Share

39. Cinta Pertama

Penulis: Bill
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-02 23:31:03

"Kalau aku yang menyanyikannya, kau akan percaya?"

Hening seketika. Keduanya tak terdengar berbicara lagi setelah itu.

"Tunggu sebentar, maksudmu apa, Paman? Kau yang sejak tadi bernyanyi tembang itu? Dari mana kau tau?" tanya Askara memastikan.

Lantas Abiseka tertawa cekikikan sampai bahunya naik turun. "Dasar pelupa," katanya sambil mengetuk kening Askara di sela tawanya.

"Dulu aku pernah bilang, akulah yang mengajari Ibumu kawih-kawih sunda. Bahkan tembang pupuh sekalipun, aku yang mengajari semuanya." Abiseka pun mendongkak, menatap langit-langit yang dipenuhi rimbunan bunga wisteria. Sesekali kerut bibir pria itu terangkat karena terbawa jauh akan lamunannya itu.

"Woahh, Paman ... Kau ternyata yang mengajari Ibu. Kalau boleh tau sedekat apa kau dengan Ibuku?"

"Yaaah, aku hanya mengajarinya tentang syair-syair dan sedikit ilmu bela diri. Itu s

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cindaku Sang Penguasa   40. Pasangan Terbaik

    "Namanya ..."" ... Anjani."Sontak pemuda itu membisu, tubuhnya mendadak diam mematung seiring otak berusaha mencerna ucapan Abiseka. Nama yang disebutkan pria itu, sepertinya Askara jelas tak asing lagi. Tidak. Bukan tak asing lagi, nama itu sudah melekat erat dalam hatinya."A-Anjani?" tanya lelaki itu penuh penekanan."Iya. Dia cinta pertamaku." Lagi-lagi Abiseka memejamkan mata, mungkin ia mendapat kenangan indah. Sosok yang ia idamkan sepertinya muncul dalam benak dan berhasil menghiasi lamunannya."Anjani? T-tidak mungkin!"Pria dengan ikat kepala bercorak batik mega mendung itu menatap Askara lewat senyum mesem. Sedangkan Askara, ia membisu dengan mulut terbuka, melemparkan tatapan seolah mengatakan 'tak kuduga'."Anjani ..." Askara memegangi kepalanya yang mendadak terasa sedikit pusing. Meski sebagian ingatannya dihapus pun, tetap saja ia ingat pasti siapa sosok perempuan itu."Ibu?!" pekik Askara sambil bangun dari p

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-03
  • Cindaku Sang Penguasa   41. Baduga dan Sanggapati

    "Hai anak muda!" panggil seseorang. Askara seketika membuka mata perlahan, menangkap seorang pria dengan janggut dan kumis sedikit lebat. Memakai pakaian dan bendo putih berpoletkan emas tengah duduk di samping pembaringannya. Askara pun menoleh, lelaki itu mengangkat alis sebelum akhirnya bertanya, "siapa kau?" "Ah, kita belum berkenalan rupanya. Perkenalkan, namaku Baduga. Aku Sepuh adiwira juga," kata pria itu lagi. Bola mata Askara terbeliak seketika. "S-Sepuh?" Lantas pemuda itu bergegas bangun, ia rasa tak enak pada Sepuh adiwira yang satu ini. Mengingat akhir-akhir ini ia terlalu bersantai sampai sering tertidur. 'Celaka, apa Sepuh Dwara melapor jika diriku sangat lemah karena sering pingsan?' batinnya. Bahkan Askara sempat berpikir, Baduga akan menghukumnya karena ia sadar dirinya malas. "Maaf Sepuh. S-saya janji, akan menjadi kuat supaya tidak terus pingsan dan berbaring." Askara memohon seraya merapatkan jari-jarinya. Siapa s

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-04
  • Cindaku Sang Penguasa   42. Adiwira Panah

    "Lawanlah dia, Sanggapati ..." 'Adiwira panah? Aku harus mengenyahkan anak panahnya!' pikir Askara menyusun taktik. Setelah sesi dorong mendorong, anak panah itu ditepis sampai terlempar entah ke mana. Pemuda yang bernama Sanggapati itu pun terjun dan mencoba menapakkan kaki di tanah. Ia pun menundukkan kepala, lantas memutar badan seraya menyiapkan tendangan. Maka saat tiba waktu kakinya menendang, Askara sigap menahan serangan betis itu menggunakan tangan yang telah melakukan pelepasan energi sebelumnya. Lantas Askara mencengkram erat pergelangan kaki Sanggapati, lalu ia banting badan lawannya ke udara sampai pemuda itu terlempar. Namun ternyata Sanggapati tidak terbentur, lelaki itu terlihat berhasil mendarat di tanah dengan kedua kaki. Saat itu juga Askara melihat perawakan Sanggapati yang berdiri kokoh di jarak sepuluh meter sana. Tingginya diterka juga sama dengan dirinya. Pemuda itu juga menyelempangkan busur panah hingga terlihat menyilang di

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-05
  • Cindaku Sang Penguasa   43. Kita Berteman?

    Anak panah itu melesat dengan cepat seakan hendak menusuk sempurna di badannya. Askara hanya memejamkan mata, saking terkejutnya ia dengan serangan itu sampai-sampai diam membeku di tempat. Jleb! Menancap dengan sempurna, anak panah itu menusuk sampai tembus ke dalam batang. Askara yang tengah menyandar di pohon, kala itu diam membisu tak berkata-kata. Sampai akhirnya Askara menoleh ke samping guna memastikan bahu kirinya. Tak dapat dipungkiri, di area sanalah lesatan anak panah mendarat. Ternyata anak panah itu sengaja meleset sehingga tidak melukainya. Hanya menancap namun tidak berhasil menusuk organ tubuhnya. Askara juga merasakan baju bagian bahu lenganny yang terjepit karena tusukan anak panah. Membuat sebelah badan terasa sulit bergerak karena pergerakannya seolah terkunci. Askara meronta supaya pakaiannya lepas dari cekikan anak panah yang menancap. Jauh di ujung barat daya sana, seorang pria tua dengan jenggot dan kumis lebat

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-07
  • Cindaku Sang Penguasa   44. Latihan Gabungan

    Setelah pertarungan antar adiwira pemula tadi, Askara dan Sanggapati dilanjut berjalan menuju bukit pasir nagog. Sebelumnya Dwara sudah lebih dulu sampai di sana dan sengaja memerintahkan Baduga untuk membawa kedua pemuda itu. Sambil membuntuti punggung Baduga, keduanya berjalan menyusuri tanjakan yang agak curam."Kalian berdua tahu ke mana kalian akan dibawa?" tanya Baduga.Askara menoleh pada Sanggapati, ekspresi wajahnya seakan menanyakan 'hendak ke mana', namun pemuda itu sudah lebih dulu mengedikkan bahu. "Jangan tanya aku," kata Sanggapati."Kalian berdua akan kubawa ke bukit pasir nagog. Kalian harus diuji terlebih dahulu sejauh mana kemampuan, dan bagaimana cara kalian bekerja sama dalam pertarungan grup," kata Baduga lagi."Ooh ..." Baik Askara maupun Sanggapati kompak menganggukkan kepala, membulatkan mulut tanda mereka faham.Hingga sampailah mereka bertiga ke puncak bukit pasir nagog, ada hamparan tanah lapang yang luas setelah sedari

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-08
  • Cindaku Sang Penguasa   45. Ranting Pohon

    "Aska, bangun!"Seruan yang diyakini suara Sanggapati itu terdengar samar. Saat kelopak mata Askara terbuka, yang ia tangkap hanyalah kelabu malam dengan hawa udara yang dinginnya teramat menyesap. Pemuda itu sedikit menggigil saat mencoba untuk bangun. Hingga pada akhirnya ia bangun dengan kondisi penglihatan berbayang dua."Sangga? I-ini ... Akh, apa yang sebenarnya terjadi?" Askara memegangi tengkuk lehernya yang masih terasa pegal seakan bekas kena pukul, sepertinya Dwara memang melakukan itu supaya dirinya pingsan."Huh, kau ini lama sekali pingsannya. Kita sekarang berada di tengah-tengah bukit pasir nagog," ujar Sanggapati sambil celingukan. "Dingin sekali. Rasanya merinding berdiam lama di sini." Sesekali ia mengusap bulu kuduknya yang berdiri."Hanya ada kita berdua saja? Para Sepuh? Kemana mereka?""Kau ini lupa atau bagaimana? Kita ini sedang latihan gabungan, harusnya kita bisa keluar dari bukit ini," dengkus Sanggapati. Baru saja beber

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-10
  • Cindaku Sang Penguasa   46. Di Dalam Beringin

    "Huwaaaa!"Baik Askara maupun Sanggapati berlari sekencang mungkin setelah mendengar kersakan aneh, sampai semak-semak pun bergoyang seakan digerakkan. Pikiran keduanya terlalu berlebihan, sehingga kompak berlari tunggang langgang guna menjauh.Sanggapati menemukan sebuah pohon besar di sela pelariannya. Pemuda itu pun memilih untuk memanjatnya yang kemudian disusul oleh Askara juga ikut menaiki pohon itu."T-tunggu dulu. Kenapa kau lari?" tanya Sanggapati sembari mengatur napas yang berembus tak beraturan."Aku kan mengikutimu," cetus Askara. "Kau sendiri kenapa lari?""Iya ya? Kenapa kita lari? Harusnya kita lawan sosok yang ada di balik semak itu." Sanggapati terlihat memukul dahan yang dijadikan tempat mereka bertengger. "Sial, kita kaget duluan tadi," geramnya lagi."Dasar. Kenapa juga tadi aku mengikutimu berlari?" Askara pun menyadari kebodohannya karena membuntuti Sanggapati berlari. Namun ia masih beruntung. Jika seandainya ia

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-11
  • Cindaku Sang Penguasa   47. Perpisahan di Udara

    Makhluk yang menghampiri mereka dari atas puncak beringin, sekilas mirip manusia harimau loreng. Lebih tepatnya cindaku. Napas Askara juga Sanggapati seakan tercekat. Mengucapkan sepatah kalimat pun sukar karena mulut terasa bisu sejenak. Tak ada kata yang terucap lagi di antara mereka. Hanya cengkeraman erat tangan Sanggapati yang seakan mengatakan, 'jangan bergerak!' Askara menunduk setelah itu, keringat dingin terus bercucuran dari kening. Sekujur tubuhnya gemetar seiring terdengar kersakan dan ranting-ranting berguguran jatuh, bahkan tak sedikit mengenai kepala mereka. 'Berpikir, Aska ... Berpikir!' Grrr ... Suara geramannya berhasil melemaskan lutut kedua pemuda itu. Bukan hanya itu, dua taring runcing —lebih runcing dari gigi taring Sanggapati— timbul dari balik bibir si monster. Bahkan gigi tajam lainnya pun seakan tak bisa dihitung lagi. Diterka mampu mengoyakkan kulit sampai ke daging-dagingnya. Askara mendecih, lagi-l

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-11

Bab terbaru

  • Cindaku Sang Penguasa   142. Salah Tingkah

    Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La

  • Cindaku Sang Penguasa   141. Jangan Pergi

    Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se

  • Cindaku Sang Penguasa   140. Keturunan Istimewa

    Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b

  • Cindaku Sang Penguasa   139. Menebus Dosa

    Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti

  • Cindaku Sang Penguasa   138. Tahap Pemulihan

    "Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?

  • Cindaku Sang Penguasa   137. Tanda Segel Pundak

    Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany

  • Cindaku Sang Penguasa   136. Raja Ghaib

    "Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting

  • Cindaku Sang Penguasa   135. Tanda Menjalar

    Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu

  • Cindaku Sang Penguasa   134. Perkelahian Sesama Rekan

    "Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam

DMCA.com Protection Status