Rio membeku. Informasi dari Alvin baru saja menghantamnya seperti pukulan baja yang menusuk tulang belakangnya. Jari-jemarinya bergetar, menekan nomor Kayla dengan kecepatan putus asa. Satu dering. Dua. Lalu—
"Nomor yang Anda tuju tidak aktif," suara operator itu terdengar dingin, menusuk telinganya seperti jarum es.
"Rio... Kabari aku kalau kau menemukannya." Suara Alvin terputus sebelum Rio sempat menjawab. Layar ponselnya mati, meninggalkan keheningan yang mencekam di ruangan besar itu.
Suara langkah kaki. Sebuah klik yang tajam. Ivanko bangkit perlahan dari singgasananya, bayangannya menjulang seperti predator malam yang siap menerkam. Ruangan terasa semakin sempit, udaranya sesak oleh aroma cerutu Havana yang menyengat.
"Jadi, kau sudah dengar semuanya?" gumam Ivanko, nada suaranya datar namun sarat dengan ancaman. Dia meraih kotak kristal di meja, mengambil satu batang cerutu dengan gerakan elegan, lalu menawarkannya kepada Rio deng
Hingar bingar musik di malam itu begitu menggelegar, memekak di telinga. Para wanita berpakaian seksi tengah bergoyang berpasangan sambil memegang minuman di tangan kanannya. Liuk tubuh seksi wanita berusia 21 tahun itu tengah menggoda mata seorang pria yang ada di hadapannya."Ayolah Rio, bawa saja dia ke atas," bisik Reynold "Kau gila Rey! malam ini aku harus pulang," timpal RioPria 40 tahun itu hanya menggelengkan kepala mendengar celotehan sahabatnya, yang terus menggoda agar dia mau membawa wanita yang ada di hadapannya itu ke kamar hotel."Apakah kau tidak melihat sesuatu yang indah dalam diriku?" goda wanita yang ada di hadapan Rio sembari mendekatkan wajahnya."Siapa yang tidak suka dengan keindahan wajah yang kau miliki, Andini!" bisik Rio. Lalu dia meraih tubuhnya sambil mengikuti irama musik yang mengiringi.Andini terlihat sangat menikmati malam itu, kebersamaanya dengan Rio selalu saja membuat Andini lupa diri bahkan hingga tak sadarkan diri. Tubuh kecil nya itu selalu
Pagi hari terdengar suara dering menusuk telinga Andini hingga dia terbangun seketika, lalu dia segera mengambil ponsel yang ada di seberangnya."Bisa-bisanya kamu mengkhianatiku lagi Andini!" pria di balik telepon itu langsung membentaknya.Andini terdiam seketika, tak mampu berkata apa-apa lagi selain meneteskan air mata dengan kepala tertunduk."Hey Syam! kalau kau punya nyali, datanglah kemari, daripada kau membatasi kekasihmu seperti itu!" tak di sangka Rio langsung mengambil telepon genggam milik Andini, lalu balas memaki pria tersebut."Bangsat kau Rio!" pekik Syam, "kau pikir kau siapa huh!" dia menantangnya."Ah kau ini memang tolol!" ejek Rio sambil tertawa."Seharusnya kau sadar, Andini itu siapa!" ".....," tak ada balasan apapun dari Syam, tak lama dia pun menutup teleponnya.Rio memberikan ponsel itu kembali kepadanya, kemudian memberikan sentuhan kecil ke atas kepalanya. Dia sadar bahwa wanita yang sedang bersamanya itu adalah pemain cinta, namun hatinya selalu saja men
Rio langsung memutar kepalanya ke arah kanan, kemudian mengambil teh hangat yang ada di hadapannya. Dia mempersilakan Laudya untuk duduk di sampingnya, lalu kembali menghisap rokok yang hampir saja di buang olehnya."Kak, aku harus bicara sesuatu soal dia," ungkap Laudya, kedua bola matanya sambil mengawasi pintu rumah, seolah ada rahasia besar yang ingin dia katakan kepada Rio.Laudya adalah putri bungsu dari keluarga Robby Dinata, berusia 19 tahun dan memiliki prestasi segudang. Namun sayangnya, saat usaha ayahnya di terpa badai kebangkrutan, dia harus meninggalkan semua cita-cita serta impiannya. Kini dia bekerja di sebuah minimarket kecil yang berada di dekat rumahnya, karena Laudya harus menemani Anna merawat Robby."Apalagi yang ingin kamu sampaikan kepadaku Lodi?" tanya Rio acuh, seolah dia sudah tau apa yang akan dia bicarakan."Dia dekat dengan Rival terberatmu, sebaiknya kakak segera jauhi dia sebelum apa yang sedang kakak rencanakan berakhir di tahun ini," jawab Laudya mena
"Singkirkan omong kosongmu Ran-du!" tantang Rio mengangkat stick golf yang ada di tangannya."Rupanya kau lupa dengan masa lalu di antara kita huh?" dengan santai Randu membalas."Tidak akan ada tempat bagi pengkhianat sepertimu bajingan!" bentak Rio, langkahnya terhenti oleh Reynold yang sudah terlebih dahulu menghajar dua security yang berada di sampingnya.Beberapa anak buah Randu berusaha untuk membantu kedua orang yang sudah tak berdaya di tangan Rey, namun langkahnya pun di hentikan oleh Randu. Dia tahu jika Reynold bukan orang yang bisa di hentikan, dan hanya akan memperkeruh suasana di tempat ini."Kau rela datang demi wanita kotor seperti dia?" tanya Randu membuka kacamata hitam yang menempel di wajahnya."Serahkan dia sekarang atau...," ancam Rio, "atau kau akan membuat dirimu malu di hadapan semua orang?" timpal Randu."Kau masih saja seperti dulu Rio, tak mampu membedakan mana yang baik untukmu," sesal Randu, teringat masa lalunya, ketika dia sedang membangun Wordcount Co
Anna akhirnya harus merelakan Laudya untuk mengikuti jejak sang kakak, meninggalkan rumah sederhana ini. Air mata yang membendung di kelopak matanya sudah tak mampu lagi di sembunyikan dari keduanya, "jaga dirimu baik-baik nak," kemudian dia segera menemui Robby di dalam.Laudya hanya bisa menatap dari kejauhan, hati kecilnya hanya bisa berkata "seharusnya ini semua tidak perlu terjadi andai saja ayah tidak bersikap seperti itu.""Apa kau yakin dengan keputusan ini?" tanya Rio melirik dengan ekor matanya."Kakak lebih tau apa yang ada di dalam hatiku saat ini," Rio kemudian menyalakan kendaraannya, lalu meninggalkan rumah kedua orang tuanya. Sesampainya di rumah, dia segera memanggil kepala assisten rumah tangga yang bernama Abigail, untuk menyiapkan semua keperluan Laudya."Selamat datang nona Laudya, mari ku antar ke kamarmu," ajak Abigail menuju lantai dua rumah Rio.Laudya serta Abigail memang sudah kenal sejak lama, meskipun dirinya jarang menemui Rio, namun dia seringkali berko
"Maaf mas, selama ini aku menutupi semuanya dari kamu," ungkap Andini.Dia segera merogoh tas dengan tangan kanannya, lalu memperlihatkan sebuah pesan yang bertuliskan, "Halo sayang, aku sudah bebas dan kali ini aku sudah berada di rumah bersama anak kita,"Rio hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, tak mengira dirinya akan terseret jauh ke dalam masalah ini. Sementara itu Reynold berusaha untuk memperjelas maksud kedatangan Andini kali ini hanyalah untuk meminta pendampingan secara hukum.Hati Rio benar-benar tidak karuan, dalam benaknya selama ini Andini adalah seorang gadis yang terjerembab ke dalam dunia hitam. Rasa kecewa, marah, sedih kian berkecamuk, isi pikirannya mulai di bumbui oleh iblis cemburu."Ikut aku!" Laudya segera menarik lengan Rio untuk menjauh dari Andini serta Reynold."CUKUP KAK! AKU JENGAH HARUS MENUTUPI SEMUANYA!""Argh....!" Rio menarik rambut yang ada di kepalanya sendiri.Laudya menatap tajam, dia merasa heran dengan Rio, kenapa rela untuk terseret jauh ke
Sesampainya di rumah orang tua Andini, mereka melihat ada seorang pria bertubuh kekar, di penuhi dengan gambar serta beberapa hiasan di tangannya. Dia sedang mengais seorang anak kecil berusia 2 tahun di tangannya, nampak rasa takut tersirat di wajah sang anak ketika berada dalam genggaman Axel.Kedua orang tua Andini tak mampu berbuat apa-apa selain hanya mengawasinya dari balik kaca. Usia mereka yang sudah tidak muda lagi, membuat keadaan semakin sulit."Raya!" teriak Andini dari dalam kendaraan, kemudian segera berlari mendekat ke arah putri semata wayangnya."Berikan kepadaku Axel!" matanya menyala, menatap pria yang pernah menjadi suaminya itu."Oh sayang, kenapa kau begitu kaku terhadapku?" tanya Axel mendekap Raya semakin erat, "apakah kau tidak rindu kepadaku?" sambungnya bertanya, perlahan mendekat ke arah Andini."Berikan Raya kepadaku!" hardik Andini, berusaha meraih tubuh kecil yang ada di hadapannya."Ayolah Andini, kita ini masih memiliki ikatan bukan?" tutur Axel sambil
"Halo sayang!" merdu terdengar suara dari seorang kekasih yang sudah mendampingi Rio selama 3 tahun lamanya, "aku sudah berada di bandara, mungkin sekitar 3 jam lagi aku akan menemuimu di rumah.""O-ok sayang, aku akan pulang lebih cepat hari ini," ucap Rio lalu menutup teleponnya.Andini hanya bisa terdiam ketika mendengar panggilan yang terucap dari mulut Rio, selama ini dia benar-benar tidak mengetahui jika ada orang lain di samping Rio. Dia memalingkan pandangannya ketika Rio kembali menemui dirinya serta kedua orang tuanya."Nak Rio, ibu ucapkan terima kasih sudah banyak membantu keluarga kami," ungkap ibunda Andini, "ibu harap Andini bisa lebih baik lagi ke depannya, dan kamu bisa memberikan yang terbaik untuknya," dengan penuh harapan, ibunda Andini mengusap lengan Rio.Tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut Rio, selain anggukan. Dia tahu sedang berhadapan dengan siapa, dan tak ingin memberikan harapan apapun kepada keluarga Andini. Rio kemudian segera berpamitan untuk kem
Rio membeku. Informasi dari Alvin baru saja menghantamnya seperti pukulan baja yang menusuk tulang belakangnya. Jari-jemarinya bergetar, menekan nomor Kayla dengan kecepatan putus asa. Satu dering. Dua. Lalu—"Nomor yang Anda tuju tidak aktif," suara operator itu terdengar dingin, menusuk telinganya seperti jarum es."Rio... Kabari aku kalau kau menemukannya." Suara Alvin terputus sebelum Rio sempat menjawab. Layar ponselnya mati, meninggalkan keheningan yang mencekam di ruangan besar itu.Suara langkah kaki. Sebuah klik yang tajam. Ivanko bangkit perlahan dari singgasananya, bayangannya menjulang seperti predator malam yang siap menerkam. Ruangan terasa semakin sempit, udaranya sesak oleh aroma cerutu Havana yang menyengat."Jadi, kau sudah dengar semuanya?" gumam Ivanko, nada suaranya datar namun sarat dengan ancaman. Dia meraih kotak kristal di meja, mengambil satu batang cerutu dengan gerakan elegan, lalu menawarkannya kepada Rio deng
Ivanko berjanji akan memberikan Rio perlindungan—setidaknya sampai dia selesai berbicara dengan Alvin. Namun, janji itu terasa seperti sebuah perangkap yang bisa menelan Rio kapan saja. Setelah percakapan singkat namun penuh tekanan itu, Rio langsung meninggalkan tempat itu tanpa banyak bicara. Dia tahu satu hal: waktu tidak berpihak padanya.Rio mengajak Reynold untuk mencari tempat yang lebih tenang, di mana mereka bisa berbicara tanpa takut disadap atau diintai. Udara di luar masih lembap selepas hujan, dan aroma lumpur bercampur aspal menguar di sekitar mereka. Ketegangan tampak jelas di wajah Reynold."Kau gila, Rio!" seru Reynold sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke udara, frustrasi. "Kita ini hanya orang biasa! Tidak seperti mereka!" Suaranya sedikit meninggi, meski ia tetap berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar oleh orang lain di sekitar.Rio diam, matanya menyapu sekeliling dengan waspada. "Lalu apa rencanamu?" balasnya datar, melangkah
Beberapa pria bertopeng mulai berdatangan dari segala arah, langkah mereka terukur, namun mengancam. Di tangan mereka, senjata laras panjang mencuat, siap memuntahkan peluru tanpa ampun.“Sepertinya kita akan mati di sini,” desis Reynold, matanya menyapu liar ke segala penjuru, mencari celah, tetapi yang ia temukan hanyalah jalan buntu dan lingkaran maut. Wajahnya mulai pucat, napasnya memburu.Sementara itu, Rio tetap tenang, meski matanya sibuk mengamati setiap sudut jalan, mencari kemungkinan terkecil untuk kabur dari kepungan.Anak buah Axel makin mendekat. Beberapa dari mereka menghantam kaca depan dengan popor senjata, sementara yang lain memanjat kap mobil, mengarahkan moncong senjata ke arah mereka dengan tatapan dingin dari balik topeng.
"Kakak pikir aku ini anak kecil yang bisa dibodohi?" seru Laudya, matanya menyala penuh emosi. Ia menatap Rio tajam sambil menekan telunjuknya ke dada sang kakak."Sadar, Kak!" lanjutnya dengan suara yang meninggi. "Kayla jauh lebih baik daripada wanita itu. Dia bahkan rela tinggal bersama Ayah dan Ibu demi melindungi mereka dari ancaman para bajingan itu!" Wajahnya mengeras, sorot matanya menusuk seperti belati."Bukan itu maksudku, Lody...." Rio mencoba menenangkan, tapi suaranya tenggelam oleh ledakan emosi adiknya."Sudah! Cukup! Lebih baik Kakak keluar dari sini!" potong Laudya, lalu mendorong tubuh Rio dengan kasar hingga ia mundur beberapa langkah.Rio tetap berdiri, ingin bicara, ingin menjelaskan segalanya. Tapi yang
"Halo Rio!" gelegar suara seorang pria miterius dari balik telepon."Sepertinya kau sedang memelihara api di balik pintu rumahmu," Axel terkekeh pelan, suaranya terdengar tenang tapi menyimpan racun."Bagaiimana kalau si pirang manis itu tahu… bahwa kau sedang bermain api dengan wanita lain?" Satu detik kemudian, sebuah foto Kayla masuk ke ponsel lawan bicaranya."Brengsek Axel!!" pekik Rio setelah melihat foto Kayla dari balik layar ponselnya.Axel tertawa ringan, penuh kepuasan, begitu mendengar makian dari Rio. Seolah itulah reaksi yang sejak awal ia harapkan."Kau tahu apa yang harus kau lakukan… dan pastikan kau melakukannya dengan benar," ujar Axel dingin, lalu menutup ponselnya dengan penuh kepastian."Arghh!!!" Rio mengeluarkan teriakan kesal, frustrasi karena Axel kini tahu tentang keberadaan Andini.Deng
"Kakak!" teriak Laudya langsung meraih tubuh Rio yang sedang terhuyung.Andini kalah cepat, dia hanya bisa menatap Rio dan tak berani mendekat. Dia mengubah langkahnya mendekati Reynold yang terduduk lemas di atas rumput.Para polisi segera menghampiri Rio dan Reynold untuk meminta keterangan. Mereka mendapat laporan dari Andini bahwa telah terjadi penyerangan di rumah Rio oleh sekelompok orang mencurigakan yang diduga hendak melukai sang pemilik rumah.Setelah para polisi itu pergi, Andini langsung masuk ke dalam rumah."Ini semua gara-gara kau, Andini!" teriak Laudya begitu memasuki ruang tamu. Suaranya melengking, penuh amarah yang tak lagi bisa ditahan. Matanya langsung menyorot tajam ke arah perempuan yang berdiri t
"Ah, sudahlah..." Randu berkata sambil menepuk bahu Rio dengan gerakan yang terkesan acuh tak acuh. "Sekarang, lebih baik kita pikirkan masa depan kita dengan uang yang ada," lanjutnya sambil membuka lembaran uang di tangannya, menghitungnya dengan teliti, seolah angka-angka itu adalah satu-satunya hal yang penting dalam hidupnya.Sejak saat itu, mereka tinggal dalam satu atap, berbagi setiap langkah dalam mencari pekerjaan, tak peduli seberapa sulit jalan yang mereka tempuh.Randu tak pernah menolak apapun yang diminta Rio, bahkan saat semua itu bertentangan dengan apa yang ia inginkan. Ia rela mengorbankan dirinya, semua impian, harapan, dan keinginan demi Rio. Meski hati kecilnya kadang meronta, ia tahu, tak ada pilihan lain selain terus mendampingi, meskipun jalan yang mereka jalani tak selalu sejalan."Kau tahu, Rio, kenapa aku selalu b
Pagi hari Rio pergi menuju kantor untuk menemui Reynold, dia meminta Andini untuk tidak meninggalkan rumah apapun alasannya."Rey, apa kau sudah menemukan Lucy?" tanya Rio saat dia memasuki ruangan sahabatnya."Aku sudah berusaha menghubunginya, Rio. Tapi hasilnya nihil," jawab Reynold memperlihatkan sejumlah panggilan dari balik layar ponselnya."Perasaanku benar-benar tidak enak," kata Rio menatap kendaraan berderet, merayapi kemacetan di jalan layang Kota Velmora.Bayangan masa lalu bersama Randu masih jelas tampak di kedua matanya, seorang pria yang pernah menjadi tempat berlindung sekaligus juga malaikat penjaga keluarga Dinata.MASA LALU RIO DAN RANDUSatu tahun setelah Rio memutuskan pergi dari rumah, dia bekerja di sebuah restoran cepat saja yang berada di keramaian kota Velmora."Kau anak baru di sini?" tanya Randu saat Rio baru saja memulai pekerjaannya sebagai pramusaji. Rio hanya mengangguk lal
Wajah Axel memucat. Kedua matanya terbelalak, liar menelisik kegelapan, seolah mencari sosok pria yang suaranya menggema di antara bayang-bayang. Suara itu seperti bisikan maut yang menyelinap pelan, menghampiri dengan dingin, tapi yang muncul hanyalah sosok tanpa wajah, membatu di lantai seperti bayang-bayang kenangan yang enggan pergi.“Jangan main api denganku, Archie!” desis Axel, matanya menyala marah. Dalam sekejap, senapan ditarik dari balik jaket, dan diarahkan lurus ke bayangan gelap yang mengintai di hadapannya.Tampak raut wajah pria dengan guratan bekal luka di wajah menggunakan penutup kepala berwarna hitam dengan corak berwarna putih."Apa kau yakin dia orangnya?” tanya anak buah Archie, sorot matanya menatap Axel penuh kepura-puraan, seolah peduli, padahal lidahnya menyimpan racun.Axel mengencangkan cengkeramannya pada senjata. Telunjuknya melingkar di pelatuk, siaga melepaskan peluru yang bisa mengakhiri segalanya dalam sekejap.