“Mi, kita kemana cih? Kok naik mobil becal begini?” tanya Bayu ketika mobil besar yang kami tumpangi melaju di jalanan lintas provinsi itu. Bayu kebingungan, karena memang tak pernah kubawa pulang ke kampung halamanku yang tidak ada bandaranya. Kampung halamanku hanyalah sebuah pulau kecil yang indah, yang dipenuhi lokasi wisata dengan destinasi yang memanjakan mata. Namun, sayang, belum ada bandara di sana.
Untuk bisa ke pulau itu, aku hanya bisa menggunakan bus. Kemudian disambung dengan kapal kecil. Bayu yang belum pernah melihatnya sama sekali, sangat terpesona dengan perjalanan kami. Ia tak hentinya tersenyum sepanjang waktu. Ia begitu antusias melihat semua itu. Sementara, aku terkantuk-kantuk di sampingnya yang terus berceloteh.
“Mi, kita mau ke kampung Mimi? Kampung itu apa?”
Aku kembali membuka mata yang mulai terpejam, saat mendengar pertanyaan Bayu itu. Ia ternyata tidak tertidur sama sekali. Perjalanan kami yang sudah berlanju
Senin, 02 maret 2020Pagi ini, setelah semua sisi toko telah bersih dan rapi dengan bantuan dua karyawanku, aku kembali mengambil posisi di meja kasir seperti hari-hari sebelumnya. Menanti kedatangan tamu-tamu yang semoga saja memberikan keuntungan besar untuk usahaku hari ini.Hampir seminggu sejak Vyu Mart dibuka, aku telah berhasil menyisihkan uang untuk ditabung, di luar uang yang kuputarkan kembali untuk memperbaharui barang-barang di Vyu Mart. Aku bangga, walau di keluargaku tidak mengalir darah dagang. Nyatanya berkat D-Vion, aku merasa cukup mahir berniaga. Hal itu membuat aku cukup senang. Setidaknya, masih ada memory positif yang aku dapat selama di ibu kota,Namun sama seperti tahun-tahun lalu, aku tetap tidak memiliki teman untuk sekedar tertawa dan bercanda. Hidupku masih seperti dulu, tertutup dari dunia luar. Apakah ini takdirku sebagai Viona yang sangat pendiam? Aku bahkan tak mempunyai teman lama untu
Bab 68BangkitHari ini aku sudah merasa cukup lapang. Aku merasa sudah siap memulai hari-hariku ke depan dengan lebih baik. Aku ingin memulainya kembali, meraih kebahagiaan dengan cara berbeda. Bukankah hidup itu hanya sekali? Aku harus bisa memberikan yang terbaik untuk hidupku. Lupakan apa pun yang membuat hati ini terluka.Janji reunianku dengan Vanny, Dira dan Monty akhirnya terjadi juga. Aku sengaja meminta Mama bisa menggantikanku di Vyu Mart. Mengawasi karyawan yang kuperbantukan di sana. Mama menyuport langkahku. Sepertinya, ia senang aku mau membuka diri dengan teman-teman. Sehingga, aku bisa sedikit lebih memanjakan hati.Kami janjian di sebuah tempat untuk bertemu. Namun setelah bertemu, Dira malah mengajak kami ke pantai. Tempat yang awalnya ditolak Monty yang masih melajang dan masih menikmati hari-hari cerianya.“Please, guess. Gue pengen muda lagi ini. capek tau, selalu direpotin anak banyak. Kalian ngerti, ya?&r
Sejak saat itu, kami jadi sering bertemu. Terlebih Vanny yang ternyata lokasi tinggalnya tidak seberapa jauh dari rumahku. Seperti kali ini, ia kembali bertandang ke rumahku. Lagi-lagi aku minta izin Mama menggantikan aku mengawasi toko. Aku menjamu Fanny di rumah. Kebetulan, aku juga habis menjemput Bayu. Bayu yang mungkin kecapean, langsung tertidur saat pulang sekolah. Aku menjamu Vanny di ruang tamu rumah mamaku.Vanny sangat penasaran dengan sosok Mas Dion yang kukatakan mirip dengan kakaknya. Ia tak percaya dengan apa yang aku ucapkan. Sampai akhirnya, ia melihat dengan mata kepala sendiri.“Benar-benar mirip!’ ujarnya dengan wajah kaget. Ia terus mematut lelaki yang ada di gawaiku itu. Sebelum akuhirnya kembali memberikannya kembali padaku."Kok bisa, ya?” tanyanya sambil“Makanya, Van. Serius, gue kaget banget kemaren,” ucapku.Sejurus kemudian, Fanny kembali menatapku. Namun makin lama, tatapan itu
Gila! Vanny benar-benar gadis gila seperti yang kukenal dulu. Ia dengan sengaja menyusun sebuah rencana untukku dan Mas Danny. Aku terjebak dengan ajakannya yang telah kuiyakan beberapa hari lalu. Ia berniat ingin mengajakku dan Bayu ke sebuah pulau lain yang mempunyai destinasi yang lebih memikat dengan pantai karang dan pasir putih serta airnya yang dangkal. Siapa sangka, ketika memasuki mobil miliknya, aku sudah dikejutkan dengan keberadaan Mas Danny dan Mas Rangga-suaminya yang tersenyum padaku. Terlebih Vanny, ia seakan tersenyum penuh kemenangan telah berhasil menjebakku. Ingin rasanya aku memukul dia saat itu juga. Tingkah kekanakkannya masih tidak berubah. Meski kami telah melewati masa SMA cukup lama. Aku hanya bisa menuruti rencananya itu dengan menahan geram. Namun, itulah Vanny, ia masih Vanny yang sama seperti yang kukenal dulu. Kami berwisata ke sebuah pulau yang cukup unik. Ia, Mas Rangga—suaminya, Mas Danny, Bayu dan aku menikmati pemandangan alam yang sangat
Akhirnya, hari ini aku menerima kedatangan Vanny dan keluarganya ke rumahku. Vanny, Mas Rangga, Mama, Papa Vanny serta Mas Danny, mereka kini ada di rumahku dengan tujuan yang sama dengan rencana Vanny semula, melamarku untuk menjadi pendampig Mas Danny. Papa dan Mama Mas Danny tidak keberatan meski bermenantukan aku yang telah memiliki seorang anak lelaki berusia tujuh tahun. Mereka bahkan sangat menyayangi Bayu. Mama Mas Danny senang ketika bertemu Bayu yang cerewet. Mereka gemas dengan semua jawaban yang diberikan Bayu ketika ditanya. Sehingga, gelak tawa pun menggelegar di rumahku itu.Demikian juga dengan mamaku. Mama ikut haru melihat aku kembali menemukan jodoh untuk kedua kalinya. Setelah, hampir lima bulan tinggal di kampung sebagai sigle parent yang bersedih. Beliau memelukku hangat dan menatapku haru, ketika sekilas ke dalam memanggilku yang sedang menyiapkan minuman untuk Vanny dan keluarganya.“Nak! Mama pikir, Al
Pagi ini aku kembali dengan aktivitas toko yang hampir dua minggu sering kutinggalkan. Jadwal pernikahanku masih tinggal satu setengah bulan lagi. Namun, sejak terakhir kejadian di rumah Vanny, aku sama sekali belum tahu perkembangan tentang Tante Meisya. Mas Danny dan Vanny pun belum memberi khabar apa-apa padaku. Entah apa yang terjadi dengan Tante Meisya saat itu.“San, tolong nanti cek setiap item barang sisa, ya? Mbak mau audit penjualan dan barang-barang kitai,” ucapku pada karyawanku Santi.“Iya, Mbak,” jawabnya sopan. Kemudian berlalu dari tempatnya berdiri tadi. Aku pun membuat rekapan penjualan dan barang sisa yang tercatat di computer. Menatapi computer yang ada di hadapanku itu dengan teliti, untuk mengevaluasi sejauh mana toko ini berkembang di tanganku, berapa laba dan kerugian yang ditimbulkan progress yang kujalani, sebagai bahan pertimbangan kebijakan di waktu mendatang.Namun, baru saja aku selesai mengedit beberapa item
{Vi, kapan kamu bisa menemami Tante ke sana?} Sebuah chat dari Tante Meisya mengawali pagiku kali ini. Belum kelar aku mempersiapkan diri untuk ke toko, aku sudah dikejutkan denga notifikasi dari Tante Meisya yang mendesak jawaban dariku. Ia sepertinya tidak sabar ingin mewujudkan niatnya bertemu dengan Mas Dion dan keluarga besarnya. Apakah ia sangat penasaran karena Mas Dion dan Mas Danny yang mirip? Aku membalas chat itu dengan perasaan yang berusaha kutenangkan. Meskipun sebagai calon menantu aku ingin memberikan yang terbaik untuk Tante Meisya, tapi aku belum bisa memberikan jawaban yang membuatnya bahagia. Aku masih bingung untuk ke sana. Padahal, Mbak Venya akan mengadakan syukuran kehamilannya. Sesungguhnya ini adalah event yang tepat untukku ke sana membawaTante Meisya. Namun masalahnya, apakah aku bisa menetralkan hati dalam kepura-puraan saat melihat mereka nanti? Aku bisa membayangkan adegan apa yang akan aku s
“Assalammualaikum, Vi,” suara serak dari seberanga yang sangat aku kenal terdengar begitu sendu, aku makin berdebar. “Bisakah kamu ke sini besok pagi.” ucapnya tertahan. “Venya membutuhkanku,” ucapnya lagi. aku makin gemetar mendengar itu. tak tahu apa maksud dari kalimatnya. Untuk apa ia menyuruhku menemui Mbak Venya. Namun, tidak ada kata yang bisa aku ucapkan karena suara dan kalimat yang terdengar lebih menarik perhatianku. Mengapa suara itu terdengar penuh kesedihan? Aku diam beberaoa saat, hingga akhirnya aku beranikan juga untuk berbicara balik padanya.“Ada apa, Mas?” tanyaku kemudian.“Venya kecelakaan sore tadi. Ia ingin ketemu denganmu. Semoga saja kau bersedia menemuinya,”Aku kembali terdiam. Terus terang aku syok mendengar berita itu. Kecelakan Mbak Venya dan keinginannya bertemu denganku. Haruskah aku bahagia? Tidak! Aku tidak sekurang ajar itu. Mbak Venya orang baik. Hanya saja kam