"Aska, bangun!"
Seruan yang diyakini suara Sanggapati itu terdengar samar. Saat kelopak mata Askara terbuka, yang ia tangkap hanyalah kelabu malam dengan hawa udara yang dinginnya teramat menyesap. Pemuda itu sedikit menggigil saat mencoba untuk bangun. Hingga pada akhirnya ia bangun dengan kondisi penglihatan berbayang dua.
"Sangga? I-ini ... Akh, apa yang sebenarnya terjadi?" Askara memegangi tengkuk lehernya yang masih terasa pegal seakan bekas kena pukul, sepertinya Dwara memang melakukan itu supaya dirinya pingsan.
"Huh, kau ini lama sekali pingsannya. Kita sekarang berada di tengah-tengah bukit pasir nagog," ujar Sanggapati sambil celingukan. "Dingin sekali. Rasanya merinding berdiam lama di sini." Sesekali ia mengusap bulu kuduknya yang berdiri.
"Hanya ada kita berdua saja? Para Sepuh? Kemana mereka?"
"Kau ini lupa atau bagaimana? Kita ini sedang latihan gabungan, harusnya kita bisa keluar dari bukit ini," dengkus Sanggapati. Baru saja beber
"Huwaaaa!"Baik Askara maupun Sanggapati berlari sekencang mungkin setelah mendengar kersakan aneh, sampai semak-semak pun bergoyang seakan digerakkan. Pikiran keduanya terlalu berlebihan, sehingga kompak berlari tunggang langgang guna menjauh.Sanggapati menemukan sebuah pohon besar di sela pelariannya. Pemuda itu pun memilih untuk memanjatnya yang kemudian disusul oleh Askara juga ikut menaiki pohon itu."T-tunggu dulu. Kenapa kau lari?" tanya Sanggapati sembari mengatur napas yang berembus tak beraturan."Aku kan mengikutimu," cetus Askara. "Kau sendiri kenapa lari?""Iya ya? Kenapa kita lari? Harusnya kita lawan sosok yang ada di balik semak itu." Sanggapati terlihat memukul dahan yang dijadikan tempat mereka bertengger. "Sial, kita kaget duluan tadi," geramnya lagi."Dasar. Kenapa juga tadi aku mengikutimu berlari?" Askara pun menyadari kebodohannya karena membuntuti Sanggapati berlari. Namun ia masih beruntung. Jika seandainya ia
Makhluk yang menghampiri mereka dari atas puncak beringin, sekilas mirip manusia harimau loreng. Lebih tepatnya cindaku. Napas Askara juga Sanggapati seakan tercekat. Mengucapkan sepatah kalimat pun sukar karena mulut terasa bisu sejenak. Tak ada kata yang terucap lagi di antara mereka. Hanya cengkeraman erat tangan Sanggapati yang seakan mengatakan, 'jangan bergerak!' Askara menunduk setelah itu, keringat dingin terus bercucuran dari kening. Sekujur tubuhnya gemetar seiring terdengar kersakan dan ranting-ranting berguguran jatuh, bahkan tak sedikit mengenai kepala mereka. 'Berpikir, Aska ... Berpikir!' Grrr ... Suara geramannya berhasil melemaskan lutut kedua pemuda itu. Bukan hanya itu, dua taring runcing —lebih runcing dari gigi taring Sanggapati— timbul dari balik bibir si monster. Bahkan gigi tajam lainnya pun seakan tak bisa dihitung lagi. Diterka mampu mengoyakkan kulit sampai ke daging-dagingnya. Askara mendecih, lagi-l
Suara gedebum bercampur kesrakan terdengar usai tubuh Askara terjun dari ketinggian. Nasib baik masih mengiringinya karena berhasil mendarat di atas tumpukan rumput kering. Meski tulang punggungnya terasa seakan patah karena hantaman gravitasi yang cukup keras, hal itu tak membuat Askara manja. Ia bersikeras bangun dan memaksa berjalan tertatih-tatih di kawasan sana. Lantas ia teringat akan Sanggapati yang sempat berpisah dengannya di udara tadi. "Sangga! Sangga!" seru Askara yang mulai menyusuri sudut hutan. "Dimana kau?!" Tak ada jawaban sama sekali, hanya gerombolan burung yang berhamburan karena dikejutkan karena seruannya itu. Askara mencoba mengedarkan pandangan, ia yakin lokasi Sanggapati tak jauh dari tempatnya jatuh tadi. Mendecih kesal karena orang yang diseru tak kunjung menyahut, Askara berakhir berteriak sekeras mungkin berharap Sanggapati mendengar teriakannya. "SANGGA!" teriaknya lagi menggema di seisi hutan. Lan
Askara berlari tunggang langgang menjauhi cindaku yang mengejarnya di belakang, menerobos kegelapan yang remang akan cahaya bulan. Berkali-kali ia melompati akar pepohonan yang timbul keluar dari tanah, bahkan ia sempat terpeleset karena menginjak kubangan lumpur.Di sela larinya, Askara berhasil mendapatkan ide. Ia mencoba menyelinap di antara tumbuhan talas liar. Cindaku yang tengah mengejar itu tak menyadari tempat persembunyiannya kini. Si monster terlihat melewati rimbunan talas yang sudah difungsikan sebagai dinding, melesat maju ke depan sana. Askara pun akhirnya bisa bernapas dengan lega. Lalu ia kembali berlari ke jalur sebelumnya, melawan arah dengan jalan cindaku.Hampir kehabisan napas, Askara pun mencari tempat lebih tersembunyi lagi untuk menghindari cindaku tadi. Kebetulan ia menemukan pohon beringin yang memang memiliki percabangan batang. Ditambah, akar tunggangnya menjalar dan banyak melengkung keluar tanah. Sangat cocok un
Sanggapati masih terlentang di tanah, merasakan pegal di sekitar punggung akibat terbentur akar. Meski sebelumnya sempat terjun di area belukar, tubuhnya itu berguling sampai terbanting di sekitar pohon magobi. Sampai beberapa saat berlalu, pemuda itu masih diam merabahkan diri menahan rasa encok di pinggangnya. "Aska ... Aku akui dia mampu mencari solusi di waktu sempit seperti tadi." "Tapi, tidak begini juga caranya, oi! Aduh, rasanya remuk tulangku ini," gerutunya seraya berusaha untuk bangkit. Memang sepertinya lokasi jatuhnya Sanggapati tidak cukup menguntungkan, perlu beberapa waktu untuk meredakan nyerinya itu. Sanggapati sampai menggunakan sedikit tekhinik suplai mata birunya, karena itulah alasan kenapa ia masih terbaring di tanah saat ini. Tiada lain beristirahat mengembalikan tenaga yang terkuras karena mengaktifkan kekuatan matanya. "Aku harus cari dia. Awas saja kalau bertemu, aku tak akan segan-segan memukulnya," geram Sanggapati. Pemuda itu jug
Keberadaan Sanggapati kini sudah diketahui.Pemuda itu mengumpat saat si monster kembali mendekat ke arahnya dengan kilatan mata biru kekuning-kuningan. Bukannya menghindar, Sanggapati masih diam di tempat dan sibuk menganalis. Apakah cindaku itu memang bisa melihatnya sampai mengendap-endap menyelusup dalam ilalang? pikirnya.Selang kemudian, lelaki itu mendongkak ke arah langit. Ternyata sinar bulan kini sudah menembus lebatnya hutan, membuat ia merutuki keterlambatan berpikirnya.'Ternyata begitu. Penciuman mereka tak terlalu tajam selama tak mendapat sinar bulan.''Lebih tepatnya, cahaya bulan purnama!'"Kalau begitu, berarti ..."Graaa!Sanggapati berguling cepat, satu cakaran mampu memangkas sehamparan rumput gajah di sekitaran. Seketika tanah tempat ia berbaring berubah menjadi padang rumput yang botak. Sanggapati terperanjat, ia segera bangun dan memacu kaki tuk berlari.Cindaku itu tak memberinya kesempatan. Segera si
Askara terlihat melepas penat setelah berhasil kabur dari si monster. Ia terlihat berbaring di antara lingkaran semak dan bebatuan. Sesekali ia menyibak dedaunan yang melingkupinya, mengintai da mengamati sekitaran sebagai bentuk siaga akan cindaku."Aman ... Aman," gumamnya lagi. Lantas ia kembali rebahan dan melentangkan badan. Dengan sebelah lengan bertengger di atas kening, ia juga benar-benar mengatur napasnya yang berembus tak beraturan."Selanjutnya aku hanya perlu mencari Sangga."Askara teringat akan pesan Sepuh Dwara dan Baduga. Kerjasama sangat dibutuhkan dalam latihan gabungan ini. Tetapi pemuda itu justru malah mendecih. Semua ini lebih layak disebut ujian hidup dan mati, jauh dari sekadar kata 'latihan gabungan.'"Arggh Sepuh Dwara! Bagaimana jika muridmu yang satu ini mati?" ringis Askara menggaruk kepalanya.Namun ia bungkam seketika, setelah suara geraman disusul derap langkah terdengar sampai ke tempat persembunyiannya. Aska
Di sela Askara masih mengatur napas karena lelah setelah memacu kaki, Sanggapati terus memarahinya karena kejadian jatuh dari ketinggian tadi. Namun ia abaikan ocehan rekannya itu karena risau akan kejaran cindaku.Sampai akhirnya ia terkesiap karena mendapati sesosok cindaku lain sudah berdiri jauh di belakang Sanggapati. Sempat tertegun lama, namun dibuyarkan akan kehadiran cindaku yang mengejarnya tadi. Kini tepat berada di belakangnya."Kau juga dikejar cindaku?" tanya Askara."Kau juga?" tanya balik Sanggapati.Segera mereka bangkit berdiri dan memunggungi satu sama lain saat kedua cindaku itu mengepung keduanya. "Gawat, kita tersudutkan!""Karena itulah, lain kali kalau melompat terbang lagi mendaratlah di tempat yang aman," dengus Sanggapati lagi."Baiklah, baiklah. Kau ini masih sempat-sempatnya menyalahkan diriku." Askara terlihat mengeluarkan posisi kuda-kuda nya. Cindaku di depannya itu kian mendekat sambil menggeram unjuk gigi ta