengan berkenalan." Wanita itu mengulurkan tangan ke arah Dzaki. "Perkenalkan, saya Vanesha. Seorang model dari sebuah brand ternama."Dzaki menyunggingkan senyum. Menyimpan tangan kanan di dada sambil menga