Malam datang menyapa. Aruna masih berada di toko, menunggu Dzaki menjemputnya. Tentu dengan Abizar juga. "Bibi, sebaiknya cepat pulang. Anak Bibi pasti menunggu," kata Aruna melihat Bi Marni masih bekerja pukul delapan malam.Bi Marni tak enak hati. "Jam kerjanya belum selesai, Neng. Insya Allah, anak Bibi pasti paham."Aruna bukan bos kejam yang memilih menahan seorang Ibu tunggal yang sangat dibutuhkan oleh anak-anaknya. "Toko sebentar lagi tutup, Bi. Aku urus sisanya, jadi Bibi bisa langsung pulang saja.""Bibi, malu, Neng. Perjanjiannya bekerja sampai pukul sembilan malam, tapi setiap hari Bibi pulang jam delapan. Gaji yang Neng kasih justru lebih dari perjanjian." Bi Marni menunduk sambil memegang lap.Aruna mendekat, merangkul Bi Mirna. "Aku ini juga seorang Ibu, Bi. Bagaimana mungkin Ibu tega meninggalkan anak kecil terlalu malam, walau itu di sodara. Jangan sungkan."Bi Mirna tersentuh. "Terima kasih, Neng. Semoga kebaikan Neng ini Allah ganti dengan kebahagian sepanjang hidu
Dzaki diam sejenak. Merasakan aura sedikit berbeda dari bahasa tubuh istrinya."Apa Mas bertemu seseorang selain yang Mas katakan tadi?" Sekali lagi Aruna bertanya. Kali ini dengan nada yang cukup berani dan serius."Ah, itu, ya." Dzaki tersenyum tipis. "Aku menemui seorang penulis wanita di salah satu mall."Aruna bergeming.Tangan kiri Dzaki mulai membelai pipi kanan istrinya. "Aku tidak tau alasanmu bertanya seperti itu, tapi yang perlu kamu tau kalau aku tidak mungkin berbuat hal gila seperti kakakku." Dzaki mendekatkan wajah ke telinga Aruna, kemudian berbisik, "Kamu paham, Sayang?" Aruna menelan ludah. Terkadang Dzaki seperti seorang lelaki yang begitu menakutkan, tetapi tak jarang pula suaminya itu pun berubah sangat manis dan lembut.Dzaki kembali berdiri tegak. Melepaskan kedua tangannya yang ada di Aruna. "Sebaiknya kita cepat pulang. Abizar kasian di mobil." "Baik, Mas." Aruna merasa lega sekaligus malu. Terlebih jantungnya berdentam tak karuan. Ah … menyebalkan sekali. K
Kehidupan rumah tangga Aruna dan Dzaki cukup menarik. Terkadang Aruna merasa tersipu malu tatkala Dzaki bersikap lembut padanya. Seperti halnya pagi ini, Dzaki mengatakan jika harus pergi ke luar kota mendadak karena urusan pekerjaan. Sebagai seorang istri, tentu Aruna menerima saja. Mendoakan yang terbaik."Kamu bisa menginap di rumah temanmu kalau merasa kesepian," kata Dzaki ketika sedang sarapan.Terdengar seperti anak kecil rasanya jika Aruna harus kabur ketika suami tidak ada di rumah. "Kesepian? Aku rasa tidak, Mas." Aruna menyiapkan tiga piring nasi goreng di meja. Abizar sudah bangun dari pukul lima pagi tadi. Wanita itu pun duduk di samping Abizar yang memang sudah dibiasakan makan sendiri, kecuali meminta disuapi. "Sarapan dulu, ya, Sayang." Memberikan sendok pada Abizar yang langsung anak kecil itu ambil.Dzaki tergiur melihat santapan pagi ini. Pastinya lezat. Dengan cepat mengambil juga sendok. "Takutnya kamu rindu tidur di rumah temanmu itu."Aruna menatap Dzaki. Cukup
Setelah mengantarkan suaminya ke bandara, Aruna bergegas menuju toko bersama Abizar. Selama di perjalanan, Abizar tampak duduk tenang menggunakan sabuk pengaman. "Bu, aku mau kue coklat," pinta Abizar.Aruna melirik sekilas. "Boleh, Sayang. Nanti sampai toko langsung Ibu buatkan."Abizar senang. Anak itu bertepuk tangan. Reaksi wajar seorang anak ketika mendapatkan kebahagiaan.Jalanan tidak lagi macet sehingga mobil Aruna bisa sampai ke depan toko sekitar delapan menit. Wanita itu langsung masuk dengan menuntun Abizar. Melihat Bi Mirna yang sudah berada di dapur. Kunci toko ini memang tidak hanya dipegang oleh Aruna saja. Bi Mirna pun memegang. Itu semua agar memudahkan keduanya bisa bekerja sama tentang siapa yang lebih dahulu sampai."Assalamualaikum, Bi." Aruna menyapa Bi Mirna."Wa'alaikum salam, Neng," jawab Bi Mirna.Aruna cukup bersyukur karena mendapatkan pegawai yang begitu telaten dan rajin. Setidaknya sekarang Aruna tidak terlalu lelah. "Hari ini kita ada pesanan snack
Ketiganya sampai di rumah sakit. Aruna langsung keluar mobil sambil membopong Abizar, sedangkan Naufal harus memastikan mobil aman lebih dahulu.Aruna berlarian ke arah unit gawat darurat. Kemudian, salah seorang perawat wanita menghampirinya. "Anaknya kenapa, Bu?" tanyanya. Melihat wajah Aruna yang bimbang saja sudah bisa tertebak jika itu gambaran wajah seorang ibu yang cemas akan keadaan sang anak."Tolong anak saya, Suster. Dia baru saja tertabrak," jawab Aruna."Cepat bawa ke sini, Bu." Perawat perempuan itu mengajak Aruna ke arah ranjang kosong. Lalu, ia pun memanggil dokter agar bisa secepat mungkin menangani Abizar.Naufal masuk ruangan. Menghampiri Aruna yang disuruh untuk berdiri di belakang para dokter dan suster. "Bagaimana Abizar?" tanya Naufal. Sebenci apa pun Naufal pada ibu Abizar, ia masih memiliki potongan hati kecil untuk menerima anaknya. Sedikit saja, tidak banyak memang. Aruna diam. Tetesan air mata kemalangan terus saja mengalir. Ini menyakitkan. Naufal meliri
Dzaki sendiri baru sampai di kota tujuan sekitar pukul sembilan pagi. Ia kemudian bergegas check in ke hotel dan beristirahat sejenak. Mengecek ponsel sembari berbaring adalah hal yang dilakukan Dzaki saat ini. Belum ada pesan apa pun dari Aruna. Mungkin wanita itu memang sangat sibuk."Padahal aku baru saja sampai, tapi rasanya sudah rindu. Wanita ini memang punya daya tarik yang bagus," gumam Dzaki seraya mulai memejamkan mata.Ada pertemuan dengan seorang penulis sekitar pukul sebelas siang. Sebaiknya Dzaki beristirahat sambil menunggu pesan cinta dari Aruna. Berdebar? Tentu saja. Sebagai pasangan suami istri pastinya sangat menanti momentum ini. Untuk pertama kalinya dipisahkan oleh jarak dan waktu, cukup sulit untuk Dzaki beradaptasi.Waktu terus berlalu sampai akhirnya Dzaki terbangun di pukul setengah sebelas siang. Lelaki itu bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap. Menurut penuturan timnya yang berada di kota ini, penulis tersebut meyakinkan diri untuk menerbitkan buku di pe
Abizar sadar, walaupun mengeluh kepalanya lumayan sakit. Dokter langsung melakukan penangan lebih cepat dan memutuskan untuk Abizar harus dirawat lebih lama. Aruna tak masalah. Bahkan wanita itu menghubungi Bi Mirna untuk menutup toko dan libur beberapa hari. Siang ini setelah salat Dzuhur dan Naufal sendiri masih ada di bersamanya. Padahal Aruna sudah meminta mantan suaminya itu untuk pergi. Bukan tidak butuh teman, tetapi status mereka sudah berubah."Aku di sini untuk Abizar," kata Naufal ketika Aruna meminta pergi.Aruna mengalah. Biarkan saja. Yang terpenting saat ini adalah menemani Abizar. Tak terpikirkan sedikit pun untuk memberitahu Dzaki karena pastinya lelaki itu akan sangat khawatir, sedangkan kedatangan Dzaki ke luar kota untuk tujuan bisnis.Untung saja Cantika datang setelah shift pagi berakhir. Wanita itu menemani Aruna dan tak lupa membawakan makanan kesukaan Abizar."Kenapa ini bisa terjadi, Na?" tanya Cantika setelah memastikan Naufal keluar dari ruangan rawat inap
Suasana lantai bawah ramai pengunjung. Semua mata tertuju pada Aruna. Kasihan sekali.Aruna memegang pipi kanan. Sakit sekali. "Maaf, Bu, aku rasa semua orang tua tidak ingin mengharapkan anaknya celaka." Tak ada siapa pun yang bisa dijadikan tameng. Tentu Aruna harus kuat sendiri. "Tentang cucu, aku rasa Ibu tidak berhak berkata begitu."Mata Bu Nani semakin membesar. Berani sekali menantunya ini. "Karena semua yang ada di rumah tangga aku dan Mas Dzaki adalah sesuatu yang hanya bisa kami putuskan berdua. Baik itu tentang memiliki anak atau tidak!" Aruna menegaskan."Pantas saja kamu diceraikan Naufal. Kelakuanmu memang sering membantah," tutur Bu Nani dengan segala kebenciannya."Aku justru bersyukur diceraikan." Aruna tidak ingin kalah. Tangan kanannya mengepal di bawah, menahan ledakan emosi yang bisa saja keluar tanpa diminta. "Anak sulung Ibu itu terlalu egois untuk dijadikan suami. Bagaimana bisa seorang suami menyakiti istrinya dengan menikahi mantan pacar hanya karena alasan