POV Dion
Ruang besar yang dipenuhi desain interior yang megah ini sangat sepi. Hanya ada aku, berdiam di balik kaca besar dengan rasa yang selalu kembali, setelah berusaha kuhilangkan selama dua tahun belakangan. Menatapi pemandangan pantai yang ada di hadapanku, menyeretku kembali ke lorong waktu, pada masa dua tahun silam, saat terakhir kulihat tatapan sendu mata bermanik coklat seorang wanita untuk terakhir kalinya, sebelum aku memutuskan pergi dan menghilang.
Kutatapi pemandangan pantai yang luas itu sambil memasukkan satu tangan ke saku celana. Suasana pantai selalu saja menyejukkan hatiku. Memandangi situasi pantai dari lantai empat gedung perusahaan tempatku bekerja ini, aku serasa sedang di sana, di antara orang-orang yang sedang bercengkerama dengan angin dan ombak pantai. Aku seakan ikut merasakan hembusan angin sejuk di pori-poriku. Indera pendengaranku seakan menyentuh debur ombak yang menggelisik menghempas gelomb
POV : DionBelum berapa lama kami saling terdiam dengan pikiran masing-masing, Aku dikejutkan dengan dering suara handphone-ku yang berputar di atas meja. Aku menoleh dan meraihnya. Kulihat sebuah nama tertera di sana. Setelah lebih dari seminggu ia tak lagi memberi kabar padaku, pagi ini ia kembali menghubungiku. Ia memang selalu menghubungiku, memberikan khabar yang selalu kutunggu tentang Viona. Aku sengaja tidak memulai kontak terlebih dahulu, takut bila ia sedang berada di dekat Viona.“Hallo, Fer! Tumben nelpon pagi begini. Ada apa?” tanyaku dengan nada tenang. Feri berdecak seperti orang menahan rasa kesal di seberang sana. Aku jadi penasaran dengan apa yang sedang ia kesalkan saat ini.“Yon, lu udah tau, kan? Divo sekarang berada di sini?” tanyanya tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Meskipun itu tak terlihat olehnya.“Iya, aku tahu! Ia sempat menghubungi Bagas—teman kita—ketika baru sampai di s
“M-mas!”Divo begitu kaget melihat kehadiranku di ruang rawatnya. Aku berdiri di sisi ranjangnya ketika tak berapa lama setelah ia sadarkan diri. Aku memposisikan diri tepat di sampingnya malam itu. Duduk di kursi samping ranjang Divo. Kutatapi balutan perban di kepala dan kakinya yang menggantung. Kudengar dari Venya, luka kepalanya tidak begitu serius. Namun, luka kaki yang sempat terjepit di antara dashboard dan bangku kemudi membuat banyak syarat dan otot yang terputus. Tulangnya hancur tak berbentuk. Sehingga kaki kirnya itu harus diamputasi hingga batas atas lutut. Aku miris melihat kondisinya itu.“Ba-bagaimana M-mas bisa tahu a-aku di sini? Bu-bukankah Mas di Jakarta?” tanyanya heran penuh tanya. Aku mengangkat salah satu sudut bibirku sambil menatapnya hiba. Namun, teringat kembali semua kelakuannya yang tak berubah aku kembali merasa miris.“Kau masih tidak berubah, Vo. Mengapa kau masih berusaha menyakiti Viona?” ta
Bab 60Hari ini Mama dan Papa akan datang menjenguk Divo. Aku sengaja tidak bekerja hari ini, karena telah berjanji menemani Divo dan bertemu dengan Mama Papa di rumah sakit, sekalian menjenguk Bayu di ruangannya.Aku melangkah pasti menuju ruang perawatan Divo dengan langkah tenang. Kuhela napas ringan, kala berdiri tepat di depan pintu bertuliskan Kenanga Room itu. kutekan handle pintu dan mendorongnya pelan. Pemandangan tubuh Divo yang terbaring lemah, langsung menjadi pemandangan awal yang kulihat. Aku maju beberapa langkah dan berbalik menutup pintu. Kemudian, mendekati tubuh Divo yang terbaring di ranjang. Adik angkatku itu ternyata sudah bangun. Dua netranya menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan tatapan aneh.Aku langsung memposisikan diri duduk di sampingnya dan menatap ke arahnya. Baru saja bobot kuhenyakkan di kursi, baru aku sadari, wajah Divo ternyata memerah dan menegang. Sepuluh jemarinya meremas sisi tempat tidur denga
Bab 61Viona menatapku dengan iris coklatnya yang membuat aku bergeming beberapa saat. “Ah! please, Viona. Biarkan aku bisa melupakanmu.”“M-mas Dion?”ucapnya.Aku terpaku menatap wajah itu. Betapa aku ingin memeluknya dan mengatakan padanya, bahwa aku rindu. Wajah lembutnya berubah sendu. Seakan ingin meluapkan kesedihan di sana. Ah! tidak! Aku tidak boleh membiarkan hatiku serapuh ini. yang akan membuat kekacauan yang beruntun. Banyak orang-orang yang akan terluka bila aku seegois ini.“Apa khabar, Viona?” ucapku menetralkan diri. Kuberikan ia sebuah senyuman yang tenang, sebagai sebuah isyarat, bahwa aku baik-baik saja. Meski tidak dengan hatiku. Viona membuang pandangan dariku. Sepertinya, ia juga sedang berupaya menetralkan hati. Kemudian, percakapan demi percakapan pun mengalir. Sepertinya, ia benar-benar telah melupakanku dan menerima kehadiran Fery. Syukurlah!“Mimi kenal Om Baik juga?
Seperti kesepakatanku dengan Mama. Aku akan memberikan ketenangan buat semua orang. Aku akan menghilang dari kehidupan mereka. Namun, sebelumnya ada yang ingin aku lakukan. Aku harus menemui seseorang yang sangat dirugikan dalam masalah ini. Bagaimanapun itu, aku adalah orang yang bertanggung jawab atas rasa sakit yang ia dapatkan.Kudatangi rumah sakit tempat Dokter Venya bertugas. Berita yang kudapat dari Mas Dion semalam, Mbak Venya tidak di tempat. Ia keluar negeri beberapa hari lalu. Aku akan ke sana menemui suster Rani yang sejak aku menjaga Bayu di rumah sakit, kami juga sudah saling dekat. Ia tahu, aku adalah mantan ipar calon tunangan Dokter Venya.Kulangkahkan kaki kembali di rumah sakit tempat Bayu pernah di rawat dan mencari keberadaan Mbak Rani. Aku menanyakannya di front office. Sangat kebetulan sekali, Mbak Rani sedang bertugas dan sedang berada di ruang perawat bagian interne. Aku menghampirinya ke sana.Sampa
Ia menundukkan wajah sambil tersenyum tipis. Wajah riang yang sedari tadi aku lihat tergurat di wajah cantiknya sirna seketika. Ia masih bungkam, bahkan memalingkan wajah ke samping tepat ke sekat kaca yang membatasi ruang ini dengan pemandangan di luar sana. Aku merasa bersalah dengannya. Namun, bukankah itu tujuan aku menemuinya?“Mbak,” ucapku dengan suara pelan dan sangat berhati-hati. “Aku minta maaf telah mengacaukan hubungan kalian,” sambungku lagi. lagi-lagi wanita cantik itu tersenyum sesudah mendengkus dan menekurkan wajah.“Bukan kamu yang salah, Vi. Aku yang terlalu bucin. Aku pikir keadaan bisa berubah,” ucapnya yang membuatku mengernyitkan dahi.“Maaf, Mbak. maksudnya apa?’Ia mengangkat wajahnya sambil menghembuskan napas berat. Kemudian menatap nanar kea rah belakangku, seakan ia sedang masuk dalam dunia lain yang tak terlihat olehku.“Aku mencintainya
“Kupikir kalian harus bersatu,” ucapnya lagi yang membuat aku makin terkejut.“Tapi, Mbak!” cekalku.“Kau tidak ingin kehilangan orang yang kau sayangi, kan?” tanyanya kemudian.“Mbak! Tapi, bukan itu maksudku datang ke sini,” ujarku. Mbak Venya menghentikan gerakannnya dan menatapku kembali. Aku sungguh malu dengan kebesaran hati Mbak Venya yang luar biasa. Mana ada orang yang bisa bersikap seperti dirinya saat sekarang ini.“Maksudku, aku sudah melupakan semua itu, Mbak. Semua itu hanya kesalahan. Aku malu sama Mbak,” ucapku kemudian. Mbak Venya kembali tersenyum. Ia meletakkan sendok dan garpu yang ada di tangannya ke sisi piring. Kemudian menatapku dengan raut tenang. “Siapa yang bisa menyalahkan rasa. Aku juga sama seperti kamu. Bego, orang bilang! Masih bertahan dengan rasa yang kumiliki. Sementara di sekelilingku, entah berapa orang yang berharap aku membu
Lelaki itu mendekat dengan tatapan tenangnya. Kemudian, terdiam di hadapanku yang menatap padanya. Ia kemudian tersenyum samar.“Hai, Vi. Bolehkan aku duduk di sini?” tanyanya. Aku mengangguk pelan dan untuk ia duduk di semeja denganku dan Mas Feri. Ia menarik kursi yang ada di sampingku dan duduk di sana. Kemudian menatap Mas Feri yang masih terdiam.“Maaf, Fer. Aku ke sini cuma ingin tahu tentang Venya,” ucapnya kemudian sambil menatap Mas Feri.“No problem! Toh! Antara kita sudah tidak keterikatan apa-apa. Lu bisa melakukan apapun. Viona berhak menentukan dengan siapa ia bicara,” sahut Mas Feri. Ia kemudian bangkit.“Ohya, Maaf. Aku masih ada pekerjaan. Kalian bicaralah. Aku permisi dulu,” ucap Mas Feri kemudian. Ia lalu berlalu dari hadapan kami, meninggalkanku dan Mas Dion di meja ini.“Vi, kau bicara dengan Venya?” tanyanya setelah kami terdiam