Setelah pertarungan antar adiwira pemula tadi, Askara dan Sanggapati dilanjut berjalan menuju bukit pasir nagog. Sebelumnya Dwara sudah lebih dulu sampai di sana dan sengaja memerintahkan Baduga untuk membawa kedua pemuda itu. Sambil membuntuti punggung Baduga, keduanya berjalan menyusuri tanjakan yang agak curam.
"Kalian berdua tahu ke mana kalian akan dibawa?" tanya Baduga.
Askara menoleh pada Sanggapati, ekspresi wajahnya seakan menanyakan 'hendak ke mana', namun pemuda itu sudah lebih dulu mengedikkan bahu. "Jangan tanya aku," kata Sanggapati.
"Kalian berdua akan kubawa ke bukit pasir nagog. Kalian harus diuji terlebih dahulu sejauh mana kemampuan, dan bagaimana cara kalian bekerja sama dalam pertarungan grup," kata Baduga lagi.
"Ooh ..." Baik Askara maupun Sanggapati kompak menganggukkan kepala, membulatkan mulut tanda mereka faham.
Hingga sampailah mereka bertiga ke puncak bukit pasir nagog, ada hamparan tanah lapang yang luas setelah sedari
"Aska, bangun!"Seruan yang diyakini suara Sanggapati itu terdengar samar. Saat kelopak mata Askara terbuka, yang ia tangkap hanyalah kelabu malam dengan hawa udara yang dinginnya teramat menyesap. Pemuda itu sedikit menggigil saat mencoba untuk bangun. Hingga pada akhirnya ia bangun dengan kondisi penglihatan berbayang dua."Sangga? I-ini ... Akh, apa yang sebenarnya terjadi?" Askara memegangi tengkuk lehernya yang masih terasa pegal seakan bekas kena pukul, sepertinya Dwara memang melakukan itu supaya dirinya pingsan."Huh, kau ini lama sekali pingsannya. Kita sekarang berada di tengah-tengah bukit pasir nagog," ujar Sanggapati sambil celingukan. "Dingin sekali. Rasanya merinding berdiam lama di sini." Sesekali ia mengusap bulu kuduknya yang berdiri."Hanya ada kita berdua saja? Para Sepuh? Kemana mereka?""Kau ini lupa atau bagaimana? Kita ini sedang latihan gabungan, harusnya kita bisa keluar dari bukit ini," dengkus Sanggapati. Baru saja beber
"Huwaaaa!"Baik Askara maupun Sanggapati berlari sekencang mungkin setelah mendengar kersakan aneh, sampai semak-semak pun bergoyang seakan digerakkan. Pikiran keduanya terlalu berlebihan, sehingga kompak berlari tunggang langgang guna menjauh.Sanggapati menemukan sebuah pohon besar di sela pelariannya. Pemuda itu pun memilih untuk memanjatnya yang kemudian disusul oleh Askara juga ikut menaiki pohon itu."T-tunggu dulu. Kenapa kau lari?" tanya Sanggapati sembari mengatur napas yang berembus tak beraturan."Aku kan mengikutimu," cetus Askara. "Kau sendiri kenapa lari?""Iya ya? Kenapa kita lari? Harusnya kita lawan sosok yang ada di balik semak itu." Sanggapati terlihat memukul dahan yang dijadikan tempat mereka bertengger. "Sial, kita kaget duluan tadi," geramnya lagi."Dasar. Kenapa juga tadi aku mengikutimu berlari?" Askara pun menyadari kebodohannya karena membuntuti Sanggapati berlari. Namun ia masih beruntung. Jika seandainya ia
Makhluk yang menghampiri mereka dari atas puncak beringin, sekilas mirip manusia harimau loreng. Lebih tepatnya cindaku. Napas Askara juga Sanggapati seakan tercekat. Mengucapkan sepatah kalimat pun sukar karena mulut terasa bisu sejenak. Tak ada kata yang terucap lagi di antara mereka. Hanya cengkeraman erat tangan Sanggapati yang seakan mengatakan, 'jangan bergerak!' Askara menunduk setelah itu, keringat dingin terus bercucuran dari kening. Sekujur tubuhnya gemetar seiring terdengar kersakan dan ranting-ranting berguguran jatuh, bahkan tak sedikit mengenai kepala mereka. 'Berpikir, Aska ... Berpikir!' Grrr ... Suara geramannya berhasil melemaskan lutut kedua pemuda itu. Bukan hanya itu, dua taring runcing —lebih runcing dari gigi taring Sanggapati— timbul dari balik bibir si monster. Bahkan gigi tajam lainnya pun seakan tak bisa dihitung lagi. Diterka mampu mengoyakkan kulit sampai ke daging-dagingnya. Askara mendecih, lagi-l
Suara gedebum bercampur kesrakan terdengar usai tubuh Askara terjun dari ketinggian. Nasib baik masih mengiringinya karena berhasil mendarat di atas tumpukan rumput kering. Meski tulang punggungnya terasa seakan patah karena hantaman gravitasi yang cukup keras, hal itu tak membuat Askara manja. Ia bersikeras bangun dan memaksa berjalan tertatih-tatih di kawasan sana. Lantas ia teringat akan Sanggapati yang sempat berpisah dengannya di udara tadi. "Sangga! Sangga!" seru Askara yang mulai menyusuri sudut hutan. "Dimana kau?!" Tak ada jawaban sama sekali, hanya gerombolan burung yang berhamburan karena dikejutkan karena seruannya itu. Askara mencoba mengedarkan pandangan, ia yakin lokasi Sanggapati tak jauh dari tempatnya jatuh tadi. Mendecih kesal karena orang yang diseru tak kunjung menyahut, Askara berakhir berteriak sekeras mungkin berharap Sanggapati mendengar teriakannya. "SANGGA!" teriaknya lagi menggema di seisi hutan. Lan
Askara berlari tunggang langgang menjauhi cindaku yang mengejarnya di belakang, menerobos kegelapan yang remang akan cahaya bulan. Berkali-kali ia melompati akar pepohonan yang timbul keluar dari tanah, bahkan ia sempat terpeleset karena menginjak kubangan lumpur.Di sela larinya, Askara berhasil mendapatkan ide. Ia mencoba menyelinap di antara tumbuhan talas liar. Cindaku yang tengah mengejar itu tak menyadari tempat persembunyiannya kini. Si monster terlihat melewati rimbunan talas yang sudah difungsikan sebagai dinding, melesat maju ke depan sana. Askara pun akhirnya bisa bernapas dengan lega. Lalu ia kembali berlari ke jalur sebelumnya, melawan arah dengan jalan cindaku.Hampir kehabisan napas, Askara pun mencari tempat lebih tersembunyi lagi untuk menghindari cindaku tadi. Kebetulan ia menemukan pohon beringin yang memang memiliki percabangan batang. Ditambah, akar tunggangnya menjalar dan banyak melengkung keluar tanah. Sangat cocok un
Sanggapati masih terlentang di tanah, merasakan pegal di sekitar punggung akibat terbentur akar. Meski sebelumnya sempat terjun di area belukar, tubuhnya itu berguling sampai terbanting di sekitar pohon magobi. Sampai beberapa saat berlalu, pemuda itu masih diam merabahkan diri menahan rasa encok di pinggangnya. "Aska ... Aku akui dia mampu mencari solusi di waktu sempit seperti tadi." "Tapi, tidak begini juga caranya, oi! Aduh, rasanya remuk tulangku ini," gerutunya seraya berusaha untuk bangkit. Memang sepertinya lokasi jatuhnya Sanggapati tidak cukup menguntungkan, perlu beberapa waktu untuk meredakan nyerinya itu. Sanggapati sampai menggunakan sedikit tekhinik suplai mata birunya, karena itulah alasan kenapa ia masih terbaring di tanah saat ini. Tiada lain beristirahat mengembalikan tenaga yang terkuras karena mengaktifkan kekuatan matanya. "Aku harus cari dia. Awas saja kalau bertemu, aku tak akan segan-segan memukulnya," geram Sanggapati. Pemuda itu jug
Keberadaan Sanggapati kini sudah diketahui.Pemuda itu mengumpat saat si monster kembali mendekat ke arahnya dengan kilatan mata biru kekuning-kuningan. Bukannya menghindar, Sanggapati masih diam di tempat dan sibuk menganalis. Apakah cindaku itu memang bisa melihatnya sampai mengendap-endap menyelusup dalam ilalang? pikirnya.Selang kemudian, lelaki itu mendongkak ke arah langit. Ternyata sinar bulan kini sudah menembus lebatnya hutan, membuat ia merutuki keterlambatan berpikirnya.'Ternyata begitu. Penciuman mereka tak terlalu tajam selama tak mendapat sinar bulan.''Lebih tepatnya, cahaya bulan purnama!'"Kalau begitu, berarti ..."Graaa!Sanggapati berguling cepat, satu cakaran mampu memangkas sehamparan rumput gajah di sekitaran. Seketika tanah tempat ia berbaring berubah menjadi padang rumput yang botak. Sanggapati terperanjat, ia segera bangun dan memacu kaki tuk berlari.Cindaku itu tak memberinya kesempatan. Segera si
Askara terlihat melepas penat setelah berhasil kabur dari si monster. Ia terlihat berbaring di antara lingkaran semak dan bebatuan. Sesekali ia menyibak dedaunan yang melingkupinya, mengintai da mengamati sekitaran sebagai bentuk siaga akan cindaku."Aman ... Aman," gumamnya lagi. Lantas ia kembali rebahan dan melentangkan badan. Dengan sebelah lengan bertengger di atas kening, ia juga benar-benar mengatur napasnya yang berembus tak beraturan."Selanjutnya aku hanya perlu mencari Sangga."Askara teringat akan pesan Sepuh Dwara dan Baduga. Kerjasama sangat dibutuhkan dalam latihan gabungan ini. Tetapi pemuda itu justru malah mendecih. Semua ini lebih layak disebut ujian hidup dan mati, jauh dari sekadar kata 'latihan gabungan.'"Arggh Sepuh Dwara! Bagaimana jika muridmu yang satu ini mati?" ringis Askara menggaruk kepalanya.Namun ia bungkam seketika, setelah suara geraman disusul derap langkah terdengar sampai ke tempat persembunyiannya. Aska
Cindala terlihat meninggalkan kamar, membiarkan Sanggapati dijaga oleh teman-temannya. Sebenarnya ada rasa tak enak karena dia tak bisa menuntaskan janjinya pada pemuda itu.Sanggapati ingin ditemani Cindala sampai pemuda itu kembali terbangun lagi.Namun apalah daya, temannya yang lain seperti Askara juga ingin ikut andil menjaga Sanggapati.Tetapi Cindala yakin, suatu saat nanti dia bisa menuntaskan janji itu.Dengan pikiran yang masih berputar-putar pada kejadian semalam, gadis itu pergi ke kebun belakang, hendak istirahat dan bergabung dengan para adiwira perempuan lainnya.Terlihat banyak temannya yang lain di sana, mereka menyapa sambil melambaikan tangan padanya."Cindala kemari!""Dari mana saja kau? Kenapa baru muncul sekarang?" seru yang lainnya.Cindala menghampiri mereka, lantas ikut duduk di salah satu batu pinggir kolam. Kebetulan kolam di kebun belakang padepokan adalah tempat para perempuan berendam.Gadis itu duduk, termenung seraya mengayunkan kaki di bibir kolam. La
Cindala dan Sanggapati terdiam membeku. Keduanya saling menumbuk netra beberapa saat.'Sangga?' Akal Cindala mendadak tak berfungsi. Kejadian ini membuatnya bingung.Begitu pula dengan Sanggapati, dia tertegun kala melihat pernik mata Cindala. Manik yang sama seperti mata ibunya.Cindala segera menjauhkan wajahnya, dia kaget karena ternyata Sanggapati sudah berhasil sadar."S-Sangga? Sejak kapan kau–" Perkataan Cindala terhenti setelah Sanggapati semakin menggenggam erat tangannya."Aku berhasil sadar berkat bantuanmu." Suara Sanggapati masih terdengar serak dan berat, dia belum sepenuhnya pulih.Cindala bingung sendiri. Apa yang menyebabkan laki-laki menyebalkan seperti Sanggapati mendadak berubah drastis menjadi seperti ini.Kepala Sanggapati tiba-tiba pening lagi, bahkan kini ia melihat Cindala pun terlihat berbayang dua."Kenapa kau ada dua?""Sangga sepertinya kau kehabisan darah, bertahanlah!" Cindala mencari cara untuk menambahkan suplai darah pada Sanggapati, untungnya dia se
Setelah perbincangan itu, mereka semua kembali ke kamar masing-masing. Askara dan Kai masih membutuhkan istirahat yang cukup. Vitaloka terlihat masuk ke ruangan Sanggapati, terlihat ada Gading yang masih tetap menjaga temannya itu."Ada apa Vitaloka?""Sangga belum sadar?" tanya gadis itu.Gading menggeleng. "Sejauh ini belum ada tanda-tanda dia siuman.""Memangnya kau ada perlu apa?""Tidak apa-apa, nanti aku kembali lagi setelah Sangga siuman." Lantas setelah itu, dia keluar meninggalkan kamar Sanggapati.Vitaloka memutuskan untuk duduk bersantai di kolam padepokan. Di setiap padepokan, pasti selalu ada kolam air baik itu kolam ikan atau kolam pemandian. Memang sangat cocok untuk mencari ketenangan."Kau di sini juga, Vitaloka?" Tiba-tiba Ajisena datang dan duduk di sampingnya.Vitaloka hanya menoleh, tidak menjawab pertanyaan Ajisena.Tak lama kemudian Yudhara juga ikut menyusul ke tempat itu. "Sena, Vitaloka. Kalian di sini ternyata.""Memangnya ada apa?" tanya Ajisena.Yudhara b
Sanggapati terbaring lemah, ditempatkan di ruangan berbeda dengan Kai dan Askara, menimang kondisinya paling parah. Beberapa tulangnya patah, dan cedera berat. Rakata sengaja menitipkannya pada Gading dan kawan-kawan. Setelah itu dia terlihat pergi meninggalkan padepokan Kalong, sebelumnya dia berpamitan pada Sesepuh Badalarang.Pria paruh baya itu berjalan ke arah selatan, menuju pemukiman bukit Pasir Nagog. Dia sengaja berangkat setelah fajar, menghindari waktu malam sekaligus serangan cindaku.Ada yang hendak ia tanyakan pada dua rekan Sepuhnya itu. Dwara dan Baduga, yang menjadi persinggahan pertama bagi Askara, Kai dan Sanggapati.Cindala dengan telaten merawat luka sayat yang menyebar di wajah Sanggapati. Meskipun laki-laki itu sangat menyebalkan baginya, bohong jika dirinya tidak khawatir saat ini.Perempuan itu berusaha menutupi luka dan membersihkan darah Sanggapati. Padahal awalnya dia sangat takut berhadap dengan pemuda itu.Namun setelah melihatnya terkapar lemah seperti
"Ugh ..."Askara membuka mata, dia bingung setelah melihat pemandangan kamar kecil tapi minimalis. Pintu kayu, gorden katun, teko dan cawan batok menjadi pemandangan pertamanya.Sempat bertanya-tanya akan keberadaannya kini, namun dia enyahkan pikiran itu. Ada hal lain yang lebih penting, yakni menyembuhkan rasa sakit.Askara meringis, tubuhnya kini selemah itu. Dia terus mengembuskan napas guna melakukan penghambatan energi mandiri.Sayang, dia tidak punya tenaga lagi untuk melakukan penekan beban. Dalam artian, tubuhnya tidak bisa mengeluarkan energi lagi. Badannya terlalu lemah untuk itu.Askara menelan ludah saat menahan rasa sakit itu. Dia menoleh ke sampingnya. Ternyata di ruang yang sama namun di ranjang berbeda, ada Kai yang juga terbaring lemah sama sepertinya."Eh?""Ka–awhhh ... Akh, sakitt," ringis pemuda itu.Dia merasakan tulang rahangnya yang bengkok. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi, yang jelas wajahnya kini babak belur.Sembarang berbicara pun rasanya sakit."Kai?
Askara semringah dengan mata menyala, dia tersenyum puas saat mengetahui Kai dan Sanggapati terkurai lemas dan tak berdaya.Kali ini dia memperhatikan Kai yang tengah pingsan, lalu dia berjalan menghampiri pemuda itu. Entah apa yang akan dia lakukan, yang jelas, kini tatapannya kembali kosong.Askara mengangkat menghunuskan kujang dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Dia hendak menusuk temannya sendiri menggunakan senjata itu.Baru saja Askara hendak menggorok leher Kai, aksi itu tiba-tiba terhenti. Askara mendadak mematung, ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.Ternyata tepat dari belakangnya, Sepuh Rakata membekukan aliran syaraf dan darahnya menggunakan ajian totok."Sadarlah, Nak ...." ujar Sepuh Rakata.Ajisena dan kawan-kawan terlihat menghampiri area perkelahian Kai, Sanggapati dan Askara. Berkat mereka yang berhasil menghancurkan raja ghaibnya, Sepuh Rakata tiba tepat waktu."Syukurlah, tadi itu hampir saja." Cindala menarik napas lega."Mereka bertiga brutal sekali. Bisa-bisany
"Aska?"Askara bergerak sendiri, dia berada di bawah kendali seseorang. Entah siapapun itu, yang jelas kondisinya kini sama persis dengan Kai.Pemuda itu pun jongkok, membuat tanah-tanah sekitar telapak kakinya retak dan anjlok. Penekanan tenaga dan juga pelepasan energinya sangatlah kuat.Dari napas Askara mengepul kabut tipis, dia memejamkan mata kembali.Di sisi lain Sanggapati dan Kai belum menyelesaikan perkelahian. Bukannya berakhir, pertarungannya malah semakin menggila.Kai melepaskan pedangnya, dia maju dengan tangan kosong. Sama halnya dengan Sanggapati yang seakan lupa akan senjata panahnya.Sanggapati rolling depan, lantas dia menerkam lawan menggunakan cakarnya. Kai cukup gesit, dia bergerak cepat menahan bahu Sanggapati yang hendak menerkam. Terlihat hendak memukul, Kai cepat-cepat menahan tangan itu menggunakan sikutnya.Bugh!Keduanya saling meregang di tengah pertarungan.Kai menyandung kaki Sanggapati sampai tubuh keduanya tumbang. Tak cukup puas, dia juga membanting
Kai mengembuskan napas berat, pandangannya kosong ke depan. Rambutnya melambai-lambai diterpa angin. Kulitnya diterka sangat dingin, auranya bahkan sampai bisa Cindala rasakan.Grr ...Sanggapati kian menggeram, setelah melihat Kai berdiri di depannya dan berhasil menggagalkan rencananya.Mata pemuda itu masih merah menyala.Kai perlahan menatap Sanggapati, kala itu juga bola matanya berubah. Anehnya, perubahan mata Kai berbeda dengan Ajisena dan yang lainnya. Dua netra laki-laki itu justru berbeda warna.Di sebelah kiri, muncul mata biru level dua, sedangkan mata kanan adalah mata biru khusus yang hanya dimiliki olehnya. Dengan corak gabungan dua segitiga hingga membentuk bunga, mata kanan Kai justru bersinar dan mengkilat.Cindala tercengang. "Kenapa sebelah mata Kai berbeda?"Ekspresi Sanggapati kian jengkel saat berhadapan dengan Kai.Kai mendadak lari, dia mencoba menendang Sanggapati. Tendangan itu dengan cepat Sanggapati tangkis, hingga pada akhirnya kedua orang itu terpukul mu
"Gading!" Cindala berlari menghampiri pemuda berbadan besar itu. Tubuhnya terbanting di antara bebatuan. Laki-laki itu meringis kesakitan."Makan ini!" Cindala menyodorkan pil obat untuk meredakan nyeri. Dia tahu jika serangan Sanggapati tadi terlalu mendadak, menyebabkan Gading lupa akan pertahankan diri yakni menggunakan pelepasan energi.Cindala menyuapi Gading dengan pil obat itu. Dia juga meminta pemuda itu untuk menjauh dari area sana karena terluka.Sedangkan Ajisena dan Yudhara berusaha menyadarkan Sanggapati yang lagi-lagi kerasukan itu."Sangga apa yang kau lakukan?! Gading itu temanmu sendiri!" sengaja Yudhara."Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Lihatlah, bola matanya bukan berubah menjadi biru, tetapi merah menyala seperti itu," tunjuk Ajisena.Yudhara memberanikan diri maju, dia ingin berbicara pada Sanggapati lebih dekat lagi.Grr ...Sanggapati melompat, lantas berusaha mencakar bahu Yudhara. Untungnya pemuda itu lolos dan berhasil mengelak. Dia pun hendak menjauh nam