Bab 61
Viona menatapku dengan iris coklatnya yang membuat aku bergeming beberapa saat. “Ah! please, Viona. Biarkan aku bisa melupakanmu.”
“M-mas Dion?”ucapnya.
Aku terpaku menatap wajah itu. Betapa aku ingin memeluknya dan mengatakan padanya, bahwa aku rindu. Wajah lembutnya berubah sendu. Seakan ingin meluapkan kesedihan di sana. Ah! tidak! Aku tidak boleh membiarkan hatiku serapuh ini. yang akan membuat kekacauan yang beruntun. Banyak orang-orang yang akan terluka bila aku seegois ini.
“Apa khabar, Viona?” ucapku menetralkan diri. Kuberikan ia sebuah senyuman yang tenang, sebagai sebuah isyarat, bahwa aku baik-baik saja. Meski tidak dengan hatiku. Viona membuang pandangan dariku. Sepertinya, ia juga sedang berupaya menetralkan hati. Kemudian, percakapan demi percakapan pun mengalir. Sepertinya, ia benar-benar telah melupakanku dan menerima kehadiran Fery. Syukurlah!
“Mimi kenal Om Baik juga?
Seperti kesepakatanku dengan Mama. Aku akan memberikan ketenangan buat semua orang. Aku akan menghilang dari kehidupan mereka. Namun, sebelumnya ada yang ingin aku lakukan. Aku harus menemui seseorang yang sangat dirugikan dalam masalah ini. Bagaimanapun itu, aku adalah orang yang bertanggung jawab atas rasa sakit yang ia dapatkan.Kudatangi rumah sakit tempat Dokter Venya bertugas. Berita yang kudapat dari Mas Dion semalam, Mbak Venya tidak di tempat. Ia keluar negeri beberapa hari lalu. Aku akan ke sana menemui suster Rani yang sejak aku menjaga Bayu di rumah sakit, kami juga sudah saling dekat. Ia tahu, aku adalah mantan ipar calon tunangan Dokter Venya.Kulangkahkan kaki kembali di rumah sakit tempat Bayu pernah di rawat dan mencari keberadaan Mbak Rani. Aku menanyakannya di front office. Sangat kebetulan sekali, Mbak Rani sedang bertugas dan sedang berada di ruang perawat bagian interne. Aku menghampirinya ke sana.Sampa
Ia menundukkan wajah sambil tersenyum tipis. Wajah riang yang sedari tadi aku lihat tergurat di wajah cantiknya sirna seketika. Ia masih bungkam, bahkan memalingkan wajah ke samping tepat ke sekat kaca yang membatasi ruang ini dengan pemandangan di luar sana. Aku merasa bersalah dengannya. Namun, bukankah itu tujuan aku menemuinya?“Mbak,” ucapku dengan suara pelan dan sangat berhati-hati. “Aku minta maaf telah mengacaukan hubungan kalian,” sambungku lagi. lagi-lagi wanita cantik itu tersenyum sesudah mendengkus dan menekurkan wajah.“Bukan kamu yang salah, Vi. Aku yang terlalu bucin. Aku pikir keadaan bisa berubah,” ucapnya yang membuatku mengernyitkan dahi.“Maaf, Mbak. maksudnya apa?’Ia mengangkat wajahnya sambil menghembuskan napas berat. Kemudian menatap nanar kea rah belakangku, seakan ia sedang masuk dalam dunia lain yang tak terlihat olehku.“Aku mencintainya
“Kupikir kalian harus bersatu,” ucapnya lagi yang membuat aku makin terkejut.“Tapi, Mbak!” cekalku.“Kau tidak ingin kehilangan orang yang kau sayangi, kan?” tanyanya kemudian.“Mbak! Tapi, bukan itu maksudku datang ke sini,” ujarku. Mbak Venya menghentikan gerakannnya dan menatapku kembali. Aku sungguh malu dengan kebesaran hati Mbak Venya yang luar biasa. Mana ada orang yang bisa bersikap seperti dirinya saat sekarang ini.“Maksudku, aku sudah melupakan semua itu, Mbak. Semua itu hanya kesalahan. Aku malu sama Mbak,” ucapku kemudian. Mbak Venya kembali tersenyum. Ia meletakkan sendok dan garpu yang ada di tangannya ke sisi piring. Kemudian menatapku dengan raut tenang. “Siapa yang bisa menyalahkan rasa. Aku juga sama seperti kamu. Bego, orang bilang! Masih bertahan dengan rasa yang kumiliki. Sementara di sekelilingku, entah berapa orang yang berharap aku membu
Lelaki itu mendekat dengan tatapan tenangnya. Kemudian, terdiam di hadapanku yang menatap padanya. Ia kemudian tersenyum samar.“Hai, Vi. Bolehkan aku duduk di sini?” tanyanya. Aku mengangguk pelan dan untuk ia duduk di semeja denganku dan Mas Feri. Ia menarik kursi yang ada di sampingku dan duduk di sana. Kemudian menatap Mas Feri yang masih terdiam.“Maaf, Fer. Aku ke sini cuma ingin tahu tentang Venya,” ucapnya kemudian sambil menatap Mas Feri.“No problem! Toh! Antara kita sudah tidak keterikatan apa-apa. Lu bisa melakukan apapun. Viona berhak menentukan dengan siapa ia bicara,” sahut Mas Feri. Ia kemudian bangkit.“Ohya, Maaf. Aku masih ada pekerjaan. Kalian bicaralah. Aku permisi dulu,” ucap Mas Feri kemudian. Ia lalu berlalu dari hadapan kami, meninggalkanku dan Mas Dion di meja ini.“Vi, kau bicara dengan Venya?” tanyanya setelah kami terdiam
“Mi, kita kemana cih? Kok naik mobil becal begini?” tanya Bayu ketika mobil besar yang kami tumpangi melaju di jalanan lintas provinsi itu. Bayu kebingungan, karena memang tak pernah kubawa pulang ke kampung halamanku yang tidak ada bandaranya. Kampung halamanku hanyalah sebuah pulau kecil yang indah, yang dipenuhi lokasi wisata dengan destinasi yang memanjakan mata. Namun, sayang, belum ada bandara di sana.Untuk bisa ke pulau itu, aku hanya bisa menggunakan bus. Kemudian disambung dengan kapal kecil. Bayu yang belum pernah melihatnya sama sekali, sangat terpesona dengan perjalanan kami. Ia tak hentinya tersenyum sepanjang waktu. Ia begitu antusias melihat semua itu. Sementara, aku terkantuk-kantuk di sampingnya yang terus berceloteh.“Mi, kita mau ke kampung Mimi? Kampung itu apa?”Aku kembali membuka mata yang mulai terpejam, saat mendengar pertanyaan Bayu itu. Ia ternyata tidak tertidur sama sekali. Perjalanan kami yang sudah berlanju
Senin, 02 maret 2020Pagi ini, setelah semua sisi toko telah bersih dan rapi dengan bantuan dua karyawanku, aku kembali mengambil posisi di meja kasir seperti hari-hari sebelumnya. Menanti kedatangan tamu-tamu yang semoga saja memberikan keuntungan besar untuk usahaku hari ini.Hampir seminggu sejak Vyu Mart dibuka, aku telah berhasil menyisihkan uang untuk ditabung, di luar uang yang kuputarkan kembali untuk memperbaharui barang-barang di Vyu Mart. Aku bangga, walau di keluargaku tidak mengalir darah dagang. Nyatanya berkat D-Vion, aku merasa cukup mahir berniaga. Hal itu membuat aku cukup senang. Setidaknya, masih ada memory positif yang aku dapat selama di ibu kota,Namun sama seperti tahun-tahun lalu, aku tetap tidak memiliki teman untuk sekedar tertawa dan bercanda. Hidupku masih seperti dulu, tertutup dari dunia luar. Apakah ini takdirku sebagai Viona yang sangat pendiam? Aku bahkan tak mempunyai teman lama untu
Bab 68BangkitHari ini aku sudah merasa cukup lapang. Aku merasa sudah siap memulai hari-hariku ke depan dengan lebih baik. Aku ingin memulainya kembali, meraih kebahagiaan dengan cara berbeda. Bukankah hidup itu hanya sekali? Aku harus bisa memberikan yang terbaik untuk hidupku. Lupakan apa pun yang membuat hati ini terluka.Janji reunianku dengan Vanny, Dira dan Monty akhirnya terjadi juga. Aku sengaja meminta Mama bisa menggantikanku di Vyu Mart. Mengawasi karyawan yang kuperbantukan di sana. Mama menyuport langkahku. Sepertinya, ia senang aku mau membuka diri dengan teman-teman. Sehingga, aku bisa sedikit lebih memanjakan hati.Kami janjian di sebuah tempat untuk bertemu. Namun setelah bertemu, Dira malah mengajak kami ke pantai. Tempat yang awalnya ditolak Monty yang masih melajang dan masih menikmati hari-hari cerianya.“Please, guess. Gue pengen muda lagi ini. capek tau, selalu direpotin anak banyak. Kalian ngerti, ya?&r
Sejak saat itu, kami jadi sering bertemu. Terlebih Vanny yang ternyata lokasi tinggalnya tidak seberapa jauh dari rumahku. Seperti kali ini, ia kembali bertandang ke rumahku. Lagi-lagi aku minta izin Mama menggantikan aku mengawasi toko. Aku menjamu Fanny di rumah. Kebetulan, aku juga habis menjemput Bayu. Bayu yang mungkin kecapean, langsung tertidur saat pulang sekolah. Aku menjamu Vanny di ruang tamu rumah mamaku.Vanny sangat penasaran dengan sosok Mas Dion yang kukatakan mirip dengan kakaknya. Ia tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Sampai akhirnya, ia melihat dengan mata kepala sendiri.“Benar-benar mirip!’ ujarnya dengan wajah kaget. Ia terus mematut lelaki yang ada di gawaiku itu. Sebelum akuhirnya kembali memberikannya kembali padaku."Kok bisa, ya?” tanyanya sambil“Makanya, Van. Serius, gue kaget banget kemaren,” ucapku.Sejurus kemudian, Fanny kembali menatapku. Namun makin lama, tatapan itu