Setelah momen emosional yang mendalam antara Raka dan Dyah, rombongan mulai melanjutkan perjalanan menuruni Gunung Suci. Kabut tebal masih menyelimuti jalur mereka, membuat pandangan terbatas hanya beberapa meter ke depan. Suara gemerisik dedaunan yang tidak disebabkan oleh angin menciptakan suasana mencekam bagi seluruh rombongan. Para prajurit tampak semakin waspada, tangan mereka erat memegang senjata, sementara mata mereka terus memindai sekitar untuk mencari tanda-tanda bahaya.Raka berjalan di samping Dyah, matanya sesekali tertuju pada bayangan hitam yang bergerak-gerak di pepohonan. Ia merasakan firasat aneh, seolah ada sesuatu yang mengamati mereka dari balik kabut. "Apa kau juga merasakannya?" bisiknya pelan kepada Dyah.Dyah mengangguk pelan, matanya penuh ketegangan. "Ada sesuatu yang tidak beres," katanya. "Seperti... kita sedang diikuti."Sebelum Raka bisa menjawab, salah satu prajurit di belakang mereka tiba-tiba berteriak keras, "Waspada! Ada gerakan di pepohonan!"Tida
Setelah pertempuran sengit melawan pasukan bayangan, Raka, Dyah, dan para prajurit yang tersisa akhirnya berhasil mencapai dasar gunung. Namun, mereka masih dalam kondisi genting. Beberapa prajurit terluka parah, dan energi mereka hampir habis setelah berjam-jam bertarung. Suara gemerisik dedaunan yang tidak disebabkan angin menciptakan suasana mencekam bagi seluruh rombongan. Dyah tampak cemas, matanya terus memindai sekitar untuk memastikan tidak ada serangan lanjutan dari pasukan bayangan.Tiba-tiba, suara derap kuda terdengar dari kejauhan. Sebuah pasukan kecil muncul dari balik kabut, dipimpin oleh Arya Kertajaya. Wajah Arya penuh ketegangan, tetapi juga menunjukkan kelegaan saat ia melihat rombongan itu selamat. "Syukurlah kalian masih hidup!" katanya, suaranya keras namun penuh emosi.Raka mengangguk pelan, napasnya masih tersengal-sengal setelah pertempuran panjang. "Kami... kami berhasil melarikan diri," katanya, suaranya terdengar lemah. "Tapi beberapa prajurit terluka parah.
Setelah diselamatkan oleh Arya Kertajaya dan pasukannya, rombongan akhirnya melanjutkan perjalanan kembali ke istana. Suasana di sepanjang jalan masih tegang, meskipun mereka telah meninggalkan medan pertempuran di Gunung Suci. Kabut tebal yang menyelimuti jalur mereka tampak semakin pekat, seolah mencerminkan ketegangan yang dirasakan setiap orang dalam rombongan. Suara gemerisik dedaunan yang tidak disebabkan angin menciptakan suasana mencekam bagi seluruh rombongan.Raka berjalan di samping Dyah Sulastri, matanya sesekali tertuju pada luka-luka yang diderita para prajurit. Ia merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi, meskipun ia tahu bahwa serangan itu tidak bisa dihindari. "Kita hampir sampai," katanya pelan kepada Dyah, suaranya penuh rasa bersalah.Dyah menatapnya dengan mata penuh pengertian. "Ini bukan salahmu, Raka," katanya, suaranya lembut namun tegas. "Kita semua tahu risiko dari perjalanan ini. Yang penting adalah kita berhasil mendapatkan jawaban."Namun, ada sesuat
Ruang singgasana istana dipenuhi suasana tegang. Rakai Wisesa duduk di singgasananya, wajahnya penuh kerutan kekhawatiran dan rasa bersalah. Ia menatap Dyah Sulastri dengan mata berkaca-kaca, seolah berusaha mencari kekuatan untuk mengambil keputusan yang paling sulit dalam hidupnya. Para prajurit, Arya Kertajaya, Resi Agung Darmaja, dan Raka hadir di ruangan itu, masing-masing dengan ekspresi yang berbeda—ada yang marah, ada yang cemas, dan ada yang tampak pasrah."Kita tidak punya pilihan lain," kata Rakai Wisesa akhirnya, suaranya bergetar namun tegas. "Ritual korban harus dilakukan lebih cepat demi meredakan kemarahan roh-roh. Jika kita menunda lagi, seluruh kerajaan akan hancur."Dyah menundukkan kepala, matanya tertutup rapat untuk menahan air mata. Ia tahu bahwa ini adalah takdirnya sejak lahir, tetapi mendengar ayahnya mengatakannya begitu langsung membuat hatinya terasa hancur. "Aku siap, Ayah," katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar."Tidak!" bentak Raka, melangkah maju
Malam itu, angin dingin berhembus melalui celah-celah gua tersembunyi di lereng gunung. Udara lembap bercampur dengan aroma tanah basah, sementara suara angin membawa bisikan-bisikan samar yang sulit dipahami. Di dalam gua kecil yang tersembunyi di balik semak belukar rapat, dua sosok bertemu dalam bayang-bayang gelap.Ki Jagabaya, pemimpin pasukan rahasia kerajaan, tampak tegang namun penuh percaya diri. Ia mengenakan jubah hitam panjang dengan bordir simbol matahari tenggelam di bagian dada—simbol rahasia dari kelompoknya. Wajahnya tertutup topeng perunggu yang memantulkan cahaya lilin kecil di dekatnya, memberikan kesan misterius sekaligus menakutkan.Di hadapannya berdiri Kyai Tundung Wesi, penyihir gelap yang dikirim oleh pasukan asing untuk membantu rencana Ki Jagabaya. Tubuhnya diselimuti kabut hitam pekat, dan tongkatnya yang berhiaskan tengkorak kecil di ujungnya mengeluarkan aura suram. Matanya merah menyala seperti bara api, mencerminkan ambisi dan haus kekuasaan."Kau yakin
Malam semakin larut, dan istana Gilingwesi tampak tenang dari luar. Namun, di bawah tanah, Arya Kertajaya bergerak diam-diam melalui lorong-lorong sempit yang jarang diketahui orang lain. Udara lembap dan dingin menyelimuti ruang bawah tanah ini, sementara cahaya lampu minyak kecil di tangannya memantulkan bayangan panjang di dinding batu kasar.Sebagai panglima perang kerajaan, Arya memiliki akses ke seluruh sudut istana, termasuk ruang-ruang rahasia yang biasanya hanya digunakan oleh para pemimpin tertinggi. Namun, malam ini ia tidak sedang menjalankan tugas resmi. Ia tengah mengikuti firasat buruk yang terus menghantuinya sejak beberapa hari terakhir—firasat tentang pengkhianatan yang mungkin sudah merasuki istana.Setelah menemukan jejak-jejak mencurigakan di salah satu ruangan bawah tanah, Arya mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ia menemukan gulungan kertas tua dengan simbol-simbol aneh yang tidak dikenalnya, serta catatan singkat yang menyebutkan rencana untuk "m
Langit pagi di Kerajaan Gilingwesi tampak kelabu, seolah menangkap suasana muram yang menyelimuti seluruh istana. Udara dingin berhembus lembut, membawa aroma dupa dan bunga melati yang tersebar di alun-alun utama. Penduduk desa berbondong-bondong menuju tempat ritual, wajah mereka penuh dengan campuran ketakutan, harapan, dan keraguan.Raka berdiri di tepi kerumunan, matanya memandang altar batu besar yang telah dipersiapkan untuk ritual. Altar itu dikelilingi oleh patung-patung kuno yang menggambarkan roh-roh pelindung kerajaan, termasuk Banaspati dan Naga Niskala. Udara di sekitar altar terasa lebih dingin daripada biasanya, seolah-olah dunia gaib sedang mengamati dengan penuh ketegangan.Dyah Sulastri berjalan perlahan menuju altar, didampingi oleh para pendeta kerajaan yang mengenakan jubah putih panjang. Wajahnya tenang, namun matanya mencerminkan rasa takut yang mendalam. Ia tahu bahwa ini adalah takdirnya—tapi apakah ia benar-benar siap untuk menerimanya?Di sisi lain, Rakai Wi
Malam semakin larut, dan udara di Kerajaan Gilingwesi terasa semakin dingin. Namun, kegelapan malam itu tidak mampu menutupi cahaya api kecil yang mulai muncul di sekitar istana. Api-api tersebut bukan berasal dari lilin atau obor—mereka tiba-tiba menyala tanpa sumber yang jelas, membakar beberapa bangunan penting seperti gudang senjata, ruang arsip kuno, dan bahkan salah satu menara pengawas.Prajurit-prajurit kerajaan berlarian dengan panik, mencoba memadamkan api menggunakan air dari sungai suci. Namun, upaya mereka sia-sia. Api itu seolah memiliki kehidupan sendiri, menolak untuk padam meskipun disiram berkali-kali. Beberapa prajurit melihat bayangan merah menyala di antara nyala api, seolah-olah ada sosok gaib yang mengamati mereka dengan penuh kemarahan.Di tengah kekacauan, Arya Kertajaya berdiri di halaman utama istana, matanya tertuju pada api-api kecil yang membakar bangunan-bangunan penting. Ia tahu bahwa ini bukan kebakaran biasa—ini adalah pertanda kemarahan Banaspati, roh
Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan
Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh
Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l
Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang
Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka
Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu
Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe
Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek
Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti