Sementara itu di rumah yang berbeda. Rumah sederhana yang tidak terlalu besar itu Lisa beristirahat.
Menatap langit berbintang dari jendela kecil kamarnya. Lisa tersenyum menatap bintang yang berhamburan di atas sana. “Apa ayah dan ibu juga merindukanku?”
Itu semua adalah hal yang dilakukan Lisa hampir setiap malam, dia memang suka melepas kerinduan dengan kedua orang tuanya melalui bintang-bintang.
Serasa penatnya sudah menghilang jika Lisa mencurahkan kerinduan kepada sang bintang-bintang.
Hari sudah makin larut. Lisa segera merebahkan tubuhnya di sebuah kasur lantai yang keras itu. Dia mulai memejamkan matanya sambil memeluk bingkai foto kedua orang tuanya.
Di rumahnya sendiri diperlakukan seperti pembantu, bahkan lebih layak dari seorang pembantu. Ibu tirinya sengaja hanya memberi sebuah kasur lantai sebagai pelepas penatnya di malam hari.
Kamar tersebut sangat kecil, berukuran 3 x 2 meter. Tidak ada barang-barang mewah maupun barang-barang yang layak.
Lemari di kamar Lisa hanya sebuah lemari kain portabel tanpa penutup. Ada meja kecil berukuran 50 x 50 cm di dekat dengan jendela. Meja kayu tersebut sudah tidak kokoh lagi dan kursi plastik sebagai pelengkapnya.
Cermin miliknya satu-satunya juga terpasang di tembok. Meskipun sudah retak menjadi tiga bagian Lisa tetap menggunakannya.
Dengan segala keterbatasan yang dimiliki pada kamarnya, Lisa harus mempergunakannya dengan baik dan sangat berhati-hati. Sedikit ceroboh Lisa bisa menghancurkan kepemilikannya yang sudah tak kokoh tersebut.
Lisa meringkuk kanan tubunya dengan dibalut selimut tipis. Lisa sedari tadi sudah mengajak matanya untuk tidur. Namun nyatanya sang mata menolak diajak berkompromi.
“Ayo tidur Lisa, besok masih banyak pekerjaan yang harus kamu kerjakan.” Ucap lirih Lisa.
Lisa bangun dan menyandarkan punggungnya ke tembok. Kedua jari jemarinya memijat pelan pelipis yang mulai pening tersebut. “Kenapa aku memikirkan dia?”
Memang saat ini yang menguncang pikiran Lisa adalah laki-laki yang sewaktu itu mengecup bibirnya. Lebih tepatnya itu adalah sebuah ketidaksengajaan, kecelakaan.
Tapi bayang-bayang itu berhasil menghantui Lisa. Saat ini Lisa tidak bisa berhenti memikirkannya. Memang kejadian itu baru terjadi siang tadi, masih sangat membekas di hati Lisa.
Lisa mengacak-acak rambutnya yang terurai bebas tersebut. “Ah, tidak-tidak Lisa.” Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, “kau tidak perlu memikirkan laki-laki Casanova sepertinya Lisa.”
Lisa tetap berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk melupakan laki-laki tersebut dan melupakan kejadian tersebut.
“Kau tidak pantas untuk mencintai laki-laki sepertinya,” ucap Lisa kembali.
Lisa memang tidak mempunyai kepercayaan diri yang lebih. Dia selalu merasa berkecil hati dengan teman – teman sebayanya.
Baginya dia tidak pantas berteman dengan siapapun. Itulah yang membuat dirinya tidak memiliki seorang sahabat.
Lisa selalu minder dengan keadaannya sekarang. Jauh dari kata modis dan tidak pernah percaya diri dengan kecantikan alami yang dimilikinya.
Kulit Lisa memang sedikit kusam karena selalu terpapar dengan sinar matahari tanpa perlindungan apapun. Bahkan jenis-jenis dan nama-nama skin care pun Lisa tidak mengenalinya.
Di saat teman-teman sebayanya menghabiskan waktu senggangnya untuk bermain dia bekerja. Saat teman-temannya memiliki waktu senggang pergantian mata kuliah lainnya. Lisa hanya membaca buku.
Keadaan Lisa memang jauh dan selalu mendapat penderitaan. Untuk membiayai kuliahnya saja dia harus berjuang mati-matian dengan bekerja tanpa kenal waktu.
Untung saja sekarang kuliah Lisa sudah hampir usai. Tinggal menunggu wisuda kelulusannya. Hal itu adalah satu – satunya cara Lisa bangkit dari penderitaan ini.
Setidaknya kalau dia bisa mempunyai pekerjaan yang layak, dia akan hidup jauh lebih layak dari sekarang.
Karena tak kunjung bisa tidur memikirkan Ken. Lisa beranjak dari kasur lantainya tersebut. Dia mendekati meja kayu tak kokoh yang hampir roboh tersebut.
Lisa mengambil sebuah buku yang warnanya sudah kusam karena berkali-kali dipegang dan di bolak – balik.
Dia mulai menggoreskan pensilnya ke buku tersebut. Ia melanjutkan sebuah design rumah besar. Itu adalah keahliannya mendesign rumah dan sekarang yang di design olehnya adalah rumah impiannya kelak.
Sesuai dengan permintaan ayahnya dulu. Lisa harus bersekolah arsitek agar bisa membesarkan namanya. Meskipun ia sendiri tak menyukainya, tapi itu sudah menjadi janji kepada ayahnya untuk membuatkan design rumah yang apik.
Baru beberapa goresan pensil tertera di bukunya, namun matanya mulai sayu. Sungguh pekerjaanya tersebut membuatnya jauh lebih tenang. Menghilangkan semua kekacauan dalam pikirannya.
Berkali-kali Lisa mulai menguap. Bukunya segera ia tutup dan ia kembalikan buku tersebut.
Lisa kembali tidur di tempatnya yang di anggap paling nyaman tersebut, kasur lantai. Tubunya sudah meringkuk dan kakinya di balut dengan selimut tipis.
“Semoga besok akan datang kebahagiaan,” ucap Lisa sebagai pengantar tidurnya.
Tak terasa Lisa memejamkan matanya sudah hampir subuh. Sementara sekarang mentari sudah menunjukkan batang hidungnya. Lisa masih terlelap karena tidur terlalu pagi.
Di luar sana Elga sudah kesal dengan Lisa yang belum kunjung unjuk gigi. Padahal dia hari ini harus pergi pagi-pagi untuk pemotretan.
Eitsss, jangan salah sangka. Elga bukanlah seorang model, dia hanyalah seorang assisten model yang lumayan terkenal. Dia harus mengantarkan tuannya untuk pergi ke luar kota.
Bibir Elga sudah mengerucut di meja makan. Belum ada sarapan dan kopernya belum di keluarkan dari kamar.
“Memangnya aku siapa harus menunggu?” keluh Elga kesal pada Rosa.
“Kemana lagi anak itu,” Rosa juga ikut menyambung.
Tak kunjung menunjukkan batang hidungnya, Rosa segera mencari keberadaan Lisa di kamar.
“Ceklek…”
Pintu terbuka sementara Lisa masih terlelap. Mungkin sedang asyik-asyiknya dengan bunga tidurnya.
“Dasar anak tidak tahu diri,” umpat Rosa.
Geram dengan ulah Lisa, Rosa mengambil gayung berisi air penuh dari kamar mandi. “Ibu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Elga namun hanya dihiraukan Rosa.
Rosa berjalan dengan wajah murkanya menuju kamar Lisa kembali. Tanpa basa basi Rosa menyiramkan air tersebut ke wajah dan seluruh tubuh Lisa. Sekarang Lisa basah kuyup.
“Aaaaa….”
Lisa sungguh terkejut bukan main karena hal tersebut. Mimpi indahnya di bangunkan dengan air yang membasahi seluruh tubuhnya.
Rosa berkacak pinggang. “Masih bisa teriak ya?” Rosa menyindir.
Elga yang mengetahui teriakan Lisa begitu kencang itu langsung menghampiri mereka. Elga tersenyum puas melihat Lisa yang sudah basah kuyup.
“Memang enak?” batin Elga sambil tersenyum sinis.
Kedua bola mata Rosa hampir lepas menatap Lisa. Lisa hanya bisa menunduk. “Apa kau tidak tahu sekarang jam berapa?” tanya Rosa.
Lisa tidak memiliki ponsel sehingga tidak memiliki pengingat bangun pagi jika tidurnya terlalu larut dan kelelahan. Bahkan jam diding di kamar tersebut pun tidak ada sama sekali.
“M.. M.. Ma.. Maaf bu..” jawab Lisa gugup.
“Apa kamu lupa dengan tugasmu, hu?”
Lisa menggeleng, “tidak bu.”
“Lantas hukuman apa yang pantas untukmu?” tanya Rosa lagi.
Lisa langsung berlutut di kaki ibu tirinya. “Ampun bu !” dia memohon dengan pilu. “Jangan hukum Lisa!”
Rosa hanya melipat kedua tangannya di atas perut, wajahnya ia buang ke samping.
Elga yang semakin puas ikut menyambung, “aku sudah tidak berselera makan bu.”
Rosa menendang Lisa agar menyingkir dari kakinya. Tubuhnya langsung menghadap ke anaknya yang terlihat kecewa. “Ibu bisa menyuruhnya untuk membuatkanmu sarapan sayang.”
“Tidak,” Elga langsung beranjak. “Lebih baik ibu mengantarkanku ke rumah nyonya muda,” ajak Egla kepada ibunya.
Kali ini Lisa selamat, karena ibu tirinya lebih mementingkan anak kesayangannya tersebut. Lisa tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia segera menggarap pekerjaan rumah dan segera pergi bekerja agar ibunya tidak memarahinya lagi.
Pagi itu di meja makan rumah milik Ken. Para pelayan sudah menyiapkan sarapan untuk tuannya. Banyak sekali pilihan, ada sandwich, buah-buahan dan omelette.Ken akan memilih sendiri makanan apa yang akan disantap untuk sarapannya pagi ini. Dan tugas pelayannya hanya menunggu perintahnya untuk menyiapkannya.Dengan kemeja lengkap dengan jas dan dasi Ken keluar dari kamarnya yang super megah tersebut. Sang pelayannya juga berjalan di belakangnya membawakan tas milik tuannya.Ketampanannya dan wibawanya sangat terlihat ketika Ken menuruni anak tangga. Para pelayan juga sudah menyambut di bawah, di ruang makan.Mereka berdiri berjajar menyambut sang tuan. "Selamat pagi Tuan Ken," sapa mereka serentak."Pagi," jawab Ken dengan wajahnya yang dingin.Tak ada senyuman yang hampir membuat para bawahannya tunduk ketakutan. Sementara itu Ken segera duduk di bangkunya.Matanya melirik seisi meja makan. Banyak makanan yang tersedia namun pilihannya
Zae melajukan mobilnya dari rumah tersebut sambil bergumam kesal karena harus menemui perempuan paruh baya. Zae pikir perempuan itu adalah yang dimaksud oleh Ken."Bodohnya aku harus mengikuti kata-kata orang yang sedang mabuk," gumam Zae.Zae pikir Ken saat itu sedang mabuk, sehingga kehilangan akal. Perempuan paruh baya dianggapnya sebagai gadis cantik yang memiliki bibir dan mata cokelat yang indah.Di sepanjang perjalannya menuju kantor Ken, Zae terus menggerutu kesal. Sampai dia tidak sadar hampir menabrak seorang gadis."aaaaaaaa…."Teriak gadis yang hampir tertabrak oleh Zae dengan sekuat tenaga. Zae juga dengan cepatnya menghentikan mobilnya.Gadis tersebut berdiri sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sementara kakinya sudah berjarak beberapa cm saja dengan mobil Zae. Salah sedikit Zae tadi bisa membahayakan gadis itu.Zae segera keluar dari mobilnya mendekati gadis tersebut. "Apa kau baik- baik saja Nona?"
Mendengar hal tersebut Ken segera berlalu dari hadapan Zae. Buru-buru Ken mencari kunci mobilnya. Tanpa berpikir panjang Ken pergi dari kantor menggunakan mobil sedan mewah miliknya."Dasar bodoh," gumam Ken karena kesal dengan Zae.Menurut Ken kali ini Zae benar-benar tidak bisa diandalkan. Seorang CEO hari ini turun tangan sendiri untuk memastikan apa yang dikatakan oleh Zae itu benar atau tidak.Ken berhenti di depan kediaman Risa. Mobilnya agak jauh di parkiran agar tidak ketahuan pemilik rumah tersebut. Matanya tak henti memandang rumah Risa.Ken ragu-ragu untuk turun dan menanyakan langsung perihal gadis tersebut. Di samping karena tidak suka dengan Risa, dia juga sangat menjaga harga dirinya di depan orang banyak.Tak lama setelah ia mengamati rumah tersebut. Ken benar-benar terkejut karena seorang perempuan paruh baya berpakaian pelayan masuk ke rumah Risa membawa sebuah kantong belanjaan.Ken kali ini benar-benar membuktikan apa yan
Tidak ingin ibunya marah lagi, Lisa hari ini bangun pagi-pagi. Memasak nasi uduk untuk nanti dijualnya. Hari ini memang Lisa harus bekerja keras karena kemarin seharian dia tidak bisa memberikan uang kepada sang ibu.Setelah semuanya usai, Lisa segera membungkusnya. Lisa memanglah terampil dan cekatan, makanya dengan mudahnya ia bisa menyelesaikan seratus bungkus nasi uduk itu sendiri.Tak lupa ia juga menyisakan untuk ibu dan kakaknya sebagai sarapan pagi ini. Setidaknya hari ini bisa bernafas dengan lega bisa kembali bekerja.Sementara Elga dan Rosa tengah asyik menonton televisi. Menonton berita adalah salah satu sarapan mereka di pagi hari.Berita hari ini sangat menyenangkan bagi Elga, sebab sedang membicarakan seorang pengusaha muda yang cukup terkenal di negeri ini. Parasnya yang tampan dan tentunya masih berstatus lajang, membuat banyak gadis tergila-gila dengannya.Tak terkecuali dengan Elga. Meskipun mereka sama – sama saling tidak mengen
Lisa menguyur tubuhnya yang sudah setengah basah itu menggunakan air dingin. Sejenak ia bersandar di dinding kamar mandi, merenungkan penderitaannya sekarang."Ayah, ibu… Aku rindu kalian," lirih Lisa.Seutas ucapan kata rindu sudah cukup membuat Lisa menjadi lebih tegar. Dia segera beranjak keluar dari kamar mandi dan mengganti pakaiannya.Lisa harus menyetorkan nasi uduk ke beberapa warung langganannya. Menyisakan sedikit untuk diberikannya kepada para pengemis. Sebab baginya mustahil harus menjual seratus porsi penuh dengan berkeliling.Lisa tidak akan pernah menyesal jika harus membagikan dagangannya kepada para pengemis, meskipun hampir setengahnya sekalipun. Sedikit meringankan beban orang lain, setidaknya membuatnya cukup senang.Yang namanya berjualan Lisa paham betul resiko akan merugi, tidak ada rasa penyesalan sedikit pun jika ia harus pulang membawa kembali dagangannya yang tidak laku.Hari ini Lisa berencana untuk datang ke kant
Zae masih terus menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. Sampai sekarang dia tidak habis pikir dengan Lisa dan ponsel.Dalam hatinya masih memperdebatkan mengenai ponsel. Memang terdengar konyol, tapi begitulah Zae."Apa mungkin dia tidak mau memberikanku nomor ponselnya ya?" tanya Zae pada dirinya sendiri."Ah tidak.. tidak.." Zae membantah isi hatinya sendiri. "Sudah jelas-jelas dari sorotan matanya tidak ada tanda-tanda kebohongan."Zae berjalan masuk ke ruangannya. Tangan kirinya masih menggenggam dua bungkus nasi uduk yang dibeli dari Lisa tadi. Sementara pikirannya masih sedang berdebat mengenai ponsel dengan lubuk hatinya.Dia sampai tidak sadar kalau karyawan lain sedang membicarakan Zae dan menahan tawa mereka. Seorang Zae masuk ke kantor membawa nasi uduk yang dibungkus dengan kertas nasi. Sungguh pemandangan yang tidak biasa dan tidak pernah terjadi."Sepertinya sekarang Tuan Zae sedang susah. Buktinya dia sekarang sudah tidak ma
Semenjak pertemuan terakhir Lisa dengan Ken. Kini tanpa sepengetahuan Lisa, dia selalu diikuti oleh para pengawal bayangan. Mereka sengaja di tugaskan oleh Ken untuk menjaga dan mengawasi gerak-gerik Lisa.Terlihat konyol bukan? Tapi apapun yang sudah dikehendaki oleh Ken, dia harus tetap mendapatkannya termasuk yang menjadi incarannya adalah Lisa.Ken hanya ingin mengetahui aktifitas Lisa dan kesehariannya saja. Dan tujuan lainnya adalah mencari celah untuk membawa Lisa ke hadapannya.Tugas para pengawal bayangan itu sangat rapih, tak satupun yang mengetahuinya. Jelas saja kalau sampai mengetahuinya pasti Ken akan marah besar, sebab dia sudah membayar mereka dengan harga yang mahal.Orang kaya seperti Ken akan sangat mudah mendapatkan yang diinginkan. Oleh sebab itu para orang suruhan Ken haru selalu melaporkan aktivitas Lisa padanya.Seperti biasanya Lisa pergi bekerja ke rumah majikannya, Risa. Dia hari ini hanya ke rumah Risa saja karena di tem
Bi Lin tersenyum licik melihat kepergian Lisa. Ia segera keluar menghampiri beberapa laki-laki yang berbadan besar dan kekar mengenakan pakaian serba hitam itu.Beberapa laki-laki tersebut juga sama tersenyum liciknya membalas senyum dari Bi Lin. "Bagaimana? Apa semua berjalan dengan baik?" tanya salah satu laki-laki tersebut.Bi Lin mengangguk sambil tersenyum. "Apa kau tidak lupa dengan janjimu Tuan?" tanya Bi Lin."Tentu saja tidak Nyonya, Tuan kami tidak akan pernah ingkar." Jawab salah satu laki-laki di antara mereka.Bi Lin diberi sebuah amplop cokelat dari mereka, sebagai imbalan telah menjalankan tugas dengan baik. "terimakasih Tuan-Tuan, " ucap Bi Lin sambil menciumi amplop-amplop tersebut.Beberapa laki-laki tersebut mengikuti langkah Lisa yang sudah kehilangan arah tersebut. Mereka adalah pengawal bayangan yang ditugaskan oleh Ken mengawasi gerak gerik keseharian Lisa.Flashback OnPagi itu pengawal bayangan suruh
Menginap semalaman dan menghabiskan malam-malam indah dengan bercinta ternyata tak membuat Zae puas. Rasa rindu itu masih menyelimuti dirinya, mengingat beberapa bulan Zae tak bertemu dengan kekasihnya.Siang ini Juwita dan Zae pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di ibu kota. Dengan senang hati Zae menemani Juwita untuk pergi berbelanja, melewatkan pekerjaannya di perusahaan yang sebenarnya menumpuk.Mereka bergandengan layaknya pasangan kekasih. Hehe, tapi memang benar sih mereka adalah pasangan kekasih. Mengacuhkan setiap perkataan orang yang mencibir hubungan mereka. Itu adalah sesuatu yang wajar, nitizen julid selalu akan menghujat kebaikan dan semakin menghujat keburukan.Juwita mengenakan pakaian casual, leging hitam, kaos berwarna nude pink dengan dipadukan rompi hitam dan rambut yang diikaf ke atas. Sementara Zae masih setia dengan pakaian formalnya, kemeja berwarna navy dan celana hitam. Mereka nampak serasi meskipun usia yang terpaut jauh, perempuan
Elga terkekeh. "Ah kau ini. Nampaknya belum tahu ya jika pagi ini aku mendapatkan undangan spesial dari adik ipar." Lisa mempertajam tatapannya. Elga mengangguk antusias. "Ya, undangan sarapan pagi bersama kalian." Elga melirik Ken. "Artinya aku orang terpenting di mansion ini bukan?" Seringai itu terbit di bibir Elga.Lisa menatap tajam ke arah suaminya, melipat kedua tangannya di atas perut. Bibirnya semakin mengerucut, membuatnya menggemaskan.Tingkah Lisa membuat Ken tak berkedip sedikitpun. "Ah, menggemaskan." Pikir Ken. Bisa-bisa disaat seperti ini menganggap Lisa menggemaskan. Dasar kau, Ken.Merasa kesal diacuhkan, Lisa mencubit lengan Ken dengan keras. Hingga Ken terpekik kesakitan. "Aw," keluhnya. Ken mengusap bekas cubitan dari Lisa yang mungkin sudah memerah.Ken membawa Lisa ke dalam dekapannya. Membisikkan sesuatu yang membuat Lisa tersenyum.Adegan mesra itu terlalu membuat Elga memanas. Ia meleraikan pelukan sepasang suami istri tersebut
Keesokan harinya. Nampak Ken sudah bangun pagi sekali dari tidur panjangnya. Ia segera turun ke lantai dasar untuk menemui para koki.Masih mengenakan bathrobenya, dengan langkah yang angkuh namun berwibawa. Ken mendekati dapur, mengagetkan para koki dan maid yang sedang asyik dengan pekerjaan mereka.Mereka seketika langsung menunduk memberi rasa hormat, meski kaki mereka gemetar namun masih tetap beediri dengan tegak. Aura dingin mencengkram memenuhi dapur tersebut.Ini adalah kali petamanya Ken menginjakkan kakinya, apalagi wajahnya datar dan tatapannya masih saja tajam. Dan ini masih sangat pagi sekali, masih pukul setengah enam. Wajar saja semua pekerjannya bergetar ketakutan.Paman Li yang mengetahui situasi ini segera mendekati Ken, tak mau kondisi pagi ini menjadi semrawut. "Selamat pagi Tuan," sapa paman Li sambil tersenyum. "Maaf Tuan, kenapa merepotkan diri datang ke dapur. Tempat ini sangat kotor, kenapa tidak memanggil saya saja.""Ck!" Ken
Harap bijak memilih bacaan, konten ini mengandung adegan dewasa. Bagi yang dewasa dan berpuasa, harap membaca setelah berbuka atau sebelum sahur. Terima kasih ;)"Antarkan mama pulang dan tanyakan apa yang sebenarnya terjadi!" Titah Ken pada Zae.Ken segera berlalu dari ruangan tersebut, lagi pula ia juga sudah mendengarkan sendiri bahwa Lisa baik-baik saja. Ia segera menuruni anak tangga melihat situasi dan kondisi di bawah sana. Baginya membiarkan Juwita berkeliaran sebentar saja sudah membuatnya was-was. Apalagi tadi ia menghabiskan beberapa menitnya menyaksikan Lisa baik-baik saja.Suara riuh dan gerumulan para maid membuat jantungnya berdesir begitu kencang. Zae mengedarkan pandangannya mencari sosok Juwita. Ia mempercepet langkah kakinya setelah mendapati Juwita sedang marah-marah pada Elga. Bukan karena ia khawatir pada Elga, melainkan karena ia khawatir pada Juwita.Juwita berdiri berkacak pinggang di hadapan Elga yang tersungkur di lantai, entah apa
Juwita menghentikan langkahnya, mendengar sapaan tersebut. Ia menatap Elga dari ujung kaki hingga ujung rambut. Berasa asing dengan maid yang satu itu. Sementara itu Elga besar kepala, ia menunduk tersipu. Menyelipkan anak rambutnya di belakang telinga. Ia pikir Juwita terkesima karena kecantikannya.Juwita tesenyum masam. Sudah hafal dengan gelagat iblis betina itu sepertinya. "Apa kau baru disini?" Tanya Juwita dengan suara yang dingin.Elga masih belum menyerah menghadapi Juwita, orang yang ia klaim sebagai calon mertuannya tersebut. "Iya Nyonya," balasnya dengan suara anggun yang dibuat-buat.Juwita mengangkat dagu Elga agar menatapnya, ia tersenyum miring melihat Elga yang bersemu. "Memangnya kau pikir aku ku apakan," ucapnya mengejek.Rona wajah Elga memudar seketika. Raut wajahnya sudah masam, tapi dia tetap bersikap tenang agar tidak berbuat masalah pada Juwita yang telah ia klaim sebagai calon mertuanya tersebut.Kini Elga mengeluarkan jurus pa
Iblis betina. Julukan yang sangat pantas untuk Rosa. Wanita penggoda dan perebut lelaki orang, selain itu ia juga sangat kejam pada anak tirinya."Tapi kau tenang saja sayang, kau akan sangat aman jika bersama dengan Ken."Lisa terdiam sejenak, mengingat kejadian tempo dulu. "Ya mama bisa katakan itu. Coba saja kalau tahu pernikahan ini dulunya bermula karena apa. Apa mama masih ingin mengatakan jika aku akan aman di dalam mansion ini?" Pikir Lisa.Juwita menautkan kedua ujung alisnya, ia merasa heran dengan diamnya Lisa. "Kenapa kau diam saja sayang? Apa anak nakal itu berbuat kasar padamu? Katakan saja, jangan takut. Karena mama yang akan maju untuk memotong burungnya."Lisa terkekeh. "Ya benar ma, burungnya sangat nakal tidak mau berhenti bermain di sarang." Balas Lisa, namun dalam hati. Mana mungkin ia berani mengatakannya langsung. Sama saja urat malunya telah putus jika mengatakan hal tersebut secara langsung."Dia sama sekali tidak berbuat macam-
Lisa mengerutkan dahinya samar, meski tidak tahu kenapa Juwita menanyakan itu berulang. Meski ragu, Lisa tetap menjawabnya."Alyssa Caroline," jawab Lisa masih tenang.Tatapan dan aura dingin yang mencengkramkan kini melemah. Juwita menatap Lisa sendu, berjalan mendekati Lisa. Juwita memeluk Lisa, diikuti dengan buliran air mata yang membasahi wajahnya."Nyonya," Lirih Lisa. Bukannya menjawab, Juwita semakin erat mendekap Lisa dan semakin terisak. Lisa bingung atas apa yang terjadi pada ibu mertuanya tersebut."Caroline," Juwita terisak dalam pelukan Lisa. Lisa masih melongo mendapat perlakuan tersebut, terlebih Juwita menangis sendu. Lisa mengusap punggung ibu mertuanya tersebut, setidaknya untuk menenangkan.Lisa dengan lembut menenangkan Juwita, sampai suara isa itu melirih. Juwita melepaskan pelukannya dan meraih wajah Lisa. "Benar kau memang anaknya Caroline," ucap Juwita.Lisa terdiam, menatap kedua bola mata Juwita penuh
"Kau tidak perlu khawatir, mama tidak akan pernah marah." Mengusap rambut Lisa lembut untuk meyakinkan. "Aku akan menjelaskan semuanya pada mama. Tetaplah di sini sampai aku kembali. Jangan keluar dari kamar sebelum aku menyuruhmu." Titah Ken.Lisa mengangguk, Ken mengecup pucuk kepala Lisa dan berlalu dari ruangan tersebut. Ken mendapat kabar dari Zae bahwa Juwita sudah hampir tiba di mansion.Sementara itu, Lisa berjalan mondar mandir di kamar. Rasa takut, cemas, khawatir dan gugup bercampur menjadi satu. Ini adalah kali pertamanya Lisa akan menemui ibu mertuanya.Tidak tahu bagaimana cara menyapanya dan tidak tahu pula apa yang akan ia bicarakan pada Juwita. Ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah, takut bila Juwita tidak suka pada dirinya dan tak merestui pernikahan mereka. Sementara benih-benih cinta sudah mulai tumbuh di hati Lisa.Lisa berjalan menuju walk in closet miliknya, mencari pakaian yang ia anggap pantas dan sopan untuk bertemu dengan Juwita.
"Kenapa tidak memberitahuku dulu?" Tanya Ken dalam panggilan ponselnya kesal. Namun panggilan tersebut segera terputus.Ken kesal karena tidak penelpon mematikankannya sepihak. "Sial! Sial! Sial!" Tetap saja, Ken tetap mengumpat kesal.Brak!Pintu ruangan kerja pribadi Ken yang ada di mansion terbuka, siapa lagi kalau bukan Zae yang masuk tanpa permisi.Prangggg!Ken melempar gawainya mengenai diding di samping Zae berdiri. Jantunh Zae terpacu dengan cepat, seperti hendak lepas dari tempatnya. Karena jika saja dia tadi bergesar seinci saja pasti ponsel itu akan mengenai kepalanya.Ken memang sengaja melempar ponselnya tepat di samping Zae karena kesal. Lemparan yang mematikan tersebut membuat Zae bergidik ngeri, ditambah lagi dengan aura Ken yang mengerikan. Sikap dewasanya yang suka berkata bijak hilang seketika, berganti menjadi tunduk ketakutan. Paham betul jika Ken sedang marah."Kau kenapa Ken?" Tanya Zae basa-basi. Sebenarnya dia juga