"Lawanlah dia, Sanggapati ..."
'Adiwira panah? Aku harus mengenyahkan anak panahnya!' pikir Askara menyusun taktik.
Setelah sesi dorong mendorong, anak panah itu ditepis sampai terlempar entah ke mana. Pemuda yang bernama Sanggapati itu pun terjun dan mencoba menapakkan kaki di tanah. Ia pun menundukkan kepala, lantas memutar badan seraya menyiapkan tendangan. Maka saat tiba waktu kakinya menendang, Askara sigap menahan serangan betis itu menggunakan tangan yang telah melakukan pelepasan energi sebelumnya.
Lantas Askara mencengkram erat pergelangan kaki Sanggapati, lalu ia banting badan lawannya ke udara sampai pemuda itu terlempar. Namun ternyata Sanggapati tidak terbentur, lelaki itu terlihat berhasil mendarat di tanah dengan kedua kaki.
Saat itu juga Askara melihat perawakan Sanggapati yang berdiri kokoh di jarak sepuluh meter sana. Tingginya diterka juga sama dengan dirinya. Pemuda itu juga menyelempangkan busur panah hingga terlihat menyilang di
Anak panah itu melesat dengan cepat seakan hendak menusuk sempurna di badannya. Askara hanya memejamkan mata, saking terkejutnya ia dengan serangan itu sampai-sampai diam membeku di tempat. Jleb! Menancap dengan sempurna, anak panah itu menusuk sampai tembus ke dalam batang. Askara yang tengah menyandar di pohon, kala itu diam membisu tak berkata-kata. Sampai akhirnya Askara menoleh ke samping guna memastikan bahu kirinya. Tak dapat dipungkiri, di area sanalah lesatan anak panah mendarat. Ternyata anak panah itu sengaja meleset sehingga tidak melukainya. Hanya menancap namun tidak berhasil menusuk organ tubuhnya. Askara juga merasakan baju bagian bahu lenganny yang terjepit karena tusukan anak panah. Membuat sebelah badan terasa sulit bergerak karena pergerakannya seolah terkunci. Askara meronta supaya pakaiannya lepas dari cekikan anak panah yang menancap. Jauh di ujung barat daya sana, seorang pria tua dengan jenggot dan kumis lebat
Setelah pertarungan antar adiwira pemula tadi, Askara dan Sanggapati dilanjut berjalan menuju bukit pasir nagog. Sebelumnya Dwara sudah lebih dulu sampai di sana dan sengaja memerintahkan Baduga untuk membawa kedua pemuda itu. Sambil membuntuti punggung Baduga, keduanya berjalan menyusuri tanjakan yang agak curam."Kalian berdua tahu ke mana kalian akan dibawa?" tanya Baduga.Askara menoleh pada Sanggapati, ekspresi wajahnya seakan menanyakan 'hendak ke mana', namun pemuda itu sudah lebih dulu mengedikkan bahu. "Jangan tanya aku," kata Sanggapati."Kalian berdua akan kubawa ke bukit pasir nagog. Kalian harus diuji terlebih dahulu sejauh mana kemampuan, dan bagaimana cara kalian bekerja sama dalam pertarungan grup," kata Baduga lagi."Ooh ..." Baik Askara maupun Sanggapati kompak menganggukkan kepala, membulatkan mulut tanda mereka faham.Hingga sampailah mereka bertiga ke puncak bukit pasir nagog, ada hamparan tanah lapang yang luas setelah sedari
"Aska, bangun!"Seruan yang diyakini suara Sanggapati itu terdengar samar. Saat kelopak mata Askara terbuka, yang ia tangkap hanyalah kelabu malam dengan hawa udara yang dinginnya teramat menyesap. Pemuda itu sedikit menggigil saat mencoba untuk bangun. Hingga pada akhirnya ia bangun dengan kondisi penglihatan berbayang dua."Sangga? I-ini ... Akh, apa yang sebenarnya terjadi?" Askara memegangi tengkuk lehernya yang masih terasa pegal seakan bekas kena pukul, sepertinya Dwara memang melakukan itu supaya dirinya pingsan."Huh, kau ini lama sekali pingsannya. Kita sekarang berada di tengah-tengah bukit pasir nagog," ujar Sanggapati sambil celingukan. "Dingin sekali. Rasanya merinding berdiam lama di sini." Sesekali ia mengusap bulu kuduknya yang berdiri."Hanya ada kita berdua saja? Para Sepuh? Kemana mereka?""Kau ini lupa atau bagaimana? Kita ini sedang latihan gabungan, harusnya kita bisa keluar dari bukit ini," dengkus Sanggapati. Baru saja beber
"Huwaaaa!"Baik Askara maupun Sanggapati berlari sekencang mungkin setelah mendengar kersakan aneh, sampai semak-semak pun bergoyang seakan digerakkan. Pikiran keduanya terlalu berlebihan, sehingga kompak berlari tunggang langgang guna menjauh.Sanggapati menemukan sebuah pohon besar di sela pelariannya. Pemuda itu pun memilih untuk memanjatnya yang kemudian disusul oleh Askara juga ikut menaiki pohon itu."T-tunggu dulu. Kenapa kau lari?" tanya Sanggapati sembari mengatur napas yang berembus tak beraturan."Aku kan mengikutimu," cetus Askara. "Kau sendiri kenapa lari?""Iya ya? Kenapa kita lari? Harusnya kita lawan sosok yang ada di balik semak itu." Sanggapati terlihat memukul dahan yang dijadikan tempat mereka bertengger. "Sial, kita kaget duluan tadi," geramnya lagi."Dasar. Kenapa juga tadi aku mengikutimu berlari?" Askara pun menyadari kebodohannya karena membuntuti Sanggapati berlari. Namun ia masih beruntung. Jika seandainya ia
Makhluk yang menghampiri mereka dari atas puncak beringin, sekilas mirip manusia harimau loreng. Lebih tepatnya cindaku. Napas Askara juga Sanggapati seakan tercekat. Mengucapkan sepatah kalimat pun sukar karena mulut terasa bisu sejenak. Tak ada kata yang terucap lagi di antara mereka. Hanya cengkeraman erat tangan Sanggapati yang seakan mengatakan, 'jangan bergerak!' Askara menunduk setelah itu, keringat dingin terus bercucuran dari kening. Sekujur tubuhnya gemetar seiring terdengar kersakan dan ranting-ranting berguguran jatuh, bahkan tak sedikit mengenai kepala mereka. 'Berpikir, Aska ... Berpikir!' Grrr ... Suara geramannya berhasil melemaskan lutut kedua pemuda itu. Bukan hanya itu, dua taring runcing —lebih runcing dari gigi taring Sanggapati— timbul dari balik bibir si monster. Bahkan gigi tajam lainnya pun seakan tak bisa dihitung lagi. Diterka mampu mengoyakkan kulit sampai ke daging-dagingnya. Askara mendecih, lagi-l
Suara gedebum bercampur kesrakan terdengar usai tubuh Askara terjun dari ketinggian. Nasib baik masih mengiringinya karena berhasil mendarat di atas tumpukan rumput kering. Meski tulang punggungnya terasa seakan patah karena hantaman gravitasi yang cukup keras, hal itu tak membuat Askara manja. Ia bersikeras bangun dan memaksa berjalan tertatih-tatih di kawasan sana. Lantas ia teringat akan Sanggapati yang sempat berpisah dengannya di udara tadi. "Sangga! Sangga!" seru Askara yang mulai menyusuri sudut hutan. "Dimana kau?!" Tak ada jawaban sama sekali, hanya gerombolan burung yang berhamburan karena dikejutkan karena seruannya itu. Askara mencoba mengedarkan pandangan, ia yakin lokasi Sanggapati tak jauh dari tempatnya jatuh tadi. Mendecih kesal karena orang yang diseru tak kunjung menyahut, Askara berakhir berteriak sekeras mungkin berharap Sanggapati mendengar teriakannya. "SANGGA!" teriaknya lagi menggema di seisi hutan. Lan
Askara berlari tunggang langgang menjauhi cindaku yang mengejarnya di belakang, menerobos kegelapan yang remang akan cahaya bulan. Berkali-kali ia melompati akar pepohonan yang timbul keluar dari tanah, bahkan ia sempat terpeleset karena menginjak kubangan lumpur.Di sela larinya, Askara berhasil mendapatkan ide. Ia mencoba menyelinap di antara tumbuhan talas liar. Cindaku yang tengah mengejar itu tak menyadari tempat persembunyiannya kini. Si monster terlihat melewati rimbunan talas yang sudah difungsikan sebagai dinding, melesat maju ke depan sana. Askara pun akhirnya bisa bernapas dengan lega. Lalu ia kembali berlari ke jalur sebelumnya, melawan arah dengan jalan cindaku.Hampir kehabisan napas, Askara pun mencari tempat lebih tersembunyi lagi untuk menghindari cindaku tadi. Kebetulan ia menemukan pohon beringin yang memang memiliki percabangan batang. Ditambah, akar tunggangnya menjalar dan banyak melengkung keluar tanah. Sangat cocok un
Sanggapati masih terlentang di tanah, merasakan pegal di sekitar punggung akibat terbentur akar. Meski sebelumnya sempat terjun di area belukar, tubuhnya itu berguling sampai terbanting di sekitar pohon magobi. Sampai beberapa saat berlalu, pemuda itu masih diam merabahkan diri menahan rasa encok di pinggangnya. "Aska ... Aku akui dia mampu mencari solusi di waktu sempit seperti tadi." "Tapi, tidak begini juga caranya, oi! Aduh, rasanya remuk tulangku ini," gerutunya seraya berusaha untuk bangkit. Memang sepertinya lokasi jatuhnya Sanggapati tidak cukup menguntungkan, perlu beberapa waktu untuk meredakan nyerinya itu. Sanggapati sampai menggunakan sedikit tekhinik suplai mata birunya, karena itulah alasan kenapa ia masih terbaring di tanah saat ini. Tiada lain beristirahat mengembalikan tenaga yang terkuras karena mengaktifkan kekuatan matanya. "Aku harus cari dia. Awas saja kalau bertemu, aku tak akan segan-segan memukulnya," geram Sanggapati. Pemuda itu jug