Keberadaan Sanggapati kini sudah diketahui.
Pemuda itu mengumpat saat si monster kembali mendekat ke arahnya dengan kilatan mata biru kekuning-kuningan. Bukannya menghindar, Sanggapati masih diam di tempat dan sibuk menganalis. Apakah cindaku itu memang bisa melihatnya sampai mengendap-endap menyelusup dalam ilalang? pikirnya.
Selang kemudian, lelaki itu mendongkak ke arah langit. Ternyata sinar bulan kini sudah menembus lebatnya hutan, membuat ia merutuki keterlambatan berpikirnya.
'Ternyata begitu. Penciuman mereka tak terlalu tajam selama tak mendapat sinar bulan.'
'Lebih tepatnya, cahaya bulan purnama!'
"Kalau begitu, berarti ..."
Graaa!
Sanggapati berguling cepat, satu cakaran mampu memangkas sehamparan rumput gajah di sekitaran. Seketika tanah tempat ia berbaring berubah menjadi padang rumput yang botak. Sanggapati terperanjat, ia segera bangun dan memacu kaki tuk berlari.
Cindaku itu tak memberinya kesempatan. Segera si
Askara terlihat melepas penat setelah berhasil kabur dari si monster. Ia terlihat berbaring di antara lingkaran semak dan bebatuan. Sesekali ia menyibak dedaunan yang melingkupinya, mengintai da mengamati sekitaran sebagai bentuk siaga akan cindaku."Aman ... Aman," gumamnya lagi. Lantas ia kembali rebahan dan melentangkan badan. Dengan sebelah lengan bertengger di atas kening, ia juga benar-benar mengatur napasnya yang berembus tak beraturan."Selanjutnya aku hanya perlu mencari Sangga."Askara teringat akan pesan Sepuh Dwara dan Baduga. Kerjasama sangat dibutuhkan dalam latihan gabungan ini. Tetapi pemuda itu justru malah mendecih. Semua ini lebih layak disebut ujian hidup dan mati, jauh dari sekadar kata 'latihan gabungan.'"Arggh Sepuh Dwara! Bagaimana jika muridmu yang satu ini mati?" ringis Askara menggaruk kepalanya.Namun ia bungkam seketika, setelah suara geraman disusul derap langkah terdengar sampai ke tempat persembunyiannya. Aska
Di sela Askara masih mengatur napas karena lelah setelah memacu kaki, Sanggapati terus memarahinya karena kejadian jatuh dari ketinggian tadi. Namun ia abaikan ocehan rekannya itu karena risau akan kejaran cindaku.Sampai akhirnya ia terkesiap karena mendapati sesosok cindaku lain sudah berdiri jauh di belakang Sanggapati. Sempat tertegun lama, namun dibuyarkan akan kehadiran cindaku yang mengejarnya tadi. Kini tepat berada di belakangnya."Kau juga dikejar cindaku?" tanya Askara."Kau juga?" tanya balik Sanggapati.Segera mereka bangkit berdiri dan memunggungi satu sama lain saat kedua cindaku itu mengepung keduanya. "Gawat, kita tersudutkan!""Karena itulah, lain kali kalau melompat terbang lagi mendaratlah di tempat yang aman," dengus Sanggapati lagi."Baiklah, baiklah. Kau ini masih sempat-sempatnya menyalahkan diriku." Askara terlihat mengeluarkan posisi kuda-kuda nya. Cindaku di depannya itu kian mendekat sambil menggeram unjuk gigi ta
"Sangga! Jangan mati! Jangan mati!" Askara terus menekan dada pemuda itu. Sesekali ia juga menggoyang-goyangkan badan Sanggapati yang terbaring lemah. Tak percaya jika seorang adiwira panah bisa mati hanya karena tenggelam dalam air."Sangga, bangun!" Askara mengerahkan tenaganya untuk menekan lebih kuat dada temannya itu. Maka saat itu juga air menyembur dari mulut Sanggapati, tepat mengenai wajah Askara. Pemuda itu batuk-batuk dan mulai sadarkan diri setelahnya."Dasar kau!" Hendak marah karena wajahnya terkena semburan air, namun Askara urungkan setelah melihat temannya itu terkurai lemas."As-ka ..." lirihnya lagi. Askara segera menangkup kepala Sanggapati yang kondisinya setengah sadar itu."Sangga? Kau baik-baik saja 'kan?""Uhuk, uhuk ... As-ka ... S-sepertinya, hi-dupku ... Uhuk, uhuk ... T-idak a-kan lama lagi ... Uhuk, S-selamat tinggal As–" Belum juga aksi Sanggapati berakhir, Askara sudah lebih dulu menggulingkannya ke jalan
Askara dan Sanggapati berjalan beriringan, mencoba mencari cara untuk menuruni bukit setelah keduanya sempat terjatuh ke area danau. Sesuai dengan apa yang didiskusikan tadi, mereka memutuskan untuk memanfaatkan benda-benda sekitaran.Dalam pertarungan sebelumnya, Askara banyak memanfaatkan batu untuk melawan si monster. Tak menutup fakta bahwa dirinya juga sekalinya —pernah membunuh cindaku hanya dengan bermodal sebongkah batu saja. Maka untuk saat ini pun, Askara terlihat membawa benda itu lagi.Sedangkan Sanggapati membuntuti Askara dari belakang. Pengalaman pertama kalinya tidak membawa busur panah kesayangan dalam perkelahian, Sanggapati memang sedikit gentar. Sedikitnya ia sudah ketergantungan akan senjata dan mata biru. Sekarang ia faham kenapa Baduga mengirimnya ke bukit ini. Belajar pertahanan fisik ditengah kumpulan monster memang sangat bermanfaat, tak rugi juga. Toh, ia juga sudah punya cara tersendiri untuk mengalahkan cindaku.Sekali lagi man
Cindaku itu berjalan kian mendekat, keberadaan si monster tidak disadari oleh Askara dan Sanggapati. Keduanya terlalu asyik memakan buah murbei yang tumbuh ranum sekitar sana. Sampai akhirnya suara 'krek' mengejutkan keduanya. Sempat tertegun sejenak akan suara ranting kecil yang patah, Askara menghentikan kegiatannya dengan Sanggapati. Karena berjalan bak seekor kera gorila, telapak kaki cindaku itu ternyata menginjak sesuatu sampai menciptakan bunyi. Askara yang syok kala berhasil mengintip, segera mundur dan lekas mencengkeram pergelangan tangan temannya itu. Posisi mereka kini hanya dibatasi oleh semak murbei saja. Keadaannya pun bahkan saling mengintip. "Kenapa?" bisik Sanggapati yang tak sekilas tak terdengar jelas karena mulutnya penuh dengan buah murbei. "Mundur ..." kata Askara sembari susah payah menelan ludah. Pelan-pelan ia menarik rekannya itu untuk keluar dari belukar. Namun karena posisi tak menguntungkan, resiko bersembunyi di semak pastilah m
Askara melakukan teknik sleding, seketika terdengar bunyi pergeseran sendi tumit cindaku. Monster itu lantas meraung sekencang-kencangnya, membuat seisi hutan menggema akan suaranya.Bersamaan dengan itu, mata Askara berubah warna. Mata birunya muncul seiring ia berhasil menumbangkan pertahanan cindaku. Sempat terpikir dalam benaknya, jika bentuk kaki cindaku yang ia lawan kali ini memiliki postur mirip manusia.Lebih jelasnya, kaki manusia dengan badan dan rupa berwujud harimau.Pemulihan luka si monster cukup lambat, pasti disebabkan karena efek sinar bulan purnama yang tak bisa menembus kawasan mereka kini. Saat kondisi itulah Askara memanfaatkannya. Ia serang balik si monster seiring matanya gemelapan berubah-ubah warna, hitam kemudian biru.Seperti biasa teknik ajian Napak hawa menjadi andalannya kali ini, ia melompat-lompat di udara dan menjadikan pohon-pohon sekitar tempat kakinya bertumpu. Se
Mata Askara membola sempurna, warna biru kini mendominasi kornea matanya. Askara murka. Menyebabkan pusaran angin menderu di sekitar, pada akhirnya gemuruh angin itu pencar ke setiap penjuru arah seiring kaki Askara melangkah.Cindaku yang cidera itu sempat terhempas mundur oleh dorongan angin yang disebabkan Askara. Hanya mundur, tak sampai terjungkal. Si monster pun kembali menerjang lagi setelah itu. Hebatnya, kaki pincangnya itu bukanlah sebuah halangan untuk menyerang.Askara lantas melesat berlari, meliuk-liuk antara sela batang pepohonan. Tujuannya tiada lain supaya si monster kebingungan saat hendak menerkam. Hingga akhirnya Askara tak terlihat berlarian lagi. Membuat cindaku celingukan mencari jejak pemuda itu.Sekelebat bayangan membuat cindaku menoleh ke selatan. Namun tak ada apapun yang berbekas, suasana sepi kembali dan hanya menyisakan dengus dan geramannya saja.Sekali lagi sekelebat bayangan itu melintas, kini di arah barat. Makhluk itu m
"Kena kau!"Bersamaan dengan itu, pakaian Askara banjir cairan kental berwarna merah, bahkan bercipratan ke segala arah. Askara menacapkan dalam-dalam batu yang sekilas sudah berbentuk kapak genggam itu.Namun sepertinya batu yang ia tancapkan tak cukup untuk memutus urat nadi cindaku.Si monster masih menyempatkan untuk mengaum, lantas dilanjut menghempaskan badan Askara sampai pemuda itu bergulingan di tanah. Cindaku terdengar meraung sekeras-kerasnya, ia mengeleng-gelengkan kepala. Mengamuk karena lehernya berlubang sampai mengocorkan darah merah menyala.Askara mendecih, ia meraba-raba mencari batu yang sempat terlempar tadi. Untungnya ia berhasil mendapatkannya kembali. Segera ia merangkak bersembunyi untuk sementara waktu di balik batang pohon tengkaras. Keadaan sekitar cukup gelap, nampak mata biru Askara berkedip-kedip seolah waktu pemakaiannya hampir habis."Ini aneh. Hari itu aku bisa memutus lehernya dengan cepat," gumam Askara dengan na