Jawaban Arkan seolah sebuah pisau yang menghujam jantung Elena. Tak sanggup dengan kenyataan yang ada, Elena hanya bisa diam dengan bibir yang bergetar menahan tangis.
“Abang! Ini Kak Elena, istri abang!!” Sentak Vina dengan suara bergetar. Arkan menggeleng, dia memukul-mukul kepalanya dengan kuat. Para tenaga medis pun menahan Arkan yang tak terkendali itu. Arkan hanya mengingat tentang Selia mendiang istrinya sebelum menikah dengan Elena. “VINAAA!! PANGGIL KAN SELIA! SELIA ISTRIKU! BUKAN WANITA ITUU!” Teriak Arkan, matanya memerah menahan sakit. Karena permintaannya tak kunjung di kabulkan, Arkan berniat ingin turun dari ranjang pasien. Namun, dirinya tertegun sejenak saat merasakan ada yang aneh dari kakinya. Dia merasa sakit yang amat ketika kakinya di gerakkan. “Arghh! Kaki ... kaki saya kenapa Dok?!” Pekik Arkan. Vina mendekat, dia tak tahu mengenai kondisi kaki Arkan. Gadis itu langsung meminta penjelasan pada dokter yang menangani Arkan. “Dokter, ada apa dengan kaki abang saya?!” Seru Vina. Tatapan Dokter justru malah beralih pada Elena, istri dari pasiennya itu tampak masih syok dengan keadaan Arkan. Mengerti jika Elena belum memberitahunya, dia harus menjelaskannya ulang. “Tuan, anda mengalami cedera tulang belakang hingga menyebabkan anda mengalami kelumpuhan sementara.” Arkan terkejut, dia menyingkap selimutnya dan memukul kakinya. Kepalanya menggeleng kuat, “Enggak! Enggak mungkin! Selia! Dimana Selia?! Apa dia meninggalkanku karena aku lumpuh?! Vina, hubungi kakak iparmu! Kenapa kamu diam saja hah?!” Vina menatap Elena, ia menangis terisak melihat tatapan kosong kakak iparnya itu. Tapi tiba-tiba, ia merasakan sebuah genggaman di tangannya. Kepalanya tertunduk, menatap Arkan yang tengah menatapnya dalam. “Apa karena Abang lumpuh, maka dari itu Selia tidak mau menemani Abang?” Tanya Arkan dengan suara bergetar. “Bang, Kak Selia udah meninggal. Kenapa Abang tidak mengerti juga, Kak Selia sudah meninggal setelah Arthur lahir.” Isak Vina. “Enggak Vina, kakak iparmu baru saja hamil. Kami baru merayakan berita kehamilannya, tolong ... panggil dia kesini. Abang butuh dia,” Elena memundurkan langkahnya perlahan, air matanya tak lagi terbendung. Dadanya semakin terasa sesak, di ruangan ini seakan tak udara yang dapat dia hirup. Hingga, akhirnya Elena memutuskan untuk keluar. Dia menempelkan punggungnya ke tembok, tubuhnya pun merosot ke bawah. Tangannya menutup wajahnya yang sudah basah sejak tadi. Lalu, menumpahkan segala tangisannya dan kekecewaannya terhadap apa yang terjadi saat ini. “Dia melupakanku ... artinya dia melupakan hubungan dan segalanya tentang kami? Lalu bayi ini ...,” “Kak.” Elena sontak langsung berdiri saat Vina datang menghampirinya. Dia bergegas menghapuskan air matanya, dan menatap Vina dengan tersenyum tipis. “Dokter, ingin bicara pada kakak.” Ujar Vina dengan suara lirih. Tatapan Elena beralih pada dokter yang baru saja keluar dari ruangan Arkan. Dia mendatangi Elena untuk menjelaskan mengenai kondisi Arkan. “Nyonya, tuan Arkan mengalami cedera yang cukup berat di kepalanya hingga menyebabkan dia kehilangan separuh ingatannya. Amnesia ada banyak jenisnya, dan yang terjadi pada tuan Arkan sangat jarang terjadi. Untuk itu, saya tak bisa banyak berbuat. Dukungan dari keluarga sangat berarti untuk nya saat ini. Semoga ingatannya akan pulih seiring berjalannya waktu. Ajak dia untuk melakukan momen yang sangat dia kenang sebelumnya saat bersama anda, agar ingatannya lekas kembali pulih.” Dokter itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan sebelum melanjutkan keterangannya. “Dan juga, saya minta ... jangan memaksanya untuk mengingat. Jika di paksa, Tuan Arkan bisa mengalami kerusakan otak. Dan itu jauh lebih fatal tentunya.” Elena sudah tidak tahu harus bagaimana, dia hanya meraih tangan Vina untuk menumpu dirinya. Dunia Elena terasa hancur, suami yang paling dia cintai melupakan dirinya. “Sampai kapan abang saya akan ingat semuanya kembali?” Tanya Vina, mewakili kakaknya itu. Dengan menghela nafas pelan, dokter pun menjawab. “Saya tidak tahu, amnesia ini bisa sembuh dan bisa jadi juga ... ingatannya yang sudah hilang tak akan pernah kembali.” “Tidak akan pernah kembali,” lirih Elena dengan suara bergetar. ***** Tak terasa, sudah tiga hari semenjak Arkan bangun dari komanya dan sempat beberapa hari di ruang perawatan. Kini, pria itu bersiap untuk pulang. Setelah mengetahui kondisinya, Arkan tak banyak bicara. Bahkan, sehari dia hanya berkata dua patah kata saja. Sedangkan Elena, dia berusaha menyikapi Arkan dengan lembut. Walau, pria itu berulang kali menolaknya dan menganggapnya orang asing. “Ayo Bang, ini kursi rodanya. Kak El, bantu Vina papah Abang.” Seru Vina pada kakak iparnya yang tengah membereskan barang-barang milik Arkan. Elena mengangguk, dia segera menghampiri ranjang pasien sang suami. Baru saja Elena akan menyentuh tangan Arkan, pria itu menepis nya dengan kuat. Matanya menatap tajam Elena yang merasa sakit atas perbuatannya tadi. “Jangan coba-coba menyentuhku! Aku tahu wanita seperti mu hanya memanfaatkan keadaan saja. Istriku hanya Selia! Jangan sampai dia marah karena melihat pelakor seperti mu ada disini.” Elena mematung, luka di hatinya seperti tersiram air garam. Tak pernah terpikirkan oleh Elena, jika suaminya akan mengatakan bahwa dirinya adalah Pelakor. “Pelakor?” Gumam Elena. Vina yang mendengar itu bergegas menghampiri kakak iparnya. “Sudah aku bilang kak Selia sudah meninggal kenapa Abang masih tidak percaya juga sih?!” Sentak Vina kesal. Elena tertawa sumbang, dia menatap Vina dengan raut wajah kecewa. “Vina, kamu dengar kan tadi? Suamiku menyebut diriku pelakor.” Lirih Elena dengan suara bergetar menahan tangis. Vina memejamkan matanya sejenak, sebelum dirinya kembali menatap Arkan dengan tatapan tajam. “Kalau Abang gak percaya Kak Selia sudah meninggal, ayo kita ke makamnya! Biar Abang sadar, jika saat ini yang istri Abang tuh Kak Elena! Bukan Kak Seliaa lagi!” Mendengar kata Makam Selia, membuat perasaan Arkan tak enak. Ia berusaha meyakinkan hatinya, apa yang Vina ucapkan adalah dusta belaka. Namun, melihat tatapan penuh keyakinan adiknya itu membuat Arkan ragu untuk percaya pada dirinya. “Enggak mungkin ... baru saja merayakan kehamilan Selia. Kenapa Vina terus membela wanita itu? Mana mungkin aku berpaling dari Selia.” Batin Arkan. ***** Arkan menatap gundukan tanah di hadapannya, sebuah nisan bertuliskan nama Selia Oswald. Air mata Arkan luruh, dengan tangan bergetar dia memegang papan nisan yang bertuliskan nama mendiang istri pertamanya itu. “Kak Selia meninggal setelah melahirkan putra kalian, Abang memberinya nama Arthur Arjuna Viandra. Saat ini umurnya sudah tiga tahun. Dulunya Kak Elena adalah baby sitter Arthur, tapi abang memilih menikahinya di saat Arthur berusia satu tahun. Pernikahan kalian sudah berjalan dua tahun, apa Abang tidak bisa mengingatnya sama sekali? Hah?!” “Vina.” Panggil Elena sembari memegang lengan adik iparnya itu. Dia menatap Vina sembari menggelengkan kepalanya. “Dokter bilang jangan di paksa.” Lirih Elena. “Kalau gak di paksa gimana dia bisa ingat kak?!” Gregetnya. “Arghh!” Lalu, tatapan keduanya beralih menatap Arkan yang saat ini memegang kepalanya. “Mas!!” Elena khawatir, dia memegang kepala Arkan. Namun, belum sempat Elena menyentuhnya. Arkan lebih dulu menepisnya. “Jangan sentuh aku!”Vina menatap abangnya dengan tatapan tak percaya, “Abang masih gak percaya kata-kataku? Perlu bukti apalagi hah?! Bongkar aja kuburannya!” Seru Vina dengan kesal. “Vina!” Tegur Elena, dia tidak ingin Arkan semakin sakit. Vina berkacak pinggang, dia heran dengan kakak iparnya. Terbuat dari apa hati kakaknya itu, hingga dengan sabar menerima segala perlakuan Arkan padanya. “Kamu ...,” Arkan menunjuk tepat pada wajah Elena. “Ingat ini, sampai saat ini yang ku cintai hanya Selia. Aku hanya mencintainya, sampai kapanpun itu! Jangan pernah berharap kamu dapat menjadi Nyonya Viandra!” Sentak Arkan. Lalu, Arkan menatap nisan istrinya. “Selia ... Mas tidak tahu apa yang terjadi. Rasanya, sulit percaya jika kamu sudah tiada sayang. Maafkan Mas, Mas akan sering mengunjungimu. Mas janji, tidak akan ada wanita yang Mas cintai setelahmu.” Elena membuang pandangannya sembari memegangi dadanya yang terasa sakit. Apakah sebegitu besar cinta suaminya untuk istri pertamanya? Elena memi
“Kak.” Vina menyadarkan Elena dari lamunannya itu. Elena tersadar, dia mengusap air matanya yang sempat luruh tanpa dia sadari. Entah berapa kali dia menangis hari ini, sampai matanya terasa sangat panas rasanya. Lalu, dirinya bergegas mengambil beberapa fotonya dengan Arkan yang ada di kamar itu. “Maaf Mas, aku akan bawa kembali foto Mba Selia.” Ujar Elena tanpa menatap wajah Arkan. Elena buru-buru keluar, meninggalkan Arkan dan Vina yang masih ada di dalam kamar. Bahkan, karena terburu-buru dia hampir menabrak Arthur yang sedari tadi berdiri di ambang pintu. “Abang puas?! Abang tega sama kak Elena?! Dia itu istri Abang! Bukan orang asing!” Sentak Vina dengan mata memerah. “Abang tidak mencintainya! Jika dia mau pergi dari sini, silahkan! Abang tidak melarang!” Ternyata, Elena belum juga menuju gudang. Dia berdiri di balik tembok Arkan, mendengar sendiri bagaimana pria itu menyuruhnya pergi. “Bunda.” Arthur melihat bundanya menangis, tentu ikut merasakan sesak.
Makan malam tiba, Vina dan Arkan sudah berada di ruang makan. Begitu pun dengan Arthur. Tapi tidak dengan Elena, wanita itu belum tampak sejak tadi. Membuat Vina akhirnya mencari keberadaan kakak iparnya itu yang tak kunjung menampakkan dirinya. “Kak Elena mana Bang?” Tanya Vina pada abangnya itu. “Entah.” Jawab Arkan. Vina berdecak sebal karena jawaban Arkan yang terkesan cuek. Dia pun berniat akan beranjak untuk mencari Elena. Namun , sebelum itu terjadi, Elena sudah menampakkan dirinya. “Akhirnya, Kak El ayo makan.” Seru Vina. Elena mengangguk, dia akan duduk di samping Arkan. Melihat Elena akan duduk di sebelahnya, mendadak Arkan panik dan justru membentaknya. “Eh! Mau ngapain?! Duduk di sana! Sejak dulu kursi ini adalah tempat istriku!” “Abang!!” Sentak Vina, dia menatap kakak iparnya itu dengan perasaan tak enak. Elena mengangguk, dia hanya diam dan duduk di kursi sebelahnya lagi. Tak ingin ada debatan, Elena memilih untuk mengalah. Arthur yang tak terima sang
“Baiklah, akan ku beri waktu satu bulan. Jika caramu tak berhasil, maka ... mundurlah! Karena sampai detik ini, aku mencintai istriku. Dan itu bukan kamu.”Deghh!!Elena menunduk, rasanya sakit mendengar perkataan menyakitkan dari suaminya itu. Arkan yang tidak pernah berkata yang menyakiti hatinya, kali ini pria itu begitu menyakitinya. Kini, dia harus merasakan perbedaan suaminya itu.“Baik, tapi Mas harus ingat. Mas tidak boleh menolak saat aku menunjukkan usahaku. Apapun itu!” uUjar Elena dengan tegas menatap Arkan yang menatapnya dengan tajam.“Baiklah, tapi tidak soal hak batin. Aku tidak ingin menyentuhmu sampai kamu bisa membuatku kembali mengingat tentang kita.” Balas Arkan.Elena mengangguk, setelah itu dia beranjak untuk berdiri. Sejenak, dirinya mengamati kamar yang dulu ia tempati. Mengingat kembali tentang kenangannya bersama Arkan.“Mas! Tidur gak! Aku capek loh!!” Pekik Elena saat Arkan justru memeluknya dari belakang sembari menduselkan wajahnya ke belakang leher Ele
Seorang wanita, tak berhenti menahan rasa harunya. Matanya menatap layar monitor, dimana keadaan rahimnya yang sudah terisi oleh calon bayinya. Air mata wanita itu tak terbendung lagi, dia menangis haru. Tak menyangka, jika sebuah nyawa telah tumbuh di rahimnya. “Selamat yah Bu Elena, janinnya sudah memasuki usia dua bulan yah.” Seru sang dokter, sembari tersenyum dengan matanya menyorot ke arah Elena yang tengah menangis haru. Ponsel Elena berbunyi, dia mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Melihat siapa yang meneleponnya, senyum Elena mengembang. Tak sabar, dia mengangkat panggilan itu. “Halo Mas, Mas Arkan lagi apa?” Seru Elena saat suami tercintanya menghubunginya. “Mas lagi memikirkanmu sayang,” ujar Arkan dari sebrang sana membuat Elena tersipu malu. “Mas, aku ada kejutan untukmu.” Seru Elena dengan bahagia. “Oh ya? Apa itu?” Heran Arkan. “Ada deh, aku akan mengatakannya saat Mas pulang nanti.” Ujar Elena dengan jail. Arkan terkekeh, “Baiklah, Mas sedang
Sudah beberapa hari, Arkan belum kunjung terbangun. Elena cemas, kerap kali dia bolak-balik rumah sakit hanya untuk menunggu suaminya terbangun dari koma nya. Tak peduli, jika saat ini dia tengah hamil. Saat ini, Elena duduk di kursi di samping ranjang pasien Arkan. Tangannya menggenggam tangan Arkan yang tidak terinfus, sesekali dia menciumnya pelan. Lalu, tangannya mengusap rambut hitam suaminya itu dengan lembut. Kemudian turun ke wajahnya yang terdapat banyak goresan luka.“Mas, aku hamil. Kapan kamu akan bangun dan menunjukkan kebahagiaanmu. Ini kan yang kamu mau? Kamu menunggu calon cinta kita tumbuh di rahimku, sekarang keinginanmu sudah terwujud. Aku hamil Mas.”Elena hanya berbicara pada Arkan yang belum tentu bisa mendengarnya. Sejenak, Elena mengusap air matanya. Dia menepuk wajahnya yang terasa sembab. Siang-malam dia terus menangisi keadaan suaminya. Tak peduli, bagaimana lusuhnya dia saat ini.Mendengar suara pintu yang terbuka, tatapan Elena beralih menatap pintu, dia
“Baiklah, akan ku beri waktu satu bulan. Jika caramu tak berhasil, maka ... mundurlah! Karena sampai detik ini, aku mencintai istriku. Dan itu bukan kamu.”Deghh!!Elena menunduk, rasanya sakit mendengar perkataan menyakitkan dari suaminya itu. Arkan yang tidak pernah berkata yang menyakiti hatinya, kali ini pria itu begitu menyakitinya. Kini, dia harus merasakan perbedaan suaminya itu.“Baik, tapi Mas harus ingat. Mas tidak boleh menolak saat aku menunjukkan usahaku. Apapun itu!” uUjar Elena dengan tegas menatap Arkan yang menatapnya dengan tajam.“Baiklah, tapi tidak soal hak batin. Aku tidak ingin menyentuhmu sampai kamu bisa membuatku kembali mengingat tentang kita.” Balas Arkan.Elena mengangguk, setelah itu dia beranjak untuk berdiri. Sejenak, dirinya mengamati kamar yang dulu ia tempati. Mengingat kembali tentang kenangannya bersama Arkan.“Mas! Tidur gak! Aku capek loh!!” Pekik Elena saat Arkan justru memeluknya dari belakang sembari menduselkan wajahnya ke belakang leher Ele
Makan malam tiba, Vina dan Arkan sudah berada di ruang makan. Begitu pun dengan Arthur. Tapi tidak dengan Elena, wanita itu belum tampak sejak tadi. Membuat Vina akhirnya mencari keberadaan kakak iparnya itu yang tak kunjung menampakkan dirinya. “Kak Elena mana Bang?” Tanya Vina pada abangnya itu. “Entah.” Jawab Arkan. Vina berdecak sebal karena jawaban Arkan yang terkesan cuek. Dia pun berniat akan beranjak untuk mencari Elena. Namun , sebelum itu terjadi, Elena sudah menampakkan dirinya. “Akhirnya, Kak El ayo makan.” Seru Vina. Elena mengangguk, dia akan duduk di samping Arkan. Melihat Elena akan duduk di sebelahnya, mendadak Arkan panik dan justru membentaknya. “Eh! Mau ngapain?! Duduk di sana! Sejak dulu kursi ini adalah tempat istriku!” “Abang!!” Sentak Vina, dia menatap kakak iparnya itu dengan perasaan tak enak. Elena mengangguk, dia hanya diam dan duduk di kursi sebelahnya lagi. Tak ingin ada debatan, Elena memilih untuk mengalah. Arthur yang tak terima sang
“Kak.” Vina menyadarkan Elena dari lamunannya itu. Elena tersadar, dia mengusap air matanya yang sempat luruh tanpa dia sadari. Entah berapa kali dia menangis hari ini, sampai matanya terasa sangat panas rasanya. Lalu, dirinya bergegas mengambil beberapa fotonya dengan Arkan yang ada di kamar itu. “Maaf Mas, aku akan bawa kembali foto Mba Selia.” Ujar Elena tanpa menatap wajah Arkan. Elena buru-buru keluar, meninggalkan Arkan dan Vina yang masih ada di dalam kamar. Bahkan, karena terburu-buru dia hampir menabrak Arthur yang sedari tadi berdiri di ambang pintu. “Abang puas?! Abang tega sama kak Elena?! Dia itu istri Abang! Bukan orang asing!” Sentak Vina dengan mata memerah. “Abang tidak mencintainya! Jika dia mau pergi dari sini, silahkan! Abang tidak melarang!” Ternyata, Elena belum juga menuju gudang. Dia berdiri di balik tembok Arkan, mendengar sendiri bagaimana pria itu menyuruhnya pergi. “Bunda.” Arthur melihat bundanya menangis, tentu ikut merasakan sesak.
Vina menatap abangnya dengan tatapan tak percaya, “Abang masih gak percaya kata-kataku? Perlu bukti apalagi hah?! Bongkar aja kuburannya!” Seru Vina dengan kesal. “Vina!” Tegur Elena, dia tidak ingin Arkan semakin sakit. Vina berkacak pinggang, dia heran dengan kakak iparnya. Terbuat dari apa hati kakaknya itu, hingga dengan sabar menerima segala perlakuan Arkan padanya. “Kamu ...,” Arkan menunjuk tepat pada wajah Elena. “Ingat ini, sampai saat ini yang ku cintai hanya Selia. Aku hanya mencintainya, sampai kapanpun itu! Jangan pernah berharap kamu dapat menjadi Nyonya Viandra!” Sentak Arkan. Lalu, Arkan menatap nisan istrinya. “Selia ... Mas tidak tahu apa yang terjadi. Rasanya, sulit percaya jika kamu sudah tiada sayang. Maafkan Mas, Mas akan sering mengunjungimu. Mas janji, tidak akan ada wanita yang Mas cintai setelahmu.” Elena membuang pandangannya sembari memegangi dadanya yang terasa sakit. Apakah sebegitu besar cinta suaminya untuk istri pertamanya? Elena memi
Jawaban Arkan seolah sebuah pisau yang menghujam jantung Elena. Tak sanggup dengan kenyataan yang ada, Elena hanya bisa diam dengan bibir yang bergetar menahan tangis. “Abang! Ini Kak Elena, istri abang!!” Sentak Vina dengan suara bergetar. Arkan menggeleng, dia memukul-mukul kepalanya dengan kuat. Para tenaga medis pun menahan Arkan yang tak terkendali itu. Arkan hanya mengingat tentang Selia mendiang istrinya sebelum menikah dengan Elena. “VINAAA!! PANGGIL KAN SELIA! SELIA ISTRIKU! BUKAN WANITA ITUU!” Teriak Arkan, matanya memerah menahan sakit. Karena permintaannya tak kunjung di kabulkan, Arkan berniat ingin turun dari ranjang pasien. Namun, dirinya tertegun sejenak saat merasakan ada yang aneh dari kakinya. Dia merasa sakit yang amat ketika kakinya di gerakkan. “Arghh! Kaki ... kaki saya kenapa Dok?!” Pekik Arkan. Vina mendekat, dia tak tahu mengenai kondisi kaki Arkan. Gadis itu langsung meminta penjelasan pada dokter yang menangani Arkan. “Dokter, ada apa deng
Sudah beberapa hari, Arkan belum kunjung terbangun. Elena cemas, kerap kali dia bolak-balik rumah sakit hanya untuk menunggu suaminya terbangun dari koma nya. Tak peduli, jika saat ini dia tengah hamil. Saat ini, Elena duduk di kursi di samping ranjang pasien Arkan. Tangannya menggenggam tangan Arkan yang tidak terinfus, sesekali dia menciumnya pelan. Lalu, tangannya mengusap rambut hitam suaminya itu dengan lembut. Kemudian turun ke wajahnya yang terdapat banyak goresan luka.“Mas, aku hamil. Kapan kamu akan bangun dan menunjukkan kebahagiaanmu. Ini kan yang kamu mau? Kamu menunggu calon cinta kita tumbuh di rahimku, sekarang keinginanmu sudah terwujud. Aku hamil Mas.”Elena hanya berbicara pada Arkan yang belum tentu bisa mendengarnya. Sejenak, Elena mengusap air matanya. Dia menepuk wajahnya yang terasa sembab. Siang-malam dia terus menangisi keadaan suaminya. Tak peduli, bagaimana lusuhnya dia saat ini.Mendengar suara pintu yang terbuka, tatapan Elena beralih menatap pintu, dia
Seorang wanita, tak berhenti menahan rasa harunya. Matanya menatap layar monitor, dimana keadaan rahimnya yang sudah terisi oleh calon bayinya. Air mata wanita itu tak terbendung lagi, dia menangis haru. Tak menyangka, jika sebuah nyawa telah tumbuh di rahimnya. “Selamat yah Bu Elena, janinnya sudah memasuki usia dua bulan yah.” Seru sang dokter, sembari tersenyum dengan matanya menyorot ke arah Elena yang tengah menangis haru. Ponsel Elena berbunyi, dia mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Melihat siapa yang meneleponnya, senyum Elena mengembang. Tak sabar, dia mengangkat panggilan itu. “Halo Mas, Mas Arkan lagi apa?” Seru Elena saat suami tercintanya menghubunginya. “Mas lagi memikirkanmu sayang,” ujar Arkan dari sebrang sana membuat Elena tersipu malu. “Mas, aku ada kejutan untukmu.” Seru Elena dengan bahagia. “Oh ya? Apa itu?” Heran Arkan. “Ada deh, aku akan mengatakannya saat Mas pulang nanti.” Ujar Elena dengan jail. Arkan terkekeh, “Baiklah, Mas sedang