POV : Dion
Belum berapa lama kami saling terdiam dengan pikiran masing-masing, Aku dikejutkan dengan dering suara handphone-ku yang berputar di atas meja. Aku menoleh dan meraihnya. Kulihat sebuah nama tertera di sana. Setelah lebih dari seminggu ia tak lagi memberi kabar padaku, pagi ini ia kembali menghubungiku. Ia memang selalu menghubungiku, memberikan khabar yang selalu kutunggu tentang Viona. Aku sengaja tidak memulai kontak terlebih dahulu, takut bila ia sedang berada di dekat Viona.
“Hallo, Fer! Tumben nelpon pagi begini. Ada apa?” tanyaku dengan nada tenang. Feri berdecak seperti orang menahan rasa kesal di seberang sana. Aku jadi penasaran dengan apa yang sedang ia kesalkan saat ini.
“Yon, lu udah tau, kan? Divo sekarang berada di sini?” tanyanya tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Meskipun itu tak terlihat olehnya.
“Iya, aku tahu! Ia sempat menghubungi Bagas—teman kita—ketika baru sampai di s
“M-mas!”Divo begitu kaget melihat kehadiranku di ruang rawatnya. Aku berdiri di sisi ranjangnya ketika tak berapa lama setelah ia sadarkan diri. Aku memposisikan diri tepat di sampingnya malam itu. Duduk di kursi samping ranjang Divo. Kutatapi balutan perban di kepala dan kakinya yang menggantung. Kudengar dari Venya, luka kepalanya tidak begitu serius. Namun, luka kaki yang sempat terjepit di antara dashboard dan bangku kemudi membuat banyak syarat dan otot yang terputus. Tulangnya hancur tak berbentuk. Sehingga kaki kirnya itu harus diamputasi hingga batas atas lutut. Aku miris melihat kondisinya itu.“Ba-bagaimana M-mas bisa tahu a-aku di sini? Bu-bukankah Mas di Jakarta?” tanyanya heran penuh tanya. Aku mengangkat salah satu sudut bibirku sambil menatapnya hiba. Namun, teringat kembali semua kelakuannya yang tak berubah aku kembali merasa miris.“Kau masih tidak berubah, Vo. Mengapa kau masih berusaha menyakiti Viona?” ta
Bab 60Hari ini Mama dan Papa akan datang menjenguk Divo. Aku sengaja tidak bekerja hari ini, karena telah berjanji menemani Divo dan bertemu dengan Mama Papa di rumah sakit, sekalian menjenguk Bayu di ruangannya.Aku melangkah pasti menuju ruang perawatan Divo dengan langkah tenang. Kuhela napas ringan, kala berdiri tepat di depan pintu bertuliskan Kenanga Room itu. kutekan handle pintu dan mendorongnya pelan. Pemandangan tubuh Divo yang terbaring lemah, langsung menjadi pemandangan awal yang kulihat. Aku maju beberapa langkah dan berbalik menutup pintu. Kemudian, mendekati tubuh Divo yang terbaring di ranjang. Adik angkatku itu ternyata sudah bangun. Dua netranya menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan tatapan aneh.Aku langsung memposisikan diri duduk di sampingnya dan menatap ke arahnya. Baru saja bobot kuhenyakkan di kursi, baru aku sadari, wajah Divo ternyata memerah dan menegang. Sepuluh jemarinya meremas sisi tempat tidur denga
Bab 61Viona menatapku dengan iris coklatnya yang membuat aku bergeming beberapa saat. “Ah! please, Viona. Biarkan aku bisa melupakanmu.”“M-mas Dion?”ucapnya.Aku terpaku menatap wajah itu. Betapa aku ingin memeluknya dan mengatakan padanya, bahwa aku rindu. Wajah lembutnya berubah sendu. Seakan ingin meluapkan kesedihan di sana. Ah! tidak! Aku tidak boleh membiarkan hatiku serapuh ini. yang akan membuat kekacauan yang beruntun. Banyak orang-orang yang akan terluka bila aku seegois ini.“Apa khabar, Viona?” ucapku menetralkan diri. Kuberikan ia sebuah senyuman yang tenang, sebagai sebuah isyarat, bahwa aku baik-baik saja. Meski tidak dengan hatiku. Viona membuang pandangan dariku. Sepertinya, ia juga sedang berupaya menetralkan hati. Kemudian, percakapan demi percakapan pun mengalir. Sepertinya, ia benar-benar telah melupakanku dan menerima kehadiran Fery. Syukurlah!“Mimi kenal Om Baik juga?
Seperti kesepakatanku dengan Mama. Aku akan memberikan ketenangan buat semua orang. Aku akan menghilang dari kehidupan mereka. Namun, sebelumnya ada yang ingin aku lakukan. Aku harus menemui seseorang yang sangat dirugikan dalam masalah ini. Bagaimanapun itu, aku adalah orang yang bertanggung jawab atas rasa sakit yang ia dapatkan.Kudatangi rumah sakit tempat Dokter Venya bertugas. Berita yang kudapat dari Mas Dion semalam, Mbak Venya tidak di tempat. Ia keluar negeri beberapa hari lalu. Aku akan ke sana menemui suster Rani yang sejak aku menjaga Bayu di rumah sakit, kami juga sudah saling dekat. Ia tahu, aku adalah mantan ipar calon tunangan Dokter Venya.Kulangkahkan kaki kembali di rumah sakit tempat Bayu pernah di rawat dan mencari keberadaan Mbak Rani. Aku menanyakannya di front office. Sangat kebetulan sekali, Mbak Rani sedang bertugas dan sedang berada di ruang perawat bagian interne. Aku menghampirinya ke sana.Sampa
Ia menundukkan wajah sambil tersenyum tipis. Wajah riang yang sedari tadi aku lihat tergurat di wajah cantiknya sirna seketika. Ia masih bungkam, bahkan memalingkan wajah ke samping tepat ke sekat kaca yang membatasi ruang ini dengan pemandangan di luar sana. Aku merasa bersalah dengannya. Namun, bukankah itu tujuan aku menemuinya?“Mbak,” ucapku dengan suara pelan dan sangat berhati-hati. “Aku minta maaf telah mengacaukan hubungan kalian,” sambungku lagi. lagi-lagi wanita cantik itu tersenyum sesudah mendengkus dan menekurkan wajah.“Bukan kamu yang salah, Vi. Aku yang terlalu bucin. Aku pikir keadaan bisa berubah,” ucapnya yang membuatku mengernyitkan dahi.“Maaf, Mbak. maksudnya apa?’Ia mengangkat wajahnya sambil menghembuskan napas berat. Kemudian menatap nanar kea rah belakangku, seakan ia sedang masuk dalam dunia lain yang tak terlihat olehku.“Aku mencintainya
“Kupikir kalian harus bersatu,” ucapnya lagi yang membuat aku makin terkejut.“Tapi, Mbak!” cekalku.“Kau tidak ingin kehilangan orang yang kau sayangi, kan?” tanyanya kemudian.“Mbak! Tapi, bukan itu maksudku datang ke sini,” ujarku. Mbak Venya menghentikan gerakannnya dan menatapku kembali. Aku sungguh malu dengan kebesaran hati Mbak Venya yang luar biasa. Mana ada orang yang bisa bersikap seperti dirinya saat sekarang ini.“Maksudku, aku sudah melupakan semua itu, Mbak. Semua itu hanya kesalahan. Aku malu sama Mbak,” ucapku kemudian. Mbak Venya kembali tersenyum. Ia meletakkan sendok dan garpu yang ada di tangannya ke sisi piring. Kemudian menatapku dengan raut tenang. “Siapa yang bisa menyalahkan rasa. Aku juga sama seperti kamu. Bego, orang bilang! Masih bertahan dengan rasa yang kumiliki. Sementara di sekelilingku, entah berapa orang yang berharap aku membu
Lelaki itu mendekat dengan tatapan tenangnya. Kemudian, terdiam di hadapanku yang menatap padanya. Ia kemudian tersenyum samar.“Hai, Vi. Bolehkan aku duduk di sini?” tanyanya. Aku mengangguk pelan dan untuk ia duduk di semeja denganku dan Mas Feri. Ia menarik kursi yang ada di sampingku dan duduk di sana. Kemudian menatap Mas Feri yang masih terdiam.“Maaf, Fer. Aku ke sini cuma ingin tahu tentang Venya,” ucapnya kemudian sambil menatap Mas Feri.“No problem! Toh! Antara kita sudah tidak keterikatan apa-apa. Lu bisa melakukan apapun. Viona berhak menentukan dengan siapa ia bicara,” sahut Mas Feri. Ia kemudian bangkit.“Ohya, Maaf. Aku masih ada pekerjaan. Kalian bicaralah. Aku permisi dulu,” ucap Mas Feri kemudian. Ia lalu berlalu dari hadapan kami, meninggalkanku dan Mas Dion di meja ini.“Vi, kau bicara dengan Venya?” tanyanya setelah kami terdiam
“Mi, kita kemana cih? Kok naik mobil becal begini?” tanya Bayu ketika mobil besar yang kami tumpangi melaju di jalanan lintas provinsi itu. Bayu kebingungan, karena memang tak pernah kubawa pulang ke kampung halamanku yang tidak ada bandaranya. Kampung halamanku hanyalah sebuah pulau kecil yang indah, yang dipenuhi lokasi wisata dengan destinasi yang memanjakan mata. Namun, sayang, belum ada bandara di sana.Untuk bisa ke pulau itu, aku hanya bisa menggunakan bus. Kemudian disambung dengan kapal kecil. Bayu yang belum pernah melihatnya sama sekali, sangat terpesona dengan perjalanan kami. Ia tak hentinya tersenyum sepanjang waktu. Ia begitu antusias melihat semua itu. Sementara, aku terkantuk-kantuk di sampingnya yang terus berceloteh.“Mi, kita mau ke kampung Mimi? Kampung itu apa?”Aku kembali membuka mata yang mulai terpejam, saat mendengar pertanyaan Bayu itu. Ia ternyata tidak tertidur sama sekali. Perjalanan kami yang sudah berlanju
Beberapa saat menunggu, akhirnya sebuah mobil Avanza keluaran lama muncul dari gerbang masuk. Mas Danny melangkah beberapa langkah mendekat sambil melirik ke mobil itu. kaca mobil terbuka, seraut wajah melongok di sana. Kemudian mobil berhenti di hadapan kami. Laki-laki yang tadinya berada di balik kemudi menyerahkan kunci mobil pada Mas Danny. “Sekalian, gue isikan bahan bakar tadi. Ada apaan, sih? Masa’, malam pertama lu masih ada urusan emergency begini?” tanya lelaki itu. “Saudara bini gue masuk rumah sakit, Gem. Sedang darurat,” sahut Mas Danny. Lelaki itu menoleh padaku dan mengangguk sopan. Aku membalasnya dengan senyum sungkan. “Okey! Hati-hati, ya? Mobil gue udah tua. Kebetulan yang stand by tinggal ini. Take care.” Habis berkata begitu lelaki itu berpamitan dan menaiki sebuah motor yang sudah menantinya di gerbang hotel. Mas Danny kemudian mengajakku naik ke mobil. Mobil pun melaju keluar dari pelataran. Belum beberapa menit
Semua telah usai, juga pestaku. Malam ini kami sekeluarga masih menginap di hotel ini, termasuk aku dan Mas Danny yang mendapat kamar khusus penganten. Aku yang masih dibingungkan dengan kejadian tadi siang masih terpana memikirkan semua yang terjadi. Sementara, Mas Danny masih sedang membereskan diri di kamar mandi yang ada di room penganten tempat kami menghabiskan malam ini.Mas Danny keluar sambil mengibaskan handuk berwarna putih bersih di rambutnya yang basah. Tubuh berototnya yang hanya tertutup sebatas pinggang membuat aku sedikit merasakan sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan. Tubuh tinggi itu benar-benar sempurna dan penuh pesona.“Hai! Ngapain bengong? Kaget melihat tubuh suami sendiri?” ujarnya mengejutkan lamunanku. Aku yang duduk di bibir ranjang ukuran king size itu segera mengalihkan pandangan sambil tersipu. Wajahku memerah kurasa. Masih sempat kulihat senyum terkembang di wajah tampan itu.Detik berikutnya aku terkejut saat merasakan
Hari pernikahanku dengan Mas Danny, sekaligus resepsi pernikahan akhirnya datang juga. Semua persiapan sudah sangat rampung. Seluruh dekorasi dan segala pernak pernik pernikahan telah tertata dengan indah di ball room hotel yang cukup luas itu. Aku duduk anggun di kursi penganten yang diapit Mas Danny dan Mama yang tak henti tersenyum sumringah menatapi suasana pesta yang cukup elegan ini. Sementara aku juga ikut menatapi suasana pesta yang terkesan lumayan akbar itu dari tempat aku duduk.Menatapi suasana pesta dengan dekorasi interior bernuansa out door itu membuat rasa haruku bermunculan. Tatanan yang didominasi warna putih dipadu cream dan lumut itu sangat menyejukkan mata. Semua persiapan ini hanya inisiatif Mas Danny tanpa sepengetahuanku. Aku salut dengan nilai estetika yang dia miliki. Iringan Sound system ruangan yang menyentuh telinga dengan kekuatan yang nyaman untuk di dengar membuat aku kian terbuai. Aku merasa sangat beruntung bisa menjadi ratu di pesta in
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia
“Ma!” ucapku tanpa menoleh pada Mama. “Mama kenal ‘kan sama Tante Widia Anggita? Putri tunggal Bapak Baskoro, teman SMA Mama dulu!” ucapku dengan nada dingin.Ada api benci yang tiba-tiba menjalar mengingat apa yang pernah Mama lakukan dulu, sehngga aku juga mendapatkan hal yang sama dalam hidupku ini. Namun, yang paling aku benci, aku tidak suka penjahat wanita itu ternyata mamaku. Aku benci mengingat rasa sakit yang Mama Mbak Venya rasakan dahulu. Aku benci mengingat kakakku yang baik itu sekian lama harus meredam rasa sakit karena orang yang kupanggil Mama ini.Tak ada jawaban yang bisa aku dengar dari mulut Mama. Hanya suara hening malam yang kian beranjak. Aku menoleh ke arah Mama, setelah beberapa detik jawaban yang kunanati tak kunjung ada. Kutatapi Mama yang terdiam dengan wajah terpekur ke lantai dengan wajah sendu. Aku ikut terpaku menatapnya.“Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada hubungan apa Mama sama Tante Wd
Usai menjaga Mbak Venya beberapa hari dan sempat juga menjaga bayinya di ruang rawat bayi, aku kembali ke rumah. Usaha yang telah hampir semnggu kutinggalkan tidak kuketahui lagi bagaimana perkembangannya. Kepulanganku ke kampung halaman yang sempat kuberitahukan pada Mama, ternyata juga diketahui oleh Mas Danny. Sesampai di rumah, aku sudah disambut dengan kehadirannya di ruang tamuku. Ia menatapku dengan wajah tenang. Seonggok undangan pernkahan telah tergeletak di atas meja tamuku. Aku menatapinya dengan keheranan .“Mas Danny?” tanyaku dengan langkah terhenti beberapa langkah dari pintu rumahku. Bayu yang langsung riang melihat kemunculan Mama di pintu pembatas ruang tamu dan ruang tengah, langsung saja melepaskan genggamanku. Ia memeluk Mama dengan hangat yang dibalas Mama dengan manis pula.“Sayang, cucu Oma. Oma kangen,” ucap Mama sambil memeluk Bayu. Kemudian membawa Bayu ke dalam, meninggalkan aku dan Mas Danny yang masih menatapku deng
“Vi, Mbak senang kamu masih di sini,” ucap Mbak Venya kala aku mendampinginya saat ia sudah berada di tempat yang baru. Ia mash terlihat lemah. Namun, beberapa selang sudah tidak terpasang di tubuhnya. Mas Dion duduk di sisi kanannya, sementara aku berada di sisi kiri. Ia tersenyum padaku kemudian pada Mas Dion.“Aku ingin Mbak cepat sembuh,” ujarku. Ia kembali tersenyum padaku. Mas Dion meraih jemarinya dan mengusap punggung tangan Mbak Venya.“Mengapa kamu selalu berusaha menyembunyikan semua dariku, Ve? Bukankah aku suamimu, aku berhak tahu tentang semuanya,” sela Mas Dion dengan tatapan penuh kasih. Mbak Venya kembali tersenyum.“Aku cuma tidak anak keberadaan anak kita terancam, Mas. Aku ingin bayi kita baik-baik saja,” sambungnya lagi. Mas Dion bangkit dari duduknya dan mengecup kening Mbak Venya hangat. Kemudian, kembali duduk di bangku yang ada di samping ranjang Mbak Venya. Mbak Venya memejamkan mata
Seorang lelaki berwajah tampan dan bertubuh tegap melangkah ke arahku dan Mas Dion. Lelaki yang ditemani wanita paruh baya itu berbelok dari persimpangan yang ada di belakangku. Ternyata ia melihatku ketika melangkah melintasi persimpangan itu. Karena ia berasal dari arah kiriku. Wajahnya terlihat menahan geram menatapku kemudian Mas Dion yang ada di sampingku. Sementara, wanita yang berjalan di sampingnya menatap dengan wajah tegang. Wanita itu bermata sembab dan berusaha menahan lengan lelak itu. Tanpa di duga, sebuah bogem mentah mendarat di pipi Mas Dion yang tetap menatapnya tenang.Aku terperanjat melihat hal itu. Demikian juga wanita yang ada di sebelahnya. Ia bahkan sempat berteriak ketika lelaki itu mendekat dan melayangkan sebuah pukulan di wajah Mas Dion. Seakan ingin menghentikan gerakan lelaki yang ada di sampingnya. Sementara, Bayu yang berada di sampingku juga tak luput dari keterkejutan. Ia terlihat ketakutan dan berbalik menyembunyikan wajah di tubuhku