共有

BAB 31: RITUAL GAIB

last update 最終更新日: 2025-02-13 18:57:19
Malam itu, suasana di istana Gilingwesi begitu tegang. Di halaman dalam istana, sebuah lingkaran besar telah digambar dengan kapur putih di atas tanah, dikelilingi oleh lilin-lilin yang menyala dengan api biru kehijauan. Udara terasa berat, seolah-olah dipenuhi oleh energi gaib yang tak terlihat. Para pendeta kerajaan berdiri di sekitar lingkaran, mengenakan jubah panjang berwarna merah dan hitam, sambil membawa genta kecil dan tongkat kayu bertatahkan simbol-simbol kuno. Mereka mulai melantunkan mantra-mantra dalam bahasa yang asing, suaranya bergema seperti guntur di udara malam.

Di tengah lingkaran, Raka berdiri bersama Dyah Sulastri. Wajah mereka tampak tegang, namun penuh tekad. Rakai Wisesa, raja kerajaan, berdiri di tepi lingkaran, matanya penuh harap namun juga waspada. Ritual ini adalah upaya terakhir untuk menenangkan roh-roh yang marah—roh-roh yang diyakini menjadi penyebab semua ketegangan dan ancaman yang menghantui kerajaan.

"Kita harus memulai ritual ini dengan hati yang
この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード
ロックされたチャプター

関連チャプター

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 32: CINTA TERLARANG

    Malam itu, suasana di istana Gilingwesi begitu tenang. Di taman dalam istana yang dikelilingi oleh pepohonan beringin raksasa dan bunga melati yang harum, Raka dan Dyah Sulastri duduk berdampingan di bawah sinar bulan purnama. Cahaya lembut itu menyelimuti mereka, menciptakan atmosfer yang damai namun penuh ketegangan. Mereka baru saja selesai membicarakan visi yang dilihat Raka selama ritual gaib—tragedi masa lalu yang menjadi akar dari kutukan kerajaan. Namun, ada sesuatu yang lebih mendalam yang mengganggu pikiran mereka berdua: hubungan mereka yang semakin dekat, tetapi bertentangan dengan takdir kerajaan.Dyah menundukkan wajahnya, matanya penuh konflik batin. Ia tahu bahwa perasaannya terhadap Raka tidak bisa diabaikan, tetapi ia juga sadar bahwa cinta mereka adalah ancaman bagi stabilitas kerajaan. Sebagai ratu suci, ia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan spiritual kerajaan. Hubungan dengan "Orang dari Kala Lain" seperti Raka bisa memperburuk kutukan yang su

    最終更新日 : 2025-02-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 33: ARYA KERTAJAYA MULAI SIMPATI

    Matahari mulai tenggelam di balik gunungan yang mengelilingi istana Gilingwesi, menciptakan siluet keemasan di langit. Arya Kertajaya berdiri di tepi halaman dalam istana, tangannya terlipat di depan dada sementara ia menatap ke arah taman tempat Raka dan Dyah Sulastri sering bertemu. Ia masih merasakan kemarahan mendalam setiap kali melihat mereka bersama, tetapi ada sesuatu yang mulai mengganggu pikirannya—keraguan.Sejak pertemuan tegang malam itu ketika ia memergoki Raka dan Dyah di bawah sinar bulan, Arya tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Raka: "Ini bukan urusanmu, Arya. Aku tidak berniat menyakiti siapa pun, apalagi Dyah." Awalnya, Arya mengabaikan pernyataan itu sebagai omong kosong belaka. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa bahwa mungkin ada lebih dari sekadar permukaan pada pemuda asing itu.Saat ia berjalan menyusuri koridor istana menuju ruang latihan pedang, Arya bertemu dengan salah satu prajurit kerajaan, seorang pria tua bernama Ki Suryawijaya, yan

    最終更新日 : 2025-02-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 34: PORTAL WAKTU RUSAK

    Malam itu, suasana di istana Gilingwesi begitu sunyi. Hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan beringin tua dan cahaya obor-obor yang berkedip-kedip di sepanjang koridor yang memecah keheningan. Raka, yang merasa gelisah setelah ritual gaib beberapa hari lalu, memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam tentang misteri kerajaan ini. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang belum terungkap—sesuatu yang mungkin bisa menjawab pertanyaan tentang identitasnya dan perannya sebagai "Orang dari Kala Lain."Setelah mendengar cerita dari Resi Agung Darmaja tentang artefak-artefak kuno yang tersimpan di ruang bawah tanah istana, Raka memutuskan untuk mengeksplorasi tempat itu sendirian. Ruang bawah tanah adalah area yang jarang dikunjungi, bahkan oleh para prajurit kerajaan. Hanya sedikit orang yang tahu apa yang tersimpan di sana, dan Raka merasa bahwa inilah kesempatannya untuk mencari jawaban.Raka membawa sebuah lampu minyak kecil untuk menerangi jalan. Udara di ruang bawah tanah dingin dan lem

    最終更新日 : 2025-02-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 35: ANCAMAN BARU

    Matahari terbit di cakrawala, menyinari istana Gilingwesi dengan cahaya keemasan yang lembut. Namun, suasana di dalam istana tidak sesenang pemandangan luar. Udara dipenuhi oleh ketegangan yang semakin tebal, seolah-olah awan kelabu menggantung di atas kepala setiap orang. Berita tentang pasukan asing yang mendekati perbatasan kerajaan telah menyebar seperti api, menciptakan rasa panik di antara para prajurit dan penduduk istana.Rakai Wisesa duduk di singgasana emasnya, wajahnya muram namun penuh tekad. Di sekitarnya, para penasihat kerajaan berdiri dengan ekspresi khawatir. Arya Kertajaya, Dyah Sulastri, Resi Agung Darmaja, dan beberapa pemimpin militer lainnya hadir di ruang singgasana untuk membahas strategi pertahanan. Raka juga berada di sana, meskipun posisinya masih ambigu—sebagian orang memandangnya sebagai harapan, sementara yang lain melihatnya sebagai ancaman potensial."Sebuah pasukan besar sedang mendekati perbatasan kita," kata Ki Suryawijaya, salah satu jenderal senior

    最終更新日 : 2025-02-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 36: PASUKAN ASING MENDEKAT

    Langit di atas Kerajaan Gilingwesi tampak muram, seolah-olah alam sendiri menahan napas menjelang badai besar. Udara yang biasanya dipenuhi dengan suara burung dan gemerisik dedaunan kini terasa berat, membawa firasat buruk bagi seluruh penghuni istana. Kabar tentang kedatangan pasukan asing telah sampai ke telinga Rakai Wisesa melalui para mata-mata yang tersebar di perbatasan hutan lebat. Mereka bukan sekadar musuh biasa—mereka adalah pasukan yang dipimpin oleh penyihir gelap, seseorang yang dikenal memiliki ilmu hitam tingkat tinggi.Di ruang sidang utama istana, suasana tegang menyelimuti setiap sudut. Lilin-lilin besar yang biasanya memberikan cahaya hangat tiba-tiba berkedip-kedip pelan, seakan merasakan ketegangan yang memuncak. Beberapa lilin bahkan padam sendiri, menciptakan bayangan panjang yang bergerak-gerak di dinding batu. Angin dingin yang tidak terlihat menyapu ruangan, membuat bulu kuduk semua orang meremang.Rakai Wisesa duduk di singgasananya, wajahnya tenang namun m

    最終更新日 : 2025-02-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 37: PERSIAPAN PERANG

    Matahari mulai terbit di cakrawala, menyelimuti istana Kerajaan Gilingwesi dengan cahaya keemasan yang redup. Namun, keindahan pagi itu tidak mampu menutupi ketegangan yang memenuhi udara. Suara genderang perang bergema dari lapangan latihan militer di luar istana, memecah kesunyian pagi. Arya Kertajaya berdiri di tengah lapangan, mengamati prajurit-prajuritnya dengan sorot mata tajam. Ia memegang pedang panjangnya erat-erat, sementara angin dingin menyapu rambutnya yang terikat rapi."Lebih cepat! Gerakan kalian masih terlalu lambat!" bentak Arya kepada barisan prajurit yang sedang berlatih formasi pertempuran. Suaranya keras dan penuh otoritas, memantul di dinding-dinding batu yang mengelilingi lapangan. Para prajurit bergerak dengan ritme cepat, mengayunkan senjata mereka dengan presisi yang hampir sempurna. Namun, Arya masih merasa ada yang kurang. Ia tahu bahwa pasukan asing yang mendekat bukanlah musuh biasa—mereka adalah pasukan yang dipimpin oleh penyihir gelap, dan ini bukan s

    最終更新日 : 2025-02-17
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 38: PERJALANAN SPIRITUAL KE GUNUNG SUCI

    Langit di atas Kerajaan Gilingwesi mulai menggelap saat matahari perlahan tenggelam di balik puncak-puncak pegunungan. Udara dingin menyelimuti istana, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang terbakar api unggun kecil di sekitar halaman. Di depan gerbang utama, rombongan kecil bersiap untuk berangkat menuju Gunung Suci, tempat yang dipercaya sebagai pusat energi spiritual kerajaan. Raka dan Dyah Sulastri berdiri di barisan depan, ditemani oleh beberapa prajurit pilihan serta Resi Agung Darmaja yang tampak misterius dengan tongkatnya yang berkilauan redup."Gunung Suci adalah tempat di mana dunia manusia bertemu dengan dunia gaib," ujar Resi Agung Darmaja dengan suara rendah namun penuh otoritas. "Di sana, kalian akan menemukan jawaban tentang takdir kalian—dan mungkin juga cara untuk menyelamatkan kerajaan ini." Matanya menyipit saat ia menatap Raka, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di dalam dirinya.Raka merasakan beban tanggung jawab semakin berat di pundaknya. Ia

    最終更新日 : 2025-02-18
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 39: MAKHLUK MITOLOGI DI GUNUNG SUCI

    Setelah berjam-jam mendaki melalui jalur yang semakin curam dan terjal, rombongan akhirnya tiba di kaki Gunung Suci. Udara di sini terasa lebih dingin dan berat, seolah gravitasi di tempat ini tidak sama dengan dunia biasa. Kabut tebal menyelimuti seluruh area, membuat pandangan mereka terbatas hanya beberapa meter ke depan. Suara-suara aneh mulai terdengar dari kejauhan—bisikan halus yang tak terdengar seperti berasal dari manusia, gemerisik dedaunan yang tidak disebabkan oleh angin, dan lolongan samar yang bergema di antara pepohonan.Resi Agung Darmaja berhenti sejenak, menatap kabut di depan mereka dengan sorot mata penuh perhitungan. "Kita sudah sampai di pintu masuk ke dunia gaib," katanya pelan, suaranya nyaris tersapu angin. "Namun, untuk bisa melewati ini, kita harus mendapatkan izin dari penjaga gerbang.""Penjaga gerbang?" tanya Raka, matanya menyipit mencoba melihat lebih jelas melalui kabut. Ia merasakan firasat aneh, seolah ada sesuatu yang mengamati mereka dari balik bay

    最終更新日 : 2025-02-18

最新チャプター

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 226

    Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 225

    Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 224: Arya Kertajaya Mengucapkan Selamat Tinggal

    Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 223: Dyah Sulastri Menghadapi Takdirnya

    Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 222: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 221: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 220: RAKAI WISESA MENYERAHKAN TAHTA

    Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 219: Ki Jagabaya Melarikan Diri Lagi

    Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 218: Arya Kertajaya Mengambil Keputusan Akhir

    Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti

無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status