"Kamu jadian ya sama Nak Rian?" tanya sang mama saat memasuki kamarnya.Inez melirik sekilas, lalu menghela napas. "Apa peduli mama?""Ya, peduli dong, sayang. Kamu kan putri mama," jawab Devita.Inez berdecak. Masihkah beliau pantas disebut mama ketika sang anak selalu berada di urutan nomor terakhir dalam segala hal. Sementara kepentingan beliau sendiri harus di nomor satukan. Bahkan ingatan tatkala ia hampir dijual oleh mamanya sendiri kepada om-om hidung belang masih terekam jelas di ingatan."Kalo iya kenapa, dan kalo nggak kenapa?""Ah, kamu ini, Nez. Kalau iya, mama kan seneng banget, Nez. Nak Rian itu anaknya baik, ramah, sopan, perhatian dan yang penting dia sepertinya sayang banget sama kamu. Mama setuju kalau kamu jadian sama Nak Rian," tutur Devita. Wajahnya terlihat semringah.Inez mendengkus sambil memperbaiki riasannya. "Bukannya mama setuju karena Rian masuk dalam kriteria mama? Kalo dia pria biasa dan nggak kaya, aku yakin mama bakal menolaknya mentah-mentah."Ucapan
Rian langsung meneguk ludahnya yang terasa tersangkut di tenggorokan.Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal sama sekali. Kenapa tuh cewek harus mengatakannya secara gamblang?Kalau bukan karena ia masih terikat kontrak kerja sama dengan perusahaannya, ia mungkin akan melakukan tindakan tegas. Udah jelas dari sikapnya, cewek itu seperti sengaja mengatakannya di depan Inez.Huft ... kali ini kelihatannya ia harus lebih berhati-hati. Akhirnya Rian hanya bisa cengengesan tanpa membalas ucapan cewek seksi itu."Wah, gimana kabarnya, Bu? Sendirian ke sini?" Rian lebih memilih mengalihkan ke hal lain dengan tampang tengilnya."Oh, ceritanya pengalihan ini?" ucapnya dengan mengulum senyum, memperlihatkan bibirnya yang merah merona.Rian menyengir kuda, sementara Inez tampak kebingungan dan berusaha mencerna sesuatu.Cewek itu berjalan perlahan mendekat ke arah Rian. Tangannya terkulai lembut di atas bahu mantan pacarnya.Senyum tipis ia sematkan untuk cowok yang sampai saat ini masih
Dara berjalan dengan gontai di sepanjang koridor sekolah. Ia tak bisa tenang sebelum apa yang ia pikirkan bisa ia lihat kejelasannya. Beberapa hari ini ia tak punya niat untuk bertemu Ari. Bukannya nggak mau, hanya aja dia nggak mau pangerannya itu berpikir yang bukan-bukan jika kebersamaannya nanti terasa membosankan diakibatkan dirinya yang emang nggak lagi bersemangat. Ah, nggak tahu kenapa sampai segininya dia merasa kepikiran. Frel dan Kak Kevan. Kenapa seolah hanya dia di sini yang nggak senang ketika mereka jadian? Ia berharap Frel bisa pacaran sama Kenn. Ya, Kenn. Hanya dia sepertinya yang cocok sama Frel. "Kenn!" Dara yang kini akan naik tangga menuju kelasnya sontak terhenti tatkala mendengar teriakan Frel. Ia menoleh dan memperhatikan dari kejauhan ada Kenn dan Frel yang mengejarnya. Seketika mata Dara berbinar-binar. Itu artinya Kenn telah pulang dari Jerman. Kenn berhenti tanpa membalikkan tubuhnya. Detik selanjutnya ia kembali melangkah pergi dan tak menghiraukan Fr
Dara kelelahan mencari Frel. Udah beberapa tempat ia datangi tetap aja sahabatnya satu itu nggak bisa ia temukan. Mulai dari perpustakaan sampai ke pinggir lapangan yang dipadati oleh para cewek yang sedang bersorak melihat aksi Tomi memasukkan bola basket ke ring.Yeah ..., selain tampangnya yang lumayan keren, sejak SMP Tomi emang paling jago dalam hal main basket, jadi Dara nggak heran mereka bakal seheboh itu melihat permainan tuh cowok. Dalam pertandingan antar sekolah pun tak jarang Tomi selalu membawa kemenangan dalam timnya.Tapi intinya, ke mana lagi ia harus mencari Frel?Hingga dalam beberapa detik kemudian, Dara baru sadar ada tempat yang belum ia datangi. Taman yang berada di belakang gedung guru. Bahkan taman itu merupakan tempat favorit mereka. Ia dan Frel sering ke sana sebelum dirinya jadian sama Ari. Meskipun lebih sepi dari taman yang ada di pojok sebelahnya kantin sekolah, namun taman itu sangat indah, memiliki danau buatan kecil yang cantik dan asri.Duh, bagaiman
Akhir-akhir ini mamanya sering keluar. Ia tidak tahu mamanya pergi ke mana dan apa yang tengah ia lakukan di luar sana. Tiap ia tanya, beliau selalu menjawab ada perlu penting. Alhasil ia hanya bisa menyimpulkan kemungkinan sang mama berpergian bersama teman-temannya.Dan hari ini pun sama. Bahkan Reyhan diajak ikut bersamanya.Di hari liburnya ini Inez malas jalan-jalan, akhirnya ia membuat acara memasak bersama Rian, hitung-hitung dalam rangka menepati janji yang dulu pernah ia sepakati atas permintaan kekasihnya itu."Hmmm ... dari baunya kayaknya enak banget," ujar Rian yang tiba-tiba datang dan merengkuhnya dari belakang.Inez merasakan punggungnya memanas tatkala Rian menempelkan tubuhnya dan meletakkan kedua tangannya di atas perutnya. Ia merasakan gugup yang luar biasa, meski begitu ia berusaha sesantai mungkin."Gue harap lo suka masakan gue," timpalnya sembari memindahkan udang asam manis yang baru selesai dimasak ke atas piring saji. "Nggak boleh nyesel, ya, kalo masakan gu
"Menurut gue lebih cepat lebih baik. Gue mau serius sama lo, dan ini salah satu bukti keseriusan gue, Nez.""Tap-tapi, Yan, gue takut—""Nggak perlu ada yang ditakutin. Bokap nyokap gue nggak sepicik itu menilai seseorang.""Yan, lo tau kan masa lalu gue?""Iya, terus?""Selama ini masa lalu gue yang bikin mereka semua mundur, bahkan calon mertua gue dulu langsung menghujat gue tanpa ampun. G-gue masih trauma, Yan," ucap Inez mencoba menjelaskan di mana sisi ketakutannya dengan suara gemetar.Melihat itu, Rian segera menggenggam kedua tangan Inez. "Gue jamin nggak akan terjadi apa-apa. Kalaupun ada, gue yang akan jelasin ke mereka bahwa semua yang mereka pikirkan tentang lo nggak seburuk pikiran mereka. Seumpama bokap nyokap tetap menolak hubungan kita, gue bisa ngelakuin hal lebih gila lagi agar mereka bisa restuin kita saat itu juga.""Hal lebih gi-gila? Maksudnya?""Pokoknya ada deh," jawab Rian sembari mengerlingkan sebelah matanya, menggoda Inez.Cewek itu terdiam kaku. Hal-hal b
Angin mulai berembus siang itu. Namun, semilirnya tak mampu membuat wajah yang ditekuk sedari tadi berubah menjadi ceria ataupun senang.Malah sebaliknya, bibir merah mungil dengan gaya khasnya seoarang anak tengah menggerutu dari rumah sampai datang ke tempat tujuan yang diinginkan kakaknya.Ia bahkan kini terlihat sangat kesal."Kenapa, sih, Kak Ari milih dia jadi pacar?" tanyanya sambil cemberut.Mendengar Dito tiba-tiba bertanya seperti itu, ia hanya melirik dengan malas."Emangnya kenapa?""Ya, kan, dia gitu, Kak. Tingkahnya absurd, sama rambutnya kayak medusa," jawab Dito yang tengah duduk di samping Ari sambil memainkan kakinya.Lagi-lagi kata "medusa" yang disebut adiknya."Walaupun begitu dia baik." Ari menoleh ke arah Dito. "Pernah nggak dia balas saat lo berulah? Pernah nggak dia dendam saat lo ngerjain dia, ngolok dia, ngejek dia, jahatin dia?"Dito terdiam, lalu menggeleng polos. "Tapi, kan, nggak tahu hatinya, Kak.""Kalo di hatinya dendam, lo sendiri pernah nggak liat s
Dara melangkah riang setelah bertemu sebentar dengan Ari di perpustakaan tadi. Ya, bisa ditebak, Dara-lah yang berkunjung ke kelas Ari, namun saat Kevan memberitahukannya bahwa sang pacar ada di perpustakaan, ia langsung berbalik arah menyusulnya.Kali ini ia akan ke kantin sejenak dan membeli beberapa cokelat atau camilan, apa pun asal ukurannya agak kecil yang bisa ia sembunyikan saat ia kembali ke perpustakaan dan diam-diam bisa menyuapi pujaan hatinya. Ah, rencananya emang brilian!Doakan aja semoga pikiran absurd Dara itu nggak akan diketahui oleh penjaga perpustakaan yang dikenal galaknya minta ampun.Tampak Dara mempercepat langkahnya dan senyum lebar tak henti-hentinya terpahat dari bibirnya. Tapi, kesialan tidak bisa dicegah ketika tiba-tiba ada seseorang yang menabraknya.Bruk!Cewek itu bukannya minta maaf, tetapi menunduk seakan menyembunyikan wajahnya. Sontak aja Dara makin berang."Lo bego, ya? Kalo lari hati-hati, dong! Nggak punya mata, ya?" labrak Dara. "Eh, malah di