Rio langsung memutar kepalanya ke arah kanan, kemudian mengambil teh hangat yang ada di hadapannya. Dia mempersilakan Laudya untuk duduk di sampingnya, lalu kembali menghisap rokok yang hampir saja di buang olehnya.
"Kak, aku harus bicara sesuatu soal dia," ungkap Laudya, kedua bola matanya sambil mengawasi pintu rumah, seolah ada rahasia besar yang ingin dia katakan kepada Rio.
Laudya adalah putri bungsu dari keluarga Robby Dinata, berusia 19 tahun dan memiliki prestasi segudang. Namun sayangnya, saat usaha ayahnya di terpa badai kebangkrutan, dia harus meninggalkan semua cita-cita serta impiannya. Kini dia bekerja di sebuah minimarket kecil yang berada di dekat rumahnya, karena Laudya harus menemani Anna merawat Robby.
"Apalagi yang ingin kamu sampaikan kepadaku Lodi?" tanya Rio acuh, seolah dia sudah tau apa yang akan dia bicarakan.
"Dia dekat dengan Rival terberatmu, sebaiknya kakak segera jauhi dia sebelum apa yang sedang kakak rencanakan berakhir di tahun ini," jawab Laudya menatap Rio dengan penuh harapan.
"Randu...?" Rio tertawa kecil lalu mematikan rokok yang ada di tangannya, tak nampak rasa takut di wajahnya sedikitpun. "Manusia laknat itu sudah ku singkirkan beberapa hari lalu," dia menoleh lalu melengkungkan bibirnya membentuk senyuman ke arah Laudya.
POV 3 HARI SEBELUMNYA
"Bang...tolong aku!!" dari balik suara telepon Andini meminta bantuan kepada Reynold, "aku takut...," rintihan terdengar semakin kuat, di serta suara klakson panjang.
"APA YANG TERJADI ANDINI!" pekik Reynold kuatir dengan keadaannya.
Tak lama terdengar suara pria sedang memaki Andini, seolah berusaha untuk merebut telepon yang ada di tangannya. Panggilan suarapun tiba-tiba lenyap, Reynold berusaha menghubungi kembali namun sayanganya hanya suara operator yang menjawab.
Rey segera memacu kendaraannya menuju rumah Rio, karena dia tahu jika hari ini Rio akan segera kembali ke rumah orang tuanya untuk menemui seseorang di sana.
"Hey Rody cepat buka!!" teriak Rey dari balik pagar yang menjulang tinggi di hadapannya. Saat pagar tersebut di buka ternyata benar saja, dia datang waktu yang tepat, Rio sedang berada di balik kemudi untuk pergi ke kota sebelah.
"Rio cepat keluar!!" pekik Rey nampak pembuluh darah di lehernya membesar.
"Kau ini kenapa Rey?" balas Rio kembali memekik.
"Andini!" tangannya berusaha untuk membuka pintu kendaraan.
"Jangan sebut nama itu di sini bangsat!" kata Rio lalu segera membuka pintu untuknya.
"Kita harus bertemu dengan Lucy sekarang!" tanpa menjelaskan apapun Rey meminta Rio untuk menginjak pedal gas nya menuju klub Seven Eight.
Rio masih saja terdiam karena dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tak berselang lama terdengar suara dering ponsel dari jas yang di kenakan oleh Rey dari nomor tak di kenal. Dengan pengeras suara, Rio tahu jika orang yang ada di balik ponsel itu adalah musuh besarnya.
Tak perlu waktu lama untuk menunggu, Rio segera menginjak pedal gas menuju sebuah hotel yang berada di tengah kota.
Sesampainya di sana, Rio mengambil sebuah stick golf yang selalu ada di dalam bagasi, kemudian memaksa masuk ke dalam. Nampak anak buah Randu berusaha untuk menghalangi jalan mereka, agar tidak naik ke atas.
"Jangan paksa aku melakukan ini James," ucap Rio menatap tajam pria berusia 32 tahun yang ada di hadapannya itu.
"Aku hanya menjalankan perintah dari Tuan Randu," dia berdiri tegap bersama beberapa anak buahnya, dengan sorot mata tajam ke arah Rio dan Reynold.
Para tamu hotel yang datang terhenyak, melihat perdebatan yang terjadi antara Rio dan James di depan lift. Beberapa petugas keamanan berusaha untuk mengusir keduanya keluar, agar tidak mengganggu para tamu yang sedang menginap di tempat ini.
"Sudah lama aku tidak berolah raga, rasanya malam ini akan menjadi malam yang seru," ungkap Rey kemudian membuka jas mewahnya.
Suara denting terdengar keras, memecah ketegangan yang terjadi di lobby hotel. Langkah pria berambut hitam dan berkacamata, dengan tongkat di tangannya keluar dari lift sambil menyeringai.
"Hmm...nampaknya sahabat karibku sudah mulai merasa rindu denganku," ejek Randu mengepulkan asap cerutu ke wajah Rio.
"Singkirkan omong kosongmu Ran-du!" tantang Rio mengangkat stick golf yang ada di tangannya."Rupanya kau lupa dengan masa lalu di antara kita huh?" dengan santai Randu membalas."Tidak akan ada tempat bagi pengkhianat sepertimu bajingan!" bentak Rio, langkahnya terhenti oleh Reynold yang sudah terlebih dahulu menghajar dua security yang berada di sampingnya.Beberapa anak buah Randu berusaha untuk membantu kedua orang yang sudah tak berdaya di tangan Rey, namun langkahnya pun di hentikan oleh Randu. Dia tahu jika Reynold bukan orang yang bisa di hentikan, dan hanya akan memperkeruh suasana di tempat ini."Kau rela datang demi wanita kotor seperti dia?" tanya Randu membuka kacamata hitam yang menempel di wajahnya."Serahkan dia sekarang atau...," ancam Rio, "atau kau akan membuat dirimu malu di hadapan semua orang?" timpal Randu."Kau masih saja seperti dulu Rio, tak mampu membedakan mana yang baik untukmu," sesal Randu, teringat masa lalunya, ketika dia sedang membangun Wordcount Co
Anna akhirnya harus merelakan Laudya untuk mengikuti jejak sang kakak, meninggalkan rumah sederhana ini. Air mata yang membendung di kelopak matanya sudah tak mampu lagi di sembunyikan dari keduanya, "jaga dirimu baik-baik nak," kemudian dia segera menemui Robby di dalam.Laudya hanya bisa menatap dari kejauhan, hati kecilnya hanya bisa berkata "seharusnya ini semua tidak perlu terjadi andai saja ayah tidak bersikap seperti itu.""Apa kau yakin dengan keputusan ini?" tanya Rio melirik dengan ekor matanya."Kakak lebih tau apa yang ada di dalam hatiku saat ini," Rio kemudian menyalakan kendaraannya, lalu meninggalkan rumah kedua orang tuanya. Sesampainya di rumah, dia segera memanggil kepala assisten rumah tangga yang bernama Abigail, untuk menyiapkan semua keperluan Laudya."Selamat datang nona Laudya, mari ku antar ke kamarmu," ajak Abigail menuju lantai dua rumah Rio.Laudya serta Abigail memang sudah kenal sejak lama, meskipun dirinya jarang menemui Rio, namun dia seringkali berko
"Maaf mas, selama ini aku menutupi semuanya dari kamu," ungkap Andini.Dia segera merogoh tas dengan tangan kanannya, lalu memperlihatkan sebuah pesan yang bertuliskan, "Halo sayang, aku sudah bebas dan kali ini aku sudah berada di rumah bersama anak kita,"Rio hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, tak mengira dirinya akan terseret jauh ke dalam masalah ini. Sementara itu Reynold berusaha untuk memperjelas maksud kedatangan Andini kali ini hanyalah untuk meminta pendampingan secara hukum.Hati Rio benar-benar tidak karuan, dalam benaknya selama ini Andini adalah seorang gadis yang terjerembab ke dalam dunia hitam. Rasa kecewa, marah, sedih kian berkecamuk, isi pikirannya mulai di bumbui oleh iblis cemburu."Ikut aku!" Laudya segera menarik lengan Rio untuk menjauh dari Andini serta Reynold."CUKUP KAK! AKU JENGAH HARUS MENUTUPI SEMUANYA!""Argh....!" Rio menarik rambut yang ada di kepalanya sendiri.Laudya menatap tajam, dia merasa heran dengan Rio, kenapa rela untuk terseret jauh ke
Sesampainya di rumah orang tua Andini, mereka melihat ada seorang pria bertubuh kekar, di penuhi dengan gambar serta beberapa hiasan di tangannya. Dia sedang mengais seorang anak kecil berusia 2 tahun di tangannya, nampak rasa takut tersirat di wajah sang anak ketika berada dalam genggaman Axel.Kedua orang tua Andini tak mampu berbuat apa-apa selain hanya mengawasinya dari balik kaca. Usia mereka yang sudah tidak muda lagi, membuat keadaan semakin sulit."Raya!" teriak Andini dari dalam kendaraan, kemudian segera berlari mendekat ke arah putri semata wayangnya."Berikan kepadaku Axel!" matanya menyala, menatap pria yang pernah menjadi suaminya itu."Oh sayang, kenapa kau begitu kaku terhadapku?" tanya Axel mendekap Raya semakin erat, "apakah kau tidak rindu kepadaku?" sambungnya bertanya, perlahan mendekat ke arah Andini."Berikan Raya kepadaku!" hardik Andini, berusaha meraih tubuh kecil yang ada di hadapannya."Ayolah Andini, kita ini masih memiliki ikatan bukan?" tutur Axel sambil
"Halo sayang!" merdu terdengar suara dari seorang kekasih yang sudah mendampingi Rio selama 3 tahun lamanya, "aku sudah berada di bandara, mungkin sekitar 3 jam lagi aku akan menemuimu di rumah.""O-ok sayang, aku akan pulang lebih cepat hari ini," ucap Rio lalu menutup teleponnya.Andini hanya bisa terdiam ketika mendengar panggilan yang terucap dari mulut Rio, selama ini dia benar-benar tidak mengetahui jika ada orang lain di samping Rio. Dia memalingkan pandangannya ketika Rio kembali menemui dirinya serta kedua orang tuanya."Nak Rio, ibu ucapkan terima kasih sudah banyak membantu keluarga kami," ungkap ibunda Andini, "ibu harap Andini bisa lebih baik lagi ke depannya, dan kamu bisa memberikan yang terbaik untuknya," dengan penuh harapan, ibunda Andini mengusap lengan Rio.Tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut Rio, selain anggukan. Dia tahu sedang berhadapan dengan siapa, dan tak ingin memberikan harapan apapun kepada keluarga Andini. Rio kemudian segera berpamitan untuk kem
Rio terkesiap mendengar apa yang terlontar dari mulut kekasihnya itu, dia tidak pernah mengira jika Kayla akan mengajak dirinya ke sebuah tempat berdosa yang sering dia datangi selama wanita yang menjadi kekasihnya itu berada di luar negeri."Aaa...aku, hmm....," Rio mulai gelagapan karena dia tak tahu harus menjawab apa.Kedua matanya tampak layu dengan wajah tersalip kepanikan di barengi dengan keringat dingin yang tiba-tiba saja mengalir membasahi bagian sisi telinganya."Honey!""Are you okay?" tanya Kayla menatap Rio."Yeah...sure, i'm good," jawabnya lalu menarik gelas yang ada di sampingnya."Sial, kenapa harus berpesta di sana sih!" gerutu Rio dalam hati, perlahan ekor matanya mendelik ke arah kekasihnya.Kayla dan Rio menumpahkan rasa rindunya dengan saling bercerita satu sama lain, di barengi dengan candaan yang membawa malam itu menjadi semakin syahdu."Rasanya aku tak ingin berpisah lagi mas," Kayla menjatuhkan kepalanya ke pundak Rio."Cukup beberapa bulan ini hatiku sera
Robby menaikkan sudut mulutnya, menyeringai lalu memutar roda untuk menghadapkan wajahnya ke arah Rio."Aku ingin Laudya kembali ke rumah malam ini juga," pinta Robby melemparkan tatapan sinis ke arah putranya itu."Apa kau yakin tidak akan menyakitinya lagi jika dia pulang kembali ke sana huh?" tanya Rio kesal karena Robby tidak menunjukkan sikap yang ramah ketika meminta putri bungsunya itu pulang."Seharusnya aku yang berkata seperti itu Rio," timpal Robby."Selama ini kau saja tega menelantarkan kami,""Bukankah itu lebih menyakitkan?" lanjutnya dengan wajah perang.Rio hanya menggelengkan kepala, dia hanya bisa diam mendengar ocehan Robby yang sudah ngelantur dan mendramatisir semuanya. Dia tak ingin perdebatan ini di dengar oleh Kayla dan juga Anna, karena keduanya selalu terbebani ketika Rio kembali bermusuhan dengan ayah kandungnya itu."Cukup ayah!" terdengar suara Laudya dari balik pintu menghentikan ocehan Robby terhadap Rio."Aku sudah muak dengan sikapmu yang selalu ingin
Terdengar suara Robby di telinga Anna sedang memanggil kedua putranya, dia segera melangkah ke sisinya sambil menitikkan air mata."Anna!" dia melirik ke arah istrinya dengan kantung oksigen menutupi mulut dan juga hidungnya."Mas...," Anna tak mampu menahan lagi air mata yang membendung di kelopak matanya.Rio hanya menatap keduanya dari depan tempat tidur, hatinya tak merasakan apapun ketika melihat sang ayah sudah mulai menunjukkan tanda-tanda yang kurang baik. Dia melihat Robby sedang membisikkan sesuatu kepada Anna.Air mata sang ibunda berderai semakin kencang, seolah dia sedang mendapatkan sebuah pesan yang sangat mengiris hatinya."Rio kemari nak," kata Anna memanggil putra sulungnya untuk duduk di samping Robby.Anna membukakan kantung oksigen yang melingkar di wajahnya, agar Robby dapat berbicara dengan jelas kepada Rio.Keduanya hanya saling beradu pandang tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka,
Rio benar- benar tidak berdaya, seluruh tubuhnya terkulai lemas di atas brankar ambulance. Kedua matanya tertutup rapat, dan wajahnya masih berceceran noda berwarna merah.Kayla mendampingi Rio menuju rumah sakit, air matanya mengalir begitu deras melihat kekasihnya harus mengalami hal ini. Sesampainya di sana Rio langsung di beri tindakan oleh petugas paramedis agar dia bisa segera pulih."Kayla!" Reynold berlari dari ujung lorong mendekati Kayla, dia tidak bisa menyembunyikan kepanikan di wajahnya."Bagaimana keadaan Rio?" tanya Reynold langsung meraih tubuh Kayla untuk memberikan kekuatan kepadanya."Randu hampir saja menghabisinya Rey!""Aku takut Rey!" air mata Kayla begitu deras mengalir dari kelopak matanya.Reynold tidak sempat menemani dirinya karena dia harus menghapus beberapa bukti yang bisa menjerumuskan Rio ke dalam masalah yang lebih besar. Karena dia tahu jika Rio adalah orang yang ceroboh, jadi dia memutuskan untuk per
Gema suara mantan sahabat karibnya itu merasuk ke telinga Rio hingga membuat kedua matanya terus berkeliling, mengamati keadaan sekitarnya."Randu!" gumam Rio terus mencari keberadaannya.Suasana di ruangan itu sangat redup, beberapa killatan cahaya nampak dari mezanine yang terbuat dari besi. Derap langkah kaki dari sepatu yang di kenakan Randu mulai menelisik ke dalam telinga Rio, perlahan dia mulai mendongkakkan kepalanya ke atas."Halo Rio!" sapa Randu kemudian menyalakan semua lampu ruangan.Dia melipat kedua tangannya di atas pagar besi lalu melemparkan senyuman sinis kepada Rio. Di sampingnya terdapat belasan anak buah Randu sedang mendampingi dirinya, di lengkapi dengan senjata laras panjang.Kedua mata mereka saling beradu pandang, menyimpan banyak rahasia di masa lalu yang telah terkubur di dalam hatinya masing-masing."Aku pikir Kayla sudah mengatakannya kepadamu Rio," Randu berjalan menuruni anak tangga yang ada di belakang
Rio kehilangan kata-kata setelah mendengar semua cerita darinya, ternyata impian yang ia raih selama ini bukan hasil dari jerih payahnya. Dia merasa rendah di hadapan Kayla, karena telah memperjuangkan semuanya untuk Rio."Lalu sekarang dimana Damien?" tanya Rio penasaran dengan pria yang telah menghancurkan semuanya itu."Sayang, aku mohon...,"Kayla mendekat ke samping Rio kemudian memberikan pelukan yang menyatukan luka dan cinta, dia tak ingin Rio membahas masalah ini lagi. Apalagi dia harus berurusan dengan mafia keji yang tidak pernah pandang bulu."Aku hanya ingin mengembalikan harkat kedua orangtuaku Kay," berbisik ke telinga Kayla."Please, dengarkan aku mas,""Jangan buat masalah ini jadi runyam kembali, hanya karena kamu terlalu egois," ucap Kayla menatap Rio dengan penuh harapan."Sebaiknya kau pulang Kay, aku sedang ingin sendiri," Rio mendorong lembut tubuh Kayla, kemudian dia segera keluar dari kamar ini sambil
Anna mengunci mulutnya rapat-rapat, dia tak ingin kenangan di masa lalunya itu harus di ungkap kembali kepada putra kesayangannya. Dia hanya menepuk pundak Rio lalu mengusapnya dengan penuh kasih sayang."Ayahmu sudah mulai membaik,""Ibu harap hubungan kalian pun ikut membaik," kata Anna lalu meminta Rio untuk duduk di sampingnya.Pukul 11 malam Robby terlihat berada di atas kursi roda bersama dengan salah seorang petugas medis. Rio langsung menyambutnya kemudian membawa Robby ke ruang rawat terbaik di rumah sakit ini."Darimana saja kau Rio?" tanya Robby saat Rio mendorongnya."Maafkan aku ayah, semalam ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan," jawab Rio membuat alasan klise kepada Robby.Pagi hari Rio berpamitan kepada kedua orangtuanya, dia berjanji akan kembali setelah project bersama dengan Bosley selesai. Hari itu Rio langsung menemui Andini, kemudian membawanya ke sebuah studio yang berada tidak jauh dari kantornya."
Kayla terus saja berbicara hingga dia mendengar suara-suara perdebatan kecil di balik telepon, kemudian dia menekan tombol volume yang ada di bagian kanan, untuk mendengarkan semuanya. Matanya mulai menyipit seolah sedang berusaha mengenali suara di balik ponsel.Lengannya terus menggenggam erat ponsel miliknya sambil menghadapkan pengeras suara ke arah lubang telinga."Lucy!""Kau kah itu?" tanya Kayla setelah beberapa detik kemudian dia mulai mengenali suara tersebut.Hati Reynold mulai tak karuan, dia terus memainkan dasi karena takut ketahuan jika Rio sedang berada di Club Seven Eight bersama dengan Andini."Halo Lucy jawab aku!" Kayla terus memanggil namanya."Halo Kay, maaf jika aku lancang telah berani menjawab panggilan darimu," terdengar jelas suara Lucy di telinga Reynold."Dimana Rio?" tanya Kayla menaikkan nada bicaranya."Ah...ma-maaf Kay, dia tidak sadarkan diri kar
Rio melihat sebuah kertas yang berisikan plan map mega project yang pernah akan di jalankan bersama dengan Mr. Alan. Ternyata Randu menjual semuanya kepada Damien tanpa sepengetahuan Kayla dan juga Reynold karena Mr. Alan hanya ingin berdiskusi masalah ini dengan Rio.POV KAYLA DAN RANDUMalam itu Kayla mendapat telepon pada pukul 3 dini hari, dia segera menemui Randu di depan rumahnya."Maaf Kay, semuanya rencana yang kita susun di tolak mentah-mentah oleh Alan," kata Randu saat Kayla masuk ke dalam mobilnya."Damien tetap ingin menghabisi Rio dan keluarganya, karena Alan tidak ingin kembali bekerjasama dengannya lagi," sambung Randu dengan air muka penuh dengan kegelisahan.Kayla hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, karena tidak ada jalan lain untuk membereskan masalah ini semua, kecuali mengembalikan Mr. Alan ke posisi semula. Tapi dia tahu, jika sang pemilik uang sudah terkesima dengan cara kerja Rio yang cek
"Sebaiknya kau urus saja dia,""Biar Kayla menjadi urusanku," jawab Reynold kemudian meninggalkan keduanya.Saat berada di luar kamar, dia segera menghubungi Kayla untuk meminta dirinya segera datang ke Kafe Jonnah yang berada tidak jauh dari rumahnya. Reynold langsung tancap gas untuk segera menuju ke tempat tersebut.Sesampainya di sana, dia sudah melihat Kayla sedang duduk di luar bersama dengan Tuan Jonnah, sang pemilik kafe."Halo Rey!""Apa kabar!" sapa pria berusia 65 tahun itu saat dia mendekat ke arah Kayla.Keduanya saling berpelukan karena sudah cukup lama Reynold tidak mengunjungi tempat itu, terlebih kepergian Kayla ke luar negeri membuat dia enggan untuk datang kemari sendirian."Kemana dia?" tanya Tuan Jonnah menyapu sekelilingnya mencari keberadaan Randu."Kau masih mencari bocah nakal itu?" celetuk Kayla menyela pertanyaan Tuan Jonnah."Dia sedang berada di luar kota tuan, dan sekarang kami telah berpisa
POV RANDU & REYNOLDMalam itu hujan cukup deras mengguyur kota, Randu berada sendiri di dalam kantor sambil memegangi kepala. Dia tak tahu harus berbuat apa karena surat yang ada di hadapannya kini harus segera di serahkan kepada Rio.Suara dentang dari bell yang ada di pintu mengejutkan dirinya, terlihat Reynold sedang memasuki kantor dengan pakaian kusut dan juga basah."Hujan malam ini cukup besar sekali brother!" kata Reynold sambil mengepak-ngepak tubuhnya.Dia langsung memutar bola matanya menatap Randu karena tidak mendengar jawaban darinya, perlahan Reynold mendekat sisinya."Surat apa itu?" tanya Reynold perlahan mengangkat selembar kertas yang berisikan pasal perjanjian serah terima."Kau gila!""Apa-apaan ini?" pekik Reynold setelah membaca semua isinya."Entahlah Rey, dari sejak tadi aku bingung harus berbuat apa!" jawab Randu meremas kepala dengan kedua tangannya. Kemudian dia menceritakan apa
Rio terkejut mendengar apa yang terucap dari mulut Robby, karena seingat dia Randu telah mencuri beberapa blueprint proyek besar miliknya. Karena ulahnya, Rio harus kembali memulainya dari awal, karena semua investor yang di dapat olehnya di bawa lari oleh Randu."Aku tau semua permasalahanmu dengannya Rio," kata Robby, "karena dia melakukan semuanya itu untukku," sambungnya.Rio langsung menyandarkan tubuhnya, memikirkan kembali semuanya namun dia masih belum percaya dengan semua perkataan Robby. Karena dari sejak awal, Robby memang tidak pernah suka jika Rio membangun usahanya sendiri.Beberapa jam kemudian, nampak seorang wanita berusia 40 tahun datang memasuki ruangan bersama dengan dua orang lainnya."Selamat siang tuan Robby," sapa Alinda, wanita yang pernah menjadi sekretarisnya di masa lalu."Maaf aku harus merepotkanmu kembali," ucap Robby kemudian mengangguk, memberi kode agar Alinda segera memberikan beberapa berkas yang sudah ada di tan