Beranda / Fantasi / Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir / BAB 38: PERJALANAN SPIRITUAL KE GUNUNG SUCI

Share

BAB 38: PERJALANAN SPIRITUAL KE GUNUNG SUCI

Penulis: Arjuna Wiraguna
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-18 02:00:04
Langit di atas Kerajaan Gilingwesi mulai menggelap saat matahari perlahan tenggelam di balik puncak-puncak pegunungan. Udara dingin menyelimuti istana, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang terbakar api unggun kecil di sekitar halaman. Di depan gerbang utama, rombongan kecil bersiap untuk berangkat menuju Gunung Suci, tempat yang dipercaya sebagai pusat energi spiritual kerajaan. Raka dan Dyah Sulastri berdiri di barisan depan, ditemani oleh beberapa prajurit pilihan serta Resi Agung Darmaja yang tampak misterius dengan tongkatnya yang berkilauan redup.

"Gunung Suci adalah tempat di mana dunia manusia bertemu dengan dunia gaib," ujar Resi Agung Darmaja dengan suara rendah namun penuh otoritas. "Di sana, kalian akan menemukan jawaban tentang takdir kalian—dan mungkin juga cara untuk menyelamatkan kerajaan ini." Matanya menyipit saat ia menatap Raka, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di dalam dirinya.

Raka merasakan beban tanggung jawab semakin berat di pundaknya. Ia
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 39: MAKHLUK MITOLOGI DI GUNUNG SUCI

    Setelah berjam-jam mendaki melalui jalur yang semakin curam dan terjal, rombongan akhirnya tiba di kaki Gunung Suci. Udara di sini terasa lebih dingin dan berat, seolah gravitasi di tempat ini tidak sama dengan dunia biasa. Kabut tebal menyelimuti seluruh area, membuat pandangan mereka terbatas hanya beberapa meter ke depan. Suara-suara aneh mulai terdengar dari kejauhan—bisikan halus yang tak terdengar seperti berasal dari manusia, gemerisik dedaunan yang tidak disebabkan oleh angin, dan lolongan samar yang bergema di antara pepohonan.Resi Agung Darmaja berhenti sejenak, menatap kabut di depan mereka dengan sorot mata penuh perhitungan. "Kita sudah sampai di pintu masuk ke dunia gaib," katanya pelan, suaranya nyaris tersapu angin. "Namun, untuk bisa melewati ini, kita harus mendapatkan izin dari penjaga gerbang.""Penjaga gerbang?" tanya Raka, matanya menyipit mencoba melihat lebih jelas melalui kabut. Ia merasakan firasat aneh, seolah ada sesuatu yang mengamati mereka dari balik bay

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 40: PENGLIHATAN TENTANG MASA LALU

    Setelah melewati Genderuwo dan memasuki dunia gaib, rombongan tiba di puncak Gunung Suci. Tempat itu adalah dataran luas yang dikelilingi oleh batu-batu besar berukir simbol-simbol kuno. Udara di sini terasa lebih ringan, seolah mereka berada di antara dua dunia—dunia manusia dan dunia roh. Cahaya lembut berpendar dari batu-batu itu, menciptakan suasana magis yang menenangkan sekaligus mencekam.Resi Agung Darmaja menginstruksikan Raka dan Dyah untuk duduk di tengah lingkaran batu, sementara para prajurit berdiri menjaga di luar. "Kalian harus meditasi di sini," katanya dengan suara pelan namun tegas. "Ini adalah tempat di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan bertemu. Kalian akan melihat kebenaran tentang takdir kalian."Raka dan Dyah saling bertukar pandang, wajah mereka penuh ketegangan. Mereka tahu bahwa ini bukan sekadar ritual biasa—ini adalah langkah penting untuk memahami peran mereka dalam konflik kerajaan ini."Jangan takut," kata Resi, matanya menyipit saat ia menatap Ra

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 41: HUBUNGAN RAKA-DYAH SULASTRI MEMANAS

    Setelah pengalaman meditasi yang mendalam di puncak Gunung Suci, rombongan mulai menuruni gunung. Udara yang sebelumnya dipenuhi energi gaib kini terasa lebih ringan, meskipun beban pikiran mereka masih berat. Kabut tipis mulai menyelimuti jalur mereka, menciptakan suasana misterius dan sedikit mencekam. Suara langkah kaki bergema di antara pepohonan, sementara angin dingin sesekali membawa bisikan halus yang sulit dimengerti.Raka dan Dyah Sulastri berjalan berdampingan di barisan depan, sementara para prajurit mengikuti di belakang dengan waspada. Raka masih mencoba memproses apa yang ia lihat dalam penglihatannya—pendiri kerajaan yang mirip dengannya, kegagalan spiritual, dan kutukan cinta antara dirinya dan Dyah. Ia merasakan beban tanggung jawab semakin berat di pundaknya. Di sisi lain, Dyah tampak cemas, matanya sering kali tertuju pada Raka seolah mencari jawaban atas ketakutannya."Kau baik-baik saja?" tanya Raka pelan, suaranya nyaris tersapu angin. Ia menatap Dyah dengan penu

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 42: SERANGAN DI GUNUNG SUCI

    Setelah momen emosional yang mendalam antara Raka dan Dyah, rombongan mulai melanjutkan perjalanan menuruni Gunung Suci. Kabut tebal masih menyelimuti jalur mereka, membuat pandangan terbatas hanya beberapa meter ke depan. Suara gemerisik dedaunan yang tidak disebabkan oleh angin menciptakan suasana mencekam bagi seluruh rombongan. Para prajurit tampak semakin waspada, tangan mereka erat memegang senjata, sementara mata mereka terus memindai sekitar untuk mencari tanda-tanda bahaya.Raka berjalan di samping Dyah, matanya sesekali tertuju pada bayangan hitam yang bergerak-gerak di pepohonan. Ia merasakan firasat aneh, seolah ada sesuatu yang mengamati mereka dari balik kabut. "Apa kau juga merasakannya?" bisiknya pelan kepada Dyah.Dyah mengangguk pelan, matanya penuh ketegangan. "Ada sesuatu yang tidak beres," katanya. "Seperti... kita sedang diikuti."Sebelum Raka bisa menjawab, salah satu prajurit di belakang mereka tiba-tiba berteriak keras, "Waspada! Ada gerakan di pepohonan!"Tida

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-18
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 43: ARYA KERTAJAYA MENYELAMATKAN MEREKA

    Setelah pertempuran sengit melawan pasukan bayangan, Raka, Dyah, dan para prajurit yang tersisa akhirnya berhasil mencapai dasar gunung. Namun, mereka masih dalam kondisi genting. Beberapa prajurit terluka parah, dan energi mereka hampir habis setelah berjam-jam bertarung. Suara gemerisik dedaunan yang tidak disebabkan angin menciptakan suasana mencekam bagi seluruh rombongan. Dyah tampak cemas, matanya terus memindai sekitar untuk memastikan tidak ada serangan lanjutan dari pasukan bayangan.Tiba-tiba, suara derap kuda terdengar dari kejauhan. Sebuah pasukan kecil muncul dari balik kabut, dipimpin oleh Arya Kertajaya. Wajah Arya penuh ketegangan, tetapi juga menunjukkan kelegaan saat ia melihat rombongan itu selamat. "Syukurlah kalian masih hidup!" katanya, suaranya keras namun penuh emosi.Raka mengangguk pelan, napasnya masih tersengal-sengal setelah pertempuran panjang. "Kami... kami berhasil melarikan diri," katanya, suaranya terdengar lemah. "Tapi beberapa prajurit terluka parah.

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 44: KEMBALI KE ISTANA

    Setelah diselamatkan oleh Arya Kertajaya dan pasukannya, rombongan akhirnya melanjutkan perjalanan kembali ke istana. Suasana di sepanjang jalan masih tegang, meskipun mereka telah meninggalkan medan pertempuran di Gunung Suci. Kabut tebal yang menyelimuti jalur mereka tampak semakin pekat, seolah mencerminkan ketegangan yang dirasakan setiap orang dalam rombongan. Suara gemerisik dedaunan yang tidak disebabkan angin menciptakan suasana mencekam bagi seluruh rombongan.Raka berjalan di samping Dyah Sulastri, matanya sesekali tertuju pada luka-luka yang diderita para prajurit. Ia merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi, meskipun ia tahu bahwa serangan itu tidak bisa dihindari. "Kita hampir sampai," katanya pelan kepada Dyah, suaranya penuh rasa bersalah.Dyah menatapnya dengan mata penuh pengertian. "Ini bukan salahmu, Raka," katanya, suaranya lembut namun tegas. "Kita semua tahu risiko dari perjalanan ini. Yang penting adalah kita berhasil mendapatkan jawaban."Namun, ada sesuat

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 45: RAKAI WISESA MENGAMBIL KEPUTUSAN

    Ruang singgasana istana dipenuhi suasana tegang. Rakai Wisesa duduk di singgasananya, wajahnya penuh kerutan kekhawatiran dan rasa bersalah. Ia menatap Dyah Sulastri dengan mata berkaca-kaca, seolah berusaha mencari kekuatan untuk mengambil keputusan yang paling sulit dalam hidupnya. Para prajurit, Arya Kertajaya, Resi Agung Darmaja, dan Raka hadir di ruangan itu, masing-masing dengan ekspresi yang berbeda—ada yang marah, ada yang cemas, dan ada yang tampak pasrah."Kita tidak punya pilihan lain," kata Rakai Wisesa akhirnya, suaranya bergetar namun tegas. "Ritual korban harus dilakukan lebih cepat demi meredakan kemarahan roh-roh. Jika kita menunda lagi, seluruh kerajaan akan hancur."Dyah menundukkan kepala, matanya tertutup rapat untuk menahan air mata. Ia tahu bahwa ini adalah takdirnya sejak lahir, tetapi mendengar ayahnya mengatakannya begitu langsung membuat hatinya terasa hancur. "Aku siap, Ayah," katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar."Tidak!" bentak Raka, melangkah maju

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 46: KI JAGABAYA MENYUSUN RENCANA

    Malam itu, angin dingin berhembus melalui celah-celah gua tersembunyi di lereng gunung. Udara lembap bercampur dengan aroma tanah basah, sementara suara angin membawa bisikan-bisikan samar yang sulit dipahami. Di dalam gua kecil yang tersembunyi di balik semak belukar rapat, dua sosok bertemu dalam bayang-bayang gelap.Ki Jagabaya, pemimpin pasukan rahasia kerajaan, tampak tegang namun penuh percaya diri. Ia mengenakan jubah hitam panjang dengan bordir simbol matahari tenggelam di bagian dada—simbol rahasia dari kelompoknya. Wajahnya tertutup topeng perunggu yang memantulkan cahaya lilin kecil di dekatnya, memberikan kesan misterius sekaligus menakutkan.Di hadapannya berdiri Kyai Tundung Wesi, penyihir gelap yang dikirim oleh pasukan asing untuk membantu rencana Ki Jagabaya. Tubuhnya diselimuti kabut hitam pekat, dan tongkatnya yang berhiaskan tengkorak kecil di ujungnya mengeluarkan aura suram. Matanya merah menyala seperti bara api, mencerminkan ambisi dan haus kekuasaan."Kau yakin

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19

Bab terbaru

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 210: DYAH SULASTRI MENGORBANKAN DIRI LAGI

    Pertempuran besar di luar istana mencapai puncaknya. Suara senjata yang beradu, teriakan prajurit, dan raungan makhluk gaib menggema di udara malam. Api melahap beberapa sudut benteng, sementara asap hitam membumbung tinggi ke langit, menyelimuti medan perang dalam kabut pekat. Pasukan bayangan Ki Jagabaya dan sekutunya dari dunia gaib terus menyerang tanpa henti, memanfaatkan setiap celah dalam pertahanan kerajaan.Di tengah medan perang yang kacau, Raka berdiri di garis depan, menggunakan kekuatan spiritualnya untuk melindungi pasukan loyalis. Meskipun ia berhasil menahan serangan-serangan awal, kekuatannya mulai terasa melemah. Ia merasakan energinya terkuras habis dengan cepat, membuat tubuhnya semakin goyah.Penyihir gelap muncul di tengah medan perang, dikelilingi oleh kabut hitam yang pekat. Matanya bersinar seperti bara ap

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 209: PENYIHIR GELAP MENGAMUK

    Medan perang yang sudah penuh dengan kekacauan semakin memanas saat penyihir gelap muncul di tengah-tengah pertempuran. Tubuhnya dikelilingi oleh energi hitam pekat yang mengintimidasi, dan matanya berkilat merah seperti bara api. Ia melangkah maju dengan gerakan anggun namun menakutkan, seolah-olah seluruh dunia ada dalam kendalinya."Kalian semua telah bermain cukup lama," katanya dengan suara dingin yang menusuk. "Sekarang, saatnya kalian membayar harga atas perlawanan kalian."Penyihir itu mengangkat kedua tangannya, menciptakan pusaran energi hitam besar di udara. Pusaran itu mulai melepaskan serangan sihir yang menghantam barisan pasukan loyalis, menyebabkan banyak prajurit terpental dan jatuh tak bernyawa. Para makhluk gaib yang setia kepada kerajaan pun terlihat kesulitan menghadapi kekuatan gelap ini.

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 208: ARYA KERTAJAYA MENYELAMATKAN MEREKA

    Langit di atas medan perang mulai menghitam, tertutup awan tebal yang menandakan kemarahan alam. Angin dingin berhembus kencang, membawa aroma darah dan belerang yang menebal seiring dengan intensitas pertempuran. Pasukan bayangan Ki Jagabaya terus melancarkan serangan brutal, sementara makhluk gaib dari kedua pihak saling bertarung tanpa ampun.Di tengah kekacauan, Raka masih mencoba mengatur napasnya setelah menggunakan kekuatan spiritualnya untuk melindungi pasukan loyalis. Namun, energinya hampir habis, dan ia merasa dirinya tidak lagi mampu melawan jika serangan baru datang. Dyah Sulastri berdiri di sampingnya, mata hijaunya penuh dengan kekhawatiran."Kau harus istirahat," bisik Dyah pelan. "Kekuatanmu sudah mencapai batasnya."Raka menggeleng lemah. "Aku tidak bisa berhenti sekarang. Jika aku berhenti, kita semua akan mati."Sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, sebuah suara raungan keras memenuhi udara. Sebuah Genderuwo raksasa muncul dari

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 207: RAKA MENGGUNAKAN KEKUATANNYA

    Pertempuran di luar istana telah berubah menjadi badai kehancuran. Pasukan bayangan Ki Jagabaya yang dipersenjatai dengan senjata mistis dan sihir hitam terus menggempur pertahanan kerajaan. Makhluk-makhluk gaib seperti Banaspati, Buto Ijo, dan Genderuwo juga turut berperang, masing-masing memilih pihak mereka. Di tengah kekacauan itu, Raka berdiri di garis depan, masih mencoba memahami situasi yang semakin tak terkendali. Angin malam membawa aroma belerang yang menusuk, sementara cahaya bulan redup tertutup awan kelabu. Suara gema tombak dan pedang bergesekan dengan energi spiritual memenuhi udara. Raka merasakan tubuhnya bergetar hebat. Dalam beberapa hari terakhir, ia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi padanya. Sejak ritual gaib yang dipimpin Dyah Sulastri di bab sebelumnya, ia merasakan aliran energi aneh di dalam dirinya—seperti gelombang panas yang melingkupi seluruh tubuhnya. Awalnya, ia mengabaikannya sebagai efek sam

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 206: PERTEMPURAN DIMULAI

    Fajar baru saja menyingsing, namun langit di atas istana Gilingwesi sudah dipenuhi oleh awan kelabu yang bergulung-gulung bak ombak lautan. Udara terasa berat, seolah-olah seluruh alam sedang menahan napas. Di luar dinding istana, pasukan loyalis dan makhluk gaib telah berkumpul dalam formasi rapi, siap untuk menghadapi ancaman besar yang kini bergerak mendekat. Dari kejauhan, gema langkah kaki pasukan bayangan Ki Jagabaya dan pasukan asing mulai terdengar. Mereka bergerak cepat seperti badai yang tak terbendung, membawa aura gelap yang mencekam. Mata mereka berkilau merah dalam cahaya pagi yang temaram, sementara senjata mereka berkilau tajam, memantulkan sinar matahari yang lemah. Raka berdiri di garis depan bersama Dyah Sulastri dan Arya Kertajaya, meskipun kondisi Arya masih lemah setelah luka parah yang ia alami. Wajah Raka penuh tekad, matanya bersinar biru kehijauan, mencerminkan kekuatan spirit

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 205: KLIMAKS AWAL PERANG BESAR

    Pagi mulai menyingsing, dan cahaya matahari yang lembut menembus kabut tipis di sekitar istana Gilingwesi. Di luar dinding istana, pasukan loyalis berkumpul dalam formasi yang rapi, bersiap untuk menghadapi ancaman besar yang akan datang. Para prajurit memeriksa senjata mereka, sementara para tabib dan dukun spiritual mempersiapkan ramuan serta mantra untuk mendukung pasukan. Namun, bukan hanya manusia yang hadir di medan perang ini. Makhluk-makhluk gaib juga turut berkumpul, masing-masing dengan kekuatan unik mereka. Banaspati, roh api yang melindungi kerajaan, berdiri di barisan depan dengan tubuhnya yang bercahaya merah menyala. Buto Ijo, penjaga candi yang perkasa, berdiri tegak di sisi lain, siap untuk melindungi tanah kerajaan dari musuh-musuh yang mencoba menyerang. Genderuwo, makhluk bayangan yang biasanya menghindari manusia, kini bergerak di antara pasukan, menggunakan kemampuannya untuk menyusup ke barisan musuh.

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 204: ARYA KERTAJAYA TERLUKA PARAH

    Setelah pasukan bayangan Ki Jagabaya mundur sementara, suasana istana dipenuhi oleh keheningan yang mencekam. Darah dan reruntuhan mengotori halaman istana, saksi bisu dari pertempuran brutal yang baru saja terjadi. Raka berdiri di tengah puing-puing, menatap medan pertempuran dengan rasa marah dan putus asa. Ia merasakan beban tanggung jawab semakin berat, terutama setelah menyadari bahwa pengorbanan mereka belum berakhir. Namun, fokus utama saat ini adalah Arya Kertajaya. Panglima perang yang gagah itu terluka parah saat melindungi Dyah Sulastri dari serangan mendadak pasukan bayangan. Tubuhnya dilarikan ke ruang medis oleh para prajurit, kondisinya kritis. Raka merasakan getaran aneh dari artefak perunggu yang ia simpan di sakunya. Getaran itu begitu kuat hingga ia tidak bisa mengabaikannya. Ia mengeluarkan artefak tersebut, dan saat ia menyentuhnya, pandangannya mulai kabur. Sebuah visi singkat mun

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 203: SERANGAN MENDADAK DI MALAM HARI

    Malam itu, istana Gilingwesi tampak tenang di bawah sinar bulan sabit yang redup. Udara dingin menyelimuti halaman istana, dan hanya suara angin yang berdesir lembut di antara pepohonan yang memecah keheningan. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tidak beres—sebuah firasat buruk merayap di benak Raka. Ia berdiri di teras istana, menatap kegelapan malam dengan perasaan waspada. "Aku merasakan sesuatu," gumam Raka pelan kepada Arya Kertajaya, yang berdiri di sampingnya. "Ada yang tidak beres." Arya Kertajaya mengangguk, tangannya erat mencengkeram pedangnya. "Aku juga merasakannya. Tapi kita harus tetap waspada. Jika Ki Jagabaya benar-benar akan menyerang, ia akan melakukannya saat kita lengah." Tiba-tiba, suara gemerisik muncul dari arah hutan. Daun-daun bergoyang tanpa angin, dan bayangan hitam mulai bergerak di tepi cahaya obor. Para prajurit penja

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 202: RITUAL GAIB UNTUK MELINDUNGI KERAJAAN

    Malam semakin larut, dan angin dingin berdesir lembut di sekitar istana. Udara dipenuhi oleh aroma dupa yang menyengat, bunga kenanga yang harum, dan belerang dari api ritual yang menyala-nyala. Di halaman dalam istana, Dyah Sulastri memimpin persiapan untuk ritual gaib yang akan dilakukan untuk memperkuat pertahanan kerajaan. Para pendeta kerajaan berkumpul di sekitarnya, membawa berbagai artefak kuno dan simbol spiritual. Raka berdiri di tepi halaman, mengamati segala sesuatunya dengan perasaan campur aduk. Ia merasakan getaran magis yang kuat di udara—energi yang membuat bulu kuduknya berdiri. Meskipun ia bukan orang yang mudah percaya pada hal-hal mistis, ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi malam ini. "Dyah," panggil Raka pelan saat ia mendekati sang putri. "Apa yang akan kau lakukan? Ini terlihat... sangat berbahaya." Dyah S

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status