Seorang wanita, tak berhenti menahan rasa harunya. Matanya menatap layar monitor, dimana keadaan rahimnya yang sudah terisi oleh calon bayinya. Air mata wanita itu tak terbendung lagi, dia menangis haru. Tak menyangka, jika sebuah nyawa telah tumbuh di rahimnya.
“Selamat yah Bu Elena, janinnya sudah memasuki usia dua bulan yah.” Seru sang dokter, sembari tersenyum dengan matanya menyorot ke arah Elena yang tengah menangis haru. Ponsel Elena berbunyi, dia mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Melihat siapa yang meneleponnya, senyum Elena mengembang. Tak sabar, dia mengangkat panggilan itu. “Halo Mas, Mas Arkan lagi apa?” Seru Elena saat suami tercintanya menghubunginya. “Mas lagi memikirkanmu sayang,” ujar Arkan dari sebrang sana membuat Elena tersipu malu. “Mas, aku ada kejutan untukmu.” Seru Elena dengan bahagia. “Oh ya? Apa itu?” Heran Arkan. “Ada deh, aku akan mengatakannya saat Mas pulang nanti.” Ujar Elena dengan jail. Arkan terkekeh, “Baiklah, Mas sedang ada di jalan pulang. Lampu merah di jalan ini sangat lama, Mas rasanya kesal sekali. Padahal, Mas juga ingin membawa kejutan untukmu,” “Tumben sekali, biasanya Mas sangat tidak romantis padaku.” Ledek Elena. “Benarkah? Aku selalu romantis padamu jika kita sedang di ranjang.” “Hais Mas, kenapa pikiranmu selalu ke sana? Sudahlah, aku ingin kamu pulang. Aku tidak sabar.” Elena tersipu malu, sebab dokter mendengar obrolan mereka sembari menahan senyum. “Ck, sayang sebentar. Kejutan untukmu terjatuh.” Kening Elena mengerut, sambungan dari suaminya terdengar ada suara yang tak jelas. “Mas, aku matikan teleponnya yah. Hati-hati, tak baik berkendara sembari menelepon,” “Iya sayang, sudah dulu yah. Aku mencintai ....” Bunyi dentuman yang cukup keras membuat Arkan menghentikan ucapannya. Suara klakson mobil di sertai dengan suara keras semacam ledakan memenuhi gendang telinga Elena. “Mas Arkan.” ****** Elena berlari menuju beberapa ambulans yang datang ke rumah sakit dimana dirinya berada. Setelah tadi dirinya mendapat kabar, jika suaminya mengalami kecelakaan beruntun yang berawal dari sebuah truk. Para korban sudah di keluarkan dari mobil ambulans, keadaan mereka tampak sangat memprihatinkan. Langkah Elena terhenti, saat melihat brankar seseorang yang sangat dirinya kenal di keluarkan dari dalam mobil ambulans. “MAS ARKAAAANN!” Elena menyingkirkan para tenaga medis, dirinya ingin melihat sang suami. Saat dapat melihat keadaan Arkan, Elena sontak menutup mulutnya. Air matanya berlomba-lomba untuk turun, dadanya semakin terasa sesak. Di sana, memang tak hanya Arkan yang menjadi korban. Bahkan banyak korban kecelakaan lainnya. Tapi, tidak separah Arkan. “Mas ... Mas Arkan.” Bagaimana Elena tidak syok? Tubuh Arkan di penuhi darah, bahkan wajahnya pun basah dengan darah. Kepala pria itu, sudah di perban. Namun, perban itu seakan tak mampu menahan darah yang keluar dari kepalanya. Tenaga medis membawa brankar Arkan ke ruang UGD, begitu pun dengan korban lainnya. Elena tak dapat masuk, dokter melarangnya untuk memasuki ruangan UGD. “Mas Arkan, astaga.” Elena memejamkan matanya, air matanya terus luruh. Tubuhnya hampir limblung jika seseorang tak menahan tubuhnya. “Hati-hati!” Seorang pria membantu Elena untuk duduk, dia juga membawakan botol minum untuk menenangkan Elena. “Terima kasih.” Ucap Elena pada pria itu sebelum dia pergi. “Semoga daddy bisa kembali bersama kita yah sayang, dia harus tahu kalau kamu sudah ada di perut Bunda. Daddy sudah menunggu kamu, dia pasti senang dengan kehadiran kamu.” Lirih Elena sembari mengelus perutnya. Selang beberapa waktu menunggu, akhirnya pintu ruang UGD terbuka. Seorang dokter keluar dengan pakaian medisnya. “Dok, bagaimana keadaan suami saya?!” Seru Elena dengan terburu-buru menghampiri dokter itu. Sejenak, dokter itu menatap keadaan Elena yang berantakan. Tampak sekali, jika wanita itu tengah terpuruk dengan keadaan suaminya. “Benturan di kepala pasien cukup keras karena menabrak kaca depan mobilnya. Bisa jadi karena pasien melepas sabuk pengamannya. Hingga menyebabkan pendarahan hebat yang terjadi di kepalanya akibat benturan yang cukup kuat. Tapi, kami berhasil menghentikan pendarahan itu. Namun, saya harus mengatakan dua hal yang mungkin akan membuat anda terkejut.” "Apa itu dok?” Tanya Elena dengan suara bergetar, dia sekaan tak sanggup untuk mendengarkan lebih lanjut. “Suami anda, mengalami koma.” “A-apa?!” “Juga, akibat kecelakaan itu. Suami anda mengalami kelumpuhan di kakinya akibat cedera saraf tulang belakang.” Tubuh Elena melemas, dia hampir jatuh jika dokter tidak menahannya. Elena menutup wajahnya, dia tak sanggup dengan apa yang dokter jelaskan padanya. Dirinya tidak bisa membayangkan seberapa parah yang di alami suaminya hingga mengalami luka yang begitu berat. “Tapi suami saya bisa sembuh kan Dok?” Tanya Elena dengan penuh harap. Dokter itu tersenyum tipis, “Bisa, beruntungnya kelumpuhan yang terjadi pada suami anda tidaklah permanen. Dia harus melakukan terapi agar syarafnya kembali pulih. Tapi, tentunya belum dapat di pastikan kapan kaki pasien dapat sembuh.” Penjelasan dokter, membuat Elena sedikit lega. Setidaknya, suaminya ada kesempatan untuk kembali sembuh. Walau, hal itu pastinya akan memerlukan waktu. “Aku bisa menerima keadaannya, tapi bagaimana jika dia tidak bisa menerima keadaan dirinya? Aku harus bilang apa sama Mas Arkan.” Gumam Elena. Dokter itu pamit untuk kembali ke ruangannya, sementara Arkan akan di pindahkan ke ruang ICU untuk pantauan lebih lanjut. Kondisi Arkan, di katakan dalam keadaan yang kritis. Elena, hanya dapat mengunjunginya di jam-jam tertentu. Seharusnya, hari ini adalah hari yang membahagiakan tapi justru hari yang paling menyakitkan untuknya. “Keluarga Tuan Arkan?” Tanya seorang pria berpakaian polisi pada Elena. “Ya, saya. Ada apa yah Pak?” Heran Elena, saat melihat polisi mendekat ke arahnya. “Ini adalah barang milik Tuan Arkan, jam tangan, dompet, ponsel serta kotak cincin yang kami temukan di lokasi.” Dengan perlahan, Elena mengambil barang-barang milik suaminya. Tatapannya, berpusat pada sebuah kotak beludru berwarna merah. Tanpa Elena membuka dan mengintip isinya, dia tahu jika kotak itu berisikan cincin. “Aku juga mempunyai kejutan untukmu sayang,” “Sebentar sayang, kejutan untukmu terjatuh.” Kata-kata Arkan yang sangat dirinya hafal sebelum pria itu mengalami kecelakaan. “Jadi, ini kejutan yang mas Arkan maksudkan hiks ...,” Elena menyudahi tangisannya, dia mengusap air matanya dan membuka kotak cincin itu. Terlihat, sebuah cincin dengan ukiran namanya dan juga Arkan di dalamnya. Sangat indah, membuat Elena terasa terharu. Namun, keadaan pria itu membuatnya kembali merasakan kesedihan yang mendalam. “Ck, sebentar sayang. Kejutannya terjatuh.” Elena mengerjapkan matanya, dia baru menghubungkan kejadian sebelum suaminya kecelakaan dengan cincin yang ada di genggamannya. Tebakan demi tebakan tersusun di pikirannya, dia membayangkan apa yang terjadi sebelum kecelakaan terjadi. “Apa mungkin, kotak ini terjatuh. Jadi, Mas Arkan membuka sabuk pengamannya untuk memudahkan dia mengambil kotak ini? Astaga mas ... kamu jadi terluka karena kejutan ini. Kenapa kamu buka sabuk pengamanmu.” Lirih Elena. Dari cincin itu, dia bisa merasakan betapa besarnya cinta suaminya untuknya. Elena datang ke ruang ICU, melihat Arkan dalam kondisi yang tak bisa membuat Elena tenang. Bayangan akan kehilangan pria itu menghantuinya. Elena tak sanggup di tinggalkan oleh Arkan. Dalam kondisi hamil muda seperti sekarang ini, dia butuh dukungan suami. Namun, sekarang ... seolah seperti lembaran baru kehidupannya. “Mas ... buah cinta kita sudah hadir di rahimku. Cepatlah bangun dan sapa dia.” Ucap Elena sembari meraih tangan Arkan dan meletakkannya di atas perutnya.Sudah beberapa hari, Arkan belum kunjung terbangun. Elena cemas, kerap kali dia bolak-balik rumah sakit hanya untuk menunggu suaminya terbangun dari koma nya. Tak peduli, jika saat ini dia tengah hamil. Saat ini, Elena duduk di kursi di samping ranjang pasien Arkan. Tangannya menggenggam tangan Arkan yang tidak terinfus, sesekali dia menciumnya pelan. Lalu, tangannya mengusap rambut hitam suaminya itu dengan lembut. Kemudian turun ke wajahnya yang terdapat banyak goresan luka.“Mas, aku hamil. Kapan kamu akan bangun dan menunjukkan kebahagiaanmu. Ini kan yang kamu mau? Kamu menunggu calon cinta kita tumbuh di rahimku, sekarang keinginanmu sudah terwujud. Aku hamil Mas.”Elena hanya berbicara pada Arkan yang belum tentu bisa mendengarnya. Sejenak, Elena mengusap air matanya. Dia menepuk wajahnya yang terasa sembab. Siang-malam dia terus menangisi keadaan suaminya. Tak peduli, bagaimana lusuhnya dia saat ini.Mendengar suara pintu yang terbuka, tatapan Elena beralih menatap pintu, dia
Jawaban Arkan seolah sebuah pisau yang menghujam jantung Elena. Tak sanggup dengan kenyataan yang ada, Elena hanya bisa diam dengan bibir yang bergetar menahan tangis. “Abang! Ini Kak Elena, istri abang!!” Sentak Vina dengan suara bergetar. Arkan menggeleng, dia memukul-mukul kepalanya dengan kuat. Para tenaga medis pun menahan Arkan yang tak terkendali itu. Arkan hanya mengingat tentang Selia mendiang istrinya sebelum menikah dengan Elena. “VINAAA!! PANGGIL KAN SELIA! SELIA ISTRIKU! BUKAN WANITA ITUU!” Teriak Arkan, matanya memerah menahan sakit. Karena permintaannya tak kunjung di kabulkan, Arkan berniat ingin turun dari ranjang pasien. Namun, dirinya tertegun sejenak saat merasakan ada yang aneh dari kakinya. Dia merasa sakit yang amat ketika kakinya di gerakkan. “Arghh! Kaki ... kaki saya kenapa Dok?!” Pekik Arkan. Vina mendekat, dia tak tahu mengenai kondisi kaki Arkan. Gadis itu langsung meminta penjelasan pada dokter yang menangani Arkan. “Dokter, ada apa deng
Vina menatap abangnya dengan tatapan tak percaya, “Abang masih gak percaya kata-kataku? Perlu bukti apalagi hah?! Bongkar aja kuburannya!” Seru Vina dengan kesal. “Vina!” Tegur Elena, dia tidak ingin Arkan semakin sakit. Vina berkacak pinggang, dia heran dengan kakak iparnya. Terbuat dari apa hati kakaknya itu, hingga dengan sabar menerima segala perlakuan Arkan padanya. “Kamu ...,” Arkan menunjuk tepat pada wajah Elena. “Ingat ini, sampai saat ini yang ku cintai hanya Selia. Aku hanya mencintainya, sampai kapanpun itu! Jangan pernah berharap kamu dapat menjadi Nyonya Viandra!” Sentak Arkan. Lalu, Arkan menatap nisan istrinya. “Selia ... Mas tidak tahu apa yang terjadi. Rasanya, sulit percaya jika kamu sudah tiada sayang. Maafkan Mas, Mas akan sering mengunjungimu. Mas janji, tidak akan ada wanita yang Mas cintai setelahmu.” Elena membuang pandangannya sembari memegangi dadanya yang terasa sakit. Apakah sebegitu besar cinta suaminya untuk istri pertamanya? Elena memi
“Kak.” Vina menyadarkan Elena dari lamunannya itu. Elena tersadar, dia mengusap air matanya yang sempat luruh tanpa dia sadari. Entah berapa kali dia menangis hari ini, sampai matanya terasa sangat panas rasanya. Lalu, dirinya bergegas mengambil beberapa fotonya dengan Arkan yang ada di kamar itu. “Maaf Mas, aku akan bawa kembali foto Mba Selia.” Ujar Elena tanpa menatap wajah Arkan. Elena buru-buru keluar, meninggalkan Arkan dan Vina yang masih ada di dalam kamar. Bahkan, karena terburu-buru dia hampir menabrak Arthur yang sedari tadi berdiri di ambang pintu. “Abang puas?! Abang tega sama kak Elena?! Dia itu istri Abang! Bukan orang asing!” Sentak Vina dengan mata memerah. “Abang tidak mencintainya! Jika dia mau pergi dari sini, silahkan! Abang tidak melarang!” Ternyata, Elena belum juga menuju gudang. Dia berdiri di balik tembok Arkan, mendengar sendiri bagaimana pria itu menyuruhnya pergi. “Bunda.” Arthur melihat bundanya menangis, tentu ikut merasakan sesak.
Makan malam tiba, Vina dan Arkan sudah berada di ruang makan. Begitu pun dengan Arthur. Tapi tidak dengan Elena, wanita itu belum tampak sejak tadi. Membuat Vina akhirnya mencari keberadaan kakak iparnya itu yang tak kunjung menampakkan dirinya. “Kak Elena mana Bang?” Tanya Vina pada abangnya itu. “Entah.” Jawab Arkan. Vina berdecak sebal karena jawaban Arkan yang terkesan cuek. Dia pun berniat akan beranjak untuk mencari Elena. Namun , sebelum itu terjadi, Elena sudah menampakkan dirinya. “Akhirnya, Kak El ayo makan.” Seru Vina. Elena mengangguk, dia akan duduk di samping Arkan. Melihat Elena akan duduk di sebelahnya, mendadak Arkan panik dan justru membentaknya. “Eh! Mau ngapain?! Duduk di sana! Sejak dulu kursi ini adalah tempat istriku!” “Abang!!” Sentak Vina, dia menatap kakak iparnya itu dengan perasaan tak enak. Elena mengangguk, dia hanya diam dan duduk di kursi sebelahnya lagi. Tak ingin ada debatan, Elena memilih untuk mengalah. Arthur yang tak terima sang
“Baiklah, akan ku beri waktu satu bulan. Jika caramu tak berhasil, maka ... mundurlah! Karena sampai detik ini, aku mencintai istriku. Dan itu bukan kamu.”Deghh!!Elena menunduk, rasanya sakit mendengar perkataan menyakitkan dari suaminya itu. Arkan yang tidak pernah berkata yang menyakiti hatinya, kali ini pria itu begitu menyakitinya. Kini, dia harus merasakan perbedaan suaminya itu.“Baik, tapi Mas harus ingat. Mas tidak boleh menolak saat aku menunjukkan usahaku. Apapun itu!” uUjar Elena dengan tegas menatap Arkan yang menatapnya dengan tajam.“Baiklah, tapi tidak soal hak batin. Aku tidak ingin menyentuhmu sampai kamu bisa membuatku kembali mengingat tentang kita.” Balas Arkan.Elena mengangguk, setelah itu dia beranjak untuk berdiri. Sejenak, dirinya mengamati kamar yang dulu ia tempati. Mengingat kembali tentang kenangannya bersama Arkan.“Mas! Tidur gak! Aku capek loh!!” Pekik Elena saat Arkan justru memeluknya dari belakang sembari menduselkan wajahnya ke belakang leher Ele
“Baiklah, akan ku beri waktu satu bulan. Jika caramu tak berhasil, maka ... mundurlah! Karena sampai detik ini, aku mencintai istriku. Dan itu bukan kamu.”Deghh!!Elena menunduk, rasanya sakit mendengar perkataan menyakitkan dari suaminya itu. Arkan yang tidak pernah berkata yang menyakiti hatinya, kali ini pria itu begitu menyakitinya. Kini, dia harus merasakan perbedaan suaminya itu.“Baik, tapi Mas harus ingat. Mas tidak boleh menolak saat aku menunjukkan usahaku. Apapun itu!” uUjar Elena dengan tegas menatap Arkan yang menatapnya dengan tajam.“Baiklah, tapi tidak soal hak batin. Aku tidak ingin menyentuhmu sampai kamu bisa membuatku kembali mengingat tentang kita.” Balas Arkan.Elena mengangguk, setelah itu dia beranjak untuk berdiri. Sejenak, dirinya mengamati kamar yang dulu ia tempati. Mengingat kembali tentang kenangannya bersama Arkan.“Mas! Tidur gak! Aku capek loh!!” Pekik Elena saat Arkan justru memeluknya dari belakang sembari menduselkan wajahnya ke belakang leher Ele
Makan malam tiba, Vina dan Arkan sudah berada di ruang makan. Begitu pun dengan Arthur. Tapi tidak dengan Elena, wanita itu belum tampak sejak tadi. Membuat Vina akhirnya mencari keberadaan kakak iparnya itu yang tak kunjung menampakkan dirinya. “Kak Elena mana Bang?” Tanya Vina pada abangnya itu. “Entah.” Jawab Arkan. Vina berdecak sebal karena jawaban Arkan yang terkesan cuek. Dia pun berniat akan beranjak untuk mencari Elena. Namun , sebelum itu terjadi, Elena sudah menampakkan dirinya. “Akhirnya, Kak El ayo makan.” Seru Vina. Elena mengangguk, dia akan duduk di samping Arkan. Melihat Elena akan duduk di sebelahnya, mendadak Arkan panik dan justru membentaknya. “Eh! Mau ngapain?! Duduk di sana! Sejak dulu kursi ini adalah tempat istriku!” “Abang!!” Sentak Vina, dia menatap kakak iparnya itu dengan perasaan tak enak. Elena mengangguk, dia hanya diam dan duduk di kursi sebelahnya lagi. Tak ingin ada debatan, Elena memilih untuk mengalah. Arthur yang tak terima sang
“Kak.” Vina menyadarkan Elena dari lamunannya itu. Elena tersadar, dia mengusap air matanya yang sempat luruh tanpa dia sadari. Entah berapa kali dia menangis hari ini, sampai matanya terasa sangat panas rasanya. Lalu, dirinya bergegas mengambil beberapa fotonya dengan Arkan yang ada di kamar itu. “Maaf Mas, aku akan bawa kembali foto Mba Selia.” Ujar Elena tanpa menatap wajah Arkan. Elena buru-buru keluar, meninggalkan Arkan dan Vina yang masih ada di dalam kamar. Bahkan, karena terburu-buru dia hampir menabrak Arthur yang sedari tadi berdiri di ambang pintu. “Abang puas?! Abang tega sama kak Elena?! Dia itu istri Abang! Bukan orang asing!” Sentak Vina dengan mata memerah. “Abang tidak mencintainya! Jika dia mau pergi dari sini, silahkan! Abang tidak melarang!” Ternyata, Elena belum juga menuju gudang. Dia berdiri di balik tembok Arkan, mendengar sendiri bagaimana pria itu menyuruhnya pergi. “Bunda.” Arthur melihat bundanya menangis, tentu ikut merasakan sesak.
Vina menatap abangnya dengan tatapan tak percaya, “Abang masih gak percaya kata-kataku? Perlu bukti apalagi hah?! Bongkar aja kuburannya!” Seru Vina dengan kesal. “Vina!” Tegur Elena, dia tidak ingin Arkan semakin sakit. Vina berkacak pinggang, dia heran dengan kakak iparnya. Terbuat dari apa hati kakaknya itu, hingga dengan sabar menerima segala perlakuan Arkan padanya. “Kamu ...,” Arkan menunjuk tepat pada wajah Elena. “Ingat ini, sampai saat ini yang ku cintai hanya Selia. Aku hanya mencintainya, sampai kapanpun itu! Jangan pernah berharap kamu dapat menjadi Nyonya Viandra!” Sentak Arkan. Lalu, Arkan menatap nisan istrinya. “Selia ... Mas tidak tahu apa yang terjadi. Rasanya, sulit percaya jika kamu sudah tiada sayang. Maafkan Mas, Mas akan sering mengunjungimu. Mas janji, tidak akan ada wanita yang Mas cintai setelahmu.” Elena membuang pandangannya sembari memegangi dadanya yang terasa sakit. Apakah sebegitu besar cinta suaminya untuk istri pertamanya? Elena memi
Jawaban Arkan seolah sebuah pisau yang menghujam jantung Elena. Tak sanggup dengan kenyataan yang ada, Elena hanya bisa diam dengan bibir yang bergetar menahan tangis. “Abang! Ini Kak Elena, istri abang!!” Sentak Vina dengan suara bergetar. Arkan menggeleng, dia memukul-mukul kepalanya dengan kuat. Para tenaga medis pun menahan Arkan yang tak terkendali itu. Arkan hanya mengingat tentang Selia mendiang istrinya sebelum menikah dengan Elena. “VINAAA!! PANGGIL KAN SELIA! SELIA ISTRIKU! BUKAN WANITA ITUU!” Teriak Arkan, matanya memerah menahan sakit. Karena permintaannya tak kunjung di kabulkan, Arkan berniat ingin turun dari ranjang pasien. Namun, dirinya tertegun sejenak saat merasakan ada yang aneh dari kakinya. Dia merasa sakit yang amat ketika kakinya di gerakkan. “Arghh! Kaki ... kaki saya kenapa Dok?!” Pekik Arkan. Vina mendekat, dia tak tahu mengenai kondisi kaki Arkan. Gadis itu langsung meminta penjelasan pada dokter yang menangani Arkan. “Dokter, ada apa deng
Sudah beberapa hari, Arkan belum kunjung terbangun. Elena cemas, kerap kali dia bolak-balik rumah sakit hanya untuk menunggu suaminya terbangun dari koma nya. Tak peduli, jika saat ini dia tengah hamil. Saat ini, Elena duduk di kursi di samping ranjang pasien Arkan. Tangannya menggenggam tangan Arkan yang tidak terinfus, sesekali dia menciumnya pelan. Lalu, tangannya mengusap rambut hitam suaminya itu dengan lembut. Kemudian turun ke wajahnya yang terdapat banyak goresan luka.“Mas, aku hamil. Kapan kamu akan bangun dan menunjukkan kebahagiaanmu. Ini kan yang kamu mau? Kamu menunggu calon cinta kita tumbuh di rahimku, sekarang keinginanmu sudah terwujud. Aku hamil Mas.”Elena hanya berbicara pada Arkan yang belum tentu bisa mendengarnya. Sejenak, Elena mengusap air matanya. Dia menepuk wajahnya yang terasa sembab. Siang-malam dia terus menangisi keadaan suaminya. Tak peduli, bagaimana lusuhnya dia saat ini.Mendengar suara pintu yang terbuka, tatapan Elena beralih menatap pintu, dia
Seorang wanita, tak berhenti menahan rasa harunya. Matanya menatap layar monitor, dimana keadaan rahimnya yang sudah terisi oleh calon bayinya. Air mata wanita itu tak terbendung lagi, dia menangis haru. Tak menyangka, jika sebuah nyawa telah tumbuh di rahimnya. “Selamat yah Bu Elena, janinnya sudah memasuki usia dua bulan yah.” Seru sang dokter, sembari tersenyum dengan matanya menyorot ke arah Elena yang tengah menangis haru. Ponsel Elena berbunyi, dia mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Melihat siapa yang meneleponnya, senyum Elena mengembang. Tak sabar, dia mengangkat panggilan itu. “Halo Mas, Mas Arkan lagi apa?” Seru Elena saat suami tercintanya menghubunginya. “Mas lagi memikirkanmu sayang,” ujar Arkan dari sebrang sana membuat Elena tersipu malu. “Mas, aku ada kejutan untukmu.” Seru Elena dengan bahagia. “Oh ya? Apa itu?” Heran Arkan. “Ada deh, aku akan mengatakannya saat Mas pulang nanti.” Ujar Elena dengan jail. Arkan terkekeh, “Baiklah, Mas sedang