"Whoa... ada apa ini, Rio?" pekik Reynold saat membuka pintu ruangan, melihat dua pria bertubuh besar terkapar tak sadarkan diri.
"Ayo pergi sekarang!" kata Rio tegas, langsung mengajak semua orang keluar.
Sebelum Reynold bisa bertanya lebih lanjut, alarm gedung berbunyi nyaring. Lampu darurat menyala, dan langkah-langkah berat terdengar mendekat dari luar.
"Apa yang terjadi, Rio?" tanya Reynold panik, saat melihat gerombolan bersenjata muncul di balik pintu.
"Rio!!" teriak Axel sambil melepaskan tembakan ke udara. Peluru merobek atap, membuat serpihan jatuh menimpa orang-orang di dalam ruangan.
"Axel!" pekik Andini, menatap Rio dengan mata penuh ketakutan.
Alinda mengintip dari celah pintu, menghitung musuh yang menghadang. Dia meraih tas kecil di lantai, mengeluarkan senjata yang ada di dalam tasnya, kemudian merapat ke tembok, siap menyerang.
"Kalian berlindung di sana," katanya, menunjuk meja kerja Rio.
Saat mereka bergerak
Alinda terkesiap saat melihat foto di tangan Rio, seolah udara di sekitarnya mendadak membeku. Ada seseorang yang merekam momen itu tanpa suara—seperti bayangan gelap yang menyelinap di antara cahaya sunyi.Rio menatapnya dengan sorot mata curiga, api kemarahan mulai menjalar di dadanya bak bara yang ditiup angin. Tanpa ragu, dia melangkah maju, meraih leher Alinda dengan kedua tangannya, lalu mendorong tubuh itu ke tembok. Suara benturan keras memecah kesunyian, seperti guntur yang menyambar di tengah malam tanpa bintang."Katakan siapa kau sebenarnya!" desis Rio, suaranya rendah namun tajam, seperti belati yang menusuk jantung Alinda."Dengarkan aku dulu, Rio," balas Alinda, suaranya tersendat namun tetap berusaha tenang. Tangannya meremas pergelangan Rio, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman yang semakin erat."KA-TA-KAN SE-"Belum sempat Rio menyelesaikan ka
"Kaukah yang bernama Viktor Dreykov?" teriak Rio saat melihat pria itu berjalan mendekat, langkahnya mantap seperti seekor predator yang tidak terburu-buru."Alasan apa yang membuatku harus menjawab pertanyaanmu, anak muda?" balas Viktor datar, suaranya rendah namun menusuk seperti bilah es. Sorot matanya tajam, menyapu wajah Rio seolah sedang menilai serangga yang tak berarti.Tiba-tiba, satu per satu bayangan gelap muncul dari balik pepohonan dan kendaraan tua yang tersebar di sekitar bukit. Anak buah Viktor muncul tanpa suara, senjata mereka teracung ke arah kelompok Rio. Tidak ada jalan keluar—mereka terkepung. Ancaman yang dilakukan Alinda sebelumnya hanya membuat suasana semakin keruh, seperti api yang membakar minyak tanpa kontrol."Tembak saja mereka," ucap Viktor dingin, lalu berbalik menuju van tua yang menjadi markas sementara. Langkah kakinya pelan tapi pasti, seolah-olah dia tidak peduli apakah orang-orang itu hidup atau mati.Namun, te
Rekaman itu berubah, memperlihatkan sosok Damien yang kini mengenakan seragam kuning khas tahanan Blacksite Thorne. Cahaya redup dari lampu neon di atasnya menyelimuti wajahnya yang penuh kerutan, seolah bayang-bayang masa lalu masih menghantui."Viktor..." suaranya rendah, hampir seperti bisikan angin malam yang menusuk tulang. "Jika putra Robby mengetahui semuanya, kau harus memulai peperangan lagi—seperti dulu, saat kita berdua menguasai Velmora. Dia akan datang... tapi ada satu hal yang harus dia ketahui soal..."Sebelum Damien bisa melanjutkan, suara bentakan kasar memotong ucapannya. "Damien... ada tamu untukmu!" Sipir penjara muncul dari balik pintu besi, suaranya keras dan menusuk seperti cambuk."Selamat malam, Tuan Damien," sapa Randu dengan nada serak namun dingin, seperti pisau yang perlahan menggores
Hingar bingar musik di malam itu begitu menggelegar, memekak di telinga. Para wanita berpakaian seksi tengah bergoyang berpasangan sambil memegang minuman di tangan kanannya. Liuk tubuh seksi wanita berusia 21 tahun itu tengah menggoda mata seorang pria yang ada di hadapannya."Ayolah Rio, bawa saja dia ke atas," bisik Reynold "Kau gila Rey! malam ini aku harus pulang," timpal RioPria 40 tahun itu hanya menggelengkan kepala mendengar celotehan sahabatnya, yang terus menggoda agar dia mau membawa wanita yang ada di hadapannya itu ke kamar hotel."Apakah kau tidak melihat sesuatu yang indah dalam diriku?" goda wanita yang ada di hadapan Rio sembari mendekatkan wajahnya."Siapa yang tidak suka dengan keindahan wajah yang kau miliki, Andini!" bisik Rio. Lalu dia meraih tubuhnya sambil mengikuti irama musik yang mengiringi.Andini terlihat sangat menikmati malam itu, kebersamaanya dengan Rio selalu saja membuat Andini lupa diri bahkan hingga tak sadarkan diri. Tubuh kecil nya itu selalu
Pagi hari terdengar suara dering menusuk telinga Andini hingga dia terbangun seketika, lalu dia segera mengambil ponsel yang ada di seberangnya."Bisa-bisanya kamu mengkhianatiku lagi Andini!" pria di balik telepon itu langsung membentaknya.Andini terdiam seketika, tak mampu berkata apa-apa lagi selain meneteskan air mata dengan kepala tertunduk."Hey Syam! kalau kau punya nyali, datanglah kemari, daripada kau membatasi kekasihmu seperti itu!" tak di sangka Rio langsung mengambil telepon genggam milik Andini, lalu balas memaki pria tersebut."Bangsat kau Rio!" pekik Syam, "kau pikir kau siapa huh!" dia menantangnya."Ah kau ini memang tolol!" ejek Rio sambil tertawa."Seharusnya kau sadar, Andini itu siapa!" ".....," tak ada balasan apapun dari Syam, tak lama dia pun menutup teleponnya.Rio memberikan ponsel itu kembali kepadanya, kemudian memberikan sentuhan kecil ke atas kepalanya. Dia sadar bahwa wanita yang sedang bersamanya itu adalah pemain cinta, namun hatinya selalu saja men
Rio langsung memutar kepalanya ke arah kanan, kemudian mengambil teh hangat yang ada di hadapannya. Dia mempersilakan Laudya untuk duduk di sampingnya, lalu kembali menghisap rokok yang hampir saja di buang olehnya."Kak, aku harus bicara sesuatu soal dia," ungkap Laudya, kedua bola matanya sambil mengawasi pintu rumah, seolah ada rahasia besar yang ingin dia katakan kepada Rio.Laudya adalah putri bungsu dari keluarga Robby Dinata, berusia 19 tahun dan memiliki prestasi segudang. Namun sayangnya, saat usaha ayahnya di terpa badai kebangkrutan, dia harus meninggalkan semua cita-cita serta impiannya. Kini dia bekerja di sebuah minimarket kecil yang berada di dekat rumahnya, karena Laudya harus menemani Anna merawat Robby."Apalagi yang ingin kamu sampaikan kepadaku Lodi?" tanya Rio acuh, seolah dia sudah tau apa yang akan dia bicarakan."Dia dekat dengan Rival terberatmu, sebaiknya kakak segera jauhi dia sebelum apa yang sedang kakak rencanakan berakhir di tahun ini," jawab Laudya mena
"Singkirkan omong kosongmu Ran-du!" tantang Rio mengangkat stick golf yang ada di tangannya."Rupanya kau lupa dengan masa lalu di antara kita huh?" dengan santai Randu membalas."Tidak akan ada tempat bagi pengkhianat sepertimu bajingan!" bentak Rio, langkahnya terhenti oleh Reynold yang sudah terlebih dahulu menghajar dua security yang berada di sampingnya.Beberapa anak buah Randu berusaha untuk membantu kedua orang yang sudah tak berdaya di tangan Rey, namun langkahnya pun di hentikan oleh Randu. Dia tahu jika Reynold bukan orang yang bisa di hentikan, dan hanya akan memperkeruh suasana di tempat ini."Kau rela datang demi wanita kotor seperti dia?" tanya Randu membuka kacamata hitam yang menempel di wajahnya."Serahkan dia sekarang atau...," ancam Rio, "atau kau akan membuat dirimu malu di hadapan semua orang?" timpal Randu."Kau masih saja seperti dulu Rio, tak mampu membedakan mana yang baik untukmu," sesal Randu, teringat masa lalunya, ketika dia sedang membangun Wordcount Co
Anna akhirnya harus merelakan Laudya untuk mengikuti jejak sang kakak, meninggalkan rumah sederhana ini. Air mata yang membendung di kelopak matanya sudah tak mampu lagi di sembunyikan dari keduanya, "jaga dirimu baik-baik nak," kemudian dia segera menemui Robby di dalam.Laudya hanya bisa menatap dari kejauhan, hati kecilnya hanya bisa berkata "seharusnya ini semua tidak perlu terjadi andai saja ayah tidak bersikap seperti itu.""Apa kau yakin dengan keputusan ini?" tanya Rio melirik dengan ekor matanya."Kakak lebih tau apa yang ada di dalam hatiku saat ini," Rio kemudian menyalakan kendaraannya, lalu meninggalkan rumah kedua orang tuanya. Sesampainya di rumah, dia segera memanggil kepala assisten rumah tangga yang bernama Abigail, untuk menyiapkan semua keperluan Laudya."Selamat datang nona Laudya, mari ku antar ke kamarmu," ajak Abigail menuju lantai dua rumah Rio.Laudya serta Abigail memang sudah kenal sejak lama, meskipun dirinya jarang menemui Rio, namun dia seringkali berko
Rekaman itu berubah, memperlihatkan sosok Damien yang kini mengenakan seragam kuning khas tahanan Blacksite Thorne. Cahaya redup dari lampu neon di atasnya menyelimuti wajahnya yang penuh kerutan, seolah bayang-bayang masa lalu masih menghantui."Viktor..." suaranya rendah, hampir seperti bisikan angin malam yang menusuk tulang. "Jika putra Robby mengetahui semuanya, kau harus memulai peperangan lagi—seperti dulu, saat kita berdua menguasai Velmora. Dia akan datang... tapi ada satu hal yang harus dia ketahui soal..."Sebelum Damien bisa melanjutkan, suara bentakan kasar memotong ucapannya. "Damien... ada tamu untukmu!" Sipir penjara muncul dari balik pintu besi, suaranya keras dan menusuk seperti cambuk."Selamat malam, Tuan Damien," sapa Randu dengan nada serak namun dingin, seperti pisau yang perlahan menggores
"Kaukah yang bernama Viktor Dreykov?" teriak Rio saat melihat pria itu berjalan mendekat, langkahnya mantap seperti seekor predator yang tidak terburu-buru."Alasan apa yang membuatku harus menjawab pertanyaanmu, anak muda?" balas Viktor datar, suaranya rendah namun menusuk seperti bilah es. Sorot matanya tajam, menyapu wajah Rio seolah sedang menilai serangga yang tak berarti.Tiba-tiba, satu per satu bayangan gelap muncul dari balik pepohonan dan kendaraan tua yang tersebar di sekitar bukit. Anak buah Viktor muncul tanpa suara, senjata mereka teracung ke arah kelompok Rio. Tidak ada jalan keluar—mereka terkepung. Ancaman yang dilakukan Alinda sebelumnya hanya membuat suasana semakin keruh, seperti api yang membakar minyak tanpa kontrol."Tembak saja mereka," ucap Viktor dingin, lalu berbalik menuju van tua yang menjadi markas sementara. Langkah kakinya pelan tapi pasti, seolah-olah dia tidak peduli apakah orang-orang itu hidup atau mati.Namun, te
Alinda terkesiap saat melihat foto di tangan Rio, seolah udara di sekitarnya mendadak membeku. Ada seseorang yang merekam momen itu tanpa suara—seperti bayangan gelap yang menyelinap di antara cahaya sunyi.Rio menatapnya dengan sorot mata curiga, api kemarahan mulai menjalar di dadanya bak bara yang ditiup angin. Tanpa ragu, dia melangkah maju, meraih leher Alinda dengan kedua tangannya, lalu mendorong tubuh itu ke tembok. Suara benturan keras memecah kesunyian, seperti guntur yang menyambar di tengah malam tanpa bintang."Katakan siapa kau sebenarnya!" desis Rio, suaranya rendah namun tajam, seperti belati yang menusuk jantung Alinda."Dengarkan aku dulu, Rio," balas Alinda, suaranya tersendat namun tetap berusaha tenang. Tangannya meremas pergelangan Rio, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman yang semakin erat."KA-TA-KAN SE-"Belum sempat Rio menyelesaikan ka
"Whoa... ada apa ini, Rio?" pekik Reynold saat membuka pintu ruangan, melihat dua pria bertubuh besar terkapar tak sadarkan diri."Ayo pergi sekarang!" kata Rio tegas, langsung mengajak semua orang keluar.Sebelum Reynold bisa bertanya lebih lanjut, alarm gedung berbunyi nyaring. Lampu darurat menyala, dan langkah-langkah berat terdengar mendekat dari luar."Apa yang terjadi, Rio?" tanya Reynold panik, saat melihat gerombolan bersenjata muncul di balik pintu."Rio!!" teriak Axel sambil melepaskan tembakan ke udara. Peluru merobek atap, membuat serpihan jatuh menimpa orang-orang di dalam ruangan."Axel!" pekik Andini, menatap Rio dengan mata penuh ketakutan.Alinda mengintip dari celah pintu, menghitung musuh yang menghadang. Dia meraih tas kecil di lantai, mengeluarkan senjata yang ada di dalam tasnya, kemudian merapat ke tembok, siap menyerang."Kalian berlindung di sana," katanya, menunjuk meja kerja Rio.Saat mereka bergerak
"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Rio, suaranya terdengar berat sementara matanya menatap Alinda dengan intensitas yang hampir menyakitkan. Pikirannya berkecamuk, mencari jawaban di tengah kekacauan yang semakin melingkupinya. Dia tidak tahu harus mulai dari mana—segalanya terasa seperti teka-teki tanpa ujung."Aku rasa jawabanmu ada di sini," kata Alinda pelan, tetapi nada suaranya membawa kepastian yang tak terbantahkan. Tangannya terangkat, menunjuk ke arah Penjara Blacksite Thorne—tempat mengerikan yang menjadi rumah bagi Damien, pria yang menjadi musuh besar Rio, dan kini satu-satunya harapan untuk menghancurkan Randu.Rio hanya bisa terdiam. Napasnya tertahan saat bayangan tentang apa yang mungkin menanti di dalam penjara itu melintas di benaknya. Hatinya belum cukup kuat untuk menghadapi pria yang pernah menjadi penguasa dunia bawah tanah Kota Velmora.
Alinda langsung memutar kemudinya ke kanan dengan gerakan tajam, hingga sisi mobil bergesekan keras dengan pembatas jalan. Suara logam beradu menghasilkan percikan api yang menyala di malam gelap. Untungnya, Alinda berhasil mengendalikan kendaraan dengan cepat—meskipun body mobil sekarang penuh lecet, mereka masih selamat dari tabrakan maut.Dari balik spion, Rio melihat truk besar itu mulai oleng. Buntutnya melintang liar di tengah jalan, menimbulkan kepulan asap hitam yang membumbung tinggi ke langit malam. Truk itu tampak seperti monster tak terkendali yang siap menghancurkan apa pun di jalurnya.Rio, tanpa pikir panjang, mencoba meraih setir untuk mengambil alih kontrol mobil. Namun, Alinda menginjak pedal gas lebih dalam, membuat mobil melaju lebih kencang. "Ini bukan film action seperti yang kau lihat di televisi, Rio!" bentaknya, suaranya tajam namun penuh ketegangan. "Jangan bersikap
Rio membeku. Informasi dari Alvin baru saja menghantamnya seperti pukulan baja yang menusuk tulang belakangnya. Jari-jemarinya bergetar, menekan nomor Kayla dengan kecepatan putus asa. Satu dering. Dua. Lalu—"Nomor yang Anda tuju tidak aktif," suara operator itu terdengar dingin, menusuk telinganya seperti jarum es."Rio... Kabari aku kalau kau menemukannya." Suara Alvin terputus sebelum Rio sempat menjawab. Layar ponselnya mati, meninggalkan keheningan yang mencekam di ruangan besar itu.Suara langkah kaki. Sebuah klik yang tajam. Ivanko bangkit perlahan dari singgasananya, bayangannya menjulang seperti predator malam yang siap menerkam. Ruangan terasa semakin sempit, udaranya sesak oleh aroma cerutu Havana yang menyengat."Jadi, kau sudah dengar semuanya?" gumam Ivanko, nada suaranya datar namun sarat dengan ancaman. Dia meraih kotak kristal di meja, mengambil satu batang cerutu dengan gerakan elegan, lalu menawarkannya kepada Rio deng
Ivanko berjanji akan memberikan Rio perlindungan—setidaknya sampai dia selesai berbicara dengan Alvin. Namun, janji itu terasa seperti sebuah perangkap yang bisa menelan Rio kapan saja. Setelah percakapan singkat namun penuh tekanan itu, Rio langsung meninggalkan tempat itu tanpa banyak bicara. Dia tahu satu hal: waktu tidak berpihak padanya.Rio mengajak Reynold untuk mencari tempat yang lebih tenang, di mana mereka bisa berbicara tanpa takut disadap atau diintai. Udara di luar masih lembap selepas hujan, dan aroma lumpur bercampur aspal menguar di sekitar mereka. Ketegangan tampak jelas di wajah Reynold."Kau gila, Rio!" seru Reynold sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke udara, frustrasi. "Kita ini hanya orang biasa! Tidak seperti mereka!" Suaranya sedikit meninggi, meski ia tetap berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain di sekitar.Rio diam, matanya menyapu sekeliling dengan waspada. "Lalu apa rencanamu?" balasnya datar, melangkah
Beberapa pria bertopeng mulai berdatangan dari segala arah, langkah mereka terukur, namun mengancam. Di tangan mereka, senjata laras panjang mencuat, siap memuntahkan peluru tanpa ampun.“Sepertinya kita akan mati di sini,” desis Reynold, matanya menyapu liar ke segala penjuru, mencari celah, tetapi yang ia temukan hanyalah jalan buntu dan lingkaran maut. Wajahnya mulai pucat, napasnya memburu.Sementara itu, Rio tetap tenang, meski matanya sibuk mengamati setiap sudut jalan, mencari kemungkinan terkecil untuk kabur dari kepungan.Anak buah Axel makin mendekat. Beberapa dari mereka menghantam kaca depan dengan popor senjata, sementara yang lain memanjat kap mobil, mengarahkan moncong senjata ke arah mereka dengan tatapan dingin dari balik topeng.