"Ternyata kamu cukup berani juga!" Suara Bu Nani menggema tatkala berdiri di hadapan Aruna dan Dzaki sekarang.Suasana berubah menegangkan. Setidaknya untuk Aruna. "Padahal saya tidak menentang keras hubungan kalian!""Ibu." Dzaki mencoba lembut.Aruna memang terkejut dengan kehadiran mantan ibu mertuanya yang mungkin akan segera menjadi mertuanya kembali. Namun, perempuan itu tidak ingin menunjukkan wajah tersebut agar tetap terlihat tenang. "Maaf, Bu, saya ada keperluan dengan Dzaki mengenai pernikahan."Bu Nani merasa terpancing amarah. "Berani-beraninya kamu mengeluarkan kata pernikahan di hadapan saya!" Hampir saja lepas kendali, hendak memukul pipi Aruna jika Dzaki tidak segera mendekat."Ibu, ada apa datang ke sini? Apa Abizar ikut juga?" tanya Dzaki.Seketika Bu Nani meredam amarah. Aruna memperhatikan cara Dzaki memperlakukan ibunya, hal itu pun akan menjadi patokan bagaimana lelaki itu akan memperlakukan dirinya nanti.Bu Nani menatap Dzaki. Wanita paruh baya yang masih terl
Aruna berjalan didampingi Cantika masuk ruangan luas nan mewah dengan dekorasi cantik. Ditemani banyaknya pandangan mata, termasuk dari keluarga Dzaki."Jangan gugup. Ini hari bahagiamu," bisik Cantika.Aruna mengerti. Perlahan, tetapi pasti mereka terus berjalan mendekati Dzaki yang sejak tadi tidak berkedip menatap cantiknya sang istri. Aruna sampai di depan Dzaki. Terdiam, lalu menunduk. Sedikit malu pula, padahal ini bukan pernikahan pertamanya.Naufal menatap tajam Aruna sambil mengepalkan tangan kanan. Rasanya ingin membawa pergi mantan istrinya itu. Semua tamu undangan pasti tahu siapa Aruna. Ada yang bergosip ria, ada pula yang biasa saja.Dzaki perlahan melangkah ke depan dua kali, mengikis jaraknya dengan Aruna. Diam sejenak, masih belum puas memandangi wajah Aruna. Lalu, tersadar dan berkata, "Selamat datang di buku pernikahan kita. Masih banyak lembaran kosong yang harus segera diisi banyak tulisan. Kamu bisa memilih warna penamu sendiri, istriku."Jantung Aruna berdetak
Aruna langsung diboyong ke rumah baru setelah menginap di hotel semalam. Awalnya Cantika keberatan, tetapi wanita itu akhirnya bisa memahami karena status Aruna kini berbeda."Kamu jangan lupa datang ke sini, ya." Cantika mengingatkan Aruna, takutnya temannya itu lupa arah pulang lagi ketika perjalanan terhenti.Aruna sedih bercampur haru. Menangis tiada henti karena harus berpisah dengan Cantika. Namun, saat ini dirinya sudah berbeda. Perpisahan dengan Cantika pun tidak terelakan. Aruna berangkat menuju rumah baru yang akan menjadi istananya bersama Dzaki.Selama di perjalanan, Aruna banyak membahas tentang perannya sebagai pemilik toko roti. Ia meminta izin untuk bisa beraktivitas seperti biasa."Tidak masalah selama itu memang yang terbaik buat kamu," tanggap Dzaki.Aruna melirik Dzaki yang sibuk menyetir. Kejadian semalam pun masih terngiang di ingatan. Bukan perihal malam pertama, tetapi bagaimana Dzaki sanggup membuat sedikit malu dirinya. Ah … menyebalkan memang! "Mas." Sebuta
Malam datang menyapa. Sejak kejadian tadi siang, Aruna merasa lebih canggung terhadap Dzaki. Terkadang saat bertemu, Aruna memilih secepat mungkin menghindar. Bukan karena marah, tetapi bisa dikatakan cukup malu. Padahal Dzaki adalah suaminya.Malam ini hidangan makan malam sudah tersaji. Aruna membantu bi Inah di dapur sambil berbicara banyak hal. Terutama tentang Abizar, anak yang sekarang sangat dirindukannya."Saya ke atas dulu, ya, Bi." Aruna pamit. Berniat menghampiri sang suami di kamar. Berjalan menjauh dari dapur dan menaiki anak tangga untuk sampai ke tujuan.Begitu kedua kaki Aruna berada di ujung tangga lantai atas, ia terdiam. Ragu. "Dia sedang apa, ya? Aku merasa ragu." Aruna bimbang. Namun, harus memberitahu pula. Ah … membingungkan.Bukannya meneruskan perjalanan, Aruna justru masih berdiri dengan otak yang sulit diajak bekerja sama. "Kenapa aku harus ragu? Dia, kan, juga manusia." Aruna menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Mencoba untuk lebih tenang dan y
Seminggu berlalu tanpa bulan madu. Bukan tanpa alasan mengapa Aruna dan Dzaki menunda bulan madu. Dari segi keuangan, jelas Dzaki sangat siap. Namun, berbeda hal dengan jiwa Aruna. Tak masalah, biarkan istrinya menyamankan diri lebih dahulu di sampingnya.Pagi ini Dzaki dan Aruna melakukan aktivitas seperti biasa. Ke kantor dan toko kue."Aku harus meeting jam sebelas siang ini." Dzaki mengenakan kemeja di depan Aruna yang saat ini tengah menutup mata dengan kedua tangan. Jelas sekali lelaki itu sengaja. "Kamu bisa kirimkan kue tidak untuk makan siang selesai meeting?"Aruna hening. Wanita yang sedang duduk di tepi ranjang itu bahkan membalikkan badan, kemudian membuka mata dengan menurunkan kedua tangan.Dzaki melirik sekilas, menyunggingkan senyum kecil. "Sayang, kamu mendengarnya tidak?" Mendadak Aruna merinding. "Mas, kamu kebiasaan!" Wanita itu sedikit kesal, mungkin lebih tepatnya merasa kurang nyaman sekaligus malu.Dzaki tidak peduli. "Habisnya kamu dari tadi cuma diam. Aku t
Aruna kembali ke toko diantar oleh Dzaki. Kejadian tadi masih terngiang-iang di ingatan. Namun, kehidupan harus tetap berjalan semana mestinya.Berjibaku lagi dengan adonan kue menjadi salah satu healing terbaik untuk Aruna. Selain karena hobi, ini pun sudah menjadi ladang rezekinya.Waktu terus berlalu. Toko semakin siang, semakin ramai. Terlebih setelah beberapa pelanggan tahu tentang pernikahannya dengan Dzaki, banyak kaum Ibu-Ibu yang ingin menemui Aruna untuk sekadar memberikan tips dan trik agar cepat dapat keturunan.Aruna mendengarkan saja. Sesekali terkekeh geli ketika beberapa kaum paling kuat di muka bumi itu membeberkan rahasianya. Namanya manusia, memang butuh hiburan sekali-kali."Kamu harus banyak menjaga diri, Nak." Salah satu pesan yang diterima Aruna siang ini."Iya, Bu. Makasih." Aruna menerima dengan baik.Usai semua tips didapat dan datanglah pukul sebelas siang. Aruna ingat janji. Jangan sampai teledor. Bergegas membungkus pesanan Dzaki dan menutup toko. Dua hari
"Ada apa ini?" Dzaki mendadak datang dari arah koridor kanan. Rupanya meeting sudah selesai dan tanpa sengaja melihat Aruna dengan kakaknya. Tiga orang yang bersama Dzaki pun ikut penasaran. Namun, mereka memilih pamit karena ini urusan pribadi.Aruna kaget, tetapi Naufal begitu tenang. Dzaki menghampiri keduanya, menarik lembut lengan Aruna dan mengubah posisi perempuan itu menjadi di samping dirinya. "Apa ada masalah, Sayang?" tanya Dzaki.Naufal kesal. Wajahnya terlihat marah.Aruna sendiri bergeming sebentar, kemudian berkata, "Tidak ada, Mas." Menggelengkan kepala cepat.Naufal sempat kaget dengan panggilan Aruna untuk Dzaki. Mereka sudah semakin dekat dengan ikatan pernikahan ini. Kian besar pula kemarahannya terhadap sang adik. "Kakak ada perlu denganmu. Kita bisa bicara sebentar?" Naufal berusaha mengalihkan pembicaraan agar Dzaki tak lagi penasaran.Dzaki beralih menatap Naufal. "Tentang apa, Kak?" "Kita bicara di dalam saja," jawab Naufal.Dzaki setuju. Jemari kanannya lang
Naufal terdesak. Akhirnya menyerahkan Abizar sepenuhnya pada Dzaki dan Aruna. Setelah itu pergi dengan kecemburuan luar biasa."Mas, terima kasih." Mata Aruna berkaca-kaca. Bersyukur atas perjuangan suaminya.Dzaki melirik Aruna dengan tangan yang masih menggenggam. "Aku tidak menerima ucapan terima kasih saja, tapi harus dalam bentuk tindakan juga." Dzaki mengedipkan mata kanan.Aruna mengerutkan kening. "Dalam bentuk tindakan?" Wanita itu bertanya balik."Iya," kata Dzaki. Menunggu reaksi Aruna lagi.Kening Aruna semakin berkerut kencang, berpikir keras. Mencoba memahami arti dari kalimat suaminya sekaligus menebak.Dzaki mulai kesal. "Kamu tidak paham?" Padahal lelaki itu sudah memberikan kode yang baik dengan kedipan mata juga. "Tidak." Aruna langsung menjawab.Dzaki menghela napas kasar. Harus lebih bersabar, mungkin. "Baiklah, lupakan soal rasa terima kasih dalam bentuk tindakan. Aku lapar." Dzaki melepaskan genggaman tangannya. Meraih salah satu plastik dan membuka santapan