"Kenapa kamu tidak masuk saja?" Naufal menghampiri Aruna dan langsung bertanya. Sontak Aruna kaget, menoleh ke samping kanan. "Bukankah setiap orderan itu harus bisa dipastikan sampai ke tangan konsumen dengan baik? Jadi, sangat disarankan kamu untuk memberikannya langsung." Naufal berdiri dengan tegak. Menatap Aruna penuh bahagia. Sorot matanya berbinar, kerinduan itu terwujud tanpa harus lelah menyetir lebih dahulu.Satpam itu diam. Ia tahu siapa Aruna. Bahkan, semua orang juga tahu tentang hubungan mereka. Lima tahun bersama bukanlah waktu yang sebentar. Jelas saja Aruna sering datang ke sini. Tanpa diminta pun, satpam lelaki itu meninggalkan mereka. Tidak ingin terlibat juga.Aruna memalingkan wajah ke sembarang arah, tak ingin menatap Naufal. "Itu memang benar, tapi keadaanya sekarang berbeda." Membela diri.Jantung Naufal berdebar. Cintakah ini? Mantan istrinya semakin hari, semakin berubah manis dan cantik. Ah ... ini terlalu indah untuk dipandang oleh mata orang lain, selain d
"Jangan bertanya terlalu banyak tentang orang lain. Kita tidak punya hubungan lebih dari mantan suami istri!" Aruna segera melangkahkan kaki meninggalkan Naufal. Kali ini dengan keyakinan yang penuh. Setelah mengantarkan kue pada pembeli, Aruna sendiri memiliki janji dengan Cantika. Perempuan itu ingin dibuatkan kue ulang tahun yang akan dibagikan pada teman kerjanya. Tentu Aruna sangat antusias karena sejatinya Cantika adalah orang yang paling berperan dalam hidup.***Dzaki pergi ke kantor penerbitan seperti biasa. Pagi ini, lelaki itu berangkat dengan diiringi tangisan Abizar serta perkataan orang tuanya yang berencana membawa Abizar ke panti asuhan. Entah seperti apa nasib anak itu ketika dirinya tidak ada di rumah. Semoga saja Allah melindungi.Sudah sekitar tiga hari Dzaki belum datang ke toko Aruna. Selain sangat sibuk, ia juga selalu langsung pulang karena khawatir dengan Abizar. Malam ini berencana datang ke sana untuk membeli cupcake. Rindu juga dengan salah satu jenis kue
"Semua orang berhak datang ke sini," jawab Aruna dengan yakin.Dzaki bergeming."Kamu adalah pelanggan dan aku penjual. Jadi, ada atau tidak adanya Abizar, itu bukan masalah besar." Aruna melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda.Kalimat itu terdengar manis bagi Dzaki. Selain karena mengisyaratkan kedatangannya lain waktu tanpa Abizar pun bukan masalah, ia juga merasa tidak akan bersalah. "Syukurlah. Aku lega mendengarnya.""Silakan pilih kue yang kamu mau. Aku bungkuskan." Aruna berkata demikian sambil bergerak mendekati etalase. Begitu pun dengan Dzaki yang berjalan menghampiri Aruna. "Cupcakenya tinggal dua. Seharusnya kamu datang sebelum ashar."Dzaki memahami. "Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan juga memikirkan keadaan Abizar." Tanpa sadar Dzaki mengatakan isi hatinya.Kening Aruna mengerut kencang. "Keadaan Abizar?" Perempuan itu bertanya balik. "Kenapa dengan anak manis itu? Apa dia sakit?"Dzaki tersadar. "Ah, tidak. Aku cuma memikirkannya saja." Ekor mata Dzaki sengaja
Pertanyaan Dzaki mengejutkan. Aruna sampai sulit mencerna. Apa tida salah mendengar telinganya? Aruna rasa, tidak! "Sebentar. Maksud kamu itu apa?" tanya Aruna balik.Sudah Dzaki duga. Sudah dipastikan Aruna terkejut dan pastinya tidak percaya. "Abizar bukan anak kandung Kak Naufal." Pada akhirnya Dzaki mengatakan kebenaran."Mana mungkin?" Aruna tersentak. Kedua bola matanya membesar. "Jangan bercanda. Kita sedang berbicara serius."Dzaki diam sebentar. Mengamati reaksi Aruna yang sudah dibayangkan sebelumnya. "Aku serius. Satu lagi, kamu sebenarnya tidak mandul. Dokter dan suster yang memeriksamu waktu itu ternyata salah menganalisa. Jadi, lebih tepatnya yang mandul itu Kak Naufal."Kali ini Aruna sampai menggelengkan kepala dua kali. Bercandaan seperti apakah ini? Tidak lucu. "Kamu mau bukti?" Dzaki paham perasaan Aruna. "Aku akan membawamu ke rumah sakit yang dulu.""Tunggu!" Aruna memijat pelipis kanan. Sakit sekali. Terlebih semua yang dikatakan Dzaki seperti mengambang dan se
Setelah mengetahui kebenaran itu. Aruna sama sekali tidak bisa tidur. Bahkan, ia tidak ingin makan malam. Cantika yang diberitahu pun merasa kasihan. Pagi ini, tepatnya setelah salat Subuh. Aruna sudah bersiap diri. Cantika tak bertanya apa pun, mungkin saja Aruna memang ada keperluan yang membutuhkan pergi lebih pagi.Cantika menggantikan Aruna bertugas di dapur karena dirinya masuk sift siang. Membuat sarapan yang hanya nasi goreng biasa saja. Sekitar pukul setengah tujuh pagi, Aruna ke dapur. Namun, perempuan itu sudah siap dengan tas jinjingnya. "Aku tidak bisa sarapan. Maaf, ya," katanya sambil mencari sesuatu di kulkas.Cantika menoleh ke belakang, menatap Aruna. "Kamu mau ke mana sepagi ini?" Penasaran.Aruna ternyata mengambil sekotak susu kecil. Berdiri sambil menutup pintu kulkas. Menatap balik Cantika. "Aku tidak bisa diam saja, Can."Kening Cantika mengerut. Lengan kanan yang memegang cutik pun diam. "Maksudmu?" Semakin penasaran. "Aku mau menemui Abizar. Meminta mereka
Aruna langsung berbalik badan. Begitu pun dengan Cantika. "Assalamualaikum. Selamat pagi, Bu," kata Aruna dengan senyum kecil.Cantika melirik Aruna. Tersenyum kecil pula. Terlihat sekali temannya itu bersusah payah menahan agar tidak marah."Wa'alaikum salam." Bu Nani menjawab dengan ketus. Menatap mantan menantunya yang paling tidak disetujui dari pertama menikah. "Ada apa datang ke sini?" Aruna terus meyakinkan diri jika semua akan baik-baik saja. "Sebelumnya, aku minta maaf karena datang tanpa pemberitahuan." Aruna menjeda sebentar. Melihat reaksi Bu Nani lebih dulu, kemudian berujar lagi, "Tapi, kedatanganku dengan tujuan baik.""Apa itu?" Bu Nani masih menjawab dengan ketus. Berjalan dua langkah ke depan, semakin memperkecil jarak di antara mereka. Posisinya berada di depan kedua perempuan muda tersebut. "Saya tidak punya banyak waktu untuk menemui tamu yang tak diundang."Di sini terlihat Aruna mulai kesulitan menahan lonjakan emosi. Selain mengingat tentang keadaan Abizar da
Naufal menuruni anak tangga ke arah lantai bawah. Kemudian, berjalan mendekati Aruna, Cantika, dan ibunya. Berdiri di depan Aruna yang saat ini mengangkat kepala. "Abizar mungkin secara keturunan bukan anakku, tapi dia dibesarkan di keluarga ini. Itu artinya, ia tetap bagian dari keluargaku. Kalau kamu mau dekat dengannya, penuhi syaratnya dulu."Bu Nani terdiam. Masih shock dengan kebenaran tentang Dzaki yang sering menemui Aruna. Benar-benar di luar dugaan.Aruna menahan emosi dengan memegang pegangan sopa samping. Perempuan itu menyorotkan tatapan tajam. "Syarat seperti apa yang harus aku penuhi, Kak?" Penasaran juga.Cantika sengaja memegang tangan kanan Aruna. Menenangkan perempuan itu yang tampaknya sedikit kesulitan dalam mengelola emosi saat ini, sedangkan Bu Nani sendiri masih diam."Menikahlah denganku lagi," jawab Naufal.Mendengar itu Bu Nani tersadar. Langsung berdiri dan berkata, "Naufal, apa yang kamu katakan, Nak?"Sama halnya dengan Bu Nani. Aruna pun lebih terkejut, b
"Menjamin kalau Kakak bisa mengembalikan hatiku yang dulu," jawab Aruna.Naufal tersentak. Jawaban mantan istrinya itu sungguh tidak terduga. Bahkan, sangat tak terpikirkan sama sekali.Aruna berdiri seraya memegang tangan kanan Cantika yang otomatis ikut berdiri juga. Perempuan itu menatap Naufal dengan tatapan lekat dan tajam. "Secintanya aku ke Abizar, aku tidak mungkin mengambil cara segila itu." Naufal tersendiri. Ikut berdiri juga. "Apa maksudmu?" Bu Nani diam. Memperhatikan saja, takut salah berbicara.Sebelum menjawab, Aruna lebih dahulu tersenyum simpul. "Menikah denganmu lagi itu adalah cara paling gila. Kenapa? Karena aku sama saja memenjarakan diriku lagi ke tempat yang sama. Aku tidak mau!" Aruna begitu tegas menolak. Mengenai Abizar, ia akan mencari cara lain agar bisa lebih dekat dan mengambil hak asuh dari Naufal.Naufal mengencangkan rahang. Aruna sudah berubah lebih kuat dari dulu. Ini menyebalkan, tetapi sekaligus menjadi tantangan tersendiri. "Seharusnya kamu ber
"Cepat! Bus harus segera berangkat," jawab si sopir.Aruna segera berbalik badan dan mengambil tempat duduk, sedangkan pria itu juga ikut naik. Entah mengapa perasaan Aruna sedikit tak karuan melihat sosok lelaki yang terakhir naik, seperti sebuah gerbang sedang terbuka untuk menuju satu jalan. "Astagfirullah, aku harus fokus ke diri sendiri." Aruna meluruskan pandangan ke depan dan memantapkan hati untuk tidak terlalu mengikuti hati.***Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa Dzaki sudah ada di depan sebuah ruangan operasi menunggu sang istri melahirkan.Ya, Aruna harus melakukan operasi sesar karena ketuban lebih cepat dahulu pecah dan si bayi belum ada tanda-tanda siap keluar karena baru berusia tiga puluh tujuh minggu. Sebuah keputusan terbaik diambil untuk keselamatan keduanya.Bu Nani dan Pak Arya pun berada di sana, menenangkan Dzaki dengan terus mengingatkan anak bungsunya untuk pasrah pada Yang Maha Kuasa."Istigfar, Nak. Insya Allah, Istri dan anakmu baik-baik saja," ka
Amira pergi ke toko kue dengan diantar sopir. Ia menyuruh lelaki paruh baya yang sudah lama bekerja di rumahnya tersebut untuk pulang lebih dahulu. Sebab, Aruna berniat seharian berada di sini.Bi Mirna senang bisa melihat Aruna lagi. "Alhamdulillah, Neng sudah membaik," katanya dengan penuh rasa bahagia. Aruna sendiri merasa disambut oleh seorang Ibu. Hangat dan penuh rasa cinta."Maaf, ya, Bi, aku sudah lama tidak datang," imbuh Aruna.Bi Mirna mengelus perut Aruna pelan. "Tidak apa-apa, Neng. Jangan khawatirkan soal toko karena Bibi akan selalu berusaha menjaganya.""Terima kasih, Bi." Aruna memperhatikan sekitar. Semuanya masih sama seperti empat bulan yang lalu. Namun, sekarang ditambah dengan dua karyawan baru yang membantu. Menurut penuturan Bi Mirna, penjualan meningkat drastis di empat bulan terakhir. Aruna yang menerima laporan itu pun cukup senang. Selama ini Bi Mirna hanya melaporkan hasil keuangan ke kantor Dzaki karena tidak berani datang ke rumah Aruna."Bi, aku rindu s
"Makanlah." Dzaki tampak lelah karena berkeliling mencari ramen di tengah malam. Namun, perasaan itu seketika hilang dengan melihat istrinya tersenyum bahagia.Aruna duduk di kursi makan yang berhadapan dengan Dzaki. Menelan ludah ketika melihat kentalnya kuah ramen yang bercampur dengan rasa pedas. "Masya Allah, pasti enak." Mengangkat kepala dan menatap Dzaki. "Terima kasih, Mas."Dzaki ikut tersenyum sambil mengulurkan tangan ke depan dan mengelus pucuk kepala istrinya. "Jangan ragu untuk katakan apa pun keinginanmu selama aku bisa. Ingat, kamu adalah istriku."Aruna mengangguk pelan. Benar-benar definisi diratukan oleh satu raja itu luar biasa bahagianya. "Tapi aku merasa bersalah karena Mas harus keliling untuk dapatkan ini."Tangan Dzaki masih berada di pucuk kepala Aruna. "Apa kamu tidak menganggapku suami?" Kedua pupil mata sontak membesar, lalu diikuti dengan gelengan kepala. "Kalau memang masih menganggap, biarkan aku membahagiakanmu dengan banyak cara. Kamu ratu di sini."H
"Sakitnya seorang Ibu itu nikmat, Sayang. Karena rasa bahagia ada adik bayi lebih besar dibandingkan rasa sakit," jawab Amira. Ia belum sanggup mengungkapkan identitas Abizar. Mungkin menunggu anak itu beranjak remaja saja.Pak Arya dan Bu Nani tidak berkat apa pun. Semua keputusan ada pada diri menantunya. Biarkan saja dahulu, Abizar pun belum tentu bisa memahami.Aruna berada di rumah sakit sekitar tiga hari. Setelah itu, ia kembali ke rumahnya sendiri dengan dibantu oleh asisten rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Aruna pun belum pergi ke toko. Mempercayakan semuanya pada Bi Marni.***Hari-hari berlalu dan akhirnya kehamilan Aruna menginjak usia enam belas Minggu. Rasa mual dan muntah berangsur membaik dan hanya dirasakan sesekali saja. Begitu pun dengan sakit kepala. Perut Aruna memang belum terlihat buncit karena usia kandungan masih kecil.Setiap harinya selalu ada saja yang diinginkan Aruna. Entah itu makanan ataupun sekadar ingin pergi ke suatu tempat. Selama itu
Aruna menjaga sekali kehamilannya. Tidak peduli rasa mual dan muntah itu semakin menyerang diri, ia terus berusaha untuk melakukan yang terbaik. Seminggu setelah vonis hamil dinyatakan, Aruna sama sekali tidak bisa bangun. Ia bahkan dilarikan ke rumah sakit karena terus menerus muntah yang mengharuskannya mendapatkan perawatan medis. Dzaki setia di samping. Bahkan saat Aruna merasakan mual di pagi hari, lelaki itu sigap untuk membawa sang istri ke kamar mandi."Aku ambilkan minum hangat, ya." Dzaki mendudukan Aruna di kasur. Mereka baru saja keluar dari kamar mandi hampir delapan kali. Wajah Aruna mulai terlihat pucat. Makanan dan minuman yang masuk akan kembali lagi. Lemas rasanya. "Iya, Mas." Aruna pasrah. Sakit ini akan berlalu dan digantikan kebahagiaan bertemu sang buah hati tercinta. Menginjak enam minggu memang masa-masa kritis, sekali pun ada ibu hamil yang memang baru merasakan mual di usia delapan minggu. Namun, ada sebagian lagi juga yang tidak merasakan morning sicknes
"Selamat, Pak. Anda akan segera menjadi ayah." Dokter lelaki menyalami Dzaki. Pemeriksaan dilakukan sekitar dua puluh menit dan hasilnya Aruna positif hamil sekitar empat minggu. "Mungkin setelah ini gejala sakit kepala, mual dan muntahnya bisa saja bertambah parah. Tapi Ibu dan Bapak tidak perlu cemas karena itu hal biasa. Selalu pastikan Ibu mencukupi gizi si janin dan terus minum vitamin yang akan saya resepkan."Dzaki masih belum bergerak sama sekali, sedangkan Aruna terharu dengan mengucap kata syukur."Pak Dzaki baik-baik saja?" Dokter lelaki itu kembali bertanya.Dzaki sadar, kemudian berkata, "Apa benar Dok, kalau istri saya hamil?" Bertanya lagi untuk memastikan."Semuanya akurat dan ini hasilnya." Dokter memberikan isyarat mata pada suster untuk menyimpan hasil tespek di meja. "Garis yang satu memang masih samar, tapi ini sudah bisa membuktikan jika istri Anda hamil. Saya minta kerjasamanya untuk menjaga kandungan Ibu sampai waktu melahirkan nanti."Dzaki masih memegang tang
"Aruna di mana, Bu?" Dzaki langsung ke dapur setelah selesai salat dan mengobrol dengan beberapa tetangga.Bu Nani seketika menoleh. "Katanya tadi perutnya sakit, jadi istrimu masuk kamar. Coba lihat dulu, Nak."Dzaki mengerti. "Baik, Bu." Dengan cepat ke luar dari dapur dan berjalan menapaki anak tangga satu per-satu menuju lantai dua. Suasana hening. Dzaki sempat tersentak ketika melihat kamar almarhum kakaknya, tetapi tidak begitu hanyut. Bergegas masuk kamar sendiri sambil berkata, "Assalamualaikum." Pandangan mata lelaki itu langsung tertuju pada sosok Aruna yang sedang terbaring. "Sayang, kamu baik-baik saja?"Aruna tidak menjawab. Secepat mungkin Dzaki semakin masuk ke kamar. Memeriksa keadaan sang istri. "Sayang, kamu kenapa?" Duduk di tepi ranjang bagian kanan. Barulah Aruna membuka mata. "Kata Ibu, kamu sakit perut. Kita ke dokter saja, ya?" Aruna tersenyum paksa. "Tidak perlu, Mas. Perutku kram, mungkin mau datang bulan."Dzaki diam. Tangan kanannya memegang perut Aruna.
Kepergian Naufal tentu menoreh luka hati untuk semua keluarga. Dzaki dan Aruna pun semakin sering mengunjungi rumah Bu Nani dan Pak Arya untuk sekadar menghibur mereka. Hubungan Aruna dengan keluarga suaminya pun semakin membaik. Bahkan Bu Nani sekarang menganggap Aruna seperti anak perempuan sendiri.Dzaki pun tetap meneruskan penuntutan pada Vanesha dan penulis yang bersangkutan, tetapi tidak melihatnya almarhum kakaknya. Bukan karena tidak bersalah, tetapi Naufal sudah tidak seharusnya dihukum ketika wujudnya saja sudah tidak ada di muka bumi.Aruna setia mendampingi Dzaki selama proses hukum. Vanesha sempat mengelak dan menyudutkan Naufal. Namun, penulis itu justru memberikan bukti rekaman suara di mana Vanesha mengaku jika semua rencana disusun tanpa sepengetahuan Naufal. Proses hukum masih berjalan. Sudah tiga kali Dzaki dipanggil ke kantor polisi dan persidangan pun berlangsung baru dua kali. Mereka akan segera mendapatkan hasil setelah satu kali sidang lagi. Dzaki tenang. Sem
Setelah mendapatkan kabar buruk tersebut, Dzaki sama sekali belum bisa menerima. Tiga hari setelahnya, Dzaki pun dipersilakan pulang oleh dokter. Hanya diwajibkan check up rutin per-dua minggu sekali.Sesuai keinginan Dzaki, setelah keluar dari rumah sakit lelaki itu langsung mengunjungi makam kakaknya dengan ditemani Aruna. Pakaian serba hitam serta kacamata hitam pun menjadi lambang kesedihan pada kedua orang tersebut.Aruna menemani dengan setia. Memayungi Dzaki sejak turun dari mobil sampai berada di depan makam Naufal. Mereka langsung berjongkok. Tak lupa Aruna melipat payung agar tidak memakan tempat.Dzaki menghela napas lelah. Bukan karena harus berjalan untuk sampai sini, melainkan sulit mengontrol diri sedari kemarin. Setelah dirasa sanggup, ia pun mulai berbicara. "Assalamualaikum, Kak. Maaf, baru bisa datang." Aruna melirik Dzaki. Kemudian, mereka membaca doa bersama. Semuanya sudah dilewati, Dzaki pun kembali terdiam. Jelas Aruna juga sama. Suasana pemakaman hening dan s