Suasana lantai bawah ramai pengunjung. Semua mata tertuju pada Aruna. Kasihan sekali.Aruna memegang pipi kanan. Sakit sekali. "Maaf, Bu, aku rasa semua orang tua tidak ingin mengharapkan anaknya celaka." Tak ada siapa pun yang bisa dijadikan tameng. Tentu Aruna harus kuat sendiri. "Tentang cucu, aku rasa Ibu tidak berhak berkata begitu."Mata Bu Nani semakin membesar. Berani sekali menantunya ini. "Karena semua yang ada di rumah tangga aku dan Mas Dzaki adalah sesuatu yang hanya bisa kami putuskan berdua. Baik itu tentang memiliki anak atau tidak!" Aruna menegaskan."Pantas saja kamu diceraikan Naufal. Kelakuanmu memang sering membantah," tutur Bu Nani dengan segala kebenciannya."Aku justru bersyukur diceraikan." Aruna tidak ingin kalah. Tangan kanannya mengepal di bawah, menahan ledakan emosi yang bisa saja keluar tanpa diminta. "Anak sulung Ibu itu terlalu egois untuk dijadikan suami. Bagaimana bisa seorang suami menyakiti istrinya dengan menikahi mantan pacar hanya karena alasan
Aruna tak berkedip tatkala diperlihatkan hasil jepretan Naufal, dengan posisi Aruna dan Naufal memeluk Aruna dari belakang. "Astagfirullah, Mas. Ini tidak benar." Jelas saja Aruna membantah. Padahal kondisinya tidak seperti itu.Dzaki diam.Aruna menatap Dzaki dalam. "Mas, keadaanya bukan seperti itu." Aruna perlahan menceritakan kronologi kejadian yang sesungguhnya. Tentu tujuannya agar tidak ada kesalahpahaman satu sama lain.Dzaki menyimpan ponsel lagi di saku celana. Menarik tubuh Aruna dan memeluknya. "Maafkan aku, Sayang." Lelaki itu menghirup aroma manis dari tubuh sang istri. "Aku terlalu takut kehilanganmu. Maaf."Aruna memeluk balik. Sakit atas tamparan beberapa menit lalu tidak ada bandingannya dengan rasa cinta Dzaki padanya. Luar biasa sekali lelaki itu. "Maafkan aku juga, Mas."Mereka saling merangkul satu sama lain tanpa tahu ada dua mata yang memandang dari belakang. ***Naufal berada di ruangan rawat inap bersama kedua orang tuanya. Abizar masih belum bangun, tentu a
"Ibu kecewa denganmu!" Bu Nani langsung membalikkan badan dan pergi.Dzaki diam, sedangkan Aruna sendiri belum bisa berkata apa pun.Pak Arya sekilas melirik Dzaki dan berkata, "Jaga keponakanmu itu." Tanpa ingin menatap Dzaki lebih dalam dan pergi.Naufal ikut pergi juga, sementara Cantika cukup terkejut. Rupanya Dzaki memiliki keluarga yang terlalu egois.Aruna mengangkat kepala, menatap Dzaki dari samping dan meraih tangan kanan suaminya sambil berkata, "Mas, baik-baik saja?"Dzaki bergeming sebentar, kemudian membalas tatapan Aruna. "Aku selalu baik saat di sampingmu, Aruna."Cantika ikut hanyut dalam suasana mengharu biru. Bagaimana tidak, sebagai seorang suami, Dzaki begitu berdiri kuat untuk mempertahankan pernikahannya dengan Aruna. Berusaha memperlihatkan pada keluarga bahwa keputusannya itu tidak salah."Maafkan aku, Mas." Tak ada yang bisa Aruna lakukan. Sorot mata Dzaki seolah mengisyaratkan luka itu naik ke permukaan. Sekarang terlihat jelas."Kamu tidak perlu minta maaf."
"Mobil saya menabrak belakang mobil Anda." Dzaki menjelaskan tanpa takut. Wanita itu terkejut. "Maaf, tadi saya tidak sengaja melakukan. Itu karena mobil Anda menyalip, lalu berhenti mendadak."Wanita muda itu diam. Benar juga. Ia akhirnya turun, melihat langsung seberapa parah. Berdiri memperhatikan lecet di mobilnya, lalu berkata, "Ini sepertinya lumayan lecet."Dzaki menghampiri. Memang benar. Namun, bukan sepenuhnya kesalahannya. Hanya saja, bagaimanapun Dzaki perlu bertanggung jawab. Lelaki itu melirik arloji di tangan kanan, waktu sudah sangat dekat menuju jam masuk kantor. Oleh sebab itu, Dzaki mengeluarkan kartu nama dari saku jas. Kemudian, memberikannya pada perempuan itu. "Anda bisa datang ke alamat ini untuk ganti rugi. Maaf, saya terburu-buru."Awalnya si wanita diam, memperhatikan Dzaki yang sejak tadi menghindari pertemuan mata dengannya. Aneh sekali. Namun, pada akhirnya wanita itu pun mengambil juga. "Baiklah. Saya akan datang siang nanti."Dzaki tak masalah. "Baik. Ka
Dzaki mengangkat kepala. Kali ini melirik wanita muda yang masih berpakaian sama seperti tadi pagi. Sepertinya wanita itu bekerja di bidang yang mengharuskan berpenampilan menarik. "Ada hal yang tidak seharusnya ditanyakan pada seseorang yang baru saja dikenal. Saya yakin Anda sangat paham itu."Suasana terasa menegangkan bagi si wanita, tetapi berusaha untuk tenang. Sementara Dzaki begitu santai.Dzaki kembali menunduk. "Jadi, berapa yang harus saya bayar untuk menggantikan kerugian mobil Anda?" Sekali lagi bertanya agar urusan ini cepat selesai.Wanita muda itu diam. Melirik Dzaki, benar-benar tidak berubah. Dengan elegantnya mengangkat kaki kanan ke kaki kiri, memperlihatkan paha mulus yang pastinya sangat menggoda iman para lelaki."Saya rasa, kita harus memulai percakapan ini dengan berkenalan." Wanita itu mengulurkan tangan ke arah Dzaki. "Perkenalkan, saya Vanesha. Seorang model dari sebuah brand ternama."Dzaki menyunggingkan senyum. Menyimpan tangan kanan di dada sambil menga
Dzaki menjauhkan Vanesha darinya. Kejadian yang sama sekali tidak diinginkan. "Wa'alaikum salam, Sayang." Dzaki langsung berdiri tanpa memperdulikan keberadaan Vanesha.Aruna berusaha tenang. Barangkali itu hanya sebuah kecelakaan. Ya … jangan sampai keadaan ini membuahkan pikiran negatif terhadap seorang suami.Vanesha menoleh ke arah pintu. Menatap Aruna lekat dan tersenyum manis. "Ah, maaf, saya tadi tidak sengaja." Wajahnya dibuat sama manisnya seperti senyum wanita itu.Aruna melangkahkan kedua kaki, menghampiri mereka. Sejenak diam, mengamati Vanesha. Dari sekian banyak karyawan di perusahaan ini, Aruna tidak mengenali Vanesha. Mungkinkah seorang penulis? Bisa jadi. "Tidak masalah, Mbak." Aruna membalas senyum. Mengalihkan pandangan pada sang suami. "Maaf, Mas, aku sedikit telat."Dzaki memperhatikan bahasa tubuh Aruna. Ada sedikit perbedaan, tetapi tidak terlalu menonjol. "Tidak masalah. Kamu pasti lelah. Mari, kita nikmati makan siangnya bersama.""Kalau seperti itu, saya pami
"Ibumu memang cantik. Siapa pun pasti berkata seperti itu, Sayang," ujar Dzaki.Aruna diam.Abizar beralih pandangan pada Dzaki. "Om, juga sayang sama Ibu, ya?" Pertanyaan yang bagi Dzaki adalah momentum untuk memperlihatkan bagaimana kekuatan cintanya. Lengan kanan Dzaki merangkul pundak Aruna sembari berkata, "Om dan ibumu saling sayang, Nak. Sama seperti Om dan ibumu sayang Abizar."Abizar senang. Memeluk Dzaki layaknya pada seorang ayah, sementara Naufal diam dengan sorot mata menakutkan. Lengan kanannya pun mengepal. Ada amarah yang bisa saja sebentar lagi akan meledak. Di balik keharmonisan rumah tangga Aruna, ada Naufal yang merasa panas. Entah mengapa naluri untuk memiliki Aruna menggebu-gebu. Memang benar, sesuatu yang sudah bilang dari genggaman akan terlihat lebih menarik dibandingkan sesuatu yang masih di tangan."Bagaimana kalau kita makan siang dulu. Kamu lapar bukan, Sayang?" Aruna memilih berbicara dengan Abizar agar bisa terhindar dari suasana kurang menyenangkan. D
Vanesha mengukir senyum kecil. Setiap kali berbicara dengan Dzaki, ia merasa sedang berada di ujung jalan. Buntu sekali."Ah, iya, saya lupa." Dzaki melirik ke arah pintu, lalu tersenyum manis. "Istri saya baru saja datang." Telunjuk kanan Dzaki mengarah pada pintu yang langsung diikuti oleh pandangan Vanesha. "Tentunya saya tidak mungkin datang sendiri saja."Dada Vanesha mendadak sesak dengan tangan kanan mengepal. Namun, perempuan itu berusaha untuk tetap tenang dan melebarkan senyuman. Jangan sampai Dzaki semakin kuat mengolok-oloknya. "Saya yakin kalau Anda memang tidak akan melakukan itu. Tenang saja."Aruna yang memakai gaun berwarna biru muda berlengan panjang serta sampai ke mata kaki. Dipadukan dengan pashmina instan berwarna hitam itu pun tampak cantik, menghampiri sang suami dan Vanesha. "Assalamualaikum. Maaf, saya telat, Mbak." Lengkungan senyum langsung diberikan Aruna pada Vanesha.Vanesha melirik Aruna. "Tidak masalah. Saya juga baru datang."Tampak Dzaki menahan tawa