Suara gedebum bercampur kesrakan terdengar usai tubuh Askara terjun dari ketinggian. Nasib baik masih mengiringinya karena berhasil mendarat di atas tumpukan rumput kering. Meski tulang punggungnya terasa seakan patah karena hantaman gravitasi yang cukup keras, hal itu tak membuat Askara manja. Ia bersikeras bangun dan memaksa berjalan tertatih-tatih di kawasan sana.
Lantas ia teringat akan Sanggapati yang sempat berpisah dengannya di udara tadi.
"Sangga! Sangga!" seru Askara yang mulai menyusuri sudut hutan.
"Dimana kau?!"
Tak ada jawaban sama sekali, hanya gerombolan burung yang berhamburan karena dikejutkan karena seruannya itu. Askara mencoba mengedarkan pandangan, ia yakin lokasi Sanggapati tak jauh dari tempatnya jatuh tadi.
Mendecih kesal karena orang yang diseru tak kunjung menyahut, Askara berakhir berteriak sekeras mungkin berharap Sanggapati mendengar teriakannya.
"SANGGA!" teriaknya lagi menggema di seisi hutan.
Lan
Askara berlari tunggang langgang menjauhi cindaku yang mengejarnya di belakang, menerobos kegelapan yang remang akan cahaya bulan. Berkali-kali ia melompati akar pepohonan yang timbul keluar dari tanah, bahkan ia sempat terpeleset karena menginjak kubangan lumpur.Di sela larinya, Askara berhasil mendapatkan ide. Ia mencoba menyelinap di antara tumbuhan talas liar. Cindaku yang tengah mengejar itu tak menyadari tempat persembunyiannya kini. Si monster terlihat melewati rimbunan talas yang sudah difungsikan sebagai dinding, melesat maju ke depan sana. Askara pun akhirnya bisa bernapas dengan lega. Lalu ia kembali berlari ke jalur sebelumnya, melawan arah dengan jalan cindaku.Hampir kehabisan napas, Askara pun mencari tempat lebih tersembunyi lagi untuk menghindari cindaku tadi. Kebetulan ia menemukan pohon beringin yang memang memiliki percabangan batang. Ditambah, akar tunggangnya menjalar dan banyak melengkung keluar tanah. Sangat cocok un
Sanggapati masih terlentang di tanah, merasakan pegal di sekitar punggung akibat terbentur akar. Meski sebelumnya sempat terjun di area belukar, tubuhnya itu berguling sampai terbanting di sekitar pohon magobi. Sampai beberapa saat berlalu, pemuda itu masih diam merabahkan diri menahan rasa encok di pinggangnya. "Aska ... Aku akui dia mampu mencari solusi di waktu sempit seperti tadi." "Tapi, tidak begini juga caranya, oi! Aduh, rasanya remuk tulangku ini," gerutunya seraya berusaha untuk bangkit. Memang sepertinya lokasi jatuhnya Sanggapati tidak cukup menguntungkan, perlu beberapa waktu untuk meredakan nyerinya itu. Sanggapati sampai menggunakan sedikit tekhinik suplai mata birunya, karena itulah alasan kenapa ia masih terbaring di tanah saat ini. Tiada lain beristirahat mengembalikan tenaga yang terkuras karena mengaktifkan kekuatan matanya. "Aku harus cari dia. Awas saja kalau bertemu, aku tak akan segan-segan memukulnya," geram Sanggapati. Pemuda itu jug
Keberadaan Sanggapati kini sudah diketahui.Pemuda itu mengumpat saat si monster kembali mendekat ke arahnya dengan kilatan mata biru kekuning-kuningan. Bukannya menghindar, Sanggapati masih diam di tempat dan sibuk menganalis. Apakah cindaku itu memang bisa melihatnya sampai mengendap-endap menyelusup dalam ilalang? pikirnya.Selang kemudian, lelaki itu mendongkak ke arah langit. Ternyata sinar bulan kini sudah menembus lebatnya hutan, membuat ia merutuki keterlambatan berpikirnya.'Ternyata begitu. Penciuman mereka tak terlalu tajam selama tak mendapat sinar bulan.''Lebih tepatnya, cahaya bulan purnama!'"Kalau begitu, berarti ..."Graaa!Sanggapati berguling cepat, satu cakaran mampu memangkas sehamparan rumput gajah di sekitaran. Seketika tanah tempat ia berbaring berubah menjadi padang rumput yang botak. Sanggapati terperanjat, ia segera bangun dan memacu kaki tuk berlari.Cindaku itu tak memberinya kesempatan. Segera si
Askara terlihat melepas penat setelah berhasil kabur dari si monster. Ia terlihat berbaring di antara lingkaran semak dan bebatuan. Sesekali ia menyibak dedaunan yang melingkupinya, mengintai da mengamati sekitaran sebagai bentuk siaga akan cindaku."Aman ... Aman," gumamnya lagi. Lantas ia kembali rebahan dan melentangkan badan. Dengan sebelah lengan bertengger di atas kening, ia juga benar-benar mengatur napasnya yang berembus tak beraturan."Selanjutnya aku hanya perlu mencari Sangga."Askara teringat akan pesan Sepuh Dwara dan Baduga. Kerjasama sangat dibutuhkan dalam latihan gabungan ini. Tetapi pemuda itu justru malah mendecih. Semua ini lebih layak disebut ujian hidup dan mati, jauh dari sekadar kata 'latihan gabungan.'"Arggh Sepuh Dwara! Bagaimana jika muridmu yang satu ini mati?" ringis Askara menggaruk kepalanya.Namun ia bungkam seketika, setelah suara geraman disusul derap langkah terdengar sampai ke tempat persembunyiannya. Aska
Di sela Askara masih mengatur napas karena lelah setelah memacu kaki, Sanggapati terus memarahinya karena kejadian jatuh dari ketinggian tadi. Namun ia abaikan ocehan rekannya itu karena risau akan kejaran cindaku.Sampai akhirnya ia terkesiap karena mendapati sesosok cindaku lain sudah berdiri jauh di belakang Sanggapati. Sempat tertegun lama, namun dibuyarkan akan kehadiran cindaku yang mengejarnya tadi. Kini tepat berada di belakangnya."Kau juga dikejar cindaku?" tanya Askara."Kau juga?" tanya balik Sanggapati.Segera mereka bangkit berdiri dan memunggungi satu sama lain saat kedua cindaku itu mengepung keduanya. "Gawat, kita tersudutkan!""Karena itulah, lain kali kalau melompat terbang lagi mendaratlah di tempat yang aman," dengus Sanggapati lagi."Baiklah, baiklah. Kau ini masih sempat-sempatnya menyalahkan diriku." Askara terlihat mengeluarkan posisi kuda-kuda nya. Cindaku di depannya itu kian mendekat sambil menggeram unjuk gigi ta
"Sangga! Jangan mati! Jangan mati!" Askara terus menekan dada pemuda itu. Sesekali ia juga menggoyang-goyangkan badan Sanggapati yang terbaring lemah. Tak percaya jika seorang adiwira panah bisa mati hanya karena tenggelam dalam air."Sangga, bangun!" Askara mengerahkan tenaganya untuk menekan lebih kuat dada temannya itu. Maka saat itu juga air menyembur dari mulut Sanggapati, tepat mengenai wajah Askara. Pemuda itu batuk-batuk dan mulai sadarkan diri setelahnya."Dasar kau!" Hendak marah karena wajahnya terkena semburan air, namun Askara urungkan setelah melihat temannya itu terkurai lemas."As-ka ..." lirihnya lagi. Askara segera menangkup kepala Sanggapati yang kondisinya setengah sadar itu."Sangga? Kau baik-baik saja 'kan?""Uhuk, uhuk ... As-ka ... S-sepertinya, hi-dupku ... Uhuk, uhuk ... T-idak a-kan lama lagi ... Uhuk, S-selamat tinggal As–" Belum juga aksi Sanggapati berakhir, Askara sudah lebih dulu menggulingkannya ke jalan
Askara dan Sanggapati berjalan beriringan, mencoba mencari cara untuk menuruni bukit setelah keduanya sempat terjatuh ke area danau. Sesuai dengan apa yang didiskusikan tadi, mereka memutuskan untuk memanfaatkan benda-benda sekitaran.Dalam pertarungan sebelumnya, Askara banyak memanfaatkan batu untuk melawan si monster. Tak menutup fakta bahwa dirinya juga sekalinya —pernah membunuh cindaku hanya dengan bermodal sebongkah batu saja. Maka untuk saat ini pun, Askara terlihat membawa benda itu lagi.Sedangkan Sanggapati membuntuti Askara dari belakang. Pengalaman pertama kalinya tidak membawa busur panah kesayangan dalam perkelahian, Sanggapati memang sedikit gentar. Sedikitnya ia sudah ketergantungan akan senjata dan mata biru. Sekarang ia faham kenapa Baduga mengirimnya ke bukit ini. Belajar pertahanan fisik ditengah kumpulan monster memang sangat bermanfaat, tak rugi juga. Toh, ia juga sudah punya cara tersendiri untuk mengalahkan cindaku.Sekali lagi man
Cindaku itu berjalan kian mendekat, keberadaan si monster tidak disadari oleh Askara dan Sanggapati. Keduanya terlalu asyik memakan buah murbei yang tumbuh ranum sekitar sana. Sampai akhirnya suara 'krek' mengejutkan keduanya. Sempat tertegun sejenak akan suara ranting kecil yang patah, Askara menghentikan kegiatannya dengan Sanggapati. Karena berjalan bak seekor kera gorila, telapak kaki cindaku itu ternyata menginjak sesuatu sampai menciptakan bunyi. Askara yang syok kala berhasil mengintip, segera mundur dan lekas mencengkeram pergelangan tangan temannya itu. Posisi mereka kini hanya dibatasi oleh semak murbei saja. Keadaannya pun bahkan saling mengintip. "Kenapa?" bisik Sanggapati yang tak sekilas tak terdengar jelas karena mulutnya penuh dengan buah murbei. "Mundur ..." kata Askara sembari susah payah menelan ludah. Pelan-pelan ia menarik rekannya itu untuk keluar dari belukar. Namun karena posisi tak menguntungkan, resiko bersembunyi di semak pastilah m