"Kalau aku yang menyanyikannya, kau akan percaya?"
Hening seketika. Keduanya tak terdengar berbicara lagi setelah itu.
"Tunggu sebentar, maksudmu apa, Paman? Kau yang sejak tadi bernyanyi tembang itu? Dari mana kau tau?" tanya Askara memastikan.
Lantas Abiseka tertawa cekikikan sampai bahunya naik turun. "Dasar pelupa," katanya sambil mengetuk kening Askara di sela tawanya.
"Dulu aku pernah bilang, akulah yang mengajari Ibumu kawih-kawih sunda. Bahkan tembang pupuh sekalipun, aku yang mengajari semuanya." Abiseka pun mendongkak, menatap langit-langit yang dipenuhi rimbunan bunga wisteria. Sesekali kerut bibir pria itu terangkat karena terbawa jauh akan lamunannya itu.
"Woahh, Paman ... Kau ternyata yang mengajari Ibu. Kalau boleh tau sedekat apa kau dengan Ibuku?"
"Yaaah, aku hanya mengajarinya tentang syair-syair dan sedikit ilmu bela diri. Itu s
"Namanya ..."" ... Anjani."Sontak pemuda itu membisu, tubuhnya mendadak diam mematung seiring otak berusaha mencerna ucapan Abiseka. Nama yang disebutkan pria itu, sepertinya Askara jelas tak asing lagi. Tidak. Bukan tak asing lagi, nama itu sudah melekat erat dalam hatinya."A-Anjani?" tanya lelaki itu penuh penekanan."Iya. Dia cinta pertamaku." Lagi-lagi Abiseka memejamkan mata, mungkin ia mendapat kenangan indah. Sosok yang ia idamkan sepertinya muncul dalam benak dan berhasil menghiasi lamunannya."Anjani? T-tidak mungkin!"Pria dengan ikat kepala bercorak batik mega mendung itu menatap Askara lewat senyum mesem. Sedangkan Askara, ia membisu dengan mulut terbuka, melemparkan tatapan seolah mengatakan 'tak kuduga'."Anjani ..." Askara memegangi kepalanya yang mendadak terasa sedikit pusing. Meski sebagian ingatannya dihapus pun, tetap saja ia ingat pasti siapa sosok perempuan itu."Ibu?!" pekik Askara sambil bangun dari p
"Hai anak muda!" panggil seseorang. Askara seketika membuka mata perlahan, menangkap seorang pria dengan janggut dan kumis sedikit lebat. Memakai pakaian dan bendo putih berpoletkan emas tengah duduk di samping pembaringannya. Askara pun menoleh, lelaki itu mengangkat alis sebelum akhirnya bertanya, "siapa kau?" "Ah, kita belum berkenalan rupanya. Perkenalkan, namaku Baduga. Aku Sepuh adiwira juga," kata pria itu lagi. Bola mata Askara terbeliak seketika. "S-Sepuh?" Lantas pemuda itu bergegas bangun, ia rasa tak enak pada Sepuh adiwira yang satu ini. Mengingat akhir-akhir ini ia terlalu bersantai sampai sering tertidur. 'Celaka, apa Sepuh Dwara melapor jika diriku sangat lemah karena sering pingsan?' batinnya. Bahkan Askara sempat berpikir, Baduga akan menghukumnya karena ia sadar dirinya malas. "Maaf Sepuh. S-saya janji, akan menjadi kuat supaya tidak terus pingsan dan berbaring." Askara memohon seraya merapatkan jari-jarinya. Siapa s
"Lawanlah dia, Sanggapati ..." 'Adiwira panah? Aku harus mengenyahkan anak panahnya!' pikir Askara menyusun taktik. Setelah sesi dorong mendorong, anak panah itu ditepis sampai terlempar entah ke mana. Pemuda yang bernama Sanggapati itu pun terjun dan mencoba menapakkan kaki di tanah. Ia pun menundukkan kepala, lantas memutar badan seraya menyiapkan tendangan. Maka saat tiba waktu kakinya menendang, Askara sigap menahan serangan betis itu menggunakan tangan yang telah melakukan pelepasan energi sebelumnya. Lantas Askara mencengkram erat pergelangan kaki Sanggapati, lalu ia banting badan lawannya ke udara sampai pemuda itu terlempar. Namun ternyata Sanggapati tidak terbentur, lelaki itu terlihat berhasil mendarat di tanah dengan kedua kaki. Saat itu juga Askara melihat perawakan Sanggapati yang berdiri kokoh di jarak sepuluh meter sana. Tingginya diterka juga sama dengan dirinya. Pemuda itu juga menyelempangkan busur panah hingga terlihat menyilang di
Anak panah itu melesat dengan cepat seakan hendak menusuk sempurna di badannya. Askara hanya memejamkan mata, saking terkejutnya ia dengan serangan itu sampai-sampai diam membeku di tempat. Jleb! Menancap dengan sempurna, anak panah itu menusuk sampai tembus ke dalam batang. Askara yang tengah menyandar di pohon, kala itu diam membisu tak berkata-kata. Sampai akhirnya Askara menoleh ke samping guna memastikan bahu kirinya. Tak dapat dipungkiri, di area sanalah lesatan anak panah mendarat. Ternyata anak panah itu sengaja meleset sehingga tidak melukainya. Hanya menancap namun tidak berhasil menusuk organ tubuhnya. Askara juga merasakan baju bagian bahu lenganny yang terjepit karena tusukan anak panah. Membuat sebelah badan terasa sulit bergerak karena pergerakannya seolah terkunci. Askara meronta supaya pakaiannya lepas dari cekikan anak panah yang menancap. Jauh di ujung barat daya sana, seorang pria tua dengan jenggot dan kumis lebat
Setelah pertarungan antar adiwira pemula tadi, Askara dan Sanggapati dilanjut berjalan menuju bukit pasir nagog. Sebelumnya Dwara sudah lebih dulu sampai di sana dan sengaja memerintahkan Baduga untuk membawa kedua pemuda itu. Sambil membuntuti punggung Baduga, keduanya berjalan menyusuri tanjakan yang agak curam."Kalian berdua tahu ke mana kalian akan dibawa?" tanya Baduga.Askara menoleh pada Sanggapati, ekspresi wajahnya seakan menanyakan 'hendak ke mana', namun pemuda itu sudah lebih dulu mengedikkan bahu. "Jangan tanya aku," kata Sanggapati."Kalian berdua akan kubawa ke bukit pasir nagog. Kalian harus diuji terlebih dahulu sejauh mana kemampuan, dan bagaimana cara kalian bekerja sama dalam pertarungan grup," kata Baduga lagi."Ooh ..." Baik Askara maupun Sanggapati kompak menganggukkan kepala, membulatkan mulut tanda mereka faham.Hingga sampailah mereka bertiga ke puncak bukit pasir nagog, ada hamparan tanah lapang yang luas setelah sedari
"Aska, bangun!"Seruan yang diyakini suara Sanggapati itu terdengar samar. Saat kelopak mata Askara terbuka, yang ia tangkap hanyalah kelabu malam dengan hawa udara yang dinginnya teramat menyesap. Pemuda itu sedikit menggigil saat mencoba untuk bangun. Hingga pada akhirnya ia bangun dengan kondisi penglihatan berbayang dua."Sangga? I-ini ... Akh, apa yang sebenarnya terjadi?" Askara memegangi tengkuk lehernya yang masih terasa pegal seakan bekas kena pukul, sepertinya Dwara memang melakukan itu supaya dirinya pingsan."Huh, kau ini lama sekali pingsannya. Kita sekarang berada di tengah-tengah bukit pasir nagog," ujar Sanggapati sambil celingukan. "Dingin sekali. Rasanya merinding berdiam lama di sini." Sesekali ia mengusap bulu kuduknya yang berdiri."Hanya ada kita berdua saja? Para Sepuh? Kemana mereka?""Kau ini lupa atau bagaimana? Kita ini sedang latihan gabungan, harusnya kita bisa keluar dari bukit ini," dengkus Sanggapati. Baru saja beber
"Huwaaaa!"Baik Askara maupun Sanggapati berlari sekencang mungkin setelah mendengar kersakan aneh, sampai semak-semak pun bergoyang seakan digerakkan. Pikiran keduanya terlalu berlebihan, sehingga kompak berlari tunggang langgang guna menjauh.Sanggapati menemukan sebuah pohon besar di sela pelariannya. Pemuda itu pun memilih untuk memanjatnya yang kemudian disusul oleh Askara juga ikut menaiki pohon itu."T-tunggu dulu. Kenapa kau lari?" tanya Sanggapati sembari mengatur napas yang berembus tak beraturan."Aku kan mengikutimu," cetus Askara. "Kau sendiri kenapa lari?""Iya ya? Kenapa kita lari? Harusnya kita lawan sosok yang ada di balik semak itu." Sanggapati terlihat memukul dahan yang dijadikan tempat mereka bertengger. "Sial, kita kaget duluan tadi," geramnya lagi."Dasar. Kenapa juga tadi aku mengikutimu berlari?" Askara pun menyadari kebodohannya karena membuntuti Sanggapati berlari. Namun ia masih beruntung. Jika seandainya ia
Makhluk yang menghampiri mereka dari atas puncak beringin, sekilas mirip manusia harimau loreng. Lebih tepatnya cindaku. Napas Askara juga Sanggapati seakan tercekat. Mengucapkan sepatah kalimat pun sukar karena mulut terasa bisu sejenak. Tak ada kata yang terucap lagi di antara mereka. Hanya cengkeraman erat tangan Sanggapati yang seakan mengatakan, 'jangan bergerak!' Askara menunduk setelah itu, keringat dingin terus bercucuran dari kening. Sekujur tubuhnya gemetar seiring terdengar kersakan dan ranting-ranting berguguran jatuh, bahkan tak sedikit mengenai kepala mereka. 'Berpikir, Aska ... Berpikir!' Grrr ... Suara geramannya berhasil melemaskan lutut kedua pemuda itu. Bukan hanya itu, dua taring runcing —lebih runcing dari gigi taring Sanggapati— timbul dari balik bibir si monster. Bahkan gigi tajam lainnya pun seakan tak bisa dihitung lagi. Diterka mampu mengoyakkan kulit sampai ke daging-dagingnya. Askara mendecih, lagi-l