"Sangga! Jangan mati! Jangan mati!" Askara terus menekan dada pemuda itu. Sesekali ia juga menggoyang-goyangkan badan Sanggapati yang terbaring lemah. Tak percaya jika seorang adiwira panah bisa mati hanya karena tenggelam dalam air.
"Sangga, bangun!" Askara mengerahkan tenaganya untuk menekan lebih kuat dada temannya itu. Maka saat itu juga air menyembur dari mulut Sanggapati, tepat mengenai wajah Askara. Pemuda itu batuk-batuk dan mulai sadarkan diri setelahnya.
"Dasar kau!" Hendak marah karena wajahnya terkena semburan air, namun Askara urungkan setelah melihat temannya itu terkurai lemas.
"As-ka ..." lirihnya lagi. Askara segera menangkup kepala Sanggapati yang kondisinya setengah sadar itu.
"Sangga? Kau baik-baik saja 'kan?"
"Uhuk, uhuk ... As-ka ... S-sepertinya, hi-dupku ... Uhuk, uhuk ... T-idak a-kan lama lagi ... Uhuk, S-selamat tinggal As–" Belum juga aksi Sanggapati berakhir, Askara sudah lebih dulu menggulingkannya ke jalan
Askara dan Sanggapati berjalan beriringan, mencoba mencari cara untuk menuruni bukit setelah keduanya sempat terjatuh ke area danau. Sesuai dengan apa yang didiskusikan tadi, mereka memutuskan untuk memanfaatkan benda-benda sekitaran.Dalam pertarungan sebelumnya, Askara banyak memanfaatkan batu untuk melawan si monster. Tak menutup fakta bahwa dirinya juga sekalinya —pernah membunuh cindaku hanya dengan bermodal sebongkah batu saja. Maka untuk saat ini pun, Askara terlihat membawa benda itu lagi.Sedangkan Sanggapati membuntuti Askara dari belakang. Pengalaman pertama kalinya tidak membawa busur panah kesayangan dalam perkelahian, Sanggapati memang sedikit gentar. Sedikitnya ia sudah ketergantungan akan senjata dan mata biru. Sekarang ia faham kenapa Baduga mengirimnya ke bukit ini. Belajar pertahanan fisik ditengah kumpulan monster memang sangat bermanfaat, tak rugi juga. Toh, ia juga sudah punya cara tersendiri untuk mengalahkan cindaku.Sekali lagi man
Cindaku itu berjalan kian mendekat, keberadaan si monster tidak disadari oleh Askara dan Sanggapati. Keduanya terlalu asyik memakan buah murbei yang tumbuh ranum sekitar sana. Sampai akhirnya suara 'krek' mengejutkan keduanya. Sempat tertegun sejenak akan suara ranting kecil yang patah, Askara menghentikan kegiatannya dengan Sanggapati. Karena berjalan bak seekor kera gorila, telapak kaki cindaku itu ternyata menginjak sesuatu sampai menciptakan bunyi. Askara yang syok kala berhasil mengintip, segera mundur dan lekas mencengkeram pergelangan tangan temannya itu. Posisi mereka kini hanya dibatasi oleh semak murbei saja. Keadaannya pun bahkan saling mengintip. "Kenapa?" bisik Sanggapati yang tak sekilas tak terdengar jelas karena mulutnya penuh dengan buah murbei. "Mundur ..." kata Askara sembari susah payah menelan ludah. Pelan-pelan ia menarik rekannya itu untuk keluar dari belukar. Namun karena posisi tak menguntungkan, resiko bersembunyi di semak pastilah m
Askara melakukan teknik sleding, seketika terdengar bunyi pergeseran sendi tumit cindaku. Monster itu lantas meraung sekencang-kencangnya, membuat seisi hutan menggema akan suaranya.Bersamaan dengan itu, mata Askara berubah warna. Mata birunya muncul seiring ia berhasil menumbangkan pertahanan cindaku. Sempat terpikir dalam benaknya, jika bentuk kaki cindaku yang ia lawan kali ini memiliki postur mirip manusia.Lebih jelasnya, kaki manusia dengan badan dan rupa berwujud harimau.Pemulihan luka si monster cukup lambat, pasti disebabkan karena efek sinar bulan purnama yang tak bisa menembus kawasan mereka kini. Saat kondisi itulah Askara memanfaatkannya. Ia serang balik si monster seiring matanya gemelapan berubah-ubah warna, hitam kemudian biru.Seperti biasa teknik ajian Napak hawa menjadi andalannya kali ini, ia melompat-lompat di udara dan menjadikan pohon-pohon sekitar tempat kakinya bertumpu. Se
Mata Askara membola sempurna, warna biru kini mendominasi kornea matanya. Askara murka. Menyebabkan pusaran angin menderu di sekitar, pada akhirnya gemuruh angin itu pencar ke setiap penjuru arah seiring kaki Askara melangkah.Cindaku yang cidera itu sempat terhempas mundur oleh dorongan angin yang disebabkan Askara. Hanya mundur, tak sampai terjungkal. Si monster pun kembali menerjang lagi setelah itu. Hebatnya, kaki pincangnya itu bukanlah sebuah halangan untuk menyerang.Askara lantas melesat berlari, meliuk-liuk antara sela batang pepohonan. Tujuannya tiada lain supaya si monster kebingungan saat hendak menerkam. Hingga akhirnya Askara tak terlihat berlarian lagi. Membuat cindaku celingukan mencari jejak pemuda itu.Sekelebat bayangan membuat cindaku menoleh ke selatan. Namun tak ada apapun yang berbekas, suasana sepi kembali dan hanya menyisakan dengus dan geramannya saja.Sekali lagi sekelebat bayangan itu melintas, kini di arah barat. Makhluk itu m
"Kena kau!"Bersamaan dengan itu, pakaian Askara banjir cairan kental berwarna merah, bahkan bercipratan ke segala arah. Askara menacapkan dalam-dalam batu yang sekilas sudah berbentuk kapak genggam itu.Namun sepertinya batu yang ia tancapkan tak cukup untuk memutus urat nadi cindaku.Si monster masih menyempatkan untuk mengaum, lantas dilanjut menghempaskan badan Askara sampai pemuda itu bergulingan di tanah. Cindaku terdengar meraung sekeras-kerasnya, ia mengeleng-gelengkan kepala. Mengamuk karena lehernya berlubang sampai mengocorkan darah merah menyala.Askara mendecih, ia meraba-raba mencari batu yang sempat terlempar tadi. Untungnya ia berhasil mendapatkannya kembali. Segera ia merangkak bersembunyi untuk sementara waktu di balik batang pohon tengkaras. Keadaan sekitar cukup gelap, nampak mata biru Askara berkedip-kedip seolah waktu pemakaiannya hampir habis."Ini aneh. Hari itu aku bisa memutus lehernya dengan cepat," gumam Askara dengan na
Sanggapati terjun dari ketinggian, bersama dengan cindaku yang ikut meluncur dengannya. Pemuda itu berusaha tidak berteriak, memutuskan untuk menyilangkan tangan guna berjaga-jaga dari apapun yang bisa melukai wajahnya. Seketika ia lupa akan tongkat kayunya.Sanggapati jatuh menembus hamparan kabut yang membentang di tengah-tengah ketinggian tebing. Embusan angin kini terasa menjadi cambuk saking cepatnya ia meluncur. Sanggapati membulatkan mata, kala mendapati bentangan sungai memanjang di bawahnya."Konsentrasi ...""Konsentrasi ..."Pemuda itu dengan cepat memutar tubuh di udara, menjadikan kaki sebagai organ pertama yang mendarat. Lantas sibuk mengumpulkan beban untuk diubah jadi pelepasan energi. Maka pada saat kakinya mulai terasa ringan, ia siap menapak di atas air menggunakan teknik napak banyu.Sanggapati berhasil mendarat menggunakan Napak banyu. Namun efek penggunaannya itu menimbulkan dentuman yang nyaring. Air sungai meluap ke pinggir,
Sanggapati dikejutkan dengan terkaman cindaku yang terbilang sangat tiba-tiba. Padahal jelas jika si monster ikut hanyut dalam aliran air yang meluap deras ke pinggir. Namun nyatanya sekarang ia lengah dan berakhir dalam terkaman kuku makhluk itu."Lepaskan!" erang Sanggapati saat kuku cindaku perlahan menancap dan malukai dua sisi bahunya. Ia tertindih bobot berat makhluk itu, tepat berada di atasnya yang tengah terlentang.Sanggapati mengelak saat si monster hendak menggigit lehernya. Segera ia meronta sekuat mungkin supaya tangannya berhasil lepas dari belenggu kuku. Maka saat tangan mulai bisa bergerak, dengan cepat ia menjewer daun telinga cindaku. Menariknya hingga kepala si monster juga ikut tertarik."Arrgh!" Sanggapati saat itu sudah menyiapkan jidat lebarnya untuk melawan, lantas ia benturkan pada kepala cindaku yang ia tarik. Dua jidat pun bertumbuk lumayan kencang sampai menciptakan suara retakan tulang.Keduanya pun oleng seketika, baik kenin
"Sangga!" seru Askara dari atas tebing. Suaranya terpantul-pantul di antara dua dinding tebing. Pertama yang sekarang ini dipijak Askara, juga tebing lain yang berdiri jauh di depan sana. Menyisakan lembah yang dalam menjadi pembatas antara dua tanah tinggi itu."SANGGA!" teriaknya lagi lebih kencang.Suara itu sampai ke dasar lembah. Meskipun berbentuk gema yang sedikit terdengar bising, Sanggapati mampu mendengarnya. Segera ia bangkit dan menyeru balik rekannya itu."ASKA?""AKU DI SINI! TURUNLAH!""ASKA!""ASKAAA!"Seruan balik itu memantul dari dinding ke dinding tebing. Karena Askara tak cukup mendengar lebih jelas apa yang diteriakkan Sanggapati, ia mendadak panik setelahnya. Askara berulang-ulang kali berusaha menyeru lagi ke bawah. Karena menimbulkan suara yang amat berisik, Sanggapati abai dan malah berakhir mengedikkan bahu."Telingaku sepertinya salah dengar."Seruan Sanggapati kali ini tak terdengar jel